24. Anjani
Hari yang tak pernah aku sangka tiba juga. Di mana kesempatan Yudha mengajakku untuk main ke rumahnya. Rumah pemuda itu berada di bilangan Jakarta Selatan, dekat Manggarai. Berada di sebuah komplek perumahan yang rapi, bersih, sunyi, dan aman dijaga ketat di portal. Selama perjalanan menuju rumahnya Yudha tak banyak bicara, katanya biar aku kenalan sendiri dengan keluarganya.
Sesampainya di rumah Yudha, aku disambut oleh perempuan dewasa dengan kerudungan bargo berwarna putih dengan garis pinggiran kebiruan. Wanita itu cantik dan ramah. Aku mengingat bahwa Ibunya Yudha pergi saat kecil, dan punya Ibu Tiri pernikahan itu menghasilkan dua orang anak sebagai adik-adik Yudha.
“Selamat datang, ya ampun Tante kaget katanya Yudha teh mau bawa temennya,” ucap wanita itu dengan logat sunda yang lucu.
“Hai Tante, aku Andah.”
“Bu, nitip Andah dulu ya. Aku ke dalem dulu,” kata Yudha.
“Iya aman ngobrol sama Ibu. Jangan lama-lama sampe dianggurin ini temenmu, awas ya kalo ngumpet aja di kamar.”
“Kan ada Ibu, sebentar doang mau ngecek laporan magangku udah diminta file-nya sama Dosen.”
“Iya, sok dah. Neng Andah, mau minum apa?” Ditawari seperti itu aku langsung gugup, mataku memandang sekeliling ruang tamu rumahnya dan sudah tak mendapati sosok pria itu berada. Di mana Yudha? Aku sudah ditinggalin begini tanpa bantuannya.
“Nggak usah repot-repot, Tante,” ucapku lalu diajak duduk di sofa ruang tamu mereka.
Rumahnya adem, ada suara besar Televisi menyala memperdengarkan lagu iklan, dan di meja ruangan tamu ada beberapa buah figura foto dan lilin dalam gelas.
“Satu kampus ya sama Yudha?” tanya Ibunya Yudha itu. Dari sikapnya yang riang dan semangat, entah mengapa kesannya jadi rame dan diterima kemunculanku di sini.
“Bener Tante, aku adik tingkat.”
Wanita itu mengangguk antusias. “Punya adik dan kakak? Anak ke berapa?”
“Anak tengah, Aku cewek sendiri. Abangku sepantaran Yudha, adikku kelas 1 SMA.”
“Ih, gemes banget. Anak Tante adik-adiknya Yudha masih SD. Jaraknya jauh banget sama Yudha.”
“Lucu banget masih kecil-kecil, cocoknya jadi anaknya Yudha ya?”
Kami jadi terkekeh pelan. Wanita itu pamitan pergi setelah tadi memanggil nama seseorang namun tak ada yang menyahutinya.
Sembari menunggu di ruang tamu, aku membuka ponselku saat ada getaran panjang banyak sekali. Siapa lagi kalau bukan spam dari Kelvin dan Rafel yang hanya ngirim gambar emot sangat usil. Keduanya sangat cocok bergabung menjadi duo resek.
“Yudha, kamu udah pulang—“
Aku terkejut saat ada suara perempuan muncul di pintu. Kami berdua saling bertatapan kikuk. Aku berusaha melemparkan senyuman, dan dibalas sekilas saja oleh wanita itu. Lalu pandangan cewek itu kembali melongok ke dalam rumahnya.
“Temennya Yudha atau Tante Ayu?” tanyanya penuh curiga.
“Yudha.” Jawaban dengan suara serakku membuat wanita itu melongo sambil semakin lekat menatap padaku.
Cewek berkucir satu dengan celana jeans selutut dan kaus kuning itu menyelidikiku dengan tatapan yang biki risih. Aku tidak suka ditatap begitu, apalagi kayaknya merendahkan banget. “Temen kuliah? Nama lo siapa?”
“Aku Andah, adik tingkatnya Yudha.”
“Oh, adik tingkat. Yudha ada di dalem, kan?” Cewek itu segera masuk ke dalam rumah lalu memanggil-manggil nama Yudha dengan suara yang memekakan telinga. “Yudhaaaaaaa!”
“Anja, kamu jangan teriak-teriak. Enggak malu apa ada orang itu di ruang depan? Yudha ada di kamarnya, jangan diganggu kalo nggak mau kena damprat.”
“Upss, ampun Tante-ku!”
💖💖💖
Yudha masih sibuk dengan urusannya, sedangkan aku sedang menunggu di teras rumah sambil melihat kolam ikan di halaman samping. Yudha mengirimkan pesan agar aku menunggunya turun 10 menit lagi, sebab dia harus masih sibuk dengan laporan magangnya.
“Itu cewek yang di bawah pacar barumu?” Ada suara perempuan dari atas balkon posisiku berdiri. Saat aku mendongak bisa melihat ada sosok perempuan di baju kuning lagi sandaran di pagar balkonnya. Balkon itu kecil mungkin hanya selebar satu meter.
“Enggak tau, rencana Tuhan nggak ada yang tau.” Itu suara Yudha menyahuti ucapan si cewek. Nada suaranya berbeda, cukup dingin dan tegas.
“Oh, tapi akrab banget ya?”
“Kenapa kepo banget?”
“Aku ngerasa kesel aja, kamu mutusin semua hubungan dekat pertemanan sama semua teman cewekmu karena kejadian sama Dilah. Tapi ternyata kamu diem-diem punya gebetan baru cewek, wow! Aku tau dia pasti spesial gitu buat kamu!” seru perempuan itu marah.
"Gitu aja heran, wajar dong aku akrab sama cewek. Gimana kalo aku ketahuan gebetan baruku itu cowok?" Suara Yudha membuatku syok bukan main.
Tunggu, cowok itu lagi bercanda atau serius?
"HAH? Jangan bilang? Kamu beneran punya gebetan cowok, yang bener??"
"Bercanda tau." Yudha bicara dengan nada tak sabar. Lucu.
Aku yang menjadi lega banget mendengarnya.
"Jadi, dia cewek yang nggak bisa membuatmu kesal dan menjauh? Wow!" seru cewek itu. "Dulu kamu kesal sama semua cewek karena menilai sama aja kayak mantanmu."
“Dia beda,” jawab Yudha sangat singkat dan kedengarannya … aneh?
Aku beda? Berbeda apanya? Apakah aku tidak seperti manusia pada umumnya?
“Beda? Naksir sama dia?”
“Nggak tau. Aku belom bisa percaya sama siapa-siapa lagi. Tapi, kita berdua sama-sama punya tujuan yang bukan ke arah sana. Kenapa marah-marah sih?” tanya Yudha kesal.
“Kesel lah woi. Kamu nggak mau balesin chat atau ketemu sama kita-kita tapi ternyata punya temen deket cewek. Kamu nggak bisa pegang prinsip!”
“Bukan begitu. Entah kenapa ini rasanya beda. Dia nggak kayak cewek lain yang ngarep sama aku, saat aku kasih kejelasan prinsipku mereka mundur. Mereka memang cuma pengennya pacaran sama aku, kan? Tapi dia beda, memang cuma mau berteman sama aku sejak awal. Dia udah pernah nembak aku, maksudnya minta izin boleh nggak suka sama aku gitu. She is stuck in trauma too. Dia lebih parah, takut hanya buat sekadar suka sama orang.”
“Hah serius? Kasian dong kalo takut buat suka sama orang.”
“Aku sama dia cuma temenan. Udah jangan bawel, iri banget liat aku punya temen baru!” seru Yudha.
“Wah, aku panggilin geng jalan Melati nih biar ke sini dan ngacak-ngacak tubuhmu. Apalagi yang cewek-cewek. Hey, kamu tuh nggak sendiri Yudh. Kita anak-anak Geng Jalan Melati selalu ada buat kamu.”
“Nggak kebayang gue dijotosin sama Adira. Jangan ngomporin mereka kalo ada orang temenku di rumah sini.”
“Ah, tugasku emang nebarin gosip! Aku mau turun ah, teriak-teriak di jalanan kalo kamu bawa temen cewek!”
“Orang gila, wajar kayaknya aku nggak mau temenan sama kalian lagi. Udah mau sarjana kelakuan kayak anak SD!”
“Nggak ngaruh! Nggak ada korelasi."
"Ada."
"Eh, masa kemarin Della, Dewi, Romie, Jodi, dan Amir ngebolang ke Malang.”
“Untung mereka bisa jalan-jalan, nggak kayak kamu sama Adira yang kerjaanya cuma gosip.”
“Yeeeeee! Okelah, aku cabut dulu. Ini gosip panas, menyangkut geng jalan Melati. Aku mau menebarkan berita ini.”
Aku sedari tadi sudah menahan diri agar tidak senyum mendengarkan obrolan Yudha dengan teman ceweknya itu. Tak pernah menyangka bahwa Yudha tidak sesuram itu. Aku menjadi penasaran dengan teman-teman yang tadi disebut sebagai Geng Jalan Melati. Kelakuan teman cewek Yudha yang ini lumayan mirip denganku. Selalu penasaran dengan cewek yang dekat dengan teman dekat sendiri. Fyuh, entah mengapa aku jadi rindu dengan para teman-teman ricuhku.
“Andah, sori ya aku lama di kamar. Kamu di sini, astaga maaf ya dicuekin Ibu. Dia lagi sibuk di dapur—“ Yudha nyerocos panjang lebar muncul di pintu dengan pakaian sudah kasual, gayanya kayak Kelvin kolor pendek sama kaus polos. Yudha sedang berdiri sama cewek berbaju kuning itu. “Kenalin ini temanku dari SD, Anjani alias Anja. Eh Nyuk, ini Andara alias Andah.”
“Sialan manggil Nyuk! Udah kenal yeeeeee!” seru si Anja sambil mencibir ke Yudha, dan senyum kecil padaku.
“Dia emang lenjeh suka teriak berisik.” Yudha nampaknya lelah menghadapi cewek itu. “Sana katanya mau pulang!”
“Siyaaaaap! Aku mau nebar gosip!” seru Anja riang sambil melangkah riang. “Dadah Yudha!”
“Heh, jangan nebar gosip palsu ya! Awas kamu bisa aku tuntut!” pekik Yudha.
“Ih, dasar kayak Hotman Paris! Wleeeweeek!” teriak Anja dari jauh. Entah mengapa mereka terlihat lucu banget.
“Itu sahabatmu?” tanyaku dengan senyum geli.
“Iya, temen satu geng anak-anak sini.”
“Lucu banget,” kekehku pelan.
“Enggak, lenjeh banget. Alay. Suka teriak heboh dan bikin kesel. Lucuan Andah kok.”
Hih, kenapa sih dia suka bikin aku deg-degan dengan kalimat pendeknya. Bikin aku jadi salah tingkah aja. Kenapa ya aku masih sering deg-degan dan terbawa perasaan padanya, bukankah kita hanya berteman saja?
Tidak tahu mengapa saat melihat perempuan tadi, aku langsung terbersit perasaan bahwa dia memiliki peran yang sama sepertiku di hidup seorang cowok. Anja adalah aku, Yudha adalah Rifando. Aku hanya membayangkan saja, siapa tahu benar bahwa keadaan kisahnya Anja memang mirip seperti aku.
“Dia suka sama kamu, Yudha.” Aku menoleh padanya langsung berbicara begitu, suaraku pelan. Sepertinya itu hanya suara hati yang keluar begitu saja menjadi kata-kata.
Yudha ternyata mendengarnya dan membalas tatapanku. Terlihat sekilas Yudha hanya mengangkat sudut bibirnya. “Aku tau kok. Tapi, kita nggak bisa maksa sesuatu, benar kan?”
Dari cerita Yudha, aku tahu bahwa cowok itu peka mengetahui perasaan sahabat ceweknya. Namun bersikap biasa saja mengingatkanku pada seseorang. Memang ada banyak ya orang yang bersikap begitu dalam menanggapi perasaan teman dekatnya?
💖💖💖
Dikit ya wkwk kalo dipaksa banyak nggak sesuai plot malah jadinya maksa🤣
24 FEB 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top