28. Terulang?

“Makasih udah nemenin aku makan,” kata Sasa ceria sambil menyocol potongan ayam di tangannya ke sambal lalu disuapkan ke mulutnya.

Aku yang lagi puasa ya sudah terbiasa melihat Sasa makan sejak semester dulu-dulu. Kalau aku tidak puasa masih bisa menahan makan siang, sedangkan Sasa tak bisa ditahan. Jam masih pukul setengah satu, setelah sholat aku yang gantian nemenin Sasa buat makan siang.

“Tadi katanya mau cerita,” ucap Sasa menagih.

Aku menjadi gelisah sambil menggaruk kepala belakangku beberapa kali. Cewek cantik di depanku itu penasaran sambil tetap menatap lurus.

“Kenapa sih? Mukamu aneh dan gelisah amat. Jangan bilang kalo kamu—hamil?” terka Sasa dengan raut ngeledek dan suaranya berbisik pelan.

Aku segera menoyor jidatnya kesal. “Sembarangan aja! Ih!! Jangan ngaco deh!”

“Terus kenapa, ih? Katanya mau cerita tapi nggak ada suara yang keluar dari tadi. Ini pasti kasus besar deh, kalo kamu mikir lama banget. Apa kamu lagi ngarang dulu di otak?”

Tanganku tak bisa ditahan untuk menggeplak Sasa. “Sembarangan ngarang. Ini cerita nyata tau.”

“Hmmh,” Sasa menjawab sambil menggigit potongan ayam geprek.      

“Tau kan aku BM Bakso Cak Man tapi nggak punya temen makan. Kamu juga nggak mau diajakin.  Aku beberapa hari lalu ketemu Fando di Foodcourt mal, kita jadi makan bareng dan pulangnya jalan. Aku udah mulai luluh lagi, ya nggak sih, Sa?”

“Hah? Bener? Kok kamu tumben mau?” Sasa mengerutkan kening lalu mengangkat bahu. “Ya aku kagak tau, itu ada di perasaanmu yang tau. Jalan bareng ngapain aja?”

“Diajakin makan martabak. Ya waktu itu kayak nggak ada celah buat menghindar lagi, kecuali yang diajak mampir ke tempat martabak. Aku kenapa nggak nyari alasan ya, yah emang bodoh sih! Aku tuh pengen kayak Nat, yang bisa biasa aja sama Mantannya. Harusnya aku lebih mudah buat biasa aja dong, aku sama Fando kan cuma temenan bukan pacaran sebelumnya.”

“Terus? Hm, kamu kangen sama dia jadi mau aja diajak pergi bareng.”

“Kangen? Gila aja! Enggaklah!” Aku mengelak dengan keras. Sebisa mungkin aku selalu melupakan berusaha tidak membayangkan momen yang pernah dilalui bersamanya. Kalau diingat akan semakin sakit.

“Ngapain aja? Nggak ribut?”

Aku menggeleng. “Selama dia nggak mancing enggak ribut sih, cuma jadi kayak orang asing yang kopi darat. Kayak dua orang yang ketemu cuma buat di saat itu aja gitu loh. Mungkin, aku beneran harus ikhlas dan sadar diri.”

“Tapi jangan—“

“Andah!”

Kami berdua menoleh ke arah seseorang yang muncul di sebelah meja kami. Aku membulatkan mata mendapati di sana ada Nilla berdiri menjulang sedang menatapku dengan sorot sedih, marah, dan sudah berair matanya.

“Aku nggak salah denger, kan? Beneran waktu itu Fando makan sama kamu di Foodcourt mal? Hari Rabu ya kan?”

Aku mengangguk pelan. “Kita ketemu nggak sengaja, Fando sama teman-temannya—“

“Terus kok bisa pulangnya barengan mampir makan lagi? Aku tau kamu jalan sama cowokku. Kecentilan banget jadi cewek!” seru Nilla sudah menangis pelan. Kemudian cewek itu menghapus air matanya menjadi tak sesendu tadi lagi.

“Woi, jangan sembarangan ngatain lo! Cowok lo yang harusnya dijaga biar betah sama lo!” seru Sasa sudah berdiri dan mendongak pada Nilla.

“Ya pihak ketiga kan bisa menolak, kalo sadar diri. Pintu nggak bisa dibuka kalau dikunci. Dia nggak kunci, ya jelas terima tamunya.” Nilla menatapku dengan tatapan merendahkan. “Kalo dianya mau terima juga, ya gatelan banget jadi cewek.”

“Kamu ngomong apaan sih? Gini nih yang udah aku duga, makanya kesel sama tuh cowok kalo diajak pergi berdua!” seruku sebal.

“Heh, itu pintunya udah dikunci sampe gembok. Tapi tuh cowok gedor pintunya sampe pengen dobrak, dan ngerusak kuncinya.  Itu cowok lo yang juga kegatelan ngejar Andah mulu. Tanya sono, siapa yang mulai?” Sasa mulai adu bacot. Dia bisa menjadi juru bicaraku yang lagi lemas dan tak semangat saking keringnya tenggorokan ini. Aku juga lagi puasa masa marah-marah emosi nanti batal.

“Mana mungkin!” seru Nilla.

“Ya menurut lo aja, siapa yang mulai duluan adalah si biang keroknya lah! Jelas itu cowok lo! Udah deh nggak usah ributin masalah karena cowok, jijik banget dengernya,” cetus Sasa.

Aku membuang napas kasar menatap pada Nilla yang menatapku dengan mata menyalang marah. “Oke, aku nggak bakalan terima ajakan, atau ganggu dia lagi. Puas?”

"Heh, mungkin Andah lagi lengah. Tapi asal lo tau ya, itu cowok lo yang ganggu Andah terus-terusan!" Sasa masih ngoceh melotot ke Nilla.

Ya benar sih. Aku ingin mengamuk marah namun ditahan, kalau puasaku batal bagaimana, ya Tuhan?

Nilla sudah sangat menahan amarahnya dengan pergi meninggalkan meja kami tanpa bicara apa pun. Di meja aku tenangkan oleh Sasa, cewek itu menatapku dengan tatapan penuh pengertiannya.

“Jangan kesel, oke?” Sasa menguatkanku dengan anggukan kecil disertai seulas senyuman.

Aku menahan agar deru napasku menjadi stabil. “Fando bohong, dia bilang udah izin sama Nilla. Aku nggak bisa percaya sama dia lagi,” desisku seperti monolog diri sendiri.

💖💖💖

Tanganku meremas kuat ponsel setelah baru saja menutup sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Mataku mulai berlinang menggenang air mata dengan hati tiba-tiba bagai dihancurkan dalam dua detik saja. Tubuhku melemas, namun tak ada tempat kini untuk bisa aku sembunyi menumpahkan air mata. Aku harus secepatnya sampai rumah menenangkan diri. Aku tidak akan menangis karena ini, meskipun ini sangat menyakiti perasaanku. Pesan-pesan sialan menjijikan yang baru aku terima bagai mengulang kembali memori itu. Perundungan. Aku kira aku tak akan lagi mengalami perundungan melalui teror di pesan singkat, nyatanya aku masih mengalaminya. Selama aku masih berhubungan mengenal cowok itu. Aku menahan isakan agar tidak turun dengan derasnya.

Rifando:
Kelvin bilang kamu masih di kampus
Udh dimana?
Bareng aku aja
Aku masih di Fikom

Aku sudah membacanya, dan masih berada di jalanan menuju gerbang keluar kampus yang pintu utama. Gara-gara itu cowok aku diamuk ceweknya lagi. Aku akan kembali menjauhi Rifando dengan mengabaikan segala bentuk komunikasi darinya. Namun aku sangat benci kalau dia sudah meneleponku, seperti saat ini di layar ponselku ada namanya memanggil. Tidak tanggung lagi dia langsung menghubungiku melalui panggilan telepon yang menggunakan pulsa.

Selama dalam perjalanan aku merenungi apa yang malam itu terjadi dengan kejadian tadi si Nilla. Andai, aku tak selemah itu prinsipnya tak akan aku dengar lagi labrakan ucapan menyakitkan merendahkan dari bibir perempuan lain. Aku sangat benci selalu jadi bahan makian, dikatain sama cewek-cewek lain. Sesampainya di rumah sudah ada Rifando menunggu di teras rumah. Aku sudah bisa menebak karena melihat motornya di dekat gerbang rumah.

“Andah,” panggilnya dengan raut wajah dingin.

“Kenapa? Aku baru sampe capek banget,” jawabku.

“Kalo nggak mau bareng ya gak apa-apa, asal dikasih jawaban, bisa nggak sih?” tanya Rifando.

“Kenapa mau bareng ngajak nganterin aku? Cewekmu enggak dianterin pulang?”

“Oh, karena itu. Dia udah pulang jam 2. Kasih jawaban Ndah, gampang kan? Nggak bakal jadi begini?”

“Aku nggak mau debat, capek banget nih. Aku mau masuk.”

"Kalo dijawab kan nggak jadi debat begini."

"Awas minggir!" seruku yang kesal masih ditahan mau masuk oleh Rifando.

“Kenapa jadi marah lagi? Katanya mencoba biasa aja,” cetus Rifando. “Kita bisa baikan perlahan, asal ada komunikasi.”

“Udah deh, stop! Aku malas ribut karena kamu yang nggak pernah siap sama perubahanku. Aku juga udah kesel banget kalo sampe disamperin sama cewek-cewekmu lagi.”

“Nilla? Kenapa?”

“Nilla tau kita ketemu, dan jalan lagi. Aku nggak mau ada drama yang nginjek-nginjek harga diriku lagi. Kamu bohongin aku!” seruku galak. "Lebih baik nggak ada komunikasi apapun lagi!"

Air muka Rifando berubah menjadi bingung kelabakan salah tingkah. “Maaf, Andah. Aku yang bikin jadi begini. Aku nggak nyangka dia bakal tau. Maafin aku yang enggak jujur, karena aku tau kamu pasti bakalan menghindar waktu itu.”

“Iya udah tau bakalan jadi begini, kamu masih pengen aja temenan sama aku. Aku kesel banget dan makan hati selalu kena ke kasus gara-gara hubunganmu. Aku direndahin sama cewek lain, malu tau dianggap centil, perusak, dan orang ketiga! Kamu nggak kasihan sama aku kalo dikatain rendah begitu?”

Tangan Rifando menarikku ingin memeluk, namun segera aku tepis. Dengan gesit aku melesat masuk ke dalam rumah menghindari dirinya. Aku segera masuk kamar dan mengunci pintu.

Air mata sebisa mungkin aku tahan. Bukan Rifando yang membuatku menangis begini. Aku mengingat kembali ada beberapa buah pesan yang masuk ke nomorku dengan pesan kalimat yang aku benci banget.

08121300xxx:
Eh ini bener Andara kan?
Lo murahan bgt
Berapa harga lo?
Temen gue mau pake
Nggak dibales nih?
Mahal ya? Kirain murah? Hahaha
Biasa dibayar mahal ya sama tuh kating jur Ilkom
Apa nggak pernah dibayar alias FWB?
Eh, Bitch
Itu cowok udh punya pacar, dsr cewek bodoh
Jauhin tuh cowok kalo masih sadar diri
Lo mau satu kampus tau kelakuan jalang lo dari dulu?
Jauhin pacar orang
Kegatelan

💖💖💖

Habis ribut sama Rifando aku baru keluar dari kamar menjelang suara Adzan berkumandang. Di lantai bawah sudah berkumpul Kelvin dan Rafel. Bunda sibuk di dapur sedangkan Ayah masih berada di jalanan pulang kerja sekitar jam segini.

Aku menyusul duduk bersama mereka di ruang TV dengan kaki naik ke atas sofa. Perasaanku masih kacau gara-gara pertengkaran tadi. Puasaku hari ini sudah pasti Makruh banget. Rifando benar-benar mengesalkanku.

“Kayaknya tadi ada yang ribut-ribut.” Kelvin bicara tanpa diketahui siapa yang jadi lawannya.

“Ributnya ngelebihin orang pacaran ya Bang dramanya,” ujar Rafel nimpalin.

Aku mengambil bantal kecil melemparkan padanya. “Jangan komen anak kecil!”

“Sembarangan aku anak kecil. Puasaku lebih kuat daripada kakak. Dulu pas kelas 1 SMA, Kak Andah suka nggak mau sahur,” kata Rafel.

“Nggak nyambung, bocah! Diem kamu, Fel!” seruku sewot. Rafel langsung menurut karena ketakutan dengan diriku yang lagi tidak bisa diajak bercanda.

“Kenapa sih tadi?” Kelvin bertanya kembali ke topik.

“Biasa, ceweknya Fando tadi siang denger omonganku sama Sasa di warung makan Teras. Terus aku dilabrak gara-gara tau aku pulang bareng abis makan Bakso Cak Manz dan lanjut jalan ke tukang Martabak dulu sama Fando malam itu. Sebel banget nggak sih, dari tukang bakso, seblak, es kelapa, sampe Martabak jadi sumber keributan aku sama Fando.”

Iya percaya atau tidak, sejak dulu sudah ada beberapa kejadian aku membuat pacar Rifando mengamuk karena kami ketahuan makan bareng.

“Jangan lupa itu tempat kantin sekolahan, Gramedia, dan bioskop.  Ya lagian kamu mau aja terima ajakan Fando.” Kelvin mengembuskan napasnya lelah. “Susah kan temenan sama dia yang udah punya pacar?”

“Aku pengen biasa aja, biar cepet move on. Taunya malah keseret masalah.” Aku mendengkus kesal. 

Di jam malam, sudah waktunya mau tidur agar besok tidak mengantuk saat sarapan sahur. Aku sudah bersiap tidur dengan baju tidur dan lagi menunggu ngantuk sambil main ponsel lihat-lihat foto dan membalas pesan Yudha.

Ting…
Ting….
Ting…

Rifando:
Andah, maaf yang tadi
Jangan marah lagi ya?
Kita mulai dari awal
Nggak akan ada salah paham lagi
Nilla nggak apa-apa klo kita masih temenan
Aku akan jujur sama pacarku setiap kita ketemu
Kamu pasti bisa bersikap biasa aja lagi sama aku
Kayak yang kamu bilang waktu itu
Kamu pasti bisa lupain aku secepatnya dengan kita berteman seperti biasanya jadi terbiasa

Apa? Aku hanya membaca pesan itu dengan mata mulai memanas dan berair. Dia memintaku untuk melupakannya. Dia sama sekali tidak bisa mencintaiku. Kalau dia mencintaiku, pasti akan menahan upayaku. Aku masih diinginkan hanya sebagai teman. Sedangkan, aku masih tidak bisa hanya berteman saja dengannya. Aku mencoba namun sulit.

Lupain aku.

Dua kata itu seperti mampu membunuh perasaan tenang dalam sekejap mata. Daripada melihat permintaan pemuda itu, seharusnya aku tak membuka komunikasi apa-apa lagi padanya. Menyakitkan.

Aku menjadi kesal banget sama Rifando sudah di tingkat tertinggi dari yang sebelumnya. Entah Rifando jujur atau tidak tetapi Nilla membuatku geram setengah mati.

Nilla, mau lo itu apa sih? Tadi siang lo ngatain gue di depan umum banyak orang, dan yang neror mengirim pesan kata-kata kasar juga itu pastinya lo. Terus sikap lo ke Fando pasang wajah kayak malaikat, sok-sokan mau jadi sok baik segala ngizinin buat berteman. Kalian ini bikin gue pusing aja sih! Kenapa sih gue selalu kecipratan masalah kalo terselip di hubungan antara Rifando dan pacarnya?

💖💖💖

😳😳😳😳😳😳😳











4 MARET 2021


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top