32. Sewajarnya

“Andah, aku udah baca semua isi kertas di toples. Aku suka banget sama hadiahnya, ini hadiah yang paling berkesan aku terima seumur hidup. Sekarang yang aku rasain itu bingung banget. Aku baru sadar selama ini udah jahat sama kamu dengan terus berusaha mendekat, memaksa, menganggap kita bakal baik-baik aja dengan kembali berteman. Aku memang nggak punya perasaan, egois, dan jahat. Kesalahanku udah banyak banget. Kata maaf memang nggak akan pernah bisa untuk menyelesaikan ini. Nggak akan bisa membuat sakit hati kamu langsung menghilang. Aku tahu nggak semudah itu untuk kamu mau bicara lagi sama aku, apalagi bisa maafin aku.”

Tut.

Suara di sekitarku membawa pada pikiran kembali ke dunia nyata. Suara-suara teriakan serta air yang menerima respons benturan benda padat memenuhi telinga mengembalikan kesadaranku. Tadi sempat merenung gara-gara mendengar pesan suara dari nomor Rifando yang dikirim sejak tadi pukul 2 pagi buta. Entah apa yang dilakukan oleh pria itu sampai iseng mengirimkan pesan suara di jam orang tidur, walau bilangnya sih memang habis membaca seluruh isi kertas dalam toples.

"Arghhhh!!" Suara teriakan heboh Rafel dari arah tengah kolam renang membuatku terkejut jadi mengalihkan pandangan. Di sana sudah ada Rafel sedang bergulat dengan Kelvin saling berusaha mendorong lawan sekaligus mempertahankan kekuatan tubuh masing-masing agar tidak lemah berakhir menjadi kekalahan.

“Abang, awas aja kalo aku ada lecet gara-gara penyiksaan ini!” seru Rafel yang sudah duduk di pinggir kolam memeriksa tangannya.

“Lebay dasar adiknya Andah, orang cuma narik bajunya, bukan nyakar. Tadi kamu yang nyakar Abang nih, untung biasa dicakar kucing.” Kelvin membuat gelombang air menyiprati ke arah Rafel sambil tertawa geli.

“Berhenti dulu nggak? Nanti masuk hidungku,” kata Rafel balas nyipratin air ke Kelvin.

"Soalnya lobang hidungmu lebar," sahut Kelvin santai tetapi tajam. "Kamu menarik napas dekat air aja tersedot sendiri itu kekuatannya kayak pompa air." Kelvin sudah tertawa-tawa sibuk dengan lawakan dan imajinasinya yang tentu saja berlebihan. Apa orang sadis imajinasinya juga memang separah dan seseram itu?

Kini giliran Kelvin yang usil dengan Natasya memaksa pacarnya itu untuk turun ke kolam renang lagi dan mereka main air bersama. Aku mendesah sebal menyimpan ponsel terlalu lama berhubungan dengan cowok itu membuatku jadi berantakan lagi perasaannya.

“Hei, udah yuk pada naik kita makan siang!” seruku mengajak mereka agar naik ke atas karena perutku mulai bunyi.

Sementara mereka mengeringkan pakaian dulu sebelum masuk ke dalam Villa, dan mandi membersihkan tubuh. Aku yang akan mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk makan siang nanti. Untuk siang ini sepertinya makan mie instan dulu tidak apa-apa karena nanti malam baru ada acara untuk makan sepuasnya.

Aku sudah bisa dalam memasak nasi, untungnya di villa ada magic com untuk memasak nasi.  Sambil menunggu nasi matang aku memilih-milih mie instan yang mau dimakan. Kalau Rafel dan Kelvin itu sama sepertiku, bisa makan menggunakan mie goreng sebagai lauk makanan. Kami tim indomie goreng plus nasi. Kalau makan indomie goreng saja, sudah jelas itu bukan makan. Hanya cemilan lewat saja.

Tidak lama aku menunggu sambil memutar lagu di TV dengan USB. Ponselku berdering di meja dengan nama pemanggil adalah Nilla. Iya aku masih menyimpan kontaknya, karena kami memang dulu pernah berkirim pesan. Ngapain itu cewek nelepon aku? Iya, mengetahui cewek itu bukan sang peneror ya membuatku tak ada alasan untuk membencinya. Memang sih masih kesal saja gara-gara dikatain centil karena makan martabak bareng sama pacar tersayangnya. 

“Halo?” Aku menjawab telepon dengan nada malas.

“Halo Andah, kamu lagi di mana?” tanya Nilla.

“Ngapain nanya-nanya?" Aku menunjukkan nada tak suka dan judes.

"Ada di rumah?"

"Aku lagi nggak di rumah.”

“Fando mana?” tanya Nilla membuatku mengernyit.

“Ya mana aku tau,” jawabku ketus. “Kamu yang pacarnya, kenapa nanya sama aku?”

“Kamu kan sahabatnya—“

“Kita udah lama selesai, tau sendiri gimana kita belakangan ini kan?” Aku tertawa sinis. "Aku udah nggak tau segala kabar keberadaan dia. Aku udah putus komunikasi."

“Kamu ada masalah apa lagi sama Fando?” Suara renyah Nilla sangat menajam menuntut.

Yakin kamu mau tahu masalah kami? Yakin kamu tidak bakalan banting piring atau vas bunga? Bagaimana kalau dia mengetahui masalah tentang teror pesan. Bagaimana menjadi Nilla yang melihat deretan pesan yang isinya pacarnya direndahkan dikatain oleh seseorang lain. Nilla juga tidak aman karena Vivi masih menyimpan rasa pada Rifando, dan iri dengki pada Nilla juga.

“Nggak ada masalah.”

“Stop deh, jangan bikin Fando stres, karena mikirin banyak masalah. Cuma kamu doang yang bikin dia jadi keliatan stres banget. Kamu bukan pacar, atau keluarganya. Jangan nambah beban pikiran Fando dengan sikapmu yang kekanakan!” seru Nilla mulai ngoceh. “Kenapa dia lebih sering ribut sama kamu dibanding aku? Kamu drama banget jadi orang!”

“Masalah apaan? Dia yang jadi masalah buat hidup aku. Iya, bagus dong kalo kalian nggak pernah ribut, berarti bahagia, damai, dan aman hubungannya.”

Nilla tak bisa berkata-kata, dia hanya mendenguskan tawa sinis sebentar. “Sialan, kamu masih aja nggak sadar jadi biang masalah di antara kita.”

“Udah deh, aku males berantem adu bacot gara-gara cowok masalah cinta. Kenapa aku yang sering kena getahnya!” Aku menutup telepon Nilla sepihak.

Bodo amat tidak peduli lagi dengan ucapan wanita itu yang meneriakkan sesuatu. Fokusku kembali memasak saja saat ini. Tidak usah mikirin hal yang aneh-aneh.  Tadi wanita itu bertanya tentang keberadaan Rifando.
Leherku menoleh saat terdengar suara pintu kamar mandi bawah terbuka. Di sana ada Kelvin muncul sambil mengeringkan rambut dengan handuk.

“Bang, kita pergi ke sini, Fando tahu nggak sih?” tanyaku.

“Kagak. Ini cuma rencana kecil kita. Kenapa?”

Aku mendesah sebal. “Tadi ceweknya nanya, Fando ke mana. Aku nggak mau ya kalo dia tiba-tiba muncul di sini. Kalo dia muncul nyusul  aku bakal marah sama kamu, pasti kamu yang bikin dia jadi ikut ke sini.”

Kelvin mendecak sebal. “Elah, nggak kok. Kenapa sih kamu kayaknya jadi marah banget lagi?”

“Nanti aku ceritain sambil makan siang. Aku lagi ribut lagi, entah sekarang rasa marahku melebihi dulu saat kejadian Mala.”

💖💖💖

“Aku hari ini akhirnya ketemu sama Vivi di kampus. Aku udah ngomong sama dia, kamu nggak usah takut kalo dia bakal neror, dan ngatain lagi. Percaya sama aku ya, kamu bakal baik-baik aja sekarang nggak akan diganggu sama pesan sampah kayak sebelumnya. Dia udah dapetin apa yang layak didapetin. Cuma ini yang bisa aku lakuin untuk menyelesaikan masalah kita satu per satu.”

Lagi.

Aku menerima pesan suara dari Rifando di sore hari ini yang digunakan untuk mempersiapkan alat untuk bakar-bakar nanti malam. Menerima pesan suara menandakan bahwa dia ternyata pergi menghilang tanpa kabar dari Nilla untuk menyelesaikan urusannya dengan Vivi.

Sudahlah Rifando, berhenti. Kita sudah selesai sebelum sempat memulai apa-apa. Kita tak akan pernah ada buat aku, dan kamu.

“Andah, ini ayamnya belum dicuci ya?” Suara Natasya dari arah kulkas membuatku tersentak menoleh padanya.

“Hah? Oh, iya tadi aku langsung masukin Freezer dulu. Mau cuci sekarang?”

Natasya melihat-lihat ayamnya. “Enggak sih, nanti malam aja dicucinya. Mau bikin bakso bakar bukannya? Ayo, kita tusukin baksonya sekarang biar nanti malam udah siap.” 

Aku mengangguk setuju pada rencana Natasya. Daripada kembali melamun tidak jelas memikirkan masalah yang menganggu lebih baik melakukan pekerjaan nyata.

“Eh Nat, kamu kan anak Hukum minat Perdata. Gimana udah nemuin cocoknya?” tanyaku membuka obrolan yang lebih jauh lagi. Kami menjadi asyik mengobrol sambil menusukkan bakso ke tusukkan kayu.

💖💖💖

“Aku ke rumah kamu. Ternyata nggak ada siapa-siapa, cuma ada Bunda dan Ayah. Bunda bilang kamu lagi pergi ke luar kota sama Kelvin dan Rafel. Have fun ya, jangan lupa makan banyak. Jaga kesehatan di sana."

Lagi-lagi aku menerima pesan suara dari Rifando di pukul 7 malam. Saat ini aku bersama Sasa sedang membakar bakso tusuk di panggangan kecil, sedangkan Kelvin dan Rafel mengurus pembakaran ayam di panggangan yang besar. Usai mendengar pesan suara itu, tentu saja perasaanku menjadi bergetar hebat. Bukan hanya kata-katanya, dengan mendengar suara pemuda itu seperti bisa merasakan langsung kehadirannya.

Aku merasakan getar lagi di sakuku, menghindari tatapan aneh dari Natasya aku menyingkir untuk mendengarkan pesan suara lagi yang masuk kiriman dari Rifando.

“Aku kemarin lagi ngecek nyari recording telepon masuk buat jadiin rekaman Vivi sebagai barang bukti. Guess what? Aku nemuin satu rekaman misterius, tanggal dan jam itu sangat aneh. Aku dengerin suaranya, kamu nelepon aku ya habis dapet pesan-pesan aneh itu? Makasih udah khawatir sama aku, maafin si Jonny yang resek ngeledek kamu. Itu orang emang usilnya udah menahun.”

Anjir, mati gue!

Tubuhku menjadi membeku karena mendengar suara rekaman Rifando yang ringan menceritakan hal yang membuatku jadi memikirkan kejadian itu. Aku saja lupa bicara apa saja malam itu dengan Jonny. Aku mendesis gemas sekali ingin mencubit ginjal Rifando, aku tidak tahu bahwa di ponselnya ada aplikasi rekaman otomatis suara telepon.

Ada satu file yang masuk ke dalam ponselku, aku melihat formatnya bukan pesan suara di Wasaf melainkan rekaman ponsel.

Rifando:
Aku seneng kamu dengerin pesan suaraku dari tadi
Mau tau apa yang aku dapetin?
Kamu juga bisa denger sendiri 😉

Aku juga lupa aku pernah bicara apa dengan Jonny malam itu.

“Bang, serius kalian lagi di mana? Apa kalian cuma ngerjain aku aja?” tanyaku.

“Mana mungkin, nanti aku kirimin foto Fando teler kalo nggak percaya. Mau nggak?”

“Ya udah mana sini aku mau liat, jangan-jangan kalian bohong drama banget!” seruku sebal.

“Cieeee, kangen ya sama Fando sampe mau liat fotonya? Iya tunggu gue foto pake hape gue. Fotonya mau buat apaan si Ndah, biar tidur mimpi nyenyak ya?” tanya Jonny masih resek.

“Ihhhhhh! Aku tutup, males banget diledekin gini. Jangan lupa, jangan ke mana-mana langsung pulang ke kafe terus tidur!”

“Kayak pacar galak ngomelin cowoknya, sayang banget lo salah orang. Tenang aja cowokmu aman sama aku,” ucap Jonny tanpa beban ingin aku jahit mulut usilnya.

“JANGAN NGADI-NGADI!” seruku sudah berang.

“Gue tau lo cemasin Fando banget makanya telepon, jadi gue hibur deh biar lo lebih tenang. It’s okay Andah, Fando nggak apa-apa kok.”

“Hm, okelah thankyou, Bang.”

Aku tidak tahu, bahwa melupakanmu dengan awalan cara mengabaikanmu masih sesulit ini. Tapi yang aku sangat ingin lakukan adalah pergi darimu. Maka izinkanlah aku menjauh, bantu aku untuk melupakanmu dengan melepaskanku. Aku tahu kehilangan teman bermain bersama sejak kecil bukan hal yang menyenangkan, itu sangat menyakitkan hati. Tapi, bisakah hargai perasaanku sedikit saja dengan keputusan yang sudah berkali-kali aku katakan.

Mungkin, aku yang masih belum bisa tegas untuk melupakanmu.

Aku tidak tahu, perasaan ini lebih besar dari bayanganku.

Biarkan aku menjauh pergi. Tolong, jangan buat aku berharap, karena caramu menahanku untuk selalu berada di hidupmu. Membuat aku menjadi merasa dibutuhkan, dan penting. Jangan memperpanjang harapan ini dengan bersikap kita akan baik-baik saja. Karena, kamu tidak memahami bagaimana perasaanku. Aku mohon, pergilah, menjauh.

💖💖💖

Sesuatu yang direncanakan pasti akan hanya menjadi rencana, kalau dijalankan jadinya gagal. Aku benci dengan hal-hal yang di luar keinginanku. Meski aku bisa beradaptasi dengan perubahan yang cepat, tetap saja siapa yang mau kalau suasana berubah dengan cepat berbalik dari harapan apalagi rencana berubah menjadi yang terburuk.

Seperti aku yang selalu gagal berkali-kali dalam berusaha melupakannya. Aku benci juga mengapa selalu berada di hal yang tak diinginkan. Aku dijauhkan dari orang yang aku inginkan. Saat aku sudah membencinya, kini orang itu berbalik mengejarku. Rasanya aku seperti kesal dan marah dikejar hanya untuk sebuah usaha memperbaiki hubungan yang aku benci. Hanya sebagai teman, dia tetap tidak memiliki perasaan apa-apa padaku. Namun, sikapnya seolah bahwa kami berada dalam sebuah kisah asmara cinta di novel romansa yang bikin greget. Apakah ada kisah persahabatan se-drama aku dan Rifando?

Yang masih tidak aku pahami alias menjadi hal mengesalkan, sampai detik ini kisah kami tidak menjadi kisah cinta juga. Hanya tetap menjadi sebatas kisah persahabatan saja. Padahal aku mengira ini kisah cintaku, walau tak berakhir sesuai dengan yang aku inginkan.

Sebelum-sebelumnya aku pernah menyimpulkan dalam sebuah tulisan, dan aku tuliskan di kertas dalam toples kaca yang sudah aku berikan ke Rifando. Bahwa kehidupan ini akan ada banyak hal yang tak berjalan semestinya, akan ada perasaan yang tak bisa dibalaskan, dan hal-hal yang harusnya perlu dibiarkan begitu saja. Semakin dewasa masalah semakin banyak dan pelik.

Usahaku dalam mencintai diriku kali ini yang tersulit, sudah aku lakukan sampai detik ini. Aku seharusnya sudah bisa bersikap biasa saja, karena katanya perasaan bisa tumbuh seiring berjalan waktu, dan harapanku bisa kandas menghilang juga seiring waktu berjalan.

Permintaan pamitku malam itu padanya tak berarti besar apa-apa lagi, kalau aku tidak bisa melakukannya dengan tegas. Apakah karena dalam diriku, masih ada pemikiran, bahwa memang dialah yang menjadi takdirku? Sepertinya aku saja yang hanya gede rasa.

Melupakan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dia pernah bilang kita harus hidup bersama dengan orangnya, bukan memorinya. Saat orang itu sudah tidak ada di sekitar kita, ya lebih baik tidak usah dianggap penting lagi alias terus melangkah ke kehidupan selanjutnya. Aku yakin, aku bisa melupakannya selama tak bertemu dengannya.

Sayang aku tidak bisa melarikan diri, dia terlalu dekat dengan planetku. Omong-omong, aku sudah berpikir lebih baik aku menjadikan diriku sebagai planet sendiri. Aku juga ingin memiliki rotasi, revolusi, satelit, bintang, dan orbit sendiri. Dulu, aku bilang aku hanya sebuah Asteroid yang selalu mengejar Planet bernama Rifando. Aku selalu menghancurkan isi Planet Rifando gara-gara kemunculanku.

Aku tidak mau lagi disebut sebagai benda penghancur. Aku mau hidup sendiri memiliki semestaku dan tidak perlu lagi mengejar Planet bernama Rifando. Aku ingin menggaet Matahari sebagai bintangku, dan memiliki orbit sendiri.

Aku akan melindungi planetku dari serangan Asteroid penghancur lainnya. Rasa tidak puas, kurang percaya diri, dan omongan orang lain adalah contoh kecil Asteroid yang harus aku usir dari sekitarku. Jangan sampai mereka bisa membuatku hancur. Aku akan membuat dunia kebahagiaanku sendiri. Tidak apa-apa, aku akan bisa walau tanpanya.

💖💖💖

Hari ini aku ada jadwal penting membantu Mamanya Sasa yang sedang ikutan acara Bazar UMKM di Senayan mempromosikan warung makan miliknya ke khalayak Umum. Sudah sejak pukul 5 pagi, kami bersiap-siap membawa bahan makanan ke stan yang letaknya di pintu Barat GBK. Acara Bazarnya lumayan ramai diikuti berbagai macam pemilik warung makan.

Menurut cerita Sasa, bahwa Mamanya mengetahui acara ini dari temannya dan ikut-ikutan saja biar ada kegiatan seru. Untuk stan-stan Bazar dibuat melingkar mengitari GBK dilindungi dengan payung-payung.

Tidak jauh dari area stan makanan, ada sebuah panggung kecil yang berisi hiburan acara. Aku tidak fokus ke sana. Semenjak dibuka pukul 10 pagi, sudah mulai banyak pengunjung yang menyerbu stan. Bahkan sudah tengah hari begini, ayam-ayam bawaan Tante Mayang sudah mulai menipis stoknya saking larisnya menjelang makan siang tadi.

Aku bersama Sasa sejak stan-stan dibuka sangat sibuk dalam mempersiapkan bungkusan untuk makanannya, sedangkan bagian yang menggoreng atau bakar dikerjakan oleh Tante Mayang.

“Neng, nanti jam 1 kalian bisa istirahat aja. Jangan lupa pada makan, terus sholat ya! Ini kayaknya jam 3 juga kita udah selesai, stok ayam udah mau abis. Kita bisa jajan juga cihuy!” seru Tante Mayang usai memberikan kembalian uang terakhir pada orang yang membeli.

Aku dan Sasa dengan senang hati dikasih kesempatan untuk menikmati acara ini di luar kesibukan mempersiapkan makanan pembeli.

💖💖💖

Sasa adalah tipe cewek yang bakalan diam atau kehilangan semangat saat sedang galau. Aku tahu dia seperti sedang menahan kesedihan dan tak sesemangat biasanya. Seperti sekarang aku sudah menyeretnya mengajak ke arah panggung utama karena sekarang sudah ramai banyak pengunjung berkumpul ke sana menunggu guest star yang keren.

Aku perhatikan Sasa tidak antusias banget, padahal sejak dibolehkan pergi oleh Tante Mayang sudah banyak makan ini-itu tanpa merasa kenyang. Alias kita sudah mode kuat buat panas-panasan dan nyanyi heboh.

“Kenapa sih? Galau? Sasa bisa galau?” ledekku sambil menyenggol lengannya.

Itu cewek kucir kuda dengan topi hanya mencebik sebal. “Satria bikin kesel. Dia minta jangan hubungin dulu, sampe dia duluan.”

“Hm, udah, udah jangan dipikirin dulu! Sekarang adalah waktunya nggak usah mikirin yang begituan. Overthinking cukup di rumah aja nanti dilanjutin lagi. Sekarang kita have fun dulu. Ayo, Sa, keep smile!” seruku menghiburnya sambil menarik pipi agar membentuk senyuman.

“Yeee, itu kamu ya yang overthinking kalo di rumah!” balas Sasa. “Oke, kita nyanyi dulu. Nanti nangisnya di kamar aja sambil meluk guling kayak Andah, hahahaa!” Lanjutnya tanpa beban. Susah memang punya teman mulutnya susah dikendalikan. Lagi galau saja masih suka sarkas resek.

“Anjay, sialan kamu tuh!” Aku ingin sekali menjitak Sasa sudah cukup kesal karena dia memang menyindirku yang ... menyindir kami maksudnya.

Kami berdua tertawa bersama seperti saling tahu masalah satu sama lain. Kami berdua menjadi maju ke depan bersiap untuk menikmati acara ini. Kami berdua tidak terlihat seperti dua cewek galau yang sedang berusaha menghibur diri sendiri, bukan? Dengan loncat-loncat bernyanyi suara apa adanya kami menikmati bersama dengan penonton lainnya. Aku melihat Sasa sudah larut dalam suasana, tidak selesu tadi saat makan Takoyaki.

Rasakan saja dulu apa yang dirasakan di detik ini. Tanpa harus memikirkan bagaimana rasanya nanti sore, malam, atau besok hari. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Aku inginnya tidak usah cemas atas apa yang tidak aku dapatkan selama ini. Karena Bunda pernah bilang, apa yang akan menjadi milikku pasti akan menjadi milikku. Mereka akan datang dengan sendirinya.

Aku tidak berharap apa-apa menjadi indah untukku. Hal yang terlalu indah bisa jadi menyakitkan. Kata bahagia sudah menjadi sesuatu yang tak akan aku harapkan lagi.

Aku hanya ingin segala sesuatu yang aku dapatkan dengan kadar yang sewajarnya. Yang pada akhirnya tidak akan bisa mengecewakanku. Sewajarnya, yang tak akan membuatku sakit sangat kehilangan.

💖💖💖






Akhirnya Andah sudah bahagia akhirnya 😩😭🤗 Hehehehehe



13 MARET 2021













Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top