23. Agenda
Bulan depan sudah menjelang bulan suci Ramadan. Agenda kehidupan selanjutku di hari ini baru saja menemani Yudha pergi ke rumah salah seorang gurunya saat SMA yang sudah pensiun beberapa tahun lalu, penjaga warung depan sekolahannya dulu, dan beberapa bapak-bapak yang bekerja berkeliling dengan gerobaknya. Aneh, ketika aku menemaninya turun memberikan bungkusan yang berupa sembako itu pada beberapa orang pekerja keliling gerobak pria itu tak banyak ngobrol. Saat sudah berbincang sebentar Yudha langsung pamitan pergi.
Berbeda dengan saat aku ikut masuk ke rumah Pak Adam, guru Matematika-nya saat SMA dulu, dan menemui temannya dengan masuk ke sebuah warung kelontong depan sekolahan. Pria itu mengenal baik berbicara cukup lama bagai kawan yang sudah lama tak bertemu.
Usai menemaninya berbagi-bagi bungkusan pada kawannya, cowok itu mengajakku ke sebuah Warung Bakso pinggir jalan yang cukup kecil kiosnya. Aku menganga karena ternyata area dalamnya lumayan banyak meja, dan ramai sekali.
“Selamat datang di agenda tur terakhir hari ini bersama Yudha,” kata pria itu sambil nyengir manis. Kami berdua masuk ke dalamnya, dia segera pergi menuju seorang pria yang berdiri di depan sebuah lemari kaca berisi bahan-bahan makanan.
“Sore Pak Bos Rahmat,” sapa Yudha membuat seorang pria dewasa itu menoleh.
“Eh, Mas Yudha! Apa kabarnya udah lama nggak ke sini?” Pria yang disapa Pak Rahmat itu segera membalas uluran tangan Yudha.
“Mau silaturahmi Bos, kabar ya gini-gini aja. Bos besar sehat?” Yudha memandangi pria itu lalu mengangguk.
“Masih sehat. Eh, ada Mbak manis,” ucap Pria itu saat mendapatiku. “Pacarnya Mas Yudha ya?”
“Temen aja, Bos,” jawab Yudha cengengesan. "Namanya Andah."
Aku jadi salah tingkah lalu menyalami tangan pria itu untuk menutupi gugup. “Saya Andah, teman kuliahnya Yudha.”
“Ah, mosok temenan aja?” ledek Pak Rahmat. “Mau pesen apa Mbak? Mas?”
“Biasa ya Bos, bakso yang urat enggak usah pake tauge. Kamu mau apa?” Pandangan Yudha jadi teralih padaku.
“Aku mau bakso juga, sama nggak usah pake tauge dan tahu.”
Kami berdua segera duduk memilih meja yang dekat dengan kipas angin besar. Yudha celingukan beberapa kali seperti sedang mencari sesuatu. Pria itu segera bangun dari duduknya saat sudah menemukan sesuatu. Aku mengekori gerakannya yang sedang berjalan menuju sebuah kulkas besar. Dia mengambil minuman dari sana dan membawanya ke meja kami.
“Ini aku tau kamu haus, kan?” Yudha memberikan teh botol.
“Kenapa teh botol? Kok tau aku bakal milih ini?”
Yudha tertawa pelan. “Tau dong, karena teh botol kan kita jadi akrab gini.”
“Makasih tehnya, tau nggak sih dulu pas kamu masuk kelas ngasihin minuman aku lagi pusing banget. Ditambah kamu enggak ikut bantuin aku ngerjain tugasnya.”
Lalu aku jadi teringat saat pertama kali berkenalan dengannya. Dulu Yudha tak seperti sekarang yang rajin. Saat aku masih semester 3, sedangkan dia semester 5. Kami bertemu di kelas Statisika karena dia mengulang. Saat belajar di kelas kami mulai mengenal karena dia duduk di sebelahku dan menjadi teman sekelompokku. Dia sangat tak suka Mata Kuliah Statistika dan masih aktif banget di MAKSI. Kesanku padanya dulu mengira dia pria yang malas, sampai mengulang mata kuliah itu membuatku jadi mikir yang buruk. Ditambah, cowok ini yang ngajak aku satu kelompok tapi dia yang cuek banget. Kayak cuma mau memperalat kerajinanku.
Waktu ada tugas yang lumayan bikin mual karena harus menyelesaikan data populasi dan menarik sampel. Cowok ini tiba-tiba memberikanku teh botol saat ada kelas. Yudha minta maaf kurang aktif, dan minta bantuan padaku untuk menjelaskan tugas yang aku kerjakan sendirian. Selama belajar mengajarinya ya dia mulai berubah. Perlahan aku tahu, dia tidak bodoh apalagi malas. Hanya saja dia tak suka sama Statistika. Aku tak percaya ada anak MAKSI bodoh gitu loh. Kebanyakan mereka orang cerdas, wawasan luas, dan pintar bicara.
Pesanan kami datang, aku menikmati makanan sambil menekuri mangkuk bakso itu sesaat. “Dha, tumben nggak pake tauge,” kataku sambil menuang saus.
“Aku kadang suka, kadang enggak.”
“Oh, enggak suka tauge ya? Sama kayak—“ Aku membungkam mulut tak lanjut berkata lagi. Pikiranku menahan kata-kata itu agar tidak meluncur. Kuenyahkan segera bayangan itu. Kayak Rifando.
“Kayak?” tanya Yudha yang sudah makan sambil memandangiku penasaran.
“Siapa ya? Aku? Kadang aku nggak suka tauge di bakso,” jawabku dengan hati tiba-tiba menjadi sesak.
“Oh, pantesan enggak pake tauge sekarang. Tapi waktu itu aku lihat makan di kantin pake tauge.”
“Tergantung lagi pengen apa enggak, kayak kamu,” jawabku cepat.
Sejak tadi pagi saat diajak Yudha untuk menemaninya pergi ke rumah-rumah temannya membuat sekelumit pertanyaan hinggap di kepala. “Dha, lagi mau diajak jawab pertanyaan nggak?”
“Mau ngapain main game komunikata?” tanya Yudha ketawa.
“Bukan. Aku penasaran, tadi kamu memberikan sembako ke beberapa pengepul barang rongsokan itu ngasal atau gimana? Kamu kenal? Tapi kok aku ngeliatnya aneh.”
“Oh, kamu tadi perhatiin nggak raut wajah mereka saat kita mendekat? Aku baru sadar, bahwa ternyata kalau aku dulu lewat sana juga diperhatikan. Mereka itu udah di sana sejak aku sekolah dulu. Aku nggak tau bagaimana mereka di belakang, tapi mereka pernah bantuin aku.”
“Hah ngapain?”
“Dulu aku kalo sekolah suka bawaannya mau bolos. Sampe dianterin sama Papa ke gerbang, motorku ditahan nggak boleh bawa. Terus suatu waktu Papa nganter ke sekolah bilang, jadi orang rajin, biar pinter, baik dan dermawan, Yudha. Kamu bisa membantu mereka. Ya, aku jadi berusaha bisa rajin berangkat sekolah.”
“Wow, bandel banget kamu sampe dianterin,” aku tertawa kecil.
“Kalo berangkat sendiri, aku jarang sampe masuk gerbang.” Yudha tertawa keras.
“Aku jadi pengen kayak kamu tadi deh. Guru sama penjaga warung itu juga kenal banget?”
Yudha tertawa lagi. “Tadi denger kan cerita Pak Adam, aku dulunya gimana susah banget belajar Matematika. Tapi itu guru sabar banget sampe nawarin ke Papa buat ngajarin aku les, kebetulan beliau butuh uang tambahan. Papa juga pengen nilaiku bagusan, aku les Matematika padahal nggak suka banget. Aku nggak suka angka-angka.”
“Pantesan matkul Statistika ngulang,” ledekku.
“Untung aku ketemu malaikat yang bisa ngajarin mata kuliah penuh angka bikin mual itu.” Yudha mendecih sebal.
“Aku juga mual,” tandasku ketawa. “Terus lanjutin dong? Kayaknya masa remajamu seru.”
“Kalo sama penjaga warung, dulu aku suka ngutang rokok.” Pria itu bercerita dengan mata menerawang lalu tertawa pelan.
Aku terbelalak sambil menahan ketawa. “Yudha, ada-ada aja sih. Kok pake ngutang? Kamu kecanduan banget?”
Yudha tersenyum miring mengangkat bahunya. “Aku sering bagi-bagi ke temen.”
“Bagi-bagi hasil ngutang?” Aku tertawa keras. “Kocak banget si kamu.”
“Cie seneng banget ketawanya?” Yudha sedang memandangiku lurus-lurus dengan tatapan hangat. “Kalo bahagia gini manis banget.”
“Uhukkkkk!” Aku mengerjapkan mata tak percaya salah tingkah lalu membuang pandangan ke arah lain. Di hadapanku Yudha masih mencuri-curi pandangan padaku padahal sok sibuk makan.
"Yudha, jangan godain aku gini!" seruku malu-malu.
"Kamu imut banget kalo salah tingkah gitu."
"Aaa, malu! Udah ah!!!" Aku memalingkan wajah, saat mencuri dari sudut mata cowok itu masih mengamatiku. "Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Apanya?"
"Kenapa mendadak usil ngeliatin aku? Kenapa tiba-tiba godain? Naksir ya sama aku?" tembakku langsung. Semenjak aku sering mengungkapkan perasaan duluan rasanya aku sudah tak punya malu lagi.
Selanjutnya gantian Yudha yang mau keselek dan membulatkan matanya. Cowok itu tidak menjawab malah sibuk makan dan minum.
"Kok diem?" tanyaku yang sudah tahu perasaan adalah hal sensitif untuk kita tetapi masih saja penasaran.
"Aku nggak tau."
Pasti jawabannya penolakan perasaan, seperti dulu. Inginnya aku tak mau akan terbayang lagi dengan ucapan Yudha. Sampai baksoku habis, kami hanya berbincang kecil-kecil saja. Bertukar cerita tentang kenakalan masa remaja.
Namun ternyata saat aku melihat Instagram sudah ada fotoku yang lagi mainin sisa kuah di mangkuk. Aku ingat tadi sedang tertawa sambil menunduk saat dia cerita tentang masa sekolahnya dulu yang aneh-aneh. Yudha bercerita pernah bicara dekat kotak mikrofon ruang guru tentang rencana nyonteknya bersama teman-teman. Mikrofonnya masih hidup dan omongannya terdengar sampai satu sekolah. Aku tak bisa membayangkan lucunya sampai tertawa keras. Dengan tulisan yang sama persis dia ucapkan tadi.
Kalo bahagia gini manis banget. Senyum dan ketawa terus ya.
Aku pun menjadi tidak bisa menahan tidak bahagia. Sudah jelas perasaan asing berbunga-bunga masih sering kali muncul karena Yudha.
“Yudha, udah mau pulang ke rumahmu ya?" tanyaku ketika kami sudah masuk ke mobilnya.
“Hem, enggak. Kenapa?”
“Mau ke rumahku sebentar aja yuk?”
“Oke. Tapi gantian ya, lain waktu nanti ke rumahku mau nggak?” Ucapan Yudha apakah mengandung petir, karena rasanya aku menjadi terkejut bagai diberikan kejutan petir tanpa hujan turun. Apa? Aku bakalan diajak ke rumahnya?
Mataku masih melebar menatap padanya tak percaya. “Yakin? Aku mau kok. Aku boleh ke rumah kamu?” tanyaku tak percaya.
“Ya boleh dong. Biar Ibu dan Papa kenal sama temanku.”
💖💖💖
Nggak bisa nulis Uwu karena aku lebih suka bikin adegan nangis dan keributan 😚
Ini settingnya udah mau bulan puasa ceritanya yak, tahun kemarin pas nulis ini aku kebawa perasaan pas banget lagi hawa RAMADAN. Pas bikin outline timeline waktu ceritanya ini udah di Bulan APRIL.
21 FEB 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top