8. Berusaha biasa
Usai tugas-tugasku diserahkan ke dosen, aku bergegas menyusul Sasa yang sudah duluan keluar dari Kampus untuk nyari tempat duduk di Kafe Teras. Sebuah kafe khas anak remaja yang letaknya di luar kampus. Tadi aku mampir terlebih dahulu ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. Biasanya aku malas meminjam buku, namun kemarin aku terpaksa meminjam agar bisa mengerjakan tugas di rumah.
Gara-gara kejadian hari ini aku menjadi lupa menggunakan waktu istirahat siangku untuk ke perpustakaan mengembalikan buku. Aku tidak mau membawa pulang buku itu lagi, lumayan memberatkan di tasku.
Di jam sore yang ramai musim akhir semester, meja pasti akan sulit yang kosong, sehingga Sasa tidak sabar ingin cepat sampai ke sana takut kehabisan tempat. Cewek itu sudah lapar berat dan menu makanan yang ingin dimakannya hanya ada di sana. Ayam geprek level 6 yang lebih pedas dari di kantin kampus. Selain menemani Sasa makan, kami juga ingin membahas tugas paper yang terdiri dari dua anggota, rekanku dalam bertugas adalah Sasa.
Aku celingukan masuk ke dalam Kafe Teras itu, sebuah tempat makan yang di dalamnya terdapat banyak warung berbagai pilihan dan area tempat makannya yang besar membuat banyak mahasiswa lebih lama ingin di tempat itu sekadar duduk-duduk atau ngerjain tugas.
Pandanganku menyapu ke seantero area tempat makan itu, aku mematung saat tatapanku tertuju pada sosok yang mengangkat tangannya tingg-tinggi. Cowok tampan dengan bertubuh tegap itu tersenyum cemerlang seraya masih melambaikan tangannya padaku. Rifando sedang duduk bersama seorang perempuan berambut panjang, ketika orang itu menoleh aku langsung tahu itu adalah Nilla.
Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan sekilas, hanya untuk membuatnya senang dan tak curiga lagi. Rifando memberikan kode dengan tangannya agar aku pergi ke mejanya. Aku menggeleng pelan seraya mengucapkan kata, "Enggak."
Entah cowok itu langsung paham atau tidak, aku segera berjalan saat menemukan Sasa duduk di meja yang cukup jauh dari pintu masuk. Untungnya tempat duduk Sasa cukup jauh dari Rifando, dan aku tidak perlu melewati meja pemuda itu.
"Hey, gila banget ada mereka di sini sih," ucapku seraya duduk di depan Sasa. Aku membelakangi meja mereka agar aku tak menyaksikan adegan apa pun.
"Inget pesanku, harus jadi cewek yang kuat. Kamu harus tunjukin perasaan selalu bahagia biar nggak dicurigain, karena kebahagiaanmu itu pertanda kebebasan. Hindarin dia dengan gaya biasa aja, anggap kayak teman yang cuma sekadar tahu namanya aja. Kamu harus perlu biasa aja, Ndah. Lama-lama kamu pasti bisa melupakan." Sasa mulai memberikan ceramahnya.
Aku jadi terkekeh pelan. Aku keluarkan buku dari dalam tas beserta beberapa lembar kertas portofolio. "Udah ngomong kayak gitu, jangan cuma makan doang ya? Habis ini kita kerjain tugasnya bareng-bareng. Awas aja aku yang ngerjain tapi nanti kamu bawa pulang buat disalin."
"Ah, tau aja ketebak banget ya? Walau aku nggak langsung menulis di portofolio, kan itu buah pikiran aku juga yang kamu tulis."
"Tapi kamu enak tinggal nyalin. Aku yang tulis pertama kali, aku mikir sambil nulis. Aku nyalin lagi ke paperku, dan kamu tinggal nyalin doang," jawabku lalu menjulurkan lidah.
"Kan aku bantuin kamu mikir, kalo aku nulis juga nanti yang ada ide kita bentrok. Karena kita multitasking, jadi pikiran kita tuh terbatas, Ndah. Beda kalo aku cuma ngasih ide dan pendapat, penuh imajinasi."
"Hmmmm, oke," aku menjawab dengan nada pasrah. "Alasan aja!"
Sasa tertawa keras lalu bangkit dari duduknya. "Kamu mau pesen apa? Aku nunggu kamu soalnya nanti nggak enak udah makan duluan, pas kamu sampe udah abis terus aku laper lagi."
Aku mendecak sebal. "Gila karung banget perutmu. Tapi enggak pernah gendut. Hmmm, aku mau es aja deh. Aku mau es jeruk ya? Buruan balik ya Sa, aku mau ke toilet nih."
"Iyeeeeee!"
Setelah Sasa kembali ke meja kami, aku yang bergantian pergi untuk ke toilet kafe itu. Di sana hanya ada beberapa buah pintu, hanya berupa dua buah ruang kamar kecil. Yang penting aku bisa buang air karena kebelet. Usai buang air aku melangkah keluar dari area toilet itu, aku nyaris menabrak tubuh orang di balik tembok itu.
Aku mendadak jadi gugup saat orang yang sedang berdiri di dekat tembok itu adalah Rifando. "Hei?" Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapinya kecuali menyapanya.
"Hei juga, lagi makan sama Sasa?"
Aku mengangguk sambil memperhatikan Rifando yang memandangiku penasaran seperti itu. "Iya, ada tugas dan Sasa milih di sini dia pengen makan ayam geprek."
"Kamu makan apa?"
"Engga makan apa-apa, masih kenyang."
Rifando sepertinya sedang bingung dengan kedua alisnya bertautan seperti itu. "Emang udah makan apa? Tadi siang nggak mau makan sama aku."
"Tadi udah makan roti kok. Eh, udah ya aku buru-buru mau ngerjain tugasnya. Ini udah sore banget." Aku pamitan ingin cepat pergi darinya tapi Rifando masih mau bicara denganku.
"Kamu kenapa jadi susah makan? Tumbenan. Kamu mau makan apa?"
Aku menggeleng. "Aku nggak mau makan kok."
"Nanti sakit kalo nggak makan, apalagi kamu lagi sibuk-sibuknya," tutur Rifando menatapku teduh.
"Aku masih kenyang, kamu juga makan yang banyak ya, jangan sampe sakit." Lah sial, aku yang mengingatkan tapi jadi aku yang terbawa perasaan.
"Hmmm." Suara Rifando terdengar hanya seperti itu jawabannya.
"Aku balik ya, mau buru-buru ngerjain paper." Aku mempercepat langkah kaki menuju meja di mana Sasa sudah makan ayam gepreknya, dan di meja ada minuman pesananku. Aku menyeruput minuman itu untuk melegakan membanjiri tenggorokan keringku.
"Pedes banget sih gila," keluh Sasa saat di tengah-tengah makan sedangkan aku lagi melihat soal-soal tugas paper itu.
"Udah tau level di atas batas wajar, ya pedes gila?" celetukku komentar atas pilihan Sasa.
"Ya, enak tapi menyiksa. Kalo level 5 kagak nampol."
"Awas loh sakit perut!" seruku.
"Kamu juga tiati kena Maagh, sekarang susah banget disuruh makan."
Aku diam sesaat lalu mendecih. "Nggak napsu makan."
💖💖💖
Suara pintu kamarku diketuk keras dari luar. Aku yang sedang merebahkan diri sambil melihat langit kamar menjadi cepat ingin membuka pintunya. Di depan kamarku sudah ada Kelvin berdiri sambil memegang ponselnya.
"Hey, turun yuk makan dulu. Ada makanan gede tuh!" seru Kelvin mengendikkan kepala ke bawah.
"Makanan gede tuh kayak apa?" Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Kelvin.
Kelvin sedang mengerutkan kening. "Nasi, kamu kan belom makan dari di kampus tadi ya kan?"
Aku mendecak. "Emang ada apa? Bunda masak sesuatu?" Karena Bunda pulang kerjanya sore, hanya masak saat sore kalau tidak capek banget. Itu untuk makanan malam kami. Bunda bukan tipe orang yang rajin masak juga. Bunda masak di pagi hari hanya saat libur kerja.
"Bunda nggak masak, tapi order online tuh beli Ayam Bakar Jogja. Ayo turun!" Ajak Kelvin sambil melotot penuh ancaman. Sudah beberapa kali aku menolak ajakan saat disuruh makan olehnya.
Aku melangkahkan kaki terseok-seok menuruni tangga. Di meja ruang dapur aku mengambil satu buah box kardus lalu segera pergi memutuskan untuk makan di lantai atas. Di ruang TV sudah terlalu ramai oleh Rafel dan Bunda. Dan juga ada Achel dan Encis yang mengamati para manusia sedang makan, berharap ada jatah yang bisa diberikan.
"Andah udah ngambil?" Suara Bunda terdengar saat aku lewat tangga.
"Udah Bun, makasih ya."
"Dimakan ya, makan yang banyak dan nambah pake nasi rumah aja kalo kurang."
"Udah malem Bun, nanti pas tidur engap kalo kekenyangan."
"Oh ya udah, yang penting makan ya?"
"Tumben Kak Andah enggak doyan makan," cetus suara Rafel tiba-tiba.
"Lagi pusing tau jadi enggak napsu makan," jawabku seadanya saja.
"Mending begini ya Bun, di rumah jadi irit beras." Lalu Rafel terkekeh bersama Bunda. Aku jadi menahan cengiran di bibir.
Di saat rasanya aku sedang merasakan kehidupan berubah agak berhenti berputar saking sedihnya, kehidupan orang lain tetap berjalan seperti biasa. Mereka bahagia.
Di ruang TV lantai atas, aku mulai berusaha untuk menikmati makanan itu. Saat sedang asyik makan Kelvin muncul sambil membawa kardus ayam bakar miliknya, dan satu potongan pizza dengan balutan tissue di atas kardus ayamnya. Cowok berkaus putih polos dan celana kolor selutut itu berjalan menuju karpet tempatku duduk.
"Wah, mau ngikutin tren anak spesial makan pizza pake nasi?" ledekku sambil menatapnya ngeri.
Kelvin duduk di sebelahku lalu memberikan pizza dengan tisu itu padaku. "Enak aja, barusan Pizza dateng kata Bunda ambilin buat Andah dulu."
"Buset dah banyak amat pesenannya?" Aku menganga takjub. "Nanti aku juga bisa ngambil sendiri."
"Tau tuh Bunda, jangan sok susah makan. Dulu abis makan nasi juga makan lagi yang lain. Eh, mau nanya dong. Fando beneran tadi siang nonjok Yudha?"
Aku yang lagi mengunyah potongan ayam berusaha tetap tenang tidak buru-buru menelan hanya untuk menjawab pertanyaan Kelvin. Setelah aku bisa menelan kunyahan makanan itu baru bisa menjawab. "Iya, di warung bubur Pelangi di depan kampus. Kamu tau dari siapa?"
"Fando bilang sama aku, dia emosi karena kamu ditolak sama Yudha atau kenapa?"
"Fando nggak bilang alasannya?"
Kelvin berpikir sesaat. "Bilang sih, dia nggak terima kamu patah hati sama Yudha sampe begini."
Aku mengangguk. "Dia marah, ngira Yudha mainin aku. Padahal aku udah biasa aja sama Yudha."
"Oh, serem juga Fando berani nonjok Yudha. Cie, dibelain Fando?"
Aku segera mendelik sinis ingin menyocol bibir Kelvin dengan sisa sambel ayam bakar ini. Abangku itu masih tertawa ngeledek menggoda.
"Udah mulai biasa aja nggak semarah pas awal mereka jadian?" tanya Kelvin memandangiku.
Aku termenung sesaat langsung teringat saat itu, aku benar-benar menghindari Rifando. Bagai manusia yang sangat anti melihat manusia lainnya. Seperti manusia yang sangat takut tertular penyakit.
"Ya, yang perlu aku lakuin kan harusnya menerima. Dengan menerima, aku bisa ikhlas dan terbiasa. Untuk menerima aku harus bisa bersikap biasa aja. Melepas dan menerima kenyataan."
"Oh, bagus itu biar enggak jadi aneh dan bikin Fando bingung. Dia nanyain kamu mulu, tiap hari kali nanyain. Kamu nggak pernah bales jadi nanyainnya lewat aku. Aku ngomel dia baru ngilang lagi."
"Tapi aku nggak bakal kayak dulu yang bisa lengket banget. Kalo dia nanya, jawab seadanya aja, jangan ditambahin drama," tukasku sinis.
"Kasian dia tau, jangan takut Ndah, buat bilang ke dia. Biar dia tau dan memahami alasan kamu jadi berubah. Emang nggak bikin dia bingung, saat kamu berubah drastis begini?"
"Aku takut ini juga bisa ngefek ke hubungan Abang sama Fando. Kalo dia juga jadi jauhin Abang gimana karena aku?"
Kelvin terdiam dengan mata menatap lurus ke isi kardusnya. Aku juga kembali fokus makan ayam yang sangat nikmat berada di dekat-dekat tulang. Aku menggigit tulang lunak tidak mau melewatkan daging sisa begitu saja.
"Udah jangan pikirin aku, yang penting kamu nggak sakit hati terus-terusan. Bilang sejujurnya ke dia tentang perasaan kamu. Ya aku tau sih, kamu juga sulit menentukan harus gimana, karena takut bikin suasana hubungan kalian makin asing. Tapi, kalian juga harus menyelesaikan masalah ini. Mulai belajar jujur sama orang lain, terbuka apa yang mengganjal di antara kalian, dan tanggung jawab sama sikapmu yang bikin bingung itu. Kasian Fando, dia nggak ngerti kamu kenapa."
Aku tidak menyangka sekarang Kelvin yang berusaha membantuku menyelesaikan masalah dengan Rifando. Aku jelas berbeda dengan Kelvin yang bisa bicara langsung untuk menyelesaikan masalah dengan orang, seperti yang dulu pernah terjadi. Ini aku kan Andah, yang punya kisah cinta cuma satu dan menyakitkan.
"Masa dia nggak peka sih kenapa aku berubah? Jelas banget aku berubah sejak pedekate sama cewek itu."
"Kamu udah berapa kali ada di kehidupan cintanya? Memang sewaktu dia masih sama Mala, selama kamu sering diam-diam cemburu dia itu peka?"
Aku jadi menarik napas. Ini bukan kali pertama aku melihat Rifando pacaran. "Bang, mungkin nggak sih dia punya perasaan sedikit aja sama aku?" tanyaku sangat tahu itu pertanyaan yang jawabannya sangat buram alias tidak pasti.
Kelvin diam saja hanya memandangiku sambil tangannya memegang ayam. Dia yang sedang berpikir seperti itu sampai lupa dengan ayamnya membuatku menjadi tertegun lalu sesak napas.
Sedih.
Kelvin saja diam lama tidak mampu menjawab, dia sangat takut jawaban itu akan melukai hatiku kan? Orang terdekatnya saja tidak ada pemikiran bahwa Rifando menyukaiku.
"Nggak usah dijawab Bang, kalo jawabannya 'Iya' kan enggak perlu mikir lama. Aku tau kok aku nggak bakal bisa disukain apalagi dicintai sama Fando."
"Andah, banyak yang lebih baik. Cowok yang bisa mencintai kamu." Suara pria itu menjadi serius dan dalam. Beda sama Kelvin yang biasanya sengkek.
"Maksudnya nunggu aku dipilih? Memangnya perempuan nggak boleh milih sendiri? Nggak boleh sayang dan ngejar duluan?" tanyaku sinis.
Kelvin menggeleng. "Bukan gitu maksudnya. Kamu akan menemukan orang yang kamu cintai, dan dia juga mencintai kamu. Belum sekarang. Hati kamu hanya lagi dibentuk, bukan dihancurkan, lalu dibiarkan begitu aja. Setelah ada yang hancurin hati kamu itu, hanya kamu yang bisa membentuk hati itu lagi. Moving forward."
Aku jadi merenungi ucapan Kelvin, mungkin benar, bahwa setiap hati manusia yang patah dan hancur. Hati mereka memang sedang dibentuk kembali. Mungkin juga dengan aku.
"Hmm."
"Dateng ke seminar proposal dia ya?" Ajak Kelvin.
Aku hanya menggumam malas-malasan, untungnya ada Achel dan Encis yang menyelinap di antara kami membuat obrolan menjadi teralihkan. Kedua kucing lucu itu mulai manja-manja menggeliat di paha Kelvin.
Setelah makan selesai, aku segera mencari ponsel untuk mengirim pesan ke seseorang.
Yudha, jadwal sidang Seminar kamu kapan?
💖💖💖
25 JAN 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top