20. Ada undangan

"Ndah, Encis sama Achel udah makan belom? Udah dikasih makan belum?" Suara teriakan membahana itu berasal dari arah atas tangga.

Begitu aku menggeser pandangan dari TV menuju ke arah tangga, dari sana muncul sosok cowok dengan kaus oblong putih, celana kolor motif tentara, dan rambutnya yang hitam lurus acak-acakan. Bisa ditebak bukan, siapa lagi kalau bukan Kelvin yang lebih menyayangi kucingnya dibanding aku. Yang ditanya sudah makan atau belum para kucingnya, bukan aku.

Mata Kelvin sudah melotot tajam padaku menunggu reaksiku yang seharusnya bangkit untuk mencari dua kucingnya. Aku bangun dari posisi dudukku lalu menyeret kaki terseok-seok sampai melewati depan Kelvin, sengaja ngeledek dia.

"Jangan gitu, kaki tuh dipake yang bener!" seru Kelvin kecut masih berdiri di tengah tangga.

"Masih mending aku kakinya masih dipake, Abang kagak. Udah setengah turun tangga kagak turun sekalian buat ngasih makanan kucing."

"Astaghfirullah kamu sadis banget. Amit-amit ya. Aku mager, udah ya, kasih makan yang banyak!" Cowok itu langsung sudah naik lagi pergi ke kamarnya.

Di halaman samping, aku bertepuk tangan sambil memanggil mereka. "Encis, Achel, mau makan nggak?"

Kedua makhluk yang sedang rebahan di teras itu langsung gerak cepat bangun berlari-lari menuju padaku. Mereka segera menempel di betis kakikku menggesekkan bulu-bulunya. Aku membuka ikatan bungkusan makanan kucing lalu menuangkannya ke tempat masing-masing makanan kucing itu.

Usai mengerjakan tugas aku duduk di kursi memandangi langit sore hari ini. Dari teras aku mendengar suara sayup-sayup genjrengan gitar lalu suara Kelvin yang sedang bernyanyi-nyanyi. Dari posisiku suara Kelvin memang terdengar karena kamarnya memang tak jauh dengan posisi halaman samping. Kalau kamarku tepat berada di atas teras depan rumah.

Aku kangen kenangan saat mendengarkan Kelvin yang bermain gitar bernyanyi bersama dengan Rifando. Aduh, mengapa nama itu lagi yang aku pikirkan. Aku menggelengkan kepala tidak mau mengingat segala tentangnya. Aku sudah meninggalkan kenangan bersamanya malam itu bersama dengan ucapan perpisahan.

"Kak Andah jangan ngelamun ntar ketempelan setan tikus yang udah mati!" Untungnya si bocah berisik bernama Rafel ini muncul mengangguku. "Bunda udah pulang bawa makanan."

"Asyik!" seruku langsung bangun lari-lari, dan kelakuanku diikuti oleh Rafel yang juga ikutan lari.

Sampai kami berdua rebutan untuk masuk ke dalam ruang dapur karena pintunya yang tidak besar. Salah besar aku aku kekuatan dengan badan Rafel yang bongsor. Tetapi wanita memiliki sisi perasaan egois ingin menang yang bisa membuat kekuatan menjadi besar. Aku tak mau kalah sama Rafael berhasil mendahuluinya.

"Ngapain lari-lari?" Bunda menoleh memandangi kami ngeri.

"Kak Andah lari, jadi aku ikutan," cetus Rafel.

"Ye ikutan aja, aku lari soalnya pengen rebutan sama Rafel-" Aku mengambil donat dengan topping cokelat lumer.

"Kak Andah itu kesukaanku!" seru Rafel kecewa donatnya sudah aku gigit dan kunyah. "Yaaaaaah!"

"Itu masih ada cokelat yang lainnya," jelas Bunda takut si anak cowok bontot itu ngambek.

"Yah, ya udah!" Rafel mengambil donat yang lain. Dia memakan donat itu dengan tatapan agak tidak ikhlas gara-gara rebutan dan terpaksa makan donat yang itu.

"Bun, tumben bawa donat satu lusin," aku mengamati donat itu sepertinya akan makan lagi tanpa bisa kenyang. Keenakan.

"Bunda tadi mampir abis beli sesuatu ke Giant. Bunda kan keingetan kamu udah lama gak makan donat."

"Bunda keingetan Kak Andah aja nih? Sama Rafel enggak?" Cowok itu mulai sok imut.

Aku menatap anak bocah itu. "Nggak, soalnya Rafel berisik aka bacot."

"Heh, Andah jangan gitu! Jangan kasar sama Rafel-nanti dia nangis." Bunda menahan senyum dan tawa karena ucapannya.

Aku jadi tertawa keras melihat raut wajah Rafel yang sudah masam kesal selagi memandangi Bunda.

"Aku nggak cengeng, Bun," elak cowok itu kesal memanyunkan bibir dan menekuk wajah.

"Bun, Rafel mah di rumah aja sok imut. Pasti di sekolahan suka ngomong kasar alias berandalan." Aku ngeledek Rafel sambil menjulurkan lidah.

"Apa apa? Rafel nih badboy cogan sekolahan!" seru cowok itu sambil maju ingin adu body denganku.

"Tapi, mana ada badboy nyobain masker muka Kakaknya, kamu pasti di sekolahan naksirnya sama cewek yang suka maskeran kan makanya ikutan nyobain!" Aku terkekeh membayangkannya.

"Kagak, aku nggak naksir cewek kayak gitu! Nih ya, mana aku tau cewek-cewek maskeran apa nggak. Di sekolahan kagak boleh bawa produk kayak gitu!"

"Ya kali aja kamu ngupingin gerombolan cewek, jadi pengen ikutan biar sefrekuensi obrolannya jadi pake masker."

"Aku sering liat iklan aja kok, terus Artis banyak cowok yang bersih dan ganteng. Aku jadi pengen ganteng juga. Eh Abang nggak dipanggil, Bun? Panggilin Bun, nanti dia ngamuk kebagian cuma yang donat yang rasa stroberi!"

"Ndah, panggilin Abang dulu!" seru Bunda.

"Rafel nyuruh Bunda, kok Bunda nyuruh aku. Fel, kamu panggilin abang sana!" seruku sambil menjilati tangan yang terkena selai cokelat.

"Ogah! Kakak aja!"

Aku mengalah dan pergi untuk memanggil Kelvin yang di kamarnya. Aku melihat cowok itu sedang duduk di ruang TV lantai atas sedang berbicara sama seseorang dengan voice call. Aku melihat sosok orang di layar ponsel cowok itu adalah foto wajah Rifando.

"Ya gimana lagi, dia udah belajar bisa memutuskan apa yang dia mau." Kelvin terdiam karena sepertinya Rifando berbicara. "Dia udah jadi dewasa yang bisa jatuh cinta dan galau patah hati. Bukan anak kecil kayak dulu yang mau aja berteman main sama lo."

"...."

"Untuk urusan ini gue nggak berhak ikutan. Kalian selesaikan sendiri dah. Kalo gue jadi dia juga udah bye-bye aja sama lo! Bye Dodi! Jahat banget sih lo jadi orang!" Kelvin bicara lagi dengan Rifando.

Sepertinya posisiku tak muncul di layar ponsel Kelvin, dia masih asyik ngobrol entah mengapa aku tak nyambung karena hanya mendengar dari satu pihak. Kelvin juga masih sibuk fokus ngobrol tak menyadari kehadiran diriku.

Aku kembali turun ke bawah sambil mengetikkan sesuatu ke ponsel. Di aplikasi Whatsapp banyak pesan muncul di grup Teletubbies. Aku hanya membuka tanpa membacanya. Aku membuka aplikasi itu hanya untuk ngirim pesan ke Kelvin.

Ada donat, turun cepetan kalo gak mau keabisan.

💖💖💖

Di dalam kamar aku sedang membaca makalah dari laptop, belajar untuk presentasi besok giliranku untuk maju. Mataku sudah lelah membaca di layar, sehingga aku mematikan laptop untuk membaca materi dari buku saja.

Aku melihat di ponsel ada pesan di grup LINE alumni angkatanku. Aku membaca ada pesan dari nama Alana Sarief. Dia adalah teman seangkatanku yang merupakan anggota OSIS juga. Alana mengirimkan pesan berupa foto undangan pernikahan beserta kata-kata meminta doa restu.

Tidak berapa lama ada sebuah pesan pribadi ngechat ke kontakku, yaitu Alana. Dia mengirimkan foto undangan yang dialamatkan benar-benar untukku, bukan hanya sebuah file seperti tadi di grup. Aku melemas melihat di kotak putih halaman depan undangan itu bertuliskan Andara Keila and Partner.

Ok, partner, ok. Di mana harus aku cari partner ya?
Apa itu partner? Aku belum butuh! Aku bukan manusia yang haus akan cinta! Aku bisa hidup mandiri tanpa cinta! Aku cewek bebas yang tak terkekang oleh ikatan atas nama cinta!

"Ndah, diundang sama Alana?" Kelvin membuka pintu kamarku tiba-tiba sambil memegang ponselnya.

"Diundang, tau Alana kan? Inget kan?"

Kelvin mengangguk. Cowok menyebalkan macamnya saja bisa melupakan cewek semacam Citra yang cantik dan sempurna. "Mau dateng nggak? Ayo sama aku, tapi sama Natasya juga gapapa ya?"

"Tumben ngajakin, kesambet apaan?" Aku tersenyum penuh makna. Aku tidak perlu ngeledeknya, siapa tahu semenit lagi cowok ini jadi jahat dan pelit.

"Soalnya aku tau kamu bakal berangkat sendirian."

Jawaban itu benar-benar khas Kelvin, dan ingin rasanya aku mencakar dirinya. Senyumanku segera terhapus berganti menjadi wajah masam sebal. Haha, iya ya aku akan berangkat sendirian dan menyedihkan sekali.

"Kamu balas dendam Bang, sama kejadian di Rumah sakit dulu?" tanyaku dengan nada ngajak ribut ala preman.

Kelvin tertawa ngeledek. "Ya emang bener kan kamu pasti pergi sendirian, emang nggak kikuk sendirian? Eh tunggu, emang bakal pergi sama siapa?"

"Eh, siapa tau si Sasa juga diundang, kalo dia diundang boleh barengan juga? Aku pengennya berangkat dan pulang udah jelas dan bisa tenang. Nebeng sama kamu ya ya?"

"Ya udah, kirain bakal sama Yudha," sahut Kelvin.

"Nggak Bang, aku sama dia biasa aja. Nggak seromantis itu. Cuma temenan."

"Ya udah baguslah cari anak lain aja, jangan anak MAKSI lagi!"

Aku mencibir. "Anak orang tuanya lah!"

Setelah diajakin pergi ke acara Alana barengan oleh Kelvin, aku mengirimkan pesan juga ke Sasa. Cewek itu juga diundang oleh Alana karena mereka pernah satu kelas. Sasa bakal pergi bersamaku tanpa pacarnya yang ada acara sendiri dengan keluarganya.

Aku lega, aku memiliki banyak teman untuk ke sana! Yihaaaaa! Aku dan Sasa sama-sama datang sendiri.

"Ndah, si Fando bakal dateng nggak tuh?" Sasa menelponku katanya ingin bicara penting, yang dimaksud penting olehnya adalah Rifando.

"Duh, udahlah sans aja. Nggak usah dipikirin kalo takut ketemu, lagian acaranya di gedung gede dan durasinya kan 8 jam. Kemungkinannya ketemu cuma 50 persen."

"Oke-oke, ini baru temenku! No galau-galau club!"

"Sa, kamu nggak punya temen apa yang bisa dijadiin pacar sewaan?"

"Hah?" Sasa melongo.

"Hah, hoh, keong!"

"Gila aja baru beberapa detik lalu kamu sok-sokan bilang sans aja."

"Bercanda doang elah."

"Wah, orang gila, patah hati makin gesrek aja otaknya."

"Haha, katamu patah hati ini belum seberapa, ya kan?"

"Iya, ya udah tidur sana," kata Sasa. "Besok kamu presentasi kan? Ucucucu jangan galau mulu dong. Mending tidur nyenyak."

"Siapa yang galau? Oke, aku diusir, bye Sa!"

Aku membereskan buku-buku dan laptopku ke meja belajar. Aku tak sengaja melihat sebuah figura di meja yang berisi foto bersama para teman-teman Teletubbies-ku. Fokus padanganku hanya ke satu orang. Dia.

Kamu bukan sekadar manusia yang bisa dengan mudah diabaikan, dijauhkan, dan dilupakan. Tidak seperti aku yang sebaliknya.

Kamu juga bukan sekadar rasa yang bisa semudahnya dihilangkan. Sedangkan aku adalah manusia yang selalu berada di sisimu tanpa pernah bisa menciptakan rasa.

Aku menyalakan radio dan mendengar suara DJ akan memutarkan sebuah lagu untuk para pendengarnya.

Intuisiku, selalu mengarah kepadamu.

Kenapa lagu yang sangat cocok dengan keadaanku saat ini, aku melamun menatap langit kamar dengan lagu itu menemani lamunanku. Aku bangun dari posisiku, dan berjalan ke balkon kamar. Malam ini gelap, sunyi, dan aneh. Tidak seperti dulu saat aku kecil biasanya anak-anak kecil akan main di sepanjang jalanan sini.

Aku jadi teringat saat kecil aku dilarang main keluar malam-malam, tetapi Rifando tetap saja main ke rumah kami buat main game sama Kelvin. Katanya kalau tidak boleh main di luar, main di dalam saja. Dasar anak-anak bandel yang lucu.

Sebuah motor berhenti di depan rumahku. Karena gerbangnya yang tertutup pria itu turun dari motornya untuk membuka pagar rumah. Aku tak tahu siapa orang itu karena area pagar cukup redup. Kalau pengantar paket sudah teriak-teriak PAKET dan menunggu di luar pagar.

Hanya orang yang sudah biasa yang berani membuka pagar rumahku, yaitu dia. Benar, saat orang itu mendongakkan kepalanya melihat ke arah tempatku berdiri, dan bertemu mata padaku. Aku secepatnya pergi dari pandangan orang itu.

Ini rumahku mengapa menjadi aku yang takut terlihat olehnya? Apa aku selemah itu sampai tak mampu melihatnya satu detik pun? Aku sudah berjanji akan kuat menghadapinya tanpa beban lagi saat perasaanku sudah hilang padanya, agar aku tidak berharap apa-apa lagi.

💖💖💖

"Di dunia ini ada banyak hal yang harusnya dibiarkan, salah satunya adalah perasaan tanpa balasan."

💖💖💖





Kangen Fando nggak??

Yang kangen tenang aja nanti Fando muncul lagi kok 😚😆














Sepi banget kalo nggak ada keributan🤐

15 FEB 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top