13. Arab Saudi
"Aku mempercayaimu Lilis."
-Majikan wanita
____________________________
14 Agustus 1989, Arab Saudi
Ketika memikirkan Arab Saudi, terbayang yakni hamparan padang pasir, cuaca menyengat, juga bangunan ka'bah yang menjadi simbol paling suci bagi umat muslim. Aku menatap jendela terbuka, membawa hembusan angin kering, kini sedang musim panas dan cuacanya membuatku tak berhenti berpeluh. Padahal kini masih jam 9 pagi.
Aku mengelap keringat yang membasahi kening, pun pelipis mendapat tubuhku untuk pertama kalinya mengenakan pakaian panjang-- gamis hitam bahkan menutupi mata kaki, kerudung lebar dan cadar. Sudah cuaca yang panas-- dapat menyentuh 36 bahkan 51 derajat. Aku pun mengenakan baju kurung lebar. Itu sudah cukup menyiksa.
"Kemarilah, ayo bergegas!"
Aku mengangguk cepat, salah satu pekerja dengan wajah asing-- mungkin afrika karena berkulit hitam dengan bahasa arab fasih memanggilku. Langkahku tergesa menutupi pintu, hampir tersandung sebelum kembali menegakkan tubuh. "Cepat!" Aku mengangguk, kembali berjalan dan mengikutinya ke dapur.
Banyak sekali yang sibuk, suara alat masak silih berganti, suara pisau memotong, air mengalir, api yang menyala pun dentingan piring dan gelas. Orang-orang begitu sibuk, aku meyakinkan diri mengangguk. Melihat ke arah chef yang memimpin para pekerja, wanita bertubuh tinggi menepuk tangan, semua orang menatapnya bersamaan.
"Menu makan siang hari ini adalah daging panggang, tabbouleh, parata juga hidangan penutup!"
"Baik!"
Aku menatap sekitarku dan wanita yang memanggilku tadi menyuruhku mendekat dengan melambaikan tangan. Dia menunjuk sayur-sayuran yang perlu dipotong, aku mengangguk, segera melakukannya sesuai instruksi. "Kita akan membuat tabbouleh, ini adalah makanan khas arab yang sering menjadi menu pendamping berupa sayur-sayuran." Aku masih terbengong-bengong ketika dia menjelaskan, bahasa asingku belum lancar.
Aku menatap timun, parsley, tomat, bawang bombai, zaitun pun bahan lainnya. Ini benar-benar makanan khas timur tengah. Cekatan tanganku terampil memotong timun juga bahan lainnya, ini seperti salad, berbeda seperti Indonesia sayurannya ditumis. Semua bahan terpotong sayuran dimasukkan dalam mangkuk besar lantas dicampurkan dengan minyak zaitun, perasan lemon, lada juga garam dan diadukan merata.
Aku mengenakan sarung tangan plastik, memakai apron, ada pendingin di dalam dapur membuat cuaca tak begitu mengganggu. Tanganku mengaduk sayuran, aku melirik dan mengambil tempat yang pas untuk sayuran ini, lantas memasukkannya pada mangkuk, merapikan hidangan juga beberapa penghias hidangan selesai.
Aku tersenyum, melakukan pekerjaan baik. Aku bisa merasakan seluruh tubuhku rileks, walau begitu kembali murung, aku melakukan ini dengan baik, tapi hatiku tak hentinya memintaku kembali. Aku menahan diri untuk tidak memikirkan hal buruk, aku masih harus bekerja.
Para pelayan berdatangan, membawa sajian yang sudah disiapkan oleh juru masak. "Masyaallah... kau terampil sekali," puji wanita berkulit gelap, dia tersenyum lebar membuatnya terlihat manis. "Namaku Taheren, kau?" Tatapanku masih kosong seperti kemarin, aku masih tak memiliki keberanian atau bicara dengan orang lain jika tak penting, terlebih menggunakan bahasa asing.
Tapi, dia baik dan menyapaku. Aku menunduk memaksakan untuk tersenyum. "Na- namaku Lilis..."
"Apa?"
"Lilis."
"Lilis?"
"Benar."
Taheren mengangguk-angguk, bersamaku mengangkat peralatan kotor untuk dibersihkan, pandanganku kosong, setiap gerakanku seperti robot. Aku mengerjakan pekerjaanku dengan baik, sungguh. Akan tetapi semua hatiku tertinggal di rumah, bersama anak-anakku tercinta.
Aku merindukan mereka.
.
.
.
8 November 1989, Arab Saudi
"Kau dipanggil majikan."
"Baiklah, aku segera datang."
Aku bergegas bangkit, mengenakan kerudung juga cadar sebelum melangkah menuju ruangan majikan wanita. Masih seperti semula aku datang, kemewahan yang ada di mari begitu indah dan memukau mata, mulai dekorasi emas, bingkai-bingkai potret raja, juga marmer putih yang menghias lantai. Di atas langi-langit ruangan terdapat mozaik berukir indah.
Aku menunduk ketika berpapasan dengan orang lain, kembali menuju ruangan majikan. Mengetuk pintu lantas diizinkan masuk, aku mendapati majikan wanita dan putrinya tengah bersantai, mengobrol ringan dengan memakan camilan. Mereka cantik sekali.
"Lilis, makananmu tak pernah mengecewakan!"
Gadis berusia awal dewasa, dia adalah putri kaya raya. Di ruang pribadi ini keduanya tak mengenakan kerudung maupun jilbab. Karena ini ruangan pribadi mereka. "Terima kasih Putri," ujarku sopan. Itu bukan makanan istimewa, ternyata tidak semua bangsa arab terpaut dengan makanan mereka saja, terkadang ingin mencoba makanan-makanan lain. Seperti saat ini, menggunakan sumpit putri memakan sushi.
"Aku senang kamu memasakkan apa yang kami inginkan dengan baik." Aku menunduk kali ini, majikan wanita-- ibu dari putri tersenyum. Pembawaannya tenang, meminum cangkir teh hangat, cuaca mulai dingin menginjak musim dingin.
"Kerabatku memintamu lagi untuk datang ke kediaman mereka, akan ada acara besar."
Lagi? Aku meremas tanganku kemudian tersenyum kecil. Kepercayaan ini membuatku gugup, mereka mengakui keterampilan memasakku. Kata mereka, "Aku bisa memasak apa saja, dan memasak dengan baik, bahkan paling bagus di acara-acara besar." Aku hanya bersyukur atas hal itu, ilmu memasak yang kupelajari selama bertahun-tahun cukup mumpuni terlebih aku memilik banyak bonus yang dapat dikirim untuk keluarga di Bandung.
"Aku mempercayaimu Lilis."
"Terima kasih atas kepercayaan Nyonya."
Bahasaku juga sudah cukup lancar, mendapat kepercayaan penuh dari majikan pun seterusnya. Aku menarik napas menguatkan diri, aku tersenyum sekali lagi. "Saya akan berusa sekuat mungkin." Majikan perempuan mengangguk, kemudian memanggil pelayan lain untuk membereskan makanan.
Sudah banyak yang terjadi, sering kali aku merindukan putra-putriku. Tapi, ini semua demi mereka. Aku perlahan bangkit, sudah tak ragu lagi karena pada akhirnya jalan ini kulampaui untuk kebahagiaan mereka, kehidupan mereka.
Mama akan terus berusaha, Nak.
Bersambung....
24 Mei 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top