5. Silent treatment

“Masih hidup kamu?” Suara cempreng Sasa membangunkanku dari tidur singkat.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Saat berhasil membuka mata yang terasa berat sekali, wajah cantik dengan kening berkerut muncul di hadapanku. Aku baru saja tertidur sebentar dengan bertopang dagu di meja kantin kampus. Aku mengerang cukup keras.

“Kenapa dah?” tanya Sasa heran.

“Tau deh, masih bete.” 

“Ah!!” Sasa seperti teringat sesuatu. “Bete karena tugas Sosiologi Hukum itu, yang bisa dikerjain berdua sama aku, tapi gara-gara pembagiannya dari dosen jadi dikerjain sendiri ya?” Ternyata Sasa ingat topik terhangat penyebab rasa beteku. Di kalangan anak-anak kelasku juga sepertinya mereka semangat sekali membahas tugas itu.

“Nggak usah se-depresi gitu. Tenang aja!” tambahnya lagi bahkan aku belum mengatakan apa pun.

Kemarin aku membahas pembagian kelompok tugas tersebut dengan Sasa dan hari ini pembagian kelompok di kelas kami. Dia semringah sekali karena mendapat partner tugas yang asyik.

Aku tidak mendapatkan partner dalam pengerjaan tugas itu. Mahasiswa di kelas berjumlah genap 40. Tapi salah satu di antaranya ada yang sudah mengajukan diri untuk mengerjakan tugas itu sendirian. Aku terancam harus mengerjakan tugas itu sendirian. SENDIRIAN. Walau aku sebenarnya suka bekerja sendirian, tapi untuk tugas sesusah ini lebih seru memiliki teman partner.

“Kamu kan punya partner, Sa. Apalagi partner-mu si Rangga, kelar deh semuanya,” sahutku bete.

“Yiha!” Sasa memekik riang dengan centilnya.
Rangga adalah teman sekelas kami yang lumayan pintar, rajin, baik dan ramah. Dia pintar, baik, dan senang bekerja sendirian tapi tidak pernah dendam. Sering mengerjakan tugas kelompok sendirian dengan suka cita.

Andai semua makhluk di kelas itu seperti Rangga. Maka aku tidak akan merasa se-khawatir ini. Andai, aku juga seperti Rangga yang seru menikmati kegiatannya, dan ikhlas dalam mengerjakan tugas.

“Emang sesusah itu ya?” celetuk Sasa dengan polosnya.
Ucapannya barusan membuat mataku menatap tajam ke arahnya, Sasa nyengir kaku.

“Nggak susah sih, cuma itu tugas nggak bisa dikerjain dalam waktu semalam. Kecuali kamu dibantu sama Jin-nya Sangkuriang,” jawabku lalu menyeruput air jeruk hangat.

Tugas itu memiliki waktu deadline yang pendek, tidak ada presentasi tetapi sudah harus dikumpulkan sebelum UAS.

“Kamu kan pinter, jika dibanding sama aku juga pinteran kamu. Tenang aja ada aku yang menyemangati kamu.  Kalo ada apa-apa cerita aja, meski aku nggak bisa bantu juga sih,” ucap Sasa berusaha menghiburku.

“Halah, tugas itu enggak selalu butuh kepintaran, tapi relasi. Kalo relasimu oke, tugas lancar,” cibirku membuat Sasa menganga.

“Penyakit nih anak, biar pintar kayak apa. Kamu kan juga kadang malas banget.” Sasa menoyor kepalaku karena gemas.

Aku mendelik sebal. “Aku nggak pintar tapi ya lagi aku
disamain sama kamu. Dibanding sama kamu, ya jelas pinteran aku,” cerocosku bete.

Sasa adalah sahabatku yang cantik banget, setia, licik, dan juga kadang bodoh banget dalam akademik. Liciknya kadang kalau sedang mood, dia selalu memanfaatkan kecantikannya untuk bisa mendapatkan apa pun yang dia inginkan. Cowok-cowok juga pada antre ingin satu kelompok dengannya. Sedangkan aku? Aku cuma seringnya dimanfaatin oleh cowok-cowok pemalas. Tapi sebenarnya Sasa tak suka kalau hanya dipepet karena dirinya cantik saja. Sudah cantik, baik hati pula, dan emosinya cerdas banget. Walau akademiknya kurang, ada hal kecerdasan Sasa yang lainnya.

“Kamu pasti bisa, inget kan di angkatan kita sewaktu kelas 10 pelajaran Geografi. Cuma kamu yang dapat nilai 8. Geografi itu mapel paling misterius. IPA dan IPS jadi satu.”

Aku tahu Sasa sedang berusaha untuk menyemangati diriku, tapi itu sangat tidak membantuku, soalnya jika aku teringat nilai 8 yang terukir indah di rapot aku jadi berpikir ‘selama ujian gue menyilang jawaban apa saja sih?’.

"Kita lagi bahas Matkul Sosiologi Hukum, ilmunya nggak bisa aku cerna." Aku mendesah menanggapi Sasa. Beginilah keluhan mahasiswa yang mulai merasa dirinya salah jurusan karena pengen coba-coba saja waktu daftar.

“Aku juga heran kenapa kamu masuk Hukum, kenapa enggak Akuntansi atau Ekonomi yang udah kamu pelajarin dan terbiasa sejak dulu. Soalnya kalo masuk jurusan Geo nggak bakal bisa dari IPS tuh,” tambah Sasa tanpa sadar aku ikut mengangguk.

“Kayaknya IPS masih lebih baik deh, dari hasil test IQ aku pas SMP malah dapetnya Bahasa. Kalo ada jurusan bahasa, jelas aku bisanya masuk ke sana,” aku nyengir lebar.

Rahang Sasa melorot. “Seriously? Kok aku enggak pernah tau ya? Wah, kamu emang luar biasa untuk berbakat dalam ngarangnya!”

"Berbakat ngarang!" Aku mengangkat kedua bahu. “Soalnya, aku udah malas isi soal Matematika-nya,”

“Oke lupakan soal test IQ tadi, pokoknya kamu harus fokus kali ini. Bu Dona bilang ini merupakan latihan untuk kita menghadapi semester selanjutnya, semangat Ndah! Kalo butuh bantuan bilang sama aku, nanti aku tanya ke Rangga.”

Aku baru ingin membuka mulut, saat sosok cowok bertubuh jangkung lewat di hadapan kami dengan langkah besar sedang buru-buru. Sasa jadi mengatakan hal yang lain. Aku sudah ketakutan saat itu cowok kelihatan batang hidungnya di kantin, tapi aku lega ketika Rifando berjalan ke pintu dan sudah keluar.

“Ndah, ngapain Rifando keluyuran di FH?”

Aku mengangkat bahu. “Kalo nggak salah sodaranya Nilla ada yang anak FH.”

“Masa?”

“Iya.”

“Jangan-jangan lagi caper sama kamu? Curi-curi pandang dan perhatian? Ish, kayak mau kenalan aja gemes deh!”

“Ehhh? Ngaco aja. Maksudmu siapa ya?” Aku tergagap lalu menyedot gelas yang sudah tandas menyisakan riak jeruk menimbulkan suara gaduh dari dasar gelas, kelakuanku lagi-lagi membuat Sasa menggelengkan kepala malu.

“Yaaaa, Rifando lah!”

“Dia udah enggak butuh aku kok,” kataku kecut.

“Tidak ada kata mustahil kecuali kata mustahil itu sendiri. Buktiin kalo mustahil tuh hanya sekadar kata. Percaya sama cinta juga boleh kok, dikit aja tapi berharapnya ya?” Sasa terkekeh pelan.

“Ahh, ngaco loh. Tuh Rangga mau ke sini, pasti dia mau bahas tugas kalian. Aku ke perpus duluan deh ya, cari inspirasi hahahaa. Bye!” Aku berlari meninggalkan meja sambil tertawa geli di belakang Sasa berteriak lirih.

“Yah, temenin aku sebentar kek, Ndah!!!!”

Kekehanku terhenti. Cengiran lebar di mulutku berubah menjadi mulut separuh terbuka. Saat aku berhasil keluar dari kantin, dan belok ke kanan, tidak jauh dari posisiku ada Rifando. Aku merasa Rifando memiliki chip sensor saat ada yang menyebut namanya, dan dia merasa terpanggil tadi. Aku berdeham salah tingkah karena tenggorokan mendadak lengket. Jangan bilang dia bakalan mencegatku? Aku kira dia tidak peka bahwa aku sedang di kantin tadi.

Rifando sandaran di dinding sambil menatapku intens, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Tanpa mengindahkan kehadiran Rifando, aku berjalan begitu saja melewati Rifando.

Bulu kudukku langsung berdiri saat lewat di depan Rifando. Seharusnya aku menyapanya biasa saja, agar tidak menimbulkan salah paham. Namun aku tidak bisa bohong, aku malas melihat apalagi bicara dengannya.

“Andara!”

Aku seperti mendengar suara yang dalam dan serak memanggil namaku dengan lengkap sekali.
Apa hantu di kampus ini mulai berani menggoda diriku? Aku celingukan mengamati sekitar bahkan aku mendongakkan kepala mengamati atap.

“Aku yang manggil kamu di sini!” Suara itu terdengar lagi dengan nada ketus, dingin, dan tak sabaran. "Andara jadi sombong banget!"

Aku menganga tak percaya saat menyadari yang berkata tadi adalah Rifando. Cowok yang sedang memasang wajah datar lempeng itu. Iya aku tahu dia pasti bakalan memanggilku, namun tak biasanya dia manggil dengan nada serius. Kalau ekspresinya kusut begini, sepertinya perasaan cowok itu lagi tidak senang.

“Ehhh?” Aku gelagapan “Kenapa tumben ada di sini, Ndo? Manggil aku pake nama Andara, bikin kaget aja kirain dosen.”  Aku memberanikan diri memandang Rifando yang masih menatapku intens, penuh selidik. Kini kami sudah seperti orang asing karena dia memanggilku tadi dengan Andara, sedangkan aku memanggilnya Fando. Ya, keanehan kami bisa mengubah dunia secepat itu.

“Waktu itu aku teriak-teriak sampe suara serak manggil kamu Andah enggak nengok, jadi panggil aja Andara. Lagi sibuk banget? Sombong banget ngeliat aku melengos doang."

"Oh, iya sori deh. Aku emang lagi nggak fokus nih. Kenapa kenapa?"

"Matamu nggak mulai minus, kan? Cepet periksa takutnya nggak sadar udah minus taunya loh." Rifando menyuarakan pendapatnya yang membuatku hanya menganga kikuk dan ngangguk saja.

"Eh, kamu kenapa ke sini?"

"Ndah, jalan yuk. Mau beli bantal yang waktu itu kamu pengenin nggak?”

“Nggak usah, ngapain beli bantal? Ndo, kenapa deh aneh. Kamu ngigo atau mimpi apa semalam, muncul terus ngajak aku nyari bantal. Ngigo apa?” Aku menelan saliva lalu menggelengkan kepala. “Tapi aku buru-buru mau ada kelas nih. Maaf ya aku mau cabut,” kataku lalu secepatnya kabur dari pemuda itu.

Dalam perjalananku menuju perpustakaan aku melihat Yudha, saat pandangan kami saling melempar cowok itu hanya senyum sesaat lalu melangkahkan kakinya lagi menyusul teman-temannya.

"Yudha!" panggilku segera.

Eh, cowok itu tidak menoleh.

Aku mengepalkan tangan sembari menggertakan rahang sekuat mungkin, aku merasa malu banget untuk saat ini kalau bertemu dengan Yudha. Hatiku diremet rasanya jadi sesak. Gara-gara kelakuan agresifku, yang pastinya itu meragukan Yudha. Aku meyakinkan pria itu bahwa aku bisa berteman dengannya tanpa perasaan. Tapi aku mematahkan keyakinan itu dengan beraninya mencium pipi pria itu. Kejadian itu sudah dari beberapa hari lalu, tapi rasanya aku masih malu.

Dari sikap Yudha tadi yang menghindariku, mengapa membuat perasaanku menjadi tidak enak ya. Aku masih berdiri mematung di pinggir koridor memandangi Yudha bersama teman-temannya pergi menjauh dari gedung Fakultas Hukum.

“Ehm,” Sebuah suara mengembalikanku ke dunia nyata. “Katanya ada kelas, kok Sasa nggak ikut kamu?”

“Oh, Sasa masih bahas sesuatu sama Rangga,” jawabku cepat.

Di sebelahku Rifando berdiri sambil menatap ke arah tatapanku tadi. “Masih marah kan? Aku minta maaf, gimana caranya biar kamu maafin aku. Masih marah karena aku batalin buat jemput? Aku harus gimana biar kamu nggak marah lagi?”

“Aku udah nggak marah, udah lupa kok. Nggak usah minta maaf terus. Kenapa sih tiap ketemu kamu begini? Minta maaf terus—“

“Gimana aku nggak minta maaf. Sikap kamu melengos cuek begitu sama aku, jadi bikin aku ngerasa bersalah.”

“Udah, nggak usah minta maaf lagi. Aku lagi capek, cuma kebanyakan tugas aja.”

“Ya udah, tapi jangan marah lagi?”

Aku tidak menjawab kata-katanya dengan tatapan tertuju ke arah kelompok Yudha dan teman-temannya. Cowok itu sempat menoleh melihat ke arahku. Lalu saat aku membalas tatapannya dengan intens, pandangan Yudha sudah teralih ke arah lainnya. Perasaanku menjadi kacau diabaikan oleh Yudha. Sudah menjauh dari Rifando, karena sikapku membuat Yudha juga marah dan menghindar.

“Kenapa ngeliatin Yudha ekspresinya muram sedih begitu? Kalian keliatan aneh.” Suara Rifando menyadarkanku dari lamunan ini.

“Nggak apa-apa kok.”

💖💖💖

Lamunanku melayang teringat kembali saat Yudha bercerita di jalan pulang sore hari itu, saat kami habis pulang dari mal.

Mungkin alasan Yudha menjadi sedikit cuek padaku karena kejadian di mobil itu. Aku sudah mengatakan ingin berteman dengannya, seperti permintaan pemuda itu aku bisa datang hanya sebagai teman dan untuk berteman saja. Tapi aku melanggarnya dengan melewati batas pertemanan, ya aku tak sengaja melakukan itu padanya. Ditenangkan oleh Yudha saat kesedihan, kesepian, dan sedang galaunya membuatku menjadi merasakan kenyamanan yang tak pernah didapat dari orang lain.

Aku baru tahu patah hati se-menyakitkan itu sampai rasanya sangat nyaman ketika ditemani, ditenangkan, dan dihibur. Pantas saja setiap orang patah hati peralihannya ke hal macam-macam. Misalnya melampiaskan ke orang lain. Mencari orang lain. Manja sama orang lain. Pelampiasan namanya ya?

Yudha bercerita dia tak percaya cinta, dia sebenarnya lagi benci dengan perempuan dalam sebuah hubungan. Dia kehilangan Ibunya yang pergi dengan pria lain dulu saat masih kecil. Dia pernah berpacaran beberapa kali saat sekolah, bahkan awal masuk kuliah. Saat sebelum bertemu denganku. Tapi kisahnya tak berakhir mulus. Diputusin, ditinggal tanpa kabar oleh perempuan yang dikenalnya di luar kampus, diselingkuhin, bahkan yang terakhir Yudha ditinggal menikah oleh pacarnya yang hamil sama cowok lain.

Selama ini aku mengira Yudha yang tak punya pacar, karena seleranya tinggi dan terjebak dalam hubungan bertepuk sebelah tangan. Berkat Rifando yang suka menyebut Yudha itu playboy dan tukang PHP, aku rasa itu benar. Siapa menyangka aslinya, cowok itu sedang trauma dan berusaha menghilangkan rasa sakit hatinya berupaya bangkit sendirian. Dia hanya perlu melakukan hal-hal yang bermanfaat menyenangkan dirinya sendiri. Dia mengatakan harus bangkit sendirian, rasanya lebih menyenangkan dan tak bergantung ke orang lain.

Aku yang melanggar batas janji kami, aku yang membuatnya menjadi menjauh sebab tak percaya padaku.

Rifando sudah salah menilai Yudha sebagai cowok tukang pemberi harapan palsu. Yudha hanya ingin berteman, tapi mereka para cewek-cewek menganggap ingin lebih. Termasuk aku juga yang pernah merasa sangat nyaman padanya.

Aku kehilangan Yudha  dan juga Rifando saat ini.
Setelah merasakan berbagai penolakan, aku merasa memang masalah ada pada diriku sendiri. Aku sulit menjadi diri sendiri dan selalu berpikir bagaimana rasanya menjadi orang lain. Aku tidak mencintai diriku sendiri secara total. Aku akan mulai mencintai diriku sendiri, mungkin awalnya aku harus menerima kenyataan. Bahwa aku tak perlu mengharapkan orang yang aku cintai bisa membalas perasaan. Aku rasa sekarang, nikmati dulu saja perjalanannya. Jalankan aktivitas yang lebih penting daripada memikirkan hal yang membuat hati sakit terus-menerus.
 

💖💖💖

Yang lagi bingung kenapa sohibnya jadi aneh 😆😆

"Andah kenapa si jadi aneh dan galak gitu, menghindar mulu."










Aku gak pernah ngalamin kayak Andah, aku orangnya cepet move on dan cepet lupa 😆

Aku berusaha ngertiin masalah dan kesulitannya dengan mencari info dari orang-orang yg pernah ngalamin🙂

Apa memang benar suka sama sahabat sejak remaja sampai dewasa sesulit itu dilupainnya yg pernah ngalamin???

19 JANUARI 2021





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top