1. Masa Kanak-kanak

"Selagi bisa, kenapa tidak bukan? Berbuat baik tidak perlu berpikir harta akan semakin kurang, Allah pasti akan memberikan balasannya sendiri."

-Ibu 

____________________________


9 Maret 1969, Bandung

Mentari naik ke permukaan, udara segar berhembus sejuk membasuh wajah, ada kepulan asap ketika bicara, di daerah pegunungan itu bukanlah hal yang asing lagi, temperatur masih dingin. Ibu-ibu sudah sibuk memasak di dapur, sedang anak-anak baru terbangun mengucek mata, hari libur memang disukai semua orang, terlebih anak-anak bisa bermain sepuasnya.

Suara bel dari sepeda terdengar, kendaraan belum umum hingga kebanyakan orang masih memakai sepeda ontel untuk bepergian, sedang yang lain berjalan kaki. Bapak-bapak pergi ke sawah atau nongkrong di warung kopi, mulai beraktivitas. 

"Bapak sudah pergi?"

Aku sudah terbangun sejak subuh membantu Ibu memasak. Beliau tersenyum lembut lantas mengangguk, kemudian menunjuk kursi agar saudaraku yang lain bersiap sarapan. "Lis, sedang apa kau? Mari sarapan bersama," panggil Husein-- Kakak pertama, menunjuk satu kursi. Ibu mendorong punggungku, aku terkekeh ikut bergabung membawa satu bakul nasi dan beberapa lauk.

"Ibu, Lilis masih 8 tahun. Janganlah diajak masak terus."

"Lilis seorang gadis, itu bukan hal yang buruk."

"Itu memang benar.. tapi-"

"Yeay! Mari makan bersama!' 

Aku merentangkan tangan membantu adikku naik ke atas kursi, adik ketiga melompat ke dengan mulut berliur, lapar sekali sepertinya. Kita bertiga terkekeh, ibu dan kakak pertama berhenti berdebat, lantas aku menyentuh lengan baju Kakak menggeleng kecil. "Lilis tidak apa-apa, Kak. Tak perlu risau... Lilis suka kok." Kakak mengacak rambutku, sorot matanya masih ragu tapi dia tetap tersenyum. "Ayo, makan bersama."

Ada 6 orang di meja makan. Ada Aku, Ibu, Kakak, dan tiga adikku. Di meja sudah tersedia makanan yang menggoda selera, tempe goreng, kangkung dan nasi hangat. Kami berdoa bersama-sama lantas mulai menyantap makanan, bapak seorang petani, beliau sudah pergi pagi-pagi sekali. "Jangan lupa bawa rantang nanti buat Bapak dan pekerja ya, Nak." 

Aku mengangguk, tiga adikku yang lain sudah lebih dulu melahap sarapan. Di tengah sarapan suara ketukan pintu kayu terdengar, kepalaku menengadah. Melirik Ibu yang berdiri, membuka pintu. Salah satu tetangga lagi-lagi datang. "Kenapa sih dia datang terus?" cibir Rita-- adik perempuan keduaku. Aku mengusap pundak Rita, "Kita kan harus bantu orang, Dek. Lagipula sekarang orang-orang sini semakin sulit, sudah mulai kemarau."

"Masalahnya, Teh. Orang-orang itu datang hampir setiap minggu. Minta beras atau uang lah...," sahut Hasan-- adikku yang lain. Itu benar, walau keluarga kami petani, kami petani yang berhasil, tanah luas dengan sawah melimpah. Terlebih hasil panen sukses, hidup kami nyaman sekali dibanding orang lain yang sulit sekali hanya makan sesuap nasi, yang ada mereka makan umbi-umbian atau singkong. 

"Huftt, tapi kata Teteh bener kok! Kita harus membantu orang-orang. Ibu juga mengatakan hal yang sama." Kakak yang sedari tadi sibuk makan terkekeh mendengar jawaban Sinta-- adik bungsu kami. Aku menegakkan posisiku, tersenyum hangat, mendekap tubuh Sinta. "Apa sih, Teh?"

Aku cekikikan kembali menggeleng, hidup nyaman ini sungguh membahagiakan. Dari ekor mata aku memperhatikan Ibu yang memanggil Kakak. Memintanya membawakan se-keresek beras, kerutan di wajah wanita itu terpampang jelas, kedua sudut bibir yang terangkat membawakan kesejukan jiwa, suaranya lembut tersirat kasih yang mendalam. Tetangga yang mendapatkan bantuan menunduk berkali-kali sebelum pergi.

Ibu kembali ke meja makan. Mengusap kepala anak-anaknya. "Kita keluarga berpunya, jika ada yang membutuhkan kita harus membantu. Selagi bisa, kenapa tidak bukan? Berbuat baik tidak perlu berpikir harta akan semakin kurang, Allah pasti akan memberikan balasannya sendiri." Kami mengangguk takdim, nadanya tidak menuntut atau menggurui, dipenuhi kasih sayang dan cinta. 

Mataku tidak beralih sedikit pun, aku tidak akan pernah melupakan ini. Jika sudah besar aku ingin menjadi seperti beliau. Ibu selalu menjadi panutanku. Aku tidak pernah membayangkan akan menghadapi pahitnya kehidupan dengan semua kabahagiaan yang kumiliki saat ini.

.

.

.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Aku bersama Sinta dan Rita menghampiri Bapak yang tengah beristirahat di saung, matahari mulai meninggi, beberapa rekan bapak mendekat membuka rantang makanan yang kami bawakan. Berbeda dengan Ibu, Bapak adalah pribadi yang dingin juga tegas, beliau sangat pendiam, bahkan aku tak pernah berani menatap wajahnya. "Lilis."

Aku menegak ludah, kerudung yang kukenakan bergerak sedikit, bapak menepuk kepalaku, "Kerja bagus," katanya. Samar senyum tampak sebelum kualihkan pandanganku, teman-teman bapak juga memuji, aku malu. "Te- terima kasih, Pak," gumamku gugup.

Suara kekehan pekerja terdengar jelas, saung yang hanya bisa diisi 4-5 orang terasa hangat, cangkul tergeletak di tanah juga sepatu bot kotor. Menjadi petani adalah pilihan bapak, kata Ibu bapak ingin membantu banyak orang dengan menjadi petani, seperti yang ibu lakukan. Pada masa itu menjadi PNS adalah hal mudah, akan tetapi bapak memilih pekerjaan ini setelah lulus SMP dan menikah dengan Ibu.

"Teteh!" Aku mengulum bibir, melambaikan tangan pada Rita dan Sinta yang berlarian di tengah sawah. Aku melambaikan tangan. "Ayo, kembali. Ibu bilang jangan lama-lama." Keduanya mengangguk, kami kembali pergi membawa rantang kosong menuju rumah. Bapak mengangguk sebagai perpisahan, seperti biasa tidak banyak bicara.

"Wush~" Sinta membentangkan tangan berjalan seperti kapal terbang, juga Rita bersenandung riang. Angin berhembus menyapu wajah kami, udara segar, pepohonan rimbun juga hamparan sawah berkilauan indah, menunjukkan kehidupan. Sekali lagi aku menutup mulut, terkekeh melihat dua adikku bermain, di tengah jalan aku bertemu teman-teman.

"Lis! Ayo, main!" Aku mengedipkan mata, pupil mataku melebar melihat teman-teman sekolah sedang bermain lompat tali-- terbuat dari untaian karet. Namun, sedetik kemudian aku berpaling. Ibu tidak akan mengijinkan aku bermain. "Maaf, aku harus segera pulang. Ibu menunggu rantang ini kembali." Seruan terdengar, aku memaksakan tersenyum menarik adik-adikku tidak pergi jauh-jauh.

"Padahal Teteh main saja. Nanti Rita yang bilang ke Ibu," ujar Rita. Adikku yang satu ini sungguh tak tahu yang namanya takut, hanya dia yang berani menolak perintah ibu atau bapak. "Ibu bilang kita tak boleh bermain, lagipula kan siang ini kita akan menyulam bersama." Rita berdecih, itu kegiatan libur kami, ibu tidak mengijinkan bermain, tapi diganti belajar bersama.

 Sedangkan Sinta sudah di depan kami, melompat-lompat riang, umurnya masih 5 tahun jadi tidak terlalu mengerti. "Ibu juga katanya sudah menyiapkan cemilan! Ayo kita segera pergi!" ajaknya berlari pergi.

"Hati-hati, nanti kau jatuh!" 

.

.

.

"Hiks, huhuhu."

Rita mendelik, menyentil dahi Sinta yang menangis kencang ketika ibu mengobati lututnya yang terluka, Sinta terjatuh saat perjalanan. "Padahal Teh Lilis sudah mengingatkan. Kau bandel sih." Tangisnya semakin meledak, aku melambaikan tangan cepat. 

"Tak masalah. Teteh tak marah. Tapi Sinta diam ya, kan Ibu sedang mengobati Sinta." Aku mengusap kepala Sinta, memeluknya agar dia merasa aman, memberikan kode agar Rita berhenti menjahili adiknya.

"Sudah selesai~" 

Ibu mengecup luka di lutut Sinta, membalutnya dengan plester. Gadis itu berhenti menangis, kemudian berada di pelukan Ibu. Rita menghela napas, mengangkat bahu bosan, setelahnya kami kembali menyulam seperti kegiatan mingguan, aku dan Rita melirik jendela di mana suara tawa anak-anak lain terdengar, bermain riang. Irinya.

"Selanjutnya, kita harus menusukkan jarum ke arah miring dari kiri atas ke kanan bawah kemudian masukkan lagi jarum dari kiri bawah ke kanan atas. Sehingga membentuk pola menyilang-"

Ibu berhenti menjelaskan, menatap anak-anaknya yang tidak fokus. "Anak-anak, kalian tahu kan?" Kami tersentak tatkala ibu menepuk bahu kami, kepalanya bertopang di pundak kami ikut menatap keluar.  Intonasinya masih lembut walau kata-kata yang digunakan tegas. "Bermain tak ada manfaatnya." 

Bersambung... 

10 Mei 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top