11. Keputusan

"Nyahaliring bari mandi - kokojayan meke kutang.

Ari urang ka Saudi - lantaran kuloba hutang!"

-TKW asal Sukabumi

______________________

23 Maret 1989, Bandung

"Aa?"

Aku terperangah, menatap suamiku yang pulang tengah siang bolong, setelah 2 bulan persalinan bayi kami yang ketiga-- Ahmad. Aku sudah sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga, tak bekerja dan fokus mengurus anak-anak. Terlebih kesehatanku menurun beriringan Ahmad yang sakit-sakitan dan memiliki tubuh lemah.

Aku menenangkan Rina dalam gendonganku, aku menatap Adzam yang tak mengatakan apa pun. Aku merasa lelah sekali, ini sungguh di luar dugaan menemukanya pulang lebih awal. "A...?" panggilku lagi, tapi Adzam tidak menjawab dan segera berlalu masuk ke rumah.

"Aa... Ada apa?" tanyaku lagi, kembali menghampiri Adzam yang duduk di sofa. Aku tak mengerti, tingkahnya akhir-akhir ini selalu begitu. "Aa mau sendiri dulu... Boleh?" Aku tercekat, membungkam mulutku, merotasikan matanya dia kembali memejamkan mata. Duduk di atas kursi tanpa beban.

Aku tak tahu, ini adalah awal mula semua masalah.

.

.

.

2 April 1989, Bandung

"Ini apa?"

Aku kini menenteng sebuah amplop coklat besar, tampak tak terkejut Adzam hanya mengangkat bahu, bermain dengan putra-putri kami. "Aa..." Aku meremas amplop itu, isinya adalah surat pengunduran diri dari pegawai negeri.

"Kenapa...?"

Adzan menghela napas, tatapannya lurus menatapku yang kini sudah semakin emosi. Mataku berair seolah-olah emosiku tercampur aduk, tapi dia hanya tersenyum tipis. Aku pikir sudah beberapa hari suamiku di rumah karena libur atau ijin cuti. Tapi, yang kudapatkan adalah kabar buruk ini.

"Aa capek..."

Apa?

Aku masih terpaku di tempatku. Emosiku meletup-letup dalam dada, Adzam melirikku lagi. Sungguh... Aku tak mengerti. Aku sudah berhenti bekerja, ada tiga anak di rumah, aku bukan tidak mengerti tapi kami membutuhkan uang untuk hidup.

"Lalu untuk kebutuhan kita... Bagaimana?"

"Tabungan."

Aku mengepalkan tangan kuat-kuat, ada apa dengannya? Tak ada alasan jelas, Adzam keluar dari pekerjaan lantas hanya bermain dengan anak-anak. "Tabungan... Aa pikir sampai kapan itu cukup? A... Lilis... Lilis... tak paham..."

"Kau tak perlu paham..."

Adzam tersenyum lagi, dia tak mengatakan hal lain atau penjelasan. Seolah dia tak peduli lagi, dan aku bisa melihat beberapa waktu seperti neraka dalam jurang tanpa dasar.

Tabungan, semua tabungan sudah terkuras demi bulan dan bulan. Adzam tak lagi memiliki inisiatif untuk bekerja. Semuanya bergantung padaku seorang, aku merasa Allah tak adil. Aku berusaha sebisanya, memaksimalkan tabungan, memasak di tetangga. Tapi, kebutuhan kami tak mencukupi.

"Ya Allah.... Lilis harus bagaimana lagi?"

Bahkan di sepertiga malam aku bersujud, memanjatkan doa, apa yang harus kulakukan? Tepat di usia bayiku 5 bulan, di mana ekonomi semakin menurun, salah satu kerabat jauh yang mengetahui kondisiku datang. Dia mengambil tanganku, tersenyum hangat. "Apa kau tak kepikiran untuk pergi ke Saudi?"

Aku menatapnya dalam-dalam. Saudi? Tak sekelabat benak terlintas perihal tanah suci itu. Untuk apa? Dia kembali menggenggam tanganku lebih erat, kemudian tersenyum menatapku tulus. "Menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita), Lis. Untuk memberikan kehidupan pada keluargamu... Anak-anakmu butuh uang untuk hidup."

Apa? Kenapa aku harus melakukan itu?

.

.

.

18 Juli 1989, Bandung

Setelah memikirkan perkataan kerabatku setelah sekian lama, aku akhirnya memutuskan pilihan sulit. Hatiku semakin sesak ketika aku menyatakan ide itu pada Adzam, dia hanya terdiam dan mengatakan itu ada pada putusanku. Di titik ini aku merasa ini tak adil, sungguh tak adil. Bahkan dia tak berniat sedikit pun menahanku.

Ya Allah...

Aku menatap anak-anakku, kembali membulatkan tekad aku percaya bahwa ini adalah hal yang benar. Anak-anakku masih tetap harus hidup dengan baik, aku meringis, menahan tangis ketika akhirnya kepergianku untuk menjadi TKW ada di depan mata. Semua surat yang dibutuhkan diurus oleh kerabatku tersebut.

Menenteng kotak besar untuk pakaian, di hadapan seluruh keluargaku aku pamit pergi, Adzam masih tetap bungkam. Anak-anak menangis, saudara-saudaraku menyemangati dan Bapak ada di sana membekaliku beberapa rupiah. Perasaanku berserak bagai daun yang jatuh dan luruh menyentuh tanah. Seperti tangisan langit menurunkan hujan lebat.

"Mama! Jangan pergi!" Aziza memelukku erat-erat tak mau lepas, tangisannya menggema mengisi kepergianku. Adikku berusaha menenangkan Aziza yang kian mengamuk. Sedangkan Rina yang masih berusia 4  tahun ikut menangis, tak mengerti apa-apa menggenggam ujung pakaian.

Aku pun mendekap Ahmad-- bayi 7 bulan yang juga menangis karena bising. Air mataku luruh sekali lagi, mendekap putra-putriku. "Maaf...." gumamku tak dapa berkata-kata. Aku menjauhkan diri dari anak-anakku.

Teriakkan malaikat kami terdengar, aku melirik Adzam yang membuang wajah, hatiku semakin nyeri. Kepalaku tertunduk, Bapak tak mengatakan apa-apa, pada malam dingin yang menyengat, aku pergi menuju mini bus untuk pergi ke tujuan berikutnya. Aku masih berusaha menahan tangisanku.

"Assalamualaikum...."

Aku memasuki kendaraan tersebut, langkahku semakin cepat, menyimpan barang barang dan duduk di kursi penumpang. Samar tangisan terdengar, suara teriakkan menggema, rasa bersalah menyeruak tanpa pandang bulu. Aku meremas dadaku kuat, menangis lagi. "Maafkan Mamamu, Nak."

Aku mengepalkan tanganku kuat, tujuanku saat ini hanyalah satu. Berjihad di bidang ekonomi menjadi TKW untuk kehidupan yang lebih baik.

Untuk anak-anakku memiliki masa depan cerah,

Untuk keluarga kami.

.

.

.

11 Agustus 1989, Jakarta

Aku kini berada di pelatihan Tenaga Kerja Indonesia, di mana seluruh tenaga kerja dilatih untuk bisa menempati posisi di negara lain sebagai pekerja. Tempat ini ialah tempat khusus di mana para pekerja nanti akan dikirimkan ke Arab Saudi, kami diajari bahasa luar sehari-hari, melakukan beberapa tes dan kemampuan dasar. Aku sendiri mendapatkan bidang sebagai juru masak dalam pekerjaan ke luar negeri ini.

Ada yang kusayangkan dari tempat ini, di tempat ini waktu pelatihan yang disusun tak jelas, ruang sempit dengan kamar mandi terbatas, makanan pun harus siapa cepat dia yang dapat layaknya tawanan. Ada banyak hal yang membuat hatiku terenyuh, hampir semua wanita yang berada di sini memiliki kesamaan, masalah ekonomi. 

Beberapa peserta pelatihan ada yang stres berat, pertengkaran antara TKW hanya karena rebutan bantal-makanan-kamar mandi. Masalah kecil yang menjadi besar. Itu adalah hal waras yang sering kali terjadi, terlebih kebanyakan peserta tak bisa baca atau tulis; menyebabkan TKW mudah ditipu dari kisah-kisah kawan senasib.

Karena tak bisa membaca ada yang tak dibayar, diberi cek kosong. Hal yang menyakitkan, walau begitu aku pun memiliki hal yang bisa kuandalkan. Walau tulisanku tak terlalu bagus: aku biasa menuliskan surat-surat bagi para TKW untuk menyampaikan kabar mereka pada keluarga dengan upah yang lumayan untuk memenuhi kebutuhanku yang cukup banyak.

Ada beberapa orang yang nyaman bersamaku dan berbagi kisah mereka. Akan tetapi aku tak dapat memberi saran dan hanya bisa mendengarkan. Kadang kali saranku berupa bersabar dan terus jalani hidup yang ada dan ikhlas agar semua ini kembali untuk mendapatkan ridho Allah. 

Beberapa waktu berlalu, tepat saat keberangkatanku ke Arab Saudi. Ada satu kata yang terngiang di kepalaku, dari salah satu peserta TKW dari Sukabumi. 

"Nyahaliring bari mandi - kokojayan meke kutang.

Ari urang ka Saudi - lantaran kuloba hutang!"

Itu adalah sedikit alasan dari ribuan alasan lainnya mengapa orang-orang berbondong mengadu nasib ke negeri orang. Dan aku tahu betul, aku salah satunya.

Bersambung....

21 Mei 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top