22. Jangan!
“Apa yang salah dengan lagu ini? Kenapa kembali ku mengingatmu? Seperti aku bisa merasakan getaran jantung dan langkah kakimu.” Kami bertiga menyanyikan lagu dengan bayangan dalam pikiran masing-masing.
“Ke mana ini akan membawaku?” Suaraku terdengar paling keras saat di bagian ini. Sasa dan Ardan langsung menoleh dengan raut wajah bingung.
Kami menyanyikan lanjutan liriknya bersama-sama lagi. “Kau harus bisa bisa berlapang dada. Kau harus bisa bisa ambil hikmahnya. Karena semua semua tak lagi sama. Walau kau tahu dia pun merasakannya. Aaaaaaa!”
“Yuk semuanya nyanyi bersama!”
💖💖💖
Sudah dibuka dengan tiga buah lagu, rasanya aku sudah masuk dalam kebahagiaan sementara ini. Kini aku sedang bersama dengan Sasa, dan Ardan. Kami bertiga sedang menikmati konser besar dengan penyanyi dalam negeri yang keren-keren, salah satunya ada band populer di Indonesia, dan legendaris. Band yang sudah membawakan tiga lagu, dan mempersiapkan lagu selanjutnya. Lokasinya di sebuah halaman terbuka di Kemayoran. Di lapangan outdoor ini, kami bertiga mengambil posisi yang tidak di dekat garis depan banget karena di depan sana padat sekali. Kami cukup ngeri kalau setelah konser bakalan lecet-lecet.
Setelah nada intro terdengar beberapa saat, suara Kak Duta selaku vokalis utama mulai menyanyikan lagunya. “Tuhan, aku berjalan, menyusuri malam setelah patah hatiku. Aku berdoa, semoga saja ini terbaik untuknya.”
“Dia bilang, kau harus bisa seperti aku. Yang sudah biarlah sudah,” lanjut Ardan dengan kerasnya seolah-olah dia adalah penyanyinya.
Kami memang sejak tadi sudah tak peduli imej lagi nyanyi sekeras mungkin, dan menyanyikan lagu sampai bergantian seperti kami bikin konser sendiri.
“Mudah saja bagimu, mudah saja untukmu. Andai saja, cintamu seperti cintaku.” Suara kami bertiga langsung menyatu begitu saja melanjutkan lirik lagu.
“Selang waktu berjalan, kau kembali datang. Tanyakan keadaanku, kubilang kau tak berhak tanyakan hidupku. Membuatku semakin terluka,” lanjut Sasa dan aku.
Kami menyanyikan lagu bersama lagi. “Mudah saja bagimu, mudah saja untukmu. Coba saja lukamu seperti lukaku.”
“Kau tak berhak tanyakan keadaanku, kau tak berhak tanyakan keadaanku!” Aku menyanyikan lirik itu dengan sepenuh hatiku, Sasa dan Ardan sedang memandangiku dengan raut wajah penuh kekaguman.
Keduanya bangga bisa membuatku menikmati acara ini.
Setelah lagu selesai, kami bertiga sudah tertawa-tawa seperti memiliki pemikiran masing-masing namun ada satu hal yang sama pastinya. Kami tertawa karena lagu itu memiliki momen masing-masing untuk kami. Aku yakin setiap orang memiliki kenangan pada sebuah lagu, ketika mendengarkannya langsung merasakan ada di suasana kala itu.
“Anjirrrr! Abis ini Noah!!” seru Ardan membuatku jadi sedikit berjingkat.
Sasa dan Ardan sudah heboh ketika melihat vokalisnya mulai muncul di tengah lapangan. Suara teriakan penggemar sudah tak bisa ditahan lagi kala nada musik sudah memainkan lagu yang amat terkenal. Penggemar group ini banyak dari kalangan wanita dan pria.
Aku sudah mempersiapkan diri akan bernyanyi lagi berbagi suara dengan Ardan dan Sasa. Netraku mendapati Ardan sudah mulai menunjukkan aura bintangnya, dan Sasa sudah larut dalam suasana lagu ini.
“Cerita ini tak lagi sama, meski hatimu selalu di sini. Mengertilah bahwa ku tak berubah. Lihat aku dari sisi yang lain.”
Suara nyanyian dari speaker besar itu membuatku sudah larut menyatu dengan yang ada dalam pikiran dan kenangan milikku. Suara nyanyian yang kompak membuatku semakin semangat bernyanyi karena di sini semakin banyak manusia yang memiliki pemikiran masing-masing. Mau isi pikirannya apa, kalau ada lagu galau pasti ikutan jadi galau dan jadi seperti terbayang kenangan masa lalu.
“Ndaaaaah!” Sasa berseru sambil menaboki lenganku keras.
“Apaaaa?” Aku menoleh menepis tangannya dengan menggeser lenganku.
“Itu beneran Fando bukan? Apa aku salah liat orang?” tanya Sasa sambil menatap ke arah kiriku. Lalu Sasa tiba-tiba tersenyum dan melambaikan tangan singkat.
Kelakuannya membuatku segera menoleh ke arah kiri, dan tidak jauh dari kami ada sosok cowok tinggi dengan kemeja kotak-kotak lengan panjang digulung ke siku. Dia sungguhan Rifando bersama dengan beberapa orang cowok, mungkin temannya.
Tatapanku bertemu dengan manik mata di tengah minim cahaya ini, mata milik Rifando sepertinya tidak terkejut melihatku di sini. Berbeda denganku yang rasanya sudah deg-degan tak karuan. Jantungku bagaikan langsung loncat dan jatoh ke tanah.
Kenapa di tempat ini aku bertemu dengannya juga?
Aku mengalihkan pandangan malas melihatnya lagi. Aku menganga saat sadar salah satunya teman yang bersama Rifando adalah Roy, dan sosok pria lainnya yang kurus melambaikan tangannya padaku. Banyu. Mereka adalah sahabat Kelvin dan Jonny juga. Pernah masuk dalam satu band yang sama. Namun hanya Roy yang masih berlanjut menekuni dunia musik.
Roy juga sudah tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Aku hanya membalasnya sekilas, lalu berusaha memfokuskan pandangan ke arah panggung lagi. Lagu selanjutnya masih dibawakan oleh penyanyi yang sama.
Kini suasana hatiku entah mengapa berubah menjadi kacau tidak enak lagi, hanya karena tak sengaja melihat Rifando doang di sini.
💖💖💖
Acara konser sudah selesai tepat pukul 10 malam. Sekarang jam di tanganku menunjukkan pukul 22:30. Kami sudah keluar dari area lapangan konser, sehingga para manusia bertumpah ruah ke seantero wilayah Jiexpo Kemayoran.
Di dekat sebuah stan minuman teh aku sedang berdiri menunggu kembalinya Sasa dan Ardan. Keduanya tadi berpamitan, Ardan ingin ke toilet sedangkan Sasa melipir ke sebuah stan-stan barang bermerk yang lagi pameran cuci gudang.
Aku masih bisa melihat ke arah stan cuci gudang tersebut, jadi memilih duduk di pinggiran pagar tanaman. Kakiku sudah letih kalau diajak berjalan-jalan lagi. Sungguh tumitku rasanya sudah susah digerakkan saking pegalnya. Betisku juga sudah nyeri membuat rasanya tak nyaman.
“Hey, cantik sama siapa? Sendirian aja?” Suara mengejutkan itu muncul dari arah beberapa orang pria yang tidak tua, ya sepertinya mahasiswa atau dewasa awalan. Mereka berjumlah tiga orang dengan gaya berpakaian yang kasual, gayanya ya mirip-mirip Kelvin. Ketiganya senyum menggoda padaku.
“Kamu mau ke mana? Enggak pulang?” tanya salah seorangnya yang berkaus merah dan pakai totebag putih. Dia bersidekap tangannya memandangiku aneh.
“Rumahmu di mana? Mau dianterin nggak?” Seseorang yang menggunakan kaus polo warna hijau daun mengatakan hal yang menakutkan itu.
Aku sudah gelisah ketakutan dan bangun dari dudukku. Bibirku masih terkatup rapat, dan menggigit bibir bagian dalam untuk menutupi kegugupan.
“Diem aja, bisu ya Neng?” tanya yang lainnya yang memakai jaket kulit warna hitam dengan rantai panjang sebagai hiasannya.
Pria itu memberikan raut wajah aneh, membuat kedua temannya langsung mendekati ke arah sisiku yang berlawanan.
“Mau ngapain?” tanyaku sok berani. “Gue atlet pencak silat, mau gue tumbangin satu satu?” Aku mengancam mereka dengan kebohongan. Pandanganku menunjukkan keberanian, walau sangat takut. Aku mengepalkan tangan bergaya siap menghajar mereka.
Mataku mendapati kedua cowok itu sedang bertatapan penuh keraguan, sedangkan si bosnya yang berjaket kulit tampaknya tak terpengaruh sama ucapanku.
“Woi, misi-misi, kalian semua ini siapa? Sori, kalian ngapain ganggu di sini? Pergi! Pergi!" Sosok pria muncul dan sudah menarik tubuhku ke belakangnya. Karena kemunculannya yang menarikku, aku sempat menyenggol keras pria yang berdiri di sebelahku sampai orang itu terdorong mundur ke belakang.
“Yah, ada yang jagain, kirain cewek cupu sendirian,” ucap si cowok berjaket kulit.
“Mau apa kek, kalian nggak berhak godain orang! Pelecehan!” seru Rifando tajam.
“Dih, ngapain si ni orang? Mau ceramah? Jadi Ustad aja sono. Udah yuk cabut aja!” Ajak si pentolannya membuat kedua anak buahnya itu pergi.
Kalian yang ngapain jadi manusia nggak jelas banget, gerutuku ingin nyeplos saja.
Aku mendesis lalu sadar orang ini adalah yang lagi aku abaikan. Kakiku memutar untuk meninggalkannya begitu saja, namun cowok itu menahan lenganku.
“Kenapa sendirian? Sasa sama Ardan mana? Kamu enggak langsung pulang? Pulangnya sama siapa?” tanya Rifando celingukan mencari teman yang mengajakku ke sini. Air mukanya terlihat sedikit menegang, dan mendecak kesal.
“Nanti juga balik, kita janjian di sini. Aku pulang sama mereka,” jawabku santai dengan pandangan mengarah pada yang lain.
“Pulang sama aku aja, bisa langsung sekarang. Nanti kemaleman kalo nunggu mereka,” tukas Rifando.
“Enggak usah, aku nggak apa-apa pulang malem. Kamu kalo mau pulang duluan aja,” sahutku.
“Udah malem, mau digodain kayak tadi lagi?” Rifando memandangiku kelihatan sangat khawatir.
“Masih banyak orang, aku bisa teriak.”
Di sini masih cukup ramai, namun orang-orang pada sibuk dengan kegiatan kesenangan masing-masing. Aku yakin kalau tadi teriak juga bisa mengundang orang menolongku, aku tadi sudah nyaris bisa mengusir mereka kok. Cuma keburu ada Rifando datang membuat para cowok itu ketakutan. Yah, kalau hanya digertak saja sudah takut, cowok-cowok penggoda tadi sudah pasti cuma cowok lemah yang centil. Sudah ketakutan duluan saat ada cowok berbadan lebih tinggi muncul menggertak marah-marah ngusir.
“Ya udah kalo nggak mau balik bareng, tapi aku temenin sampe ada Sasa dan Ardan balik nemuin kamu,” ucap Rifando kontan membuatku menoleh terkejut.
"Kamu pergi aja!"
"Kenapa? Emang aku tipe yang pernah jahat dan akan tega ninggalin kamu sendirian dalam suasana nggak aman kayak gini?"
Aku mendesah sebal. "Udah deh."
"Kamu yang udah deh, jangan begini terus. Kita omongin ini baik-baik. Baikan lagi sama aku."
Dalam dadaku menjadi berat. “Kamu nggak ngerti ya sama ucapanku waktu itu? Aku tuh udah mempermudah kamu, biar aku aja yang mundur. Tapi, kamu bertingkah kayak nggak ada masalah. Aku minta hal yang mudah, karena ini nggak sulit kan? Kamu seneng ya liat aku keliatan goblok begini? Diam-diam kamu seneng liat aku sakit hati?” Dia nampak diam saja mencerna kata-kataku.“Memangnya ini demi siapa? Kamu.” Aku masih bersuara dengan bergetar sedikit.
Kalau aku jahat, aku bisa menjadi cewek centil yang tetap menempel pada Rifando. Sayangnya aku tak bisa menggoda apalagi melihat dia bersama pacarnya lagi, itu sangat menyakitkanku. Aku perhatikan Rifando sedang menghela napasnya berat dengan sorot mata sendu memandang pada arah lain.
“Maaf, kalo aku nyakitin kamu dengan bersikap begini. Aku ngajak bicara kamu lagi setelah permintaan malam itu kayak nggak ada rasa bersalah. Apa nggak bisa kamu kayak biasanya, tetap menjadi sahabatku, Andah?” tanya Rifando semakin mengiris hatiku yang sudah sempat mengering lukanya.
Kini hatiku kembali menjadi tergores, membuat luka yang tak berdarah namun sangat menyakitkan nyeri itu. Luka itu menjadi basah lagi. Aku memang benar-benar tak bisa berhadapan dengannya lagi. Aku menahan agar tidak menangis, tenggorokanku tercekat sampai rasanya sakit untuk meneguk ludah. Dinginnya malam ini juga menambah ngilu di tulang hidungku. Aku menarik napas namun nyeriku sampai rasanya ke tulang punggung. Napasku menjadi putus-putus.
“Kamu egois banget. Kamu nggak ngerti perasaan aku,” desisku sambil menarik napas pelan-pelan. Aku kesulitan bernapas sampai punggung dan dadaku nyeri.
Ya Tuhan!
“Aku berharap kamu udah salah menafsirkan perasaanmu ke aku. Kamu bisa cepat-cepat sadar dan perasaan itu menghilang. Ini aneh bisa ada cinta di antara kita, padahal kamu udah kayak saudaraku sendiri.” Lagi-lagi dia menyinggung hubungan kami.
Sebisa mungkin aku menghela napas agar tenang. “Aku dan kamu jelas berbeda. Nggak apa-apa kamu nggak bisa membalas perasaanku, tapi jangan menyuruhku buat berhenti sayang sama kamu tiba-tiba secepat itu. Semua butuh waktu. Perasaanku memang udah tumbuh tanpa pernah kamu minta. Jadi, biarkan perasaan itu mati dengan sendirinya nanti, tanpa kamu tuntut untuk cepat-cepat menghilangkan perasaan ini. Maaf Ndo, aku mencintai kamu. Kamu nggak bisa terima kenyataan itu, dan jadi kesal ya?”
Malam ini harusnya indah, aku habis nonton konser penghiburan. Menjadi malam penuh sesak dan kekesalan lagi karena bertemu dengan Rifando. Dinginnya malam, pertemuan dengan seseorang, dan segala ucapannya semakin mencekat dada hingga sesak.
Rifando masih terdiam saja menatap ke arah lain dengan tatapan matanya sulit aku mengerti.
"Kamu nggak suka ya disukain sama cewek kayak aku? Kalo kamu memang kesal, nggak suka, dan nggak nyaman dicintai sama aku. Ya mudah buat kamu untuk mengabaikan aku. Benci aku aja biar aku mudah melupakan kamu."
Aku amat yakin Rifando akan menyetujuinya agar aku bisa menghilangkan perasaanku padanya. Namun saat pria itu akhirnya bereaksi aku menjadi semakin sesak dengan hati mencelus sakit. Entah mengapa aku jadi sulit mengartikan harus bagaimana menerimanya.
"Aku nggak akan pernah marah apalagi benci sama kamu." Itulah jawaban Rifando.
💖💖💖
Fuuu~~ baver 😭 sweet but bitter
Jadwal updatenya hari Rabu, Sabtu, dan Minggu ya karena aku gak sering-sering di sini lagi 🤗 hahahaa
Bye!
20 FEB 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top