19. Tenangnya hari ini
Aku bersyukur bisa memiliki jadwal liburan itu. Aku bisa pergi bersama Yudha, sebagai teman. Selama di sana saat ada kesempatan aku bercerita tentang pengakuan pada Rifando malam itu. Yudha mendengarkan, tak berkomentar banyak. Saat aku terlihat sedih kedapatan melamun, dia langsung berusaha mengajakku berbicara hal lain. Intinya agar aku bisa mengalihkan pikiran dari keributan malam itu. Aku lega bisa membuat Yudha lepas dari ancaman amukan salah paham Rifando. Aku memang bodoh bisa membuat mereka jadi ribut. Apa memang harus ada kejadian itu dulu, agar memaksa aku menjelaskan yang sebenarnya pada Rifando?
Tadi malam aku baru tiba di rumah nyaris tengah malam. Pagi ini aku pergi kuliah dengan kepala masih pusing dan mata sembab, hanya demi absenku bagus. Dan juga untungnya aku masuk kelas tadi ada kuis dadakan. Walau aku di kelas belajar dalam kondisi yang ngantuk berat, dan pusing, ya absenku terselamatkan. Kuisnya juga tak susah amat, hanya butuh sebaris teori, dan diikuti karangan indah.
Saat ini aku sedang ngobrol sama Sasa menunggu dosen kelas selanjutnya, cewek itu sudah aku ceritakan lewat chat saat hari di mana aku sudah menyatakan perasaan pada Rifando.
"Gimana puas, kan?" tanya Sasa sambil menopang dagunya dan menatapku yang duduk di sebelahnya.
"Udah aku duga, dia memang nggak pernah ada rasa sama aku. Ya aku harus terima aja gimana respons dia. Cuma hubungan pertemanan kita jadi kacau," ucapku sambil membayangkan kejadian malam itu kembali.
Saat Rifando memberikan pelukan terakhirnya cukup lama. Aku juga memeluknya sangat lama, ingin mengatakan bahwa sebenarnya aku tak ingin menjauhinya. Aku tak mau jauh, asal aku tak dalam posisi seperti saat ini. Malam itu aku memintanya ingin turun di tengah jalanan memilih naik kendaraan umum, tapi Rifando mengatakan dia ingin mengantarku sampai ke rumah. Rifando mengatakan agar kami bersikap biasa saja setelah adegan pengakuan itu. Ya aku menurut tetap diantar olehnya. Sepanjang perjalanan kami diam saja sibuk masing-masing. Aku sibuk menahan tangis.
"Tapi dia bener-bener nggak suka sama Yudha loh sampe ngelarang kamu jalan jauh keluar bersama. Dia sepeduli itu sama hubungan kamu dan Yudha? Wow, nggak ngerti lagi deh sama hubungan kalian," ucap Sasa.
"Kamu ngerasa dia yang terbaik buat kamu. Kita cinta banget sama dia karena ngerasa cuma dia yang mengerti dan membahagiakan kita. Tapi dia nggak memiliki perasaan yang sama. Pernah ngerasa nggak sih ada orang sebaik itu?"
Sasa melongo dengan dagu melorot. "Ndah, cinta itu harusnya saling memberi. Dua orang itu harus saling cinta dalam sebuah hubungan. Jangan masuk dalam hubungan yang satunya nggak ada perasaan cinta, nanti kamu capek sendiri. Kamu yang bakal berjuang mati-matian sendiri." Ini pasti pengalaman pribadi Sasa banget.
"Tapi kamu pernah nggak sih ngerasain, kamu merasa dicintai padahal enggak sama sekali?"
Sasa terdiam sambil meneguk ludahnya pelan. Aku sedang mencerna perkataanku sendiri, aku merasa bahwa selama ini Rifando terlalu baik padaku. Sikapnya yang seperti itu membuatku berpikir, dia bisa akan membalas perasaanku. Tapi nyatanya, dia tidak mencintaiku.
Sasa terlihat sedang membuang napasnya lalu memberikan suaranya lagi beberapa saat kemudian. "Memang susah ya Ndah, sikapnya bikin kita merasa disayangi. Hanya dengan sebuah ucapan sudah bisa menghancurkan segala pemikiran dalam otak, dan keyakinan di hati. Mulut itu yang paling jahat ya?"
Aku juga menyetujui ucapan Sasa. Ucapan dari mulut, entah itu jujur atau kebohongan akan selalu teringat dan menghancurkan harapan. Hanya karena suara ucapan bisa membuatku sadar, aku memang tidak sepenting itu untuk Rifando.
Katanya, sikap dalam cinta lebih romantis. Ya kalau Rifando mencintaiku juga itu sangat romantis karena dia sangat memberikan rasa sayang dengan sikapnya. Tapi dia tidak mengatakan dia mencintaiku. Sikapnya membuat aku salah paham, mungkin memang benar itu juga salah satu rasa sayang. Namun jenis rasa sayang yang berbeda, rasa sayang hanya pada saudara atau sahabat terdekat.
"Bukan mulutnya yang jahat sebenarnya, Sa, tapi pernyataan yang keluar dari mulut. Tapi itu berlakunya cuma buat ucapan yang nggak ingin kita dengar. Pernyataan yang kenyataan." Aku tertawa, kalau malam itu aku menerima pengakuan bahwa Rifando juga mencintaiku tentu aku tak akan menganggap mulut sebagai indera paling jahat. Ucapan kenyataan pahit yang menghancurkan harapan, pertahanan, dan prinsip.
💖💖💖
Saat ini aku sedang di kantin kampus Fakultas Hukum bersama dengan Kelvin. Hal yang terjadi sangat langka melihat Kelvin mau ke kantin kampus demi meluruskan sesuatu. Aku baru saja terjebak bersama Kelvin dalam drama yang tidak disukai oleh Abangku ini.
"Kamu sih pake boong segala bilang lagi sakit. Liat nih Tante Emma sama Rifando mesenin kita Buah-buahan di Sayur Box. Mereka ngirim capture bukti pesanan bakal sampe ke rumah kita besok. Terus kita ini mesti gimana?" Kelvin sedang menatapku tajam dan air wajahnya butek banget. Dia diam saja wajahnya sudah jutek menyebalkan, apalagi saat sedang marah begini. Aura negatifnya bisa menular pada orang yang lagi sensitif, dan lemah sepertiku.
Aku diam saja sambil menyeruput air botol, kini aku sedang diomelin oleh Abangku. Baik akan aku ceritakan dari awal mengapa semua ini bisa terjadi. Aku sedang menghindari Rifando, termasuk Tante Emma. Wanita itu terus meneleponku sejak tadi pagi saat masih di dalam kelas kuliah. Tentu aku tidak bisa mengangkatnya, karena sedang di dalam kelas alasan lainnya aku sangat takut menghadapi Mamanya Rifando. Aku sangat curiga bahwa cowok itu cerita tentang kami dan Mamanya juga kecewa sama tingkahku yang ternyata selama ini mencintai anaknya.
Karena aku abaikan, Tante Emma menjadi menelepon Kelvin. Kelvin menanyakan padaku lewat chat mengapa aku sulit dihubungi. Ya aku berbohong, tapi tidak sebohong itu juga. Aku sakit tapi tidak parah amat, sekarang malahan rasanya sudah mendingan karena sudah minum obat penurun demam.
Tante Emma menelepon kami karena ingin memberitahukan bahwa Rifando sedang sakit di rumahnya, demam tinggi, dan darahnya rendah.
Wanita itu ingin ngasih tahu kabar anaknya, agar kami bisa datang untuk menemani Rifando. Karena aku sudah berbohong dibantu oleh Kelvin yang mengatakan ke Tante Emma bahwa aku juga kecapekan habis pulang jalan-jalan, ya semuanya jadi berakhir seperti ini.
"Ya yang sakit siapa sih? Kenapa jadi dia yang ngirim buah-buahan?" Aku mengernyitkan dahi melihat potongan foto yang menyatakan bahwa orderan itu dipesan atas nama Rifando Dimasta.
"Justru itu karena mereka perhatian sama kamu jadi dikirimin makanan sehat, Malih," cetus Kelvin gemas sambil mendorong dahiku.
Aku sebal disebut dengan kata Malih oleh Kelvin. "Kamu emang bilangnya sakit apa? Ditambahin ya infonya biar lebay?" tanyaku.
"Meriang abis pulang jalan-jalan. Masuk angin karena laut."
Aku mengembuskan napas kasar, sial mengapa aku jadi takut kepergok berbohong. "Kalo Fando sakit apa?" tanyaku pada akhirnya membuat Kelvin jadi menatapku penuh perhatian.
Sama sekali aku tak mengirim pesan padanya. Pesan terakhir hanya malam itu Rifando tetap berusaha meminta maaf.
"Demam tinggi, sama tensi darahnya rendah. Udah dibawa ke klinik katanya sih tadi pagi jam 9an."
"Sakit apa? Itu mah gejalanya," tukasku.
"Calon gejala Tipes kali," sahut Kelvin.
Aku mendesis sebal. Lagi sakit saja masih sempetnya memesan buah di Sayur Box untuk orang lain. Kalau kamu begini, ya aku harus bagaimana, Ndo? Hhhh...
"Yang sakit dia yang ngirim buah juga dia. Kenapa nggak beli buat sendiri?" seruku kesal.
Kelvin melirikku sudah sangat sinis. "Ya tau kan ini artinya apa? Terus kamu mau ngasih apa? Nanti sore aku yang ke rumah Rifando. Kamu mau bawain dia apa?"
"Kok aku? Enggak mau tau, kamu aja yang mikirin." Aku menolak dengan tegas.
Lagi-lagi Kelvin menjitakku gemas. "Kamu yang udah dikirimin buah-buahan, Malih!"
"Apa aja, atas nama kamu ya! Jangan libatin aku."
"Dasar bocah enggak tau rasa terima kasih."
Aku melotot padanya. "Ya udah aku bantu mikir, tapi kamu yang pesan atau beli. Aku nggak mau ikut campur. Ah, bikin aku jadi mikir berat aja sih."
"Ini nih Civil War beneran terjadi lebih kacau daripada keributan aku sama Fando," decak Kelvin sambil melihat di ponselnya yang menampilkan browser dengan kata kunci Bawaan Untuk Menjenguk Orang Sakit.
"Inget ya jangan libatin aku apa pun."
"Ya udah mau apaan?"
"Apaan? Bunga?" cetusku asal. Tapi ini kan untuk Rifando, mengapa itu yang aku pikirkan.
"Bucket flower maksudnya? Dia sakit bukan mau wisuda!" Kelvin segera menabok lenganku dengan kesal. "Nggak sekalian kirimin karangan bunga? Keterlaluan otakmu!" geram pria itu.
"Ya udah deh buah aja, kamu yang beli di tukang buah."
Kelvin mendesis sebal. "Aku nggak jago milihnya, temenin belinya ya?"
"Tinggal milih yang seger dan bagus-bagus."
"Dalemnya siapa tahu nggak sesuai harapan. Bikin malu kalo buahnya busuk atau jelek. Ini kan demi harga dirimu yang dikirimin paket buah. Masa kamu cuek dan nggak ikut serta bantuin buat membangun harga diri keluarga kita sih?"
"Ya udah. Tapi aku nggak mau ikut ke rumah dia, emang Natasya nggak bisa nemenin?"
"Dia lagi sibuk, temenin belinya aja deh pokoknya. Kalian pake ribut segala sih!"
"Ribut kan manusiawi, kita manusia yang punya masalah."
"Ya terserah apa kek nyebutnya. Punya masalah yang diselesaikan dong."
"Udah selesai. Jalan kita ya pisah dulu. Inget ya jangan libatin aku," ucapku lagi-lagi mengingatkan Kelvin.
"Darah gengsiku turun ke kamu juga, dan lebih sadis kamu ya ternyata." Kelvin sedang tertawa dengan sudut bibir naik. Tuh cowok kelihatan senang banget menyiksa aku.
Aku mengelak habis-habisan dengan menaboki lengan Kelvin sambil menggerutu panjang. "Kagaaaak!"
Setelah menentukan buah apa yang ingin dibeli oleh Kelvin, dan disuntik dana olehku juga karena tuh cowok maunya beli patungan bersama. Aku diam saja menikmati makan siangku berupa nasi goreng kantin yang baru saja tiba, masih panas enak kalau langsung dimakan. Sedangkan Kelvin lagi makan nasi goreng gila.
"Beneran namanya nasi gila ya." Kelvin berbicara sambil bisik-bisik.
Aku memandangi piringnya sambil tertawa pelan. Kami mengobrol sambil menghabiskan makanan. Satu hal yang membuatku sadar sesuatu, keributanku dengan Rifando bisa mendekatkanku dengan Kelvin.
"Ndah, nggak mau ke kafe lagi? Nggak kangen sama Jonny dan Bang Jay?"
"Kagak, kita masih ngobrol kok tiap hari ya paling isi pesannya nggak jelas sih. Kayak Bang Jay yang cerita ada Anya Geraldine nongki ke kafenya, atau Bang Jonny cerita dateng ke interview kerja. Ya cerita keseharian."
Kelvin jadi tertawa mendengar kisah Bang Jay yang heboh ketemu sama Anya. "Mereka tuh kangen pengen kamu dateng."
"Kapan-kapan aja, aku lagi sibuk banget."
"Sok sibuk."
"Emang kenapa, mau nyanyi lagi di kafe?"
"Belum ada rencana sih, kita juga lagi sibuk-sibuknya."
Aku mengangguk. "Ya udah, nanti aja pas liburan."
"Mau nyanyi juga?"
"Aku mau part time lagi, tapi takutnya ditolak sama Bang Jay gara-gara aku pernah ribut sama tamunya. Masih inget banget tuh muka dua cewek, masih ke kafe nggak sih? Apa mereka jadi malu pernah buat huru-hara?" Aku mendecak mengingat kejadian itu. Sudah lagi kesal tambah emosi karena ribut sama dua cewek galak.
"Tuhkan, kamu emang punya darah yang sama kayak aku. Sekarang baru keliatan nih, kalo kamu tuh gengsian, tapi nggak segan buat ungkapin ganjelan di hati biar perasaan lega, dan juga senggol bacok."
Aku segera menepis ucapan Kelvin dengan menabok lengan Abangku dulu terlebih dahulu. "Anjir, semua salah kecuali yang ungkapin keganjelan di hati. Kalo nggak kayak gitu, aku sendiri yang pusing dan bisa bikin orang lain bingung. Aku nggak gengsian dan senggol bacok tau, sembarangan!"
"Udah terima aja kenyataan itu, memang baru keliatan sekarang aja saat kamu lagi menghadapi masalah. Bagus dong kalo kamu bisa sigap langsung pengen menyelesaikan beban pikiran daripada dipendem aja. Tiati tapi jangan senggol bacok juga!"
"Ih, emangnya aku Abang yang sering senggol bacok tukang ngegas?"
"Udah keliatan liat aja nanti." Kelvin tertawa-tawa penuh makna. Sepertinya dia bisa meramal masa depan.
💖💖💖
Nggak ada Fando nggak seru ya 😔
Bab kemarin votersnya banyak banget 🤔 berarti banyak yg kasihan sama Andah ya wahaha
14 FEB 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top