26. Reuni?

Krucuk….

Aku melongo sambil mengelus perutku yang rasanya sudah kosong melompong. Baru jam 4 sore sudah lapar luar biasa. Tahan, tahan. Aku sudah rapi ada jadwal mengunjungi rumah Yudha. Di ruang TV ada Rafel sedang tiduran di sofa sedangkan Kelvin lagi memangku anak-anak berbulunya.

“Mau ke mana lagi? Buset deh kayak nggak punya keluarga menclok sana-sini Maghrib di luar mulu.” Kelvin bagai netizen bermulut tajam mulai komentar.

“Diundang sama keluarganya Yudha,” jawabku.

“Astaga, beneran? Kamu ajak Yudha ke rumah juga dong. Kamu harus tau rasa berterima kasih,” ucap Bunda yang sudah muncul membawa pakaian dari ruangan menyetrika di dekat dapur lalu pergi ke kamarnya.

“Itu kamu diajakin Tante Emma, sama Bang Jay dan Jonny udah bawel pengen ketemu kamu. Mereka pengen buka bersama sama kita.”

“Apa-apaan ini kok aku direbutin?” Aku mengelus dagu sok keren.

“Idih sombong, sok eksis banget Kak Andah. Bang, jangan bikin Kak Andah jadi gede rasa!” seru Rafel.

"Apaan nyamber aja sih bocah?" seruku melotot pada Rafel.

“Emang dia sok banget. Enggak sadar diri, dia bikin orang lain bermasalah. Aku nih jadi diteror sama mereka.” Kelvin mencebik sebal.

“Omong-omong, Bang Jay dan Jonny kan kagak puasa. Perasaanku jadi enggak enak sampe diajakin buka puasa bersama mereka.” Aku langsung gelisah.

“Tuh tahu diri kek. Kurang penyayang apa lagi inget sama kamu?  Mereka kangen sama kerusuhan kita katanya,” tandas Kelvin. “Aku udah ngomong loh, tar aku suruh Bang Jay bujukin biar kamu dateng.”

Mungkin dua pria itu memang sudah merasakan perubahan drastis dari perang dinginku dan Rifando. Sampai bisa merasakan kesepian kehilangan aku dan Kelvin yang suka keluyuran di kafenya. Gosip-gosip Bang Jay itu pengennya punya adik cewek, makanya sering baik sama aku, dan Nat. Makanya dia sering merasa kehilangan kalau kafenya sepi tidak ada tamu
yang dikenalnya akrab.

“Aku pengen sih ke sana ya tapi—“ Aku menggantung kalimat. Bagaimana mengatakannya ya?

“Ntar diatur sama Bang Jay, ngomong aja yang kamu mau gimana.”

“Kok aku?”

Aku secepatnya pergi ke rumah Yudha, daripada nanti hari semakin sore jalanan akan semakin macet.

"Karena kamu yang punya alasan buat nggak mau main sama kita lagi."

💖💖💖

Krincing………………..

Suara hasil perbuatan usilku memencet bel pesanan di meja Bang Jay membuat pria yang lagi sibuk menunduk di bawah itu terlonjak lalu berdiri tegap. Aku terkekeh melihat pria berwajah masam itu sedang memandang tak bicara apa pun.

“Jangan usil,” kata Bang Jay lalu tiba-tiba menyeringai. “Ke mana aja sok sibuk baru keliatan?”

“Kenapa kaget gitu pas aku pencet belnya?” tanyaku usil.

“Udah lama kamu nggak ke sini. Nggak tau ya cerita horor baru? Ada kejadian serem waktu itu.”

“Hah apaan?”

“Aku lagi nunduk bersihin lantai sekitar jam 11an malam, udah closing. Ntu bel pesanan bunyi sendiri, kagak ada orangnya yang mencet. Aku kan jadi parno,” cetus Bang Jay serius.

“Terus Bang Jay kabur kagak? Gimana selanjutnya?”

“Aku sok kalem, aku memang orangnya berani sih cuma awalnya sedikit kaget aja.”

“Sok berani, nantangin!” seruku mencibir. "Sebenarnya takut kan?"

Gara-gara cerita horor aku menjadi merinding, bersumpah akan menyalahkan Bang Jay kalau aku menjadi parnoan di sini. Bahkan bisa jadi takutnya nanti bakalan sampai ke rumah nanti.

“Kita emang harus berani biar kagak diganggu lagi. Takut sama kaget itu beda ya Nona Andah,” tandas Bang Jay penuh penekanan.

“Takut mah bilang aja takut. Udah, jangan bahas yang serem lagi ahhh! Bang, aku baru bisa dateng nih sibuk banget. Bantuin Mamanya Sasa di warungnya.”

“Yahhh, karyawan terajinku udah digaet sama rumah makan lain. Untungnya masih mau ke sini main sama kita. Masih puasa? Nanti mau buka pake apa? Ada paket spesial buka puasa,” kata Bang Jay yang merangkap jadi marketing juga.

“Apa aja deh. Tadi Kelvin bilang lagi jemput Nat, aku dianter sama Yudha. Itu cowok lagi ke Minimarket isi pulsa. Aku ke Garden D ya Bang, nanti kalo ada Yudha suruh ke dalem aja.”

“Yoi, eh nanti gak apa-apa kalo misalnya ada Fando bawa Nilla?” Pertanyaan Bang Jay membuatku tergagu sebentar.

Aku menepiskan bayangan lemah itu. “Iya gak apa-apa, aku kan udah bilang sama Bang Jay kalo mau ngajak Fando boleh, aku nggak akan kabur. Kalo Nilla ikut ya, aku bisa nyalahin diri sendiri yang egois. Udah tau bakalan ketemu sama mereka, tapi aku masih mau memilih aja ke sini.”

💖💖💖

Di salah satu meja Garden D, sudah dipilihkan meja sekitar dua buah yang dipindahkan oleh Jonny agar berdempetan dan muat untuk banyak. Melihat meja yang menjadi lingkupnya semakin kecil, tadinya aku berpikir sangat ngeri bisa terlalu dekat melihat Rifando.

Langit mulai berubah saat Matahari mulai turun, langit akan mulai menggelap karena lima belas menit lagi adzan akan berkumandang.

Saat ini aku masih duduk sendirian ditinggal oleh Kelvin yang sedang keluar sama Nat, dan Yudha yang sibuk di luar tadi bantuin Jonny buat nyeret meja di Garden C. Sudah jam segini, aku tak mencium aroma akan kedatangan Rifando. Baguslah, aku bisa lebih bahagia.

“Andah,” suara Yudha dari belakang mengejutkanku.

Aku mengangkat sebelah alis kala melihat kemunculan pria dengan kaus lengan panjang hitam polos itu menghampiri dan memberikan plastik minimarket.

“Maaf ya, aku harus balik dulu. Ibu telepon barusan, adikku lagi dibawa ke Rumah Sakit pelipisnya sobek kena kaca meja. Ada-ada aja euy anak bocah,” ucap Yudha yang pamitan mau pergi dari kafe. Raut wajahnya sangat terlihat cemas namun ditutupi.

“Hah? Si Damay atau Alif?” tanyaku syok.

“Alif, duh bandel banget dia udah SD masih petakilan. Aku duluan ya pamitan pergi,” ujar Yudha ingin cepat-cepat pergi.

“Aku ikut dong!” seruku.

“Enggak usah, kamu di sini aja. Kan ini acara sama temen-temenmu. Aku sendiri aja gak apa-apa ke Rumah Sakit.”

“Yah, terus kamu buka puasanya gimana?”

“Ya di jalan, aku udah ada air di tas kok. Itu dikresek ada cokelat sama oreo buat makan iseng kamu. Aku duluan ya pergi, buru-buru Ndah keburu lama sampe sana. Ibu nanti kasian panik sendirian. Maaf ya, nggak bisa nemenin kamu.”

“Makasih Yudha, ngapain ngasih cemilan? Aku kan nggak makan banyak, malem udah kenyang.” Aku mengangguk kuat. “Iya hati-hati ya. Salam buat Ibu! Nanti kasih kabar ya?”   

"Iya. Aku jalan ya. Duluan!" Pria itu melambaikan tangan sesaat melemparkan senyuman manisnya.

Aku juga sungguhan panik, ngerti banget saat Rafel jatuh dari motor, Kelvin kena sakit usus buntu, dan cerita keluargaku lainnya yang sakit. Dia berjalan cepat dengan langkah besar melewati pintu Garden D. Aku masih memperhatikan dirinya yang meninggalkanku dengan kabar buruk begini.

Di pintu Garden D saat Yudha baru masuk, di sana muncul seseorang yang tak pernah aku sangka akan muncul. Aku tadi sempat berpikir bertemu dengannya di jam segini kemungkinannya hanya 50%. Ternyata cowok itu muncul dengan setelan santainya seperti biasa. Walau kasual tetap selalu membuatnya keren. Aku mengalihkan pandangan ketika Rifando yang tadi terlihat berpapasan dengan Yudha, lalu arahnya tatapan menjadi tertuju padaku yang duduk di meja Garden D. Di meja ini aku tetap santai fokus bermain handphone, agar tidak disapa olehnya.

“Hai, sendirian aja?” tanya Rifando yang sore ini memakai kaus putih polos dibalut jaket denim biru gelap.

“Iya, Yudha barusan pamit pulang. Kelvin dan Nat nggak tau ke mana. Bang Jay dan Bang Jonny masih sibuk ngurusin pesanan buat yang mau buka puasa.”

Rifando mengangguk kecil mendengarkan ceritaku. “Apa kabar Andah?” Suaranya yang bariton itu membuatku rindu, apalagi saat menyebut namaku. Manis.

“Baik kok. Kamu?”

“Begitu aja,” jawabnya sambil senyum lelah.

Tidak bertemu beberapa lama dengannya, aku bisa melihat sekarang wajah Rifando mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. Dulu dia sangat bersih, apakah sekarang dia mulai cuek dengan membiarkan bulu-bulunya tumbuh banyak dulu baru dibersihkan?

“Andah,” panggil cowok itu karena aku tidak berbicara apa-apa lagi.

“Hmm?”    

“Maafin aku.”

Aku menjadi mengerutkan kening menatap padanya heran banget. “Ngapain minta maaf? Enggak ada yang salah di sini.”

“Iya tapi kamu marah, posisinya jadi aku yang udah jahat sama kamu. Orang yang marah itu kan orang yang hatinya sakit dan dilukai. Aku bikin kamu sakit hati, dan aku bersalah.”

“Iya.”

“Beneran maafin aku? Baikan kayak dulu lagi ya, Ndah?”

Tawa kecil keluar dari bibirku tak bisa ditahan lagi. Itu bukan tawa bahagia, lebih tepatnya sinis. Miris banget dengan keadaan diriku yang menjadi drop lagi. “Aku baru bisa maafin, tapi kita nggak bisa kayak dulu lagi. Mungkin belum bisa. Aku nggak tau di masa depan, mungkin aja aku udah bisa lebih kuat dari sekarang. Maafin aku yang jujur banget sekarang.”

“Aku nunggu sampe kamu bisa terima keberadaan aku lagi.”

“Fando,” aku menggigit bibir sebentar. Cowok itu sedang menatap padaku menanti ucapanku. “Jangan nunggu dan berharap kita bisa kayak dulu lagi. Aku lebih tenang dengan begini. Harapanmu itu bisa jadi beban buat aku.”

Obrolan kami terhenti tatkala ada seseorang muncul ramai-ramai dari pintu Garden D, apalagi Bang Jay, Jonny, dan Kelvin langkahnya besar-besar. Aku melemparkan senyuman kecil ke Nat, menghindari tatapan aneh beraut penasaran milik Kelvin.

“Abang datang! Akhirnya buka puasa juga!” seru Jonny sambil meletakkan teko dan beberapa buah gelas ke atas meja kami.

“Lo kan kagak puasa!” seru Kelvin sengit sambil duduk di sebelah Rifando. “Woi Ndo, ke mana aja lo?”

“Ada. Lo yang ke mana aja?” balas Rifando dengan wajah kesal.

“Skripsi coy, ke kantor Ayah mulu minta data.” 

"Bang, isiin gelas Andah tolong ya?" Aku dan Nat langsung sibuk memilih gelas dan menunggu Bang Jay memberikan isi minuman dari teko. Karena pria itu yang lagi memegang teko mengisi gelasnya. Bang Jay duduk di sebelah Kelvin dan Rifando. Jonny dan Nat yang duduk di sebelahku sama-sama menadah gelas ke arah Bang Jay.

“Ck, anak siapa kalian ini? Wah kompaknya, kalian reseknya sama. Ngerjain orang tua aja!" seru Bang Jay geleng kepala.

“Sori Bang, kita lemes nggak bisa pegang teko,” jawab Nat tertawa dengan cantiknya.

"Iya Bang, aku juga lemes nih udah haus." Jonny tertawa resek.

“Iye dah, serah kalian.” Bang Jay menuangkan air dalam teko itu yang berupa air sirup cocopandan. "Apa-apaan lo ikut nyahut aja, Jon?"

“Kapan-kapan kita dituangin Wine sama Bang Jay,” cetus Jonny sok keren.

“Siapa yang beli? Elo?” Bang Jay menatap adiknya gemas ingin nabok. "Jangan banyak gaya kalo belum kaya!"

“Boleh gue yang beli kalo diizinin dengan bahagia.” Jonny terkekeh.

"Gue cekek dulu lo!" seru Bang Jay.

“Kita lagi nyari pahala udah diajakin bikin dosa. Kalo kita iyain dalam hati itu dua malaikat bingung nyatetnya. Baru rencana aja kan udah dosa,” kata Kelvin menimpali.

"Bang, jangan ikutan. Nat awasin si Kelvin ya!" seruku tajam. "Kalo mencurigakan putusin aja!"

"Anjay!" Kelvin tertawa penuh makna bersama temannya. Aku dan Natasya saling berpandangan tertawa pelan juga.

Setelah kedatangan mereka aku menjadi lebih ringan dan ceria. Tidak perlu bicara hal-hal yang nyerempet tentang hubungan keributan kami pada Rifando. Aku sudah malas bicara dengan Rifando kalau membahas hal itu-itu lagi, padahal sudah jelas ujungnya. Dia sangat tidak bisa memahami keadaanku, masih egois sama perasaannya.

Pernahkah dia berpikir bagaimana jadi aku, yang diinginkan hanya untuk sebagai teman? Sedangkan aku harus mengobati goresan di hati berkali-kali. Apa aku tidak boleh egois marah meninggalkannya?

“Heh, kurang ajar ni anak minum duluan!” seru Bang Jay marah melotot ke arah Jonny.

Aku menjadi tersentak, untungnya lamunan itu segera terbuyarkan, lalu menoleh ke arah Jonny yang posisinya tepat duduk di depan Bang Jay. Cowok bertubuh paling bongsor itu sudah menyeruput minuman tanpa rasa malu. Aku jadi tertawa karena ulah mereka.

“Kenapa? Temen-temenku orang baik, yang nggak bakal marah karena aku minum di depan mereka.” Jonny tak merasa bersalah berkilah, tepatnya dia hanya usil ngerjain orang di sini.

“Tapi lo harusnya sadar diri sendiri,” sahut Kelvin ganas.

“Bener tuh! Dengerin si Kelvin, tuker aja deh mending Kelvin lebih dewasa,” ucap Bang Jay. “Andah, mau kagak punya Abang kayak Jonny? Kita barter.”

“Gue nggak mau jadi adek lo,” sahut Kelvin tak suka ke arah Bang Jay. Hanya dibalas ketawa oleh Bang Jay.

“Bunda mana mau punya anak bengal kayak Bang Jonny, bisa jadi setiap hari dikeramasin sambil dibacain Ayat Kursi.” Komenanku membuat Jonny tertawa hebat lalu berusaha mengulurkan tangannya untuk menjitak ujung kepalaku.

“Tuhkan, Andah aja menolak Jonny. Udah Jon, lo emang udah ditolak sana-sini.” Kelvin tertawa.

“Kurang ajar, adiknya Kelvin tuh pasti ngeselin nggak jauh beda sama Abangnya.” Jonny berkomentar sambil masih berusaha mau meraih tubuhku untuk dijitak.

Sebelum tangan Jonny mencapai mengenai diriku yang berusaha menghindar, ada sebuah tangan dan suara yang mencegah. Suasana berubah menjadi aneh kikuk, mengetahui Rifando sedang menepis tangan Jonny yang tadi berusaha mencapai ujung kepalaku.

“Jangan bercanda, udah mau Adzan,” kata Rifando dengan mode serius.

Seketika mataku melebar syok gara-gara ucapan dan tingkah Rifando. Aku pelan-pelan meneguk ludah berusaha mengalihkan pandangan darinya, namun kami sempat bertemu mata. Degub jantung ini kembali mengalami percepatan hanya karena pandangan itu. Matanya yang serius dan dingin anehnya membuatku suka.

Sejak tadi hanya Rifando yang terlihat kalem dan aneh, tidak banyak bicara seakan sibuk dengan pikirannya sendiri. Rasanya aku baru sadar Rifando menjadi berubah, mungkin aku saja yang baru sadar setelah lama tidak bertemu dan main bersama.

💖💖💖

Aku dan Natasya sedang duduk di teras masjid dekat kafe Tiramissyou. Baru saja menunaikan ibadah wajib. Kami ngobrol-ngobrol sambil duduk dan melegakan perut yang tadi sempat keram. Tadi perutku sakit tak terkira karena asam lambung keburu naik. Angin sudah memenuhi perut dan khususnya lambungku.

Baru bisa lebih tenang saat diisi langsung dengan nasi. Aku biasanya jarang sekali langsung makan nasi, karena perutnya perih dan kosong sekali langsung diisi dengan nasi agar tidak makan yang pedas atau asam, yang bisa memperparah naiknya gas dalam lambung.

“Tadi ngobrol sama Fando?” tanya Natasya memandangiku teduh. Bagaimana sih rasanya menjadi Natasya, yang cantik, cerdas, mandiri, tegas, dan bisa imut dalam bersamaan.

Rasanya aku tidak diciptakan menjadi manusia menyenangkan. Tuhkan, aku mulai merendahkan diri sendiri lagi. Kalau Yudha atau Kelvin mendengarnya, aku bisa kena omelan panjang.

“Aku salah ya Nat? Maksudku, apa aku keterlaluan mutusin pertemanan karena nggak bisa ngeliat dia sama cewek lain?”

“Kalian cuma butuh waktu. Kamu butuh waktu buat melupakan dan menghilangkan perasaan. Rifando butuh waktu buat menerima kalau kamu udah beda, kamu juga punya keputusan. Aku ngerti kok, kamu nggak bakal bisa deket lagi bawannya sakit hati terus selama masih sayang. Keputusan kamu bener, tapi mulai bersikap biasa aja sama dia. Jangan tegang, dan terlalu protek diri sendiri. Kamu akan emosi terus. Tenang aja, biarin perasaan itu mengalir lama-lama akan bertemu ke orang yang tepat.”

Kalau Natasya sungguhan adalah jodoh Kelvin, aku akan merelakannya bersama dengan Abangku. Aku kalau jadi Bunda juga bakalan senang punya menantu model Natasya.

Katanya jodoh adalah cerminan diri, kok Kelvin bisa sama Natasya yang dewasa, dan simple? Kelvin kan orangnya ribet dan bawel. Apa memang bukan hanya cocok saja, tapi juga yang bisa saling melengkapi? Entah mengapa aku jadi kepikiran dengannya.

Bagaimana sekarang keseriusan hubungan antara Rifando dan Nilla?

💖💖💖





Updt di 2hari dempetan membuatku resah dan lelah🤣

Aku mau coba minggu depan update jadwalnya Selasa-Kamis-Sabtu ya!
Nggak terasa sebentar lagi tamat di sini🤣


28 FEB 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top