4. First kiss

Saat berangkat tadi pagi aku sama sekali tak ada prasangka bahwa hari ini akan menjadi sangat menjengkelkan. Aku bisa pulang sendiri, tetapi Kelvin yang sedang khawatir banget padaku akhir-akhir ini membawaku pada momen yang rumit. Saat aku sudah berusaha mandiri, mengabaikan dirinya, dan kuat dengan prinsipku. Menjauh selagi bisa, bersikap biasa saja kalau kepepet. Kelvin secara tiba-tiba dengan ide brilian mengerikannya mengutus Rifando untuk menjemputku saat aku masih dalam acara seminar itu.

Rifando juga sudah mengirimkan pesan tadi, cowok itu katanya mau menjemput aku yang terdampar di sebuah daerah Kampus tetangga. Aku baru saja mengikuti acara seminar bersama Qoni, teman sekelasku yang juga menjadi teman satu UKM Jurnalistik. Aku kadang suka sok menyibukkan diri agar tidak sedih lagi. Sebuah acara seminar Bedah Linguistik yang dengan narasumbernya penulis buku favoritku dan Qoni. Di hari Sabtu sore yang tadinya menyenangkan menjadi suram saat Kelvin melibatkan Rifando untuk menjemputku.

Sore ini sudah menunjukkan pukul 5, dan Kelvin sudah mewanti-wanti agar aku pulang akan dijemput oleh Rifando. Sebenarnya aku bisa saja pulang sendiri, tetapi Kelvin terus mengkhawatirkanku karena selama ini aku lagi dikira sakit, dan stres sama dunia kuliah.

Sayang, Kelvin tidak bisa menjemputku sendiri. Dia mengandalkan Rifando yang belum juga menghubungiku lagi. Aku ingin menolak tapi katanya Kelvin satu jam yang lalu, saat aku masih di dalam gedung aula kampus itu, Rifando sudah dalam perjalanan menuju menjemputku. Aku berharap agar tidak menunggu lama, lebih baik aku pulang sendiri daripada menunggu yang terlalu lama.

Aku pergi ke warung kecil untuk membeli minuman istirahat sesaat. Qoni sudah pulang duluan, karena aku mengatakan sedang menunggu jemputan. Aku menerima telepon dari Rifando.

“Halo Andah. Maaf,” kata Rifando di seberang. Kalau Rifando udah bilang sori atau maaf pasti dia sudah mau mengatakan hal yang menyebalkan, itu pasti hal yang membuatku jadi kesal dan membawa kabar tidak menyenangkan.

“Hm, ada apa?”

“Sori, aku nggak bisa ke sana. Kamu bisa pulang sendiri kan? Aku tadi udah di jalan Pancoran, tapi Nilla tiba-tiba nelepon minta dijemput. Dia nangis minta aku ke sana dan di maps share loc-nya jauh banget dari daerah kita. Kamu gapapa kan pulang sendiri?”

Aku mendecak kecil. “Ya udah kamu jemput dia aja, dia nyasar kali.”

“Maaf Andah, tadi aku udah bilang ke Kelvin.”

“Iya, ya udah.”  

Mau bagaimana lagi, apakah aku harus marah atau merengek minta Rifando memilih menjemputku? Itu adalah hal yang mustahil. Aku tidak semanja itu dan kekanakan banget. Tapi tetap saja, begitu telepon tertutup aku mengumpat marah.

Aku kesal banget, sebab Rifando lebih memilih pergi menemui Nilla daripada menjemput diriku. Bukan hanya itu alasannya sih, aku tahu tak ada hak buat marah. Kepentingan Nilla lebih utama, namun perasaanku tidak sesuci itu untuk sok baik. Jelas dong aku kesal sudah menunggu lama tapi hasilnya nihil.

Haha, siapa aku sih? Sadar deh, aku kan cuma sahabatnya.

Setelah istirahat sejenak aku memutuskan untuk pulang. Saat ini aku sedang berada di dalam kereta yang sedang melaju sambil bermain ponsel. Sebuah pesan masuk ke nomorku. Aku membuka pesan itu yang berasal dari seseorang.

Rifando:
Kamu udah di jalan pulang?
Pulang naik apa?

Cepat-cepat aku mengabaikan pesan tersebut dan membuang pop-up pesannya. Aku mengunci layar ponselnya dengan dada bergemuruh hebat. Aku menjadi tidak tenang, hati jadi kesal bukan main.

Drrrrrrt!!!

Sebuah nama memanggil. Yudha?

“Halo?” Aku menarik masker penutup wajah supaya suara terdengar jelas ke penerima.

“Halo, Ndah, kok nggak balas pesan aku? Masih sibuk?”

“Halo Yudha, sori aku belum baca pesanmu. Aku lagi di  kereta baru selesai acara Seminarnya."

"Masih di dekat Lokasi acaranya? Di mana? Aku ke sana ya?"

"Iya. Oh ya sama aku juga mau ketemu, di Kalibata City bisa tapi aku ganti kereta balik lagi nih.”

“Oke, tunggu di sana.” Yudha menyetujui ajakanku. “Aku dari Mampang ya, nggak lama kok.”

Aku tersenyum kecil. Hari ini bisa jadi membingungkan, ada semangat, kekesalan, kebahagiaan, kekecewaan dan ketakutan. Bisa-bisanya dalam satu hari perasaanku menjadi kacau balau.
Aku menggigit bibir. Di rongga dada bagian kirinya seperti ada yang menekan, sesak dan sakit. Mataku dalam sekejap menggenang air mata tidak jelas itu, membuat pandanganku kabur.

Bayangan manusia-manusia yang di depanku sudah menjadi terlihat seperti kehitaman kasar. Beberapa buliran air mata turun saat aku mengedipkan kedua mataku. Aku bingung menafsirkan semuanya.

“Halo, Ndah? Kamu lagi di mana?” Aku mengerjapkan mata ketika suara Kelvin muncul saat aku angkat teleponnya.

“Aku di kereta tapi nanti Yudha bakal ke stasiun Duren Kalibata, aku pulang sama Yudha ya, Bang. Aku izin mau pergi sama dia juga.”

“Oh, ya udah pulangnya jangan kemaleman. Sori ya Fando mendadak harus jemput Nilla,” kata Kelvin tidak enak hati.

“Ya udah.” Ya hanya itu yang bisa aku jawab. "Bang, tunggu jangan ditutup."

Iya, aku hanya apa sih? Dalam hatiku ada tawa miris yang tak bersuara.

"Kenapa Ndah?"

"Bang, jangan ngandelin Fando lagi. Kalo Abang nggak bisa ya udah, jangan minta bantuan ke Fando. Aku bisa pulang ke rumah sendiri."

💖💖💖

Saat meneleponku, cowok itu sudah punya rencana ingin bertemu. Siapa sangka sepertinya hati Yudha dan aku memang terkoneksi dengan baik. Kebetulan mal tersebut tak jauh amat dari stasiun yang tadi aku sudah datangi. Cowok itu sudah menungguku di pinggir jalanan depan mal. Tadi aku sudah berpesan jangan ditinggal masuk. Aku ingin masuk bersama Yudha saja. Beberapa saat setelah jalan beberapa ratus meter aku mendatangi mobil Yudha. 

Aku masuk ke dalamnya menguar senyuman. “Maaf, aku jalan dari stasiun.”

“Ya ampun, kenapa nggak minta dijemput di deket stasiun si?” desis Yudha kasihan.

Aku mengangkat bahu dan senyum kecil. “Aku juga nggak kepikiran, tapi nanti kamu muter-muter. Udah yuk masuk. Eh, aku mau nonton film. Mau ‘kan?”

“Ya maulah. Apa aja aku mau.” Yudha mengemudikan mobilnya masuk ke dalam mal tersebut. “Itu di kursi belakang ada Holland Bakery, kalo lagi laper ambil aja.”

“Roti kapan? Kemarin?” Candaku sambil mengambil plastik di kursi belakang.

“Baru tadi, masa aku nawarin roti jamuran. Nggak bakalan kali,” sahut Yudha sambil memperhatikanku yang lagi buka bungkusan roti dan melahapnya tanpa sungkan.

Cowok itu senyum kecil, semakin aku nyaman dan seru berada di dekatnya. Tanpa terbawa perasaan, Yudha akan semakin senang. Ya tandanya aku bisa menjadi temannya.

“Kamu dari rumah? Tugas-tugasku udah banyak yang selesai dengan baik. Aku anggap ini adalah gerbang kesuksesan,” kataku.

“Enggak, habis dari rumah temen. Kamu dari mana? Selamat deh, kalo ada yang susah nanya aku aja. Tapi aku udah agak lupa sama materi yang matkul umum.” Yudha tertawa.

“Abis seminar di kampus deket Taman Makam Pahlawan itu.”

"Wah, masih rajin dateng ke seminar. Gimana judul yang Metlit kemarin dapet nilai bagus nggak?"

Mobil kami sudah berada di parkiran dan mencari tempat yang kosong. Aku melipat bungkus plastik rotinya mencari tempat ingin buang sampah di dalam mobil Yudha. “Ini nggak ada tempat sampah bekas apa gitu?” Aku mencari-cari plastik. “Eh, tadi kamu ngomong apaan ngomongin nilai Metlit ya?”

“Haha, itu masukin aja ke plastik Holland yang masih ada rotinya. Atau ntar buang di luar gapapa. Eh, udah skip aja, nggak usah bahas tentang kuliah lagi!”

“Sori ya, aku malah nyisain sampah. Ntar aku buang di luar, hehe. Oke kita lupain segala tentang kuliahan segala hahaha.” Dan juga segala tentang kekesalan sore ini.

💖💖💖


Acara menonton film sudah selesai. Yudha melihat jam di tangannya sudah pukul 9 malam lewatan. Kami baru saja keluar dari bioskop dan bergandengan tangan. Yudha tetap menggenggam tanganku karena aku sama sekali tak menolak.

Saat baru turun, aku melihat ke sebuah panggung kecil. Yudha menyipitkan matanya dan banyak suara teriakan penggemar.

“Itu grup band The Roses kan, lagi naek daun,” kata Yudha ngasih tahu aku yang fokus menatap lurus ke acara tersebut.

“Oh iya, aku tau kok.” Aku menjawab pelan. Aku sudah mendongak menatap wajah Yudha dan tampak aneh.
Yudha merangkul bahuku erat. “Mau ke mana sekarang?”

“Pulang yuk.”

Kami sudah berada di parkiran, Yudha menyalakan mesin mobil dan merasakan hawa aneh yang menyelimuti keheninganku. “Ada apa si? Lagi sedih? Keliatan banget nggak berenergi gitu.”

Aku menyalakan tape radio. “Nggak tau, ya biasa deh mood kacau nggak jelas. Lagi bete banget sebenarnya.”
Jawabanku tentu saja membuat Yudha sudah bisa menebaknya sejak tadi.

Tangan Yudha menangkup wajahku dan menatap lurus manik mata itu. “Hm, jangan bete lagi. Kan tadi udah ketawa nonton filmnya.”

Aku menatap wajah Yudha yang sedang memandangi lurus padaku membuat degub jantung ini terlalu cepat, bagai tak bisa dihentikan atau dinormalkan lagi.
Karena kami belum memakai seatbelt kami bisa bebas dalam bergerak. Mataku sekilas melirik ke sekitar. Tanpa keraguan aku memajukan tubuh agar bisa menyamakan tingginya, agar mempermudah diriku dalam mengecup lembut pipi Yudha.

Yudha sangat terkejut karenanya. Setelahnya aku hanya bergeming. Kami saling menatap mata satu sama lain terpaku. Yudha masih menganga tak percaya. Pemuda itu menggeleng pelan lalu memutar tubuhnya agar menatap ke depan lurus-lurus.

“Makasih ya udah nemenin aku,” ujarku saat Yudha harus memfokuskan dirinya kembali ke dalam kesadaran.

“Andah, jangan begini. Aku mohon sama kamu, jangan—“

Aku pura-pura tak peduli. Aku tahu dia tidak suka aku perlakukan seperti itu. Kita kan hanya berteman, dan Yudha masih memegang prinsipnya. Kita tak bisa lebih. Dia tidak suka aku memperlakukannya begitu.

“Jangan marah. Maaf, aku lagi terbawa rasa nyaman sama kamu—“ Dalam hatiku sedang merasakan kesedihan, kosong, dan lemah. Aku sangat ingin merasakan sebuah pelukan penenang, atau bahkan kecupan yang bisa memberikanku perasaan bahwa aku disayang.

Yudha mengembuskan napasnya. “Jangan diulang lagi, oke?” Cowok itu terlihat sedang menahan sesuatu. Emosi?

Kenapa Yudha sangat bisa menjaga hatinya? Aku menjadi penasaran. Mengapa dia tidak bisa memanfaatkan momen ini? Apa aku tidak bisa membuatnya napsu?

“Kenapa sih kamu nggak mau pacaran? Boleh nggak peluk aku untuk saat ini?"

Setelahnya cerita dari Yudha mengalir mengisi waktu perjalanan pulang kami.

💖💖💖

“Maafin aku ya?”

Aku tak paham, apa aku masih dianggap sebagai gadis kecil yang bisa disogok makanan langsung bisa berdamai dan berhenti ngambek? Si pelaku yang tak merasa bersalah banget itu siapa lagi kalau bukan Rifando. Malam harinya sekitar jam 10 malam, setelah gagal memenuhi janji untuk menjemputku, Rifando datang ke rumahku dengan membawa satu lusin donat JCO. Niatnya buat menghibur ternyata aku memang semakin kesal beneran. Aku semakin kesal padanya.

“Kamu baik-baik aja kan pulang sendirian?” tanya Rifando. “Tadi sampe rumah jam berapa? Nilla nyasar sampe Kelapa Gading karena drivernya berniat jahat. Untungnya udah lapor juga ke pusat service—“

“Baru aja abis selesai mandi,” jawabku. Walau jawabanku cukup singkat seakan tak peduli dengan keadaan Nilla, sejujurnya dalam diriku juga menjadi khawatir dengan gadis itu. Bagaimana ada sesuatu yang buruk terjadi karena Nilla nyaris dikerjain driver? Aku hanya tak bisa menunjukkan mana perasaan yang lebih dominan, sayangnya yang keluar malah sikap yang begitu.

“Semalam ini baru sampe rumah? Kamu kan dari sana jam 5 sore?” tanyanya dengan raut curiga.

Hatiku jadi geli mendengar dia mengingat detail itu. “Aku dijemput sama Yudha dan jalan-jalan dulu.”

“Sama cowok itu?” seru Rifando dengan nada heran.

“Iya kenapa?”

“Kenapa harus dia? Kok pergi sama dia?”

“Ya karena itu dia. Dia yang bisa pergi sama aku.” Aku menjawab dengan nada sinis.

“Feeling-ku dia bukan cowok baik, tampangnya aja playboy. Andah, gosip-gosip dari temanku dia suka PHPin cewek. Jangan suka sama dia!”

Aku mendesis. “Emangnya kamu enggak? Kamu sendiri juga playboy, Rifando. Jangan sinis sama orang lain. Main nuduh sembarangan aja!”

“Pokoknya aku nggak suka sama dia. Aku yakin dia pasti playboy, dan bakalan nyakitin kamu.” Jelas Rifando serius memandang wajahku.

Aku tak peduli dengan pendapat Rifando. “Terus kamu mau ngelarang aku main sama dia? Jangan egois mau ngelarang, karena aku nggak akan mau ngikutin apa kata kamu. Udah aku maafin ya Fando, makasih donatnya. Aku masuk mau tidur nih, dah!”

Aku segera masuk ke dalam rumah meninggalkan Rifando di ruang tamu. Cowok itu memanggil namaku beberapa kali dengan nada suara memohon. Nada suara yang membuat jatuh cinta.

Saat aku lewat dengan gerakan yang kesal dan berjalan cepat membuat Rafel dan Kelvin di ruang TV terlonjak kaget dan menoleh dengan raut muka penasaran campur ngeri. Di depan tangga aku berpapasan dengan Bunda yang memandangiku bingung. Aku naik ke tangga cepat-cepat karena raut wajahku sudah dilihat oleh semua orang. Malu.

“Andah kenapa?” Suara lembut Bunda bertanya pada Kelvin dan Rafel yang di ruang TV.

“Kayaknya ribut sama Fando,” jawab Kelvin dengan nada ragu. Tapi memang benar sih.

"Kayak orang pacaran pake berantem." Komentar Rafel.

"Hush! Anak kecil emang tau pacaran?" balas Kelvin ke adiknya itu.

"Berantem kenapa, Vin?" tanya Bunda perhatian.

"Ya aku enggak tau Bun, aku ke Fando dulu." Suara Kelvin masih terdengar saat aku naik tangga.

Aku di dalam kamar segera mematikan internet karena nomorku menerima banyak pesan dari Rifando. Aku memeluk bantal guling membayangkan itu adalah dirinya. Ingin aku bejek-bejek saking sebelnya.

“Lo ngapa sih sama Andah?” Suara keras Kelvin terdengar membuatku bangun dan mengintip di pintu balkon kamar.

“Ya gue juga nggak tau dia kenapa. Mungkin lagi kesel karena tadi enggak dijemput.” Rifando menjawab membuatku semakin kesal.

“Bukan, udah dari hari-hari sebelumnya kalian memang aneh kok.” Kelvin membuat aku menjadi menahan degub jantung. 

“Ya tanya aja sama dia, gue juga bingung nggak tau kenapa dia jadi agak horor gitu. Apa dia ngambek sama gue karena nggak dibeliin bantal? Waktu kita jalan ke DIY, dia minta bantal, tapi gue bercandain enggak mau ngasih. Ternyata dia baper nganggap serius."

"Itu udah lama kali."

"Waktu dia sakit aku nengokin kok padahal tanggal 1 banget tuh. Itu masih biasa aja kan, apa gara-gara tu orang?”

Aku menggeram mengingat momen saat Rifando membeli bantal untuk Nilla. Kala itu aku menggodanya ingin mempunyai bantal itu juga tapi aku langsung sadar sesuatu. Aku tidak mau diberikan benda yang bisa mengingatkan tentang dirinya. Sedangkan aku yang ditawari sebuah frame foto tidak enak hati meminta padanya. Aku suka frame foto itu. Aku ingin Rifando membeli itu, walau bukan untukku.

“Ah, Andah kagak ngambekan kayak gitu. Nggak bakal ngambek karena cuma nggak dijemput, atau nggak dibeliin barang. Tau dah tuh cewek, dia lagi mumet kali ya? Dia lagi mau UAS, dan sibuk Metlit.” Kelvin menyuarakan pendapatnya dengan nada membelaku sok paham.

“Coba tanyain juga dong kenapa dia begitu, takutnya lagi banyak masalah. Dia nggak cerita apa-apa lagi sekarang, berubah cuek, dan menghindar.”

“Gue juga udah nanya terus kenapa dia jadi senewen, tapi katanya cuma capek dan pusing.”

“Eh Vin, gue nitip jagain Andah ya. Dia keliatannya kayak ada masalah tapi nggak bisa cerita." Rifando terdengar sangat perhatian.

“Iya. Kok lo yang minta nitip biar jagain dia ke gue? Kan gue yang Abangnya dia.” Kelvin bicara ngeledek.

Iya, maaf Bang. Soalnya sejak dulu Rifando yang lebih deket dan perhatian sama aku.

Aku mengambil ponsel mengirimkan pesan ke seseorang.

Andara:
Malam Yudha
Makasih untuk hari ini
Maafin aku buat yang tadi
Aku nyesel bikin kamu jadi kesel gitu

Pesanku tidak dibaca, dan ketika aku tunggu tak dibalaskan juga sampai diriku mengantuk saking sudah malamnya menanti balasan itu.

Yudha, tolong jangan begini....

💖💖💖

Makin agresif ya kalo nyaman dan ada kesempatan


Btw, jangan heran kalo Andah manggil Fando berubah-ubah yak, kayak Ndo, Doyi, Doy, atau bahkan Rifando lengkap 🤣🤣 itu mendandakan emosinya






17 JANUARI 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top