10. Malaikat kecil kami

"Mama bahagia karena Aziza?"

-Aziza

__________________


16 Juni 1982, Bandung

"Halo~ Tuan Putri~"

Ada tawa yang hadir dari bayi mungil dalam keranjang. Aku masih melipat pakaian menemukan suamiku bermain dengan putri pertama kami. Gadis kecil kami bernama Aziza, yang bermakna mulia. Adzam tertawa lebar, menyentuh pipi mungil Aziza. "Kenapa kau bisa selucu ini, hm? Bahkan ketika Ayah pulang kau tak pernah bisa berhenti imut!" 

Aku tertawa geli, memperhatikan Adzam yang gemas pada Aziza. Seragam PNS yakni batik KOPRI berwarna kehijauan masih melekat di tubuhnya. Setelah kami menikah, Adzam bertekad memiliki pekerjaan tetap dan pada akhirnya menjadi PNS di salah satu departemen Bandung. "Kenapa dia bisa sangat imut?"

"Kau yang hiperbola."

"Itu mustahil! Aziza anak Ayah yang paling imut sedunia? Benar kan? Kan?" 

Adzam tertawa sekali lagi, memeluk dan mencium pipi Aziza berkali-kali. Aku tak dapat menghiraukan kehangatan yang menyebar, sensasinya manis juga menyenangkan segar, membasuh semua lelah yang kudapat. "Padahal kau istirahat saja tadi sore, tak perlu berlebihan bekerja."

Aku melirik Adzam yang mengusap kepalaku tersenyum, senyumnya manis sekali. Aku menggelengkan kepala, menyelesaikan melipat pakaian. Setelah menjadi PNS, suamiku bersikeras lebih baik fokus mengurusi Aziza, akan tetapi aku tahu betul bahwa keuangan kami belum stabil. Setelah berhenti bekerja di toko, akhirnya aku memuka usaha masak sendiri, salah satunya kini menerima pesanan dari rumah ke rumah.

"Tidak masalah, lagipula aku memang menyukainya. Aku senang memasak." 

Adzam menatapku agak lama kali ini lantas dia terkekeh. Kembali menggendong Aziza. "Eh? Kau mau ke mana kan Aziza?" Adzam menyeringai, berdiri lantas berlalu pergi. "Mari kita kabur dari ibumu yang cantik ini, wush~" 

"Hey! Hati-hati!"

"Mari sini tangkap kami~"

Aku bangkit, layaknya anak-anak mengejar teman bermain. Tawa menyebar ke seluruh penjuru rumah, Adzam menerbangkan bayi kami layaknya kapal-kapalan, mengedipkan mata jahil, aku berusaha meraihnya. Aku berharap ini akan berlangsung untuk selamanya.

.

.

.

3 Agustus 1985, Bandung

Gedung tinggi pun menjulang terlihat, aku memejamkan mata sebelum menarik napas dan tersenyum. Aku melangkah masuk, ruangan bersih, steril terasa. Banyak orang berpakaian rapi dan sopan. Aku masuk, menuju dapur, mengenakan apron. "Bu, katanya untuk makanan siang hari ini diharapkan menggunakan ikan segar, ada beberapa makanan laut juga di pendingin, siap diolah."

Aku mengangguk, mengenakan sarung tangan mengambil bahan-bahan yang diperlukan dengan cermat, setelah menempuh perjalanan panjang dalam bidang memasak. Kini aku mendapatkan posisi sebagai juru masak di salah satu akademi gizi. Di tempat ini, ilmuku tentang memasak semakin banyak, mulai dari memilih bahan, cara memasak dan cara penyajian yang benar.

Higienis, bersih, dan berkualitas.

Ada beberapa tukang masak yang hadir, aku tersenyum menunduk sopan. Pekerja lain membantu mengelola makanan yang sudah ditentukan. "Bu, ini apalagi yang perlu ditambahkan?" Kakiku bergerak ke sumber suara, wanita muda itu ragu-ragu menata makanan di piring. "Ganish yang kau tempatkan sudah sesuai, hanya saja masakan lebih padat lebih baik di atas dengan bahan basah di dasar piring. Dan untuk tambahannya, lebih baik berjumlah ganjil."

"Baik, Bu. Siap, terima kasih." Aku mengangguk, masih memakai sarung tangan plastik, memperhatikan pekerja agar memasak dengan benar, aku melirik jam. Waktu makan siang hampir datang, salah satu pekerja kembali mendekatiku. "Bu, untuk makanan penutup dengan resep yang ibu miliki itu apakah ada yang perlu ditambahkan lagi?" 

"Tidak perlu, itu baru saja diperbarui."

Aku menarik napas panjang, senang menyeruak dada. Semuanya berjalan sempurna, aku menilik setiap pirik yang akan disajikan, lantas menepuk tanganku. "Kerja bagus semuanya." Pekerja tertawa kecil, makanan disajikan. Masih ada waktu hingga sore ini untuk makanan selanjutnya.

.

.

.

"Mama!"

Aku terenyuh, membuka kedua tanganku lebar-lebar pada putriku. "Aziza..." gumamku lembut, aku kembali mendekapnya erat mencium pipinya yang gembul. "Hari ini kau main dengan adik?" Aziza, gadis 3 tahun itu tertawa lepas, mengangguk dengan seringai lebar.

"Tapi Lina sudah bobo. Tadi tidul dijagain Bibi."

"Benarkah?"

"Hum!"

Aku tersenyum manis, membelai rambut putriku yang cantik. Di tahun ini aku pun melahirkan putri keduaku, Rina. Separuh hari kugunakan untuk merawat anak-anak, sedang separuh hari lagi bekerja sebagai juru masak. Tanpa kusadari aku sudah meniti karir hingga tingkat ini. "Mama bahagia."

Aziza menengadah, dia terduduk di pangkuanku menatap penasaran. Matanya berbinar-binar, cerah. "Mama bahagia kalena Aziza?" tanya gadis itu polos. Aku mencubit hidungnya gemas, terkekeh lembut, aku mengecup dahi Aziza. "Benar, Mama bahagia. Ada Aziza, Rina, dan Papa. Mama sungguh bahagia."

Kedua sudut bibir Aziza tertarik lebar, kembali mendekapku kuat-kuat. Bergelantungan di leher, dari arah pintu Adzam pulang. Wajahnya sama-sama cerah, sepertiku dia melebarkan tangan menyambar putrinya yang berlarian.

"Hahaha, Papa pulang."

"Selamat datang..."

.

.

.

12 Januari 1989, Bandung

Aku terhenyak mencengkeram perutku. Rasanya sakit sekali, sudah hampir menginjak 9 bulan aku mengandung bayi kami yang ketiga. Adzam terbangun, menggenggam tanganku, wajah bantal terlihat jelas dengan sorotnya yang gusar. "Ada apa? Kau sakit lagi?"

Keringat dingin mengguyur tubuh, aku mengangguk lemas. Adzam dengan cekatan bergerak membantuku bangkit. Setelah beberapa bulan lalu aku dinyatakan keracunan makanan, kandunganku kali ini sering bermasalah, aku pun sakit-sakitan dan berhenti bekerja

"Sayang, bertahanlah!"

Aku meremas sprei, rambutku basah keringat, mungkin ini bukan sakit biasa. Akan tetapi juga menjelang proses persalinan. Beberapa menit merasakan nyeri, Adzan datang, penampilannya kacau, dia membawa seorang bidan. Persalinan dilakukan, Adzam di sisiku, menggenggam tanganku, mencium keningku lagi.

"Sayang... Kau bisa..." Suaranya gemetaran, aku kembali mengeden, mengeluarkan bayi ketiga kami. Ya Allah... Aku berharap bayi ini selamat.

"Arghh!"

Napasku tercekat, kemudian memburu, bidan memberikan instruksi. Aku kembali melakukan persalinan, tubuhku terasa remuk, tulangku dipatahkan satu persatu. Air mataku luruh, tubuhku sudah sangat lemah. Hingga akhirnya kembali melakukan proses bersalin, aku tak sadarkan diri.

Bersambung....

20 Mei 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top