27. Siapa yang rumah?

"Assalam'mu alaikum!" teriakku sambil mengetuk pintu rumah Yudha. Di sore ini aku sudah menenteng plastik berisi satu kotak berisikan risoles mayonaise. Dan sekotak puding cokelat dengan fla vanila. Kemunculanku sore ini di rumah Yudha bukan tanpa maksud. Beberapa hari lalu aku mendengar kabar dari Yudha bahwa adiknya mengalami kecelakaan ringan sampai masuk rumah sakit dan diberi jahitan beberapa kali di pelipisnya.

Aku yang lagi iseng karena hari ini direncanakan akan aku sebut sebagai hari iseng ala Andah. Aku membuat kue untuk keluarganya Yudha lalu setelah pulang dari rumah Yudha aku mau mampir ke toko buku, dan makan berbuka dengan Bakso Cak Man. Jangan bilang aku sangat iseng pergi makan sendiri, karena namanya juga sebagai hari iseng Andah. Aku sudah lama ingin makan Bakso Cak Man, daripada sulit mencari kesempatan menunggu teman makan, lebih baik aku pergi sendirian saja ke salah satu mal di Jaksel.

Di pintu terbuka sosok perempuan dengan kaus biru muda dengan celana pendek selutut. Dia adalah Mbak Arum, asisten rumah tangganya Yudha. "Maaf Mbak Andah baru dibukain pintunya, masuk sini. Mas Yudha belum pulang dari kantornya, kalo Ibu sama anak-anak lagi pergi keluar sebentar nyari makanan."

"Aku cuma sebentar kok Mbak, ini ada kue ringan. Aku titip salam aja buat Tante. Aku juga langsung pulang kok, mau pergi lagi."

Mbak Arum menerima dengan raut wajah semringah namun campur kaget. "Makasih ya, Mbak. Nanti aku bilang ke Ibu dan Mas Yudha kalo Mbak Andah ke sini."

"Iya, aku denger Alif kemarin hari masuk RS Mbak, jadi pengen jenguk sebenarnya. Kalo lagi nggak ada yang di rumah gapapa sih, aku juga buru-buru mau langsung pergi."

"Oh begitu, iya Mbak dijahit keningnya. Tapi anaknya udah lari-lari bandel lagi. Jagoan begitu nggak bisa diem." Mbak Arum senyum-senyum kecil.

"Ya udah Mbak, ini udah jam 5 sore. Aku pulang dulu ya, salam aja buat orang rumah." Pamitan pada Mbak Arum aku segera meluncur ke tempat selanjutnya. Aku sudah membayangkan akan menikmati makan Bakso kesukaanku.

Tidak lama sampai ke tujuan aku segera mampir dulu ke dalam toko buku untuk melihat-lihat novel yang penulisnya dari kesukaanku sejak dulu. Belum ada informasi novel keluaran baru mereka, aku berdiri di lemari-lemari novel terbitan terbaru. Tanganku menunjuk satu per satu judul novel. Saking banyaknya novel aku hanya menyapu judulnya saja satu per satu. Ada salah satu novel yang covernya menarik perhatianku. Aku membaca blurb belakang bukunya, kebetulan buku yang aku ambil yang sudah dibuka bungkus plastiknya. Aku bisa membaca isi dalamnya dimulai dari Prolog. Narasinya tidak panjang, tidak ada dialog. Namun kata-katanya sudah menyakitkan sejak awal begini.

Aku mengerjapkan mata yang tanpa bisa ditahan novel itu bisa membuatku merasakan langsung.

Drrrttttt.....

Ponsel di tasku bergetar panjang menandakan telepon yang minta diangkat. Sang pemanggil adalah Yudha.

"Halo?"

"Halo Andah?" Yudha menyapaku.

"Iya, ada apa Yudha?"

Yudha tertawa pelan. "Kenapa nggak bilang mau ke rumah? Kalo tau gitu Ibu nggak keluar rumah, nungguin kedatangan di rumah biar ketemu kamu. Tadi Ibu lagi nyari makanan buat buka puasa orang rumah."

"Nggak apa-apa, aku juga nggak lama kok, yang penting itu puddingnya udah sampe ke rumahmu. Buat adik-adik kamu."

"Buat aku enggak nih?" tanya Yudha iseng sambil tertawa.

"Kamu nggak usah." Aku gantian ngeledek.

"Lucu banget. Hehe. Makasih ya, cantik."

"Ih, apaan sih! Jangan manggil gitu, ish. Iya tapi sama-sama kok," aku menjadi mengubah nada bicaraku.

"Kamu memang cantik. Kamu lagi di mana?"

"Aku mau makan Bakso Cak Man nih jalan-jalan ke Mal," jawabku.

"Sama siapa?"

"Sendiri."

"Wow, maaf ya waktu kamu ngajak aku nggak bisa. Andah, jadwalku minggu ini padet lagi closing nih. Jadi lembur terus. Maaf ya, kamu udah pengen banget makan Bakso itu ya?" Pria itu terdengar merasa bersalah banget, bagai suami yang lagi pusing menghadapi sang istri yang ngidam makanan dan tak bisa membantu mewujudkan keinginan istrinya.

Aku tertawa pelan. "Udah sih, aku aja yang iseng makan sendiri. Udah selesai tugas kerjanya?" Aku jadi merasa geli menahan senyum membayangkan kini aku sedang hamil dan mengalami mengidam makanan, tapi suamiku sedang sibuk kerja. Kini suamiku masih sibuk di kantornya, padahal aku sedang kangen menunggu dia cepat pulang. Halu!!

"Aku masih di kantor, karena lembur sampe malam jadi buka puasa bersama di sini. Jadi nggak bisa nyusul kamu nih. Nanti kita ketemu ya kalo aku udah nggak lembur." Yudha sedang sesibuk itu. Aku yakin di hari Sabtu kemungkinannya juga bisa jadi lembur demi pekerjaannya.

"Semangat kerjanya!"

"Ya udah, hati-hati di jalan nanti pulangnya ya. Aku tutup teleponnya, mau ngambil air minum dulu buat stok nanti." Setelah pria itu tertawa, aku juga jadi ikutan. Dia menutup teleponnya.

Ini yang aku suka dari Yudha. Dia sama sekali tak terdengar curiga dan langsung percaya saat aku katakan sedang pergi nongkrong sendirian. Biasanya walau sebatas teman, orang lain akan ada interogasi lanjutan. Ngaku aja pergi sama siapa? Teman dari mana? Temannya siapa aja? Kamu yakin pergi sendirian, nggak bohong kan?

Yudha benar-benar tipe cowok yang sangat percaya pada pacarnya, santai, dan simple banget. Aku berharap, bisa saja kami bisa menemukan jalan takdir untuk bersama. Andai saja Yudha bisa mulai menyukaiku.

Aku membawa novel yang tadi aku sempat baca menuju ke kasir. Sebaiknya aku nyari tempat agar tidak terlalu malam naik ke area foodcourt, dan berakhir menunggu bergantian meja. Di area foodcourt aku mendapatkan meja yang tak jauh dari konter Bakso Cak Man. Aku melirik seantero area foodcourt semakin ramai dengan manusia, yang sudah mendapat tempat mau pun yang masih mencari tempat. Aku menyimpan ponsel berniat pergi ke konter Bakso untuk memesan makanan. Sekiranya 15 menit lagi suara Adzan akan berkumandang.

Saat aku berdiri dengan gerakan yang kasar, dan membalikkan badan ada seseorang yang sedang membawa nampan berisi makanan.

"Astaga, maaf ya, Mbak!" serunya sambil berusaha menyeimbangkan diri.

Aku melongo melihat siapa orang itu. Kami berdua menjadi saling menatap, tidak mungkin kan aku bertemu dengannya di tempat ini? Di kesempatan yang aku sebut sebagai Waktu Iseng ala Andah. Di saat aku sangat gabut dan kurang kerjaan ini, adalah waktu yang menjadi sangat berarti. Arti yang banyak maknanya. Kenapa bisa bertemu di waktu kosongku ini? Aku menjadi salah tingkah, kalau pura-pura tidak kenal bisa dipercaya tidak ya?

"Andah? Kamu duduk di sini? Mau pesan makanan ya? Aku jagain mejanya ya, kamu bakalan balik lagi kan ke sini?"

Itulah yang tadi aku pikirkan, aku menarik napas. Entah mengapa rasanya ini mengesalkan. Aku tidak menjawab namun melihat pada nampan yang sudah diletakkan pria dengan kemeja luaran tak kerkancing warna cokelat itu. Di nampannya ada mangkuk Bakso.

"Siapa yang nyuruh kamu taruh di sini?" tanyaku dingin biar dia segan lalu pergi.

"Ini tempat umum," jawab Rifando santai.

"Aku yang dapetin meja ini duluan, aku berhak ngatur dong," sahutku.

"Kamu udah mau pergi tadi, dan enggak bisa dijaga. Udah aku ambil alih, wleeeek," ucap Rifando lalu tak peduli duduk di kursi yang menghadap ke arah konter makanan.

Aku menggeram kesal melihat kelakuannya yang resek. Masih memperhatikan Rifando yang lagi duduk di meja itu sambil menatap lurus masih pada diriku yang mematung saja. Pikiranku kacau, aku harus kabur untuk makan ke mana? Pria itu mengekori arah kepergianku. Bahkan saat aku memesan makanan di kedai Bakso, Rifando masih melihat hanya padaku.

💖💖💖

"Ini tempatku," kataku sambil meletakkan nampan yang berisi mangkuk bakso mengepul hawa panas.

Di hadapanku Rifando masih duduk sambil bermain ponsel. Sedangkan aroma bakso kami sudah bercampur bersama. Di mangkukku banyakan Bakso, tahu, dan pangsit kering. Di mangkuk Rifando sudah pasti beli paket yang lebih mahal lagi berisi banyakan bakso dagingnya.

"Enggak ada label 'punya Andah'. Jadi ini tempat umum," jawab Rifando masam sambil meletakkan ponsel di meja.

Aku terpaksa duduk di depannya, bayanganku sudah ingin secepatnya minum dan makan lalu cabut pergi. Sumpah, sampai detik ini aku masih tak percaya mengapa ada Rifando muncul juga makan sendirian.

"Makan sendirian? Enggak sama Yudha?" tanya Rifando langsung menyebut nama orang.

"Enggak, dia kerja. Kok kamu bisa di sini hari ini? Kamu emang iseng sendirian ke sini?"Atau jangan-jangan Rifando menguntitku berkat informasi dari orang rumah! Aku tak tahu bahwa Rifando jika ternyata memiliki Obsesi untuk selalu ingin berada di dekatku. Hiy, seram!

Rifando menggeleng. "Enggak, aku nggak bisa kayak kamu yang jalan-jalan sendirian. Lagi ada Bukber sama anak Hima angkatanku, noh beberapa di meja sana!" seru pria itu menunjuk ke arah sebuah meja yang sudah tergabung terisikan beberapa orang. Benar. Aku mengenali beberapa wajah anak Hima Ilmu Komunikasi itu.

"Terus kenapa duduk ke sini? Gabung ke sana lah," suruhku yang memang mengusirnya.

"Tadi mangkuknya berat. Enakan di sini, deket sama kedainya. Jadi nanti pegawainya nggak nyari mangkuk kotor bekasnya jauh-jauh," jawab Rifando ngaco.

Aku mengernyit heran. "Ngaco loh! Kan bisa kamu balikin sendiri ke konternya. Mulai mandiri balikin piring kotor ke kedainya buat mengurangi beban mereka."

"Oh iya, lupa." Rifando terkekeh aneh dan pelan. Dia hanya mencari alasan saja pastinya untuk iseng menggangguku di meja ini.

Aku semakin malas menanggapi dirinya yang semakin tidak jelas. Di TV sudah ada penutupan acara ceramah dan menantikan Adzan. Aku membuka tas untuk mencari sesuatu. Lantas aku baru teringat bahwa aku belum memiliki air minum. Tubuhku segera bangun namun ditangkap cepat oleh cowok itu.

"Mau ke mana?" tanyanya lalu melepaskan tangannya dari lenganku, saat mata kami sempat beradu dan bersamaan melihat ke tangan kami.

"Nggak ada air minum. Aku lupa."

"Oh, ini aku ada dua botol air. Pake ini aja dulu. Kamu mau soft drink atau air mineral."

Aku kembali duduk saat Rifando menunjukkan dua botol air minuman yang dikeluarkan dari tasnya. Suara beduk Adzan mulai terdengar dari TV Foodcourt. Aku perhatikan Rifando dengan gesit membuka botol air mineralnya. Dia menyodorkannya padaku.

Aku mengambil lalu menenggak sambil berusaha tidak menyentuh mulut botol. "Jangan minum soft drink, ini minum air mineral dulu," kataku sambil menyodorkan kembali botol padanya.

Rifando memandangiku sebentar lalu menerima uluran botolku. Dia menenggak air botol itu dengan gayanya. Tuhkan, dia minumnya bisa banyak. Maunya ngalah dengan minum soft drink segala.

"Aku nyari air minum dulu. Kamu mau apa?" tanyaku yang sudah haus banget dan butuh banyak air minuman buat makan nanti.

"Kamu biasanya tahu."

💖💖💖

Rifando melongo begitu melihat kedatanganku kembali sudah membawa beberapa botol minuman. Aku memberikannya minuman isotonik dan air mineral. Aku mengeluarkan air mineral, dan minuman lainku disimpan dalam tas karena tadi sulit membawa 4 buah botol besar.

"Ini kan, biasanya aku beliin ini, dulu," kataku cepat sambil memperhatikannya yang belum menyentuh makanan miliknya sama sekali.
Aku berharap selama pergi tadi Rifando sudah makan duluan dan saat kembali dia bisa cepat-cepat pergi.

"Aku tadi cuma bercanda aja, terserah kamu beliin apa pun bakal aku minum."

"Kalo aku kasih air dari timun diiris, emang mau diminum?" Aku mulai mengaduk bakso sudah tidak sabar. Gara-gara drama air minum jadi lama untuk menyantapnya.

"Kalo itu salah satu cara biar kamu maafin aku, boleh dicoba." Suara Rifando menyentakku, ucapannya juga membuatku jadi syok.

Aku mendesis sambil menunduk tak berani mengangkat wajah untuk melihatnya. Dari bayanganku sih Rifando masih mengaduk-aduk makanan miliknya.

"Udah, jangan bahas itu lagi. Cuma bikin ribut," jawabku malas jika kali ini akan berakhir badmood seperti dulu.

"Hmh, masih enak. Padahal aku cuma makan beberapa kali, pas tau mau ada acara buka bersama di sini. Aku langsung milih ini karena keingetan rekomendasi terenak dari kamu ya Bakso ini."

"Emang kamu nggak punya selera sendiri?" cibirku.

"Iya iya, seleraku paling pasaran. Kelvin yang sering ngomel kalo aku kasih rekomen tapi nggak bisa sampe ekspektasinya. Abangmu itu jujur bener dan picky. Kamu enggak picky banget sih, terus emang beneran enak."

"Kalo ternyata aku rekomen ke selain kamu, tapi nggak enak kata mereka. Kamu bakal percaya nggak kalo kamu salah?"

Rifando jadi berhenti menyuapkan makanan. "Aku udah ngerasain sendiri, jadi punya nilai sendiri. Ini baksoku kebanyakan, aku bagi ke kamu." Dengan gesit tangan pria itu memindahkan dua buah bakso daging ke dalam mangkukku.

"Enggak usah, enggak-" Aku tidak bisa menolak sebelum mengambil bakso itu lagi ke mangkuk lain sudah ditahan oleh sendok Rifando.

"Makan yang banyak, biar gemes lagi." Rifando menatapku hangat.

"Enggak, aku selalu sehat dan gemes."

"Andah, abis ini mau langsung pulang?"

"Aku pulang sendiri."

"Pulang sama aku yuk?"

"Hmm?"

"Mau makan Martabak dulu?"

"Mending pulang langsung, nanti cewekmu-"

"Aku udah izin. Kali ini mau terima ajakanku ya?"

💖💖💖

Tempat martabak ini langganan kami yang sudah jadi favorit sejak lama. Mungkin ini sudah gila aku mau diajak pergi olehnya untuk makan martabak bersama. Rifando yang mau membelikan, jadi dia yang memilih ingin menu apa. Kesukaanku jelas Martabak cokelat kacang dengan keju juga. Sedangkan Rifando sukanya Martabak telur. Tidak lama menunggu, cowok itu sudah datang kembali dan senyuman simpul menghiasi wajahnya.

"Nggak usah senyum, serem," cetusku judes.

"Bilang aja manis."

"Kamu lebih serem senyum kayak tadi dibanding waktu jadi Komdis," sahutku lalu berdeham.

"Kok kamu tau aku kalo jadi Komdis gimana? Aku tau sih dulu kamu pernah ngeliatin aku pas jadi Komdis anak Ilkom," jawabnya ketawa geli.

"Geer, itu cuma nggak sengaja liatnya karena lewat Fikom."

Beda. Kalau dulu aku melihat sambil memuja dan kagum sama temanku yang bisa keren sekali gayanya di depan Mahasiswa lain. Sekarang rasanya aku menjadi menyesal pernah jadi bucin. Bucin tapi bertepuk sebelah tangan. Tolong, bantu sadarkan agar aku cepat move on.

"Kamu mau diajak makan bareng satu meja begini? Kenapa biasanya susah selalu menolak sama keberadaanku?" tanya Rifando penasaran.

"Siapa yang mau diajak? Ini terpaksa, jangan geer. Kita cuma nggak sengaja ketemu. Terus aku dipaksa mampir sama kamu."

Cowok itu tertawa aneh. "Iya deh terserah. Kamu waktu itu bilang-"

"Aku udah pernah pamit pergi dari hidupmu. Iya dengan menerima kehadiran kamu lagi, kesannya aku nggak berpegang sama prinsip, tapi kayaknya aku bakal gila atau stres sendiri kalau kekeuh sama prinsip. Aku pasti bisa lupain kamu kok secepatnya, tenang aja. Kita bisa duduk kayak gini tanpa merasa aneh, kikuk, atau gelisah."

"Andah, di mana-mana orang nutupin perasaan dengan sok-sokan udah move on. Padahal nyatanya enggak. Kamu jujur banget bilang belum bisa ngelupain di hadapan orangnya langsung."

Aku ingin tertawa geli, tapi hanya bisa mendengkus. Saat ini sih aku mulai bisa mengontrol kesedihan, mulai menerima kenyataan bahwa porsi diriku di kehidupan Rifando hanya memang sebatas teman. Aku mulai sadar dan terima kasih pada ucapan Natasya kala itu.

"Mending jujurlah kalo memang punya perasaan," kataku membuat Rifando menjadi mendongak dan memandangi wajahku dengan mata bulatnya yang tajam. Kenapa dia menatapku aneh begitu?

"Hm." Cowok itu diam saja hanya meneguk ludah beberapa kali. "Kenapa waktu itu kamu pamit?" Lalu dia bertanya seperti itu, terdengarnya sangat aneh ya?

Sungguh aku tak menyangka dia berbicara dengan gaya ala-ala puitis penuh kode. Aku akan menjawab dengan kejelasan agar tak ada salah paham dalam memaknainya. "Ya aku pergi, enggak bisa lama-lama deket kamu. Demi ketenangan, dan kebahagiaan aku sendiri. Itu demi kewarasanku."

Cowok itu terlihat meneguk ludah beberapa kali. Suaranya berbicara dengan lugas. "Kenapa kamu yang pamit, padahal yang jadi rumah itu adalah kamu."

Aku mencerna ucapan Rifando dengan manik mata masih tetap menatap lurus padanya. Aku ini rumah? Kenapa si rumah yang pergi?

Tidak ada yang bisa aku katakan padanya lagi, namun untungnya pramusaji datang membawakan martabak pesanan kami. Martabak cokelat kacang, dan irisan keju dengan porsi sedang. Seporsi martabak telur juga terhidang di hadapan kami.

"Ayo, kita makan," ucap Rifando. "Kalo nggak abis, nanti kamu bawa pulang aja sisanya."

Seharusnya aku bertanya lagi, kalau aku disebut sebagai rumah itu. Mengapa dia tidak bisa menetap alias menitipkan perasaan cintanya. Dengan bahasa mudahnya, kenapa dia tidak mencintaiku.

Lalu aku tersadar, rumah tak akan jadi istilah istimewa untuk kami. Aku menebaknya bahwa rumah itu maksudnya adalah, aku hanyalah sebagai orang yang membuatnya nyaman. Hanya sebatas itu. Rumah. Tempat kembali pulang yang katanya untuk beberapa orang bisa merasakan aman dan nyaman, namun belum tentu kamu mencintai tempat itu.

"Tentang omongan kamu tadi lalu maksudnya aku ini rumah yang kamu bisa keluar, pergi, dan kembali seenaknya begitu?" cetusku kemudian sebab tak tahan lagi. Memangnya dia bisa menabur harapan dengan gombalin aku begitu? Masih punya pacar kok nyebelin dan godain cewek lain.

"Kok kamu mikirnya begitu?" Rifando menatapku sakit hati dan kecewa.

"Aku udah nggak bisa jadi rumah yang kamu maksud itu."

Cowok itu menarik napas lalu mengembuskannya pelan dengan sorot mata yang sendu. "Kalo posisinya aku yang jadi rumahmu, kamu ninggalin aku selamanya? Atau saat ini kamu cuma lagi kabur sementara dari aku?"

Kalau aku kabur dari rumah kesannya suatu saat aku akan kembali padanya. Aku tak pernah menganggap Rifando sebagai rumah. Aku punya julukan sendiri.

"Kamu itu Planet terindah yang bernama Rifando." Kata-kataku membuat Rifando jadi mengangkat alis dan bibirnya sedikit tersenyum. Wajahnya tetap menatap lurus padaku.

"Lalu?" tanyanya dengan ekspresi mau tahu banget.

"Aku Asteroid yang biasanya masuk ke orbit Planetmu dan bisa mengancam akan membuat planetmu bolong-bolong bahkan hancur. Aku udah keluar dari Orbit kamu dan tertarik mengitari planet lain. Semoga aku nggak akan hancurin planetmu lagi, atau yang lainnya."

Mendengar penjelasanku membuat Rifando wajahnya menunjukkan rasa berang dan kesal. "Enggak! Kamu bukan Asteroid itu. Kamu nggak pernah merusak duniaku. Berhenti berpikir kalo kamu jadi beban buatku!" serunya galak kayak biasanya.

"Kamu tahu perasaanku ini akan selalu membebani kamu. Kamu yang pernah minta aku melupakan kamu secepatnya." Aku tersenyum miring, kalau ada cermin wajahku sudah menunjukkan raut yang menyebalkan banget.

💖💖💖

Akhirnya kata-kata tagline cerita ini di Blurb muncul juga🤗

2 MARET 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top