11. Night beach

"Kak Andah lagi sibuk?" Suara Elda terdengar jelas di telepon dengan nada yang aneh. "Boleh nggak aku mau ketemu, minta anterin ke suatu tempat nanti sore." Nada suaranya yang aneh, sedikit sedih campur lesu.

Perasaanku mendadak jadi tidak enak dan khawatir. Sekarang masih jam 12 siang, waktu yang sangat enak untuk rebahan menikmati waktu liburanku. "Hari ini aku nggak ada kegiatan kok, kenapa El?" tanyaku sambil duduk di ujung kasur. Aku menjadi menahan degub jantung takut anak cewek itu sedang kena masalah, dan sedang butuh teman.

"Nanti jam 3 sore mau ya nemenin aku, Kak? Aku pengen pergi ke suatu tempat tapi nggak ada temannya. Kalo Kak Andah bisa, nanti aku jemput di rumah deh."

"Pergi ke mana tuh? Emang Fando nggak bisa nemenin kamu?" tanyaku.

"Kak Fando nggak bisa nemenin, soalnya ada janji duluan buat pergi juga. Tapi nanti Kak Fando bisa nganterin kita kok. Aku mau ke Mal nyari novel, temenin yuk Kak?"

Pikiranku banyak sekelumit suara yang saling bersahutan. Kalau ini bukan Elda, aku sudah menolak habis-habisan ajakannya. Selain aku bakalan bertemu sama Rifando, aku juga lagi malas sekali untuk pergi. Suara lainnya menyuarakan untuk kasihan juga Elda yang memiliki saudara sibuk sendiri. Aku mengerti banget sebagai adik dari Kelvin yang juga sibuk sama urusannya. Aku juga khawatir cewek itu kesepian. Mendengar Rifando sibuk memilih urusannya daripada menemani adiknya membuatku kesal. Aku sudah pernah mengatakan bahwa adiknya sangat membutuhkannya. Jangan sampai perasaan Elda itu menganggap dirinya sebagai nomor dua. Bedanya aku sama Elda, aku senang pergi sendiri, sedangkan tidak semua orang bisa nyaman pergi seorang diri ke suatu tempat untuk menghibur diri. Setiap manusia kan berbeda dalam merasakan sesuatu, ada yang senang makan dan jalan sendirian. Ada juga yang merasa malu dan sedih kalau dilihat orang sedang makan sendirian.

"Ya udah nanti aku bisa kok, kabarin aja ya kalo kamu udah siap dan mau ke rumahku."

"Siap Kakak-ku! Mwah!" Elda terdengar sangat riang dan semangat.

💖💖💖

Jam demi detik dan menit berlalu menjadi sangat cepat tak terasa sudah mau jam 4 sore. Aku memilih baju yang santai berupa kemeja terusan sampai ke lutut berbahan jeans warna biru tua. Untuk sepatu aku sudah memilih kets warna putih. Suara pesan masuk terdengar ramai banyak sekali.

Rifelda:
Kak, kita udah di depan rumah.
Kita tunggu di sini aja ya?

Andara:
Ok

Aku menarik napas berkali-kali. Ini hanya beberapa saat bersama dengannya, lalu kami akan berpisah. Kami tidak akan bersama dalam jangka waktu yang lama. Saat pergi mendatangi acara seminar proposal saja rasanya aku sudah emosi. Belum lagi tuh cowok selalu komentar dengan foto-foto yang aku bagikan ke sosial media. Bawel banget rasanya pengen jitakin. Aku harus santai. Tenang.

Begitu keluar dari pintu gerbang ada sebuah mobil hitam milik Rifando menunggu dengan manis. Aku mengetuk pintu kaca mobilnya yang di depan. Begitu terbuka yang muncul di sana hanya ada Rifando. Sosok cowok berkaus hitam dengan jaket itu memiringkan wajahnya menampilkan ekspresi yang lempeng.

"Elda mana?" tanyaku heran mengintip ke kursi belakang lewat kaca yang terbuka itu.

"Masuk dulu deh, aku mau ngomong," kata Rifando serius.

"Elda mana? Aku mau pergi karena diajak sama Elda," tandasku.

"Andah, Elda ada di rumah. Maaf. Aku ke sini pengen ngajak kamu pergi, caranya emang harus begitu ya agar kamu mau?" Rifando sudah terlihat lesu menghela napasnya pasrah.

Aku menggeram menahan emosi. "Kenapa pake cara begini sih? Jadi aku dijebak sama kalian?"

"Masuk dulu, kamu udah ngabisin waktu buat dandan masa nggak jadi? Come on!" seru Rifando membuka pintu mobilnya dari dalam, cara halus agar membuat aku masuk ke dalamnya.

Desisan kesal tak bisa luput dari bibirku. Aku tidak bisa kabur juga, mau dicap apa kalau aku marah ngambek lari ke dalam rumah? Aku membayangkannya sudah jijik berat. Aku bisa menghindar saat baru dihubungi buat diajakin dengan segala alasan, namun kali ini aku tak ada alasan apa-apa. Aku sudah dijebak oleh Elda, atas otak rencana bernama Rifando Dimasta Senja Hanidar. Terpaksa aku masuk ke dalam mobilnya. Di dalam mobil aku mendiamkan Rifando dengan duduk sandaran sambil menatap lurus fokus hanya ke jalanan. Tidak lama Rifando mulai menjalankan mobilnya.

"Aku nggak suka diboongin begini, parah tau nggak sih efeknya? Aku takut nggak bisa percaya lagi sama Elda. Kasian kamu jadiin dia sebagai tumbal." Aku mulai ngomel di tengah perjalanan. Lebih baik aku meluapkan kekesalanku di awal, siapa tahu kami jadi ribut besar lalu aku bisa marah-marah bikin dia bete lalu memulangkan aku ke rumah atau nurunin di jalanan tak apa-apa. Iya, aku hanya ingin nyari-nyari keributan saja.

"Kenapa sih kamu jadi males pergi sama aku? Kayak aku ini penjahat, atau Joker yang ditakutin banget itu?" Rifando sudah terlihat kesal.

"Ya kamu pake bohong bikin kesel," tukasku.

"Kalo nggak begini, kamu nggak mau diajakin keluar.
Aku nggak bakal pake cara bohong dan jebakan gini kalo kamu juga jujur," ucap pemuda itu. "Kamu juga sering bohong."

"Kapan aku bohong? Aku kan jujur, kalo nggak mau diajak keluar ya aku nggak bakal mau."

"Bilangnya ngantuk, banyak tugas, mandiin kucing, dan lain-lain. Kamu udah nggak seru sekarang!" keluh Rifando sambil mencebik bibir kesal. "Udah sombong,
enggak asyik kayak dulu lagi."

"Mager. Enakan rebahan, tau nggak sih kalo relaksasi diri di rumah itu penting? Jangan keluyuran mulu. Kalo keseringan di jalan tubuh tuh jadi stres ngeliat semua serba sibuk. Orang-orang seliweran sibuk di jalanan, kendaraan yang suara klaksonnya bikin budek, dan polusi yang bikin paru-paru kita sesak. Enakan di rumah aja!"

"Jangan mager mulu juga kali. Semangat dikit gitu kek." Rifando tertawa pelan dan penuh makna.

"Semangat dikit gitu kek!" Aku mencibir mengikuti gaya bicara pemuda itu, dia langsung mendelik sinis. "Udah tau aku Kupu-kupu. Beda sama kamu yang Kura-kura, sekarang jadi Kurapan lagi. Kuliah-rapat-pacaran," ujarku masih bernada sarkas.

"Kok kurapan sih? Jorok idih."

Bibirku mengatup rapat lagi dengan mata menatap jalanan sore ini yang sepi. Di hari Sabtu sore ini tumben sekali tidak macet. Aku sama sekali tidak tahu mau dibawa ke mana, tidak ada keberanian untuk bertanya juga.

"Kamu sombong banget sekarang, mentang-mentang udah punya temen baru." Suara pemuda itu muncul lagi membuatku terkejut, suasana yang lagi hening-heninnya ditambah ucapannya seperti itu.

Aku langsung pasang wajah polos, sok tidak paham. "Siapa? Yudha? Ardan? Kamu keliatannya kayak lagi cemburu," cetusku menahan tawa.

"Ya memang orang yang naksir atau punya pacar aja yang cemburu. Ngeliat sahabat akrab udah sama orang lain yang baru lebih lengket, akrab, kelihatan bahagia banget juga sama rasa sakit hati dan nyeseknya."

Penuturan Rifando membuatku miris. Dalam hatiku ada sebuah suara yang amat geli sedang mengasihani diriku sendiri. Bagaimana dengan aku yang harus melihat cowok yang amat aku cintai sudah dimiliki oleh cewek lain sangat mesra, sudah akrab, bahagia, dan cocok sekali bikin iri banget. Sangat menggambarkan cowok tampan memang pacarnya juga sangat cantik.

"Elah, kamu cemburu aku perginya selalu sama Yudha?" kekehku sok lucu.

"Ngeledek doang biasanya. Beneran deh, kehilangan sahabat yang jadi lebih akrab nempel sama orang lain itu juga sama rasanya bikin sedih, dan cemburu."

"Sedih kenapa sih?" tanyaku sambil mendenguskan tawa. "Ada aku atau enggak, kayaknya nggak ada bedanya deh. Sama aja."

"Kamu nggak percaya? Emang kamu nggak pernah ngerasain kehilangan aku gitu? Nggak cemburu kalo aku lagi sibuk sendiri tanpa kabar?" tanya Rifando ceplos. "Tapi dulu suka ngechat manggil nama doang, terus nanyain apa aja. Sekarang sombong!"

Aku rasanya seperti disambar petir, lalu dalam hati ada suara tertawa membahana. Sudah khatam sekali perasaan itu. Pertanyaan Rifando terlalu menyakitkan untuk aku jawab dengan candaan. Pandanganku mengarah ke jalanan yang sudah membawa lebih jauh dari daerah Jakarta Selatan.

Lantas aku teringat sesuatu. "Kita mau ke mana? Peraturan yang dulu harus dilakuin lagi ya. Aku nggak mau kamu pergi tapi nggak izin sama pacarmu."

Andai saja aku bisa sesantai dulu. Dulu juga membuat hatiku sering sakit, tapi sekarang yang paling parah.

💖💖💖

Kami sudah tiba di tempat yang diinginkan olehnya. Setibanya kami di suatu tempat yang terletak di ujung Jakarta langit sudah menggelap sekitar pukul 6 lewat. Sebelum mengajakku berkeliling Rifando sudah menyeretku terlebih dahulu ke sebuah restoran yang ada di sekitar Pantai Marina. Dia masih tahu saja bahwa aku harus makan dulu, ya memang aku lapar namun gengsi buat bilang. Untungnya dia juga memiliki pemikiran yang mengutamakan perut dulu dibanding melihat pemandangan pantai. Tidak mau ya makan angin malam karena perut kosong lalu saat pulang yang ada aku sakit.

Namun selama acara makan aku berkali-kali sudah melirik ke arah pantai, dan mendengar suara ombak air serta angin membuatku ingin cepat-cepat pergi ke sana. Kami hanya ngobrol ala kadarnya, tentu cowok itu duluan yang selalu memulainya. Aku malas bicara duluan.

Setelah makan kami berjalan bersama menuju pinggiran pantai. Aku mengedarkan pandangan. Di malam hari tidak terlalu banyak manusia. Aku melihat ke bangunan menjulang tinggi yang berada di sekitar area pantai. Bangunan yang berupa hotel dan berbentuk rumah-rumah, kemungkinan milik pribadi dan dijadikan Villa.

Selama menikmati hamparan air itu aku tidak menggubris Rifando sama sekali. Namun ujung mataku beberapa kali menangkap pria itu sedang melihat padaku, bibirnya rapat tak mau bicara apa-apa. Dalam hati ada rasa was-was menerka apa yang ada dalam pikirannya. Apa yang sebenarnya mau dikatakan olehnya? Mengapa dia hanya diam saja hanya sambil melirik dari sudut mata? Aku tidak mau hanya ribut saja di suasana seru seperti ini.

Hey, ombak di sana yang pernah pergi dan kembali lagi terus berulang sampai ke tepi pantai. Bagaimana bisa menjadi seperti kalian yang sudah pernah datang, lalu pergi dan datang lagi terus berulang seperti itu saja tanpa ada rasa bosan? Tanpa ada rasa kecewa karena Tuhan tidak mentakdirkan kalian untuk tetap tenang, dan diam pada tempatnya di sana saja?

Aku menahan senyuman geli. Sosok menyebalkan dan aneh dalam diriku langsung bersuara menjawab ucapan bodohku tadi.

Memang takdirnya sudah seperti itu dari tangan Tuhan. Dasar Andah bodoh, namanya juga ombak. Ada banyak hal yang tak bisa dipikirkan dengan kenyataan yang sebaliknya. Karena memang bukan begitu jawabannya.

Namanya juga ombak ya pasti akan terus berpindah ke pinggir pantai, sebab yang tenang hanyalah air tanpa hembusan angin. Ya Tuhan menciptakannya dengan nama dan juga tujuan.

"Pindah yuk, anginnya udah semakin kencang."

Setelah menikmati pantai yang besar, Rifando mengajakku untuk naik ke jalanan lagi. Aneh, katanya pengen ngajak jalan-jalan tapi diam saja selama di pantai. Mungkin tuh cowok sudah malas sebab dari tadi respon ucapan dariku menjengkelkan, dan kelihatannya aku tak mau diganggu. Selama di perjalanan menjauh dari pantai, aku sempat membersihkan ujung sepatuku yang terkena pasir menempel.

Rifando membimbingku pergi ke sebuah jembatan kayu yang panjang ke arah tengah pantai. Suara deburan ombak yang menerjang kaki jembatan, angin malam yang memainkan rambutku, menggerakkan rokku, dan suara langkah kaki kami berdua menemani jalan-jalan malam ini.

Aku sempat beberapa kali menjepit rokku dengan kedua paha agar tidak berkibar. Tentu saja kelakuanku hanya membuat Rifando terkekeh.

"Aduh angin, bertiupnya jangan kenceng-kenceng!" seruku ngasal.

Awalnya aku kira cowok itu hanya terkekeh saja. Rifando melepas jaket hitamnya lalu memasangkan ke pinggang mengikatnya erat. "Kamu yang pake aja, nanti kamu masuk angin," cetusku memandangnya cemas.

"Enggak kok, udah nggak apa-apa daripada nanti rokmu terbang ke atas," jawabnya tertawa pelan.

Kami berdua berjalan lagi menuju ke ujung jembatan. Sesampainya di pagar jembatan aku melihat sekeliling tanpa banyak komentar.

"Aku ngeliat foto temanku kemah di pinggir pantai di Malang. Suatu saat mau ke sana, kamu mau juga kan?" Rifando bersuara sambil memegang pagar jembatan.

"Mau lah, tapi nggak punya duit. Cita-cita nabungku masih tetep ke Islandia ngeliat Aurora Borealis. Kalo kamu ngajakin bayarin gratis, aku nggak bakal nolak ajakan kamu."

"Nabung aja cita-cita!" cerca cowok itu geli. "Susah deh nunggu kamu bisa nabung."

"Nunggu aku punya penghasilan. Lama banget kalo nggak dibayarin orang," cetusku.

"Ngaco!"

Rifando tertawa keras lalu menangkup kepalaku dengan kedua tangannya. Aku memejamkan mata saat pria itu dengan gemasnya mengunyel pipiku. Aku seperti Achel yang sedang dimainkan oleh Kelvin.
Sialan. Kurang ajar! Ngapain sih dia begini usilnya pegang-pegang tubuhku?

"Siapa yang mau nolak diajakin travelling ke tempat keren sih? Kamu ada-ada aja." Lalu tangan Rifando sudah turun dan sedang meraba-raba kantong celananya.

Aku mendecak tanpa sadar saat terbersit pemikiran mengira bahwa cowok itu bakalan mengambil ponsel. Siapa tahu pacarnya menghubungi? Kenapa aku kesal karena gangguan Nilla, jelas aku yang tak punya hak buat kesal di sini.

Ternyata Rifando sedang mengeluarkan sebuah gelang warna hitam. Hanya gelang polos dari tali minimalis. Aku membulatkan mata melihat sebuah bunga kecil Bunga Matahari yang menjadi hiasan gelang itu. Rifando meraih tanganku dan memasangkan sebuah gelang itu ke tangan.

Belum sempat masuk aku segera menarik tangan. "Tunggu, ngapain makein gelang? Itu gelang apa?"

"Ya buat kamu. Ini gelang penebusan permohonan maafku yang udah sering bikin kamu jengkel terus. Aku liat gelang ini lucu banget, kamu suka Sunflower kan?"

"Kenapa ngasih ke aku, kasih ke cewekmu lah!" seruku sebal tanpa sadar itu gelang sudah masuk ke pergelangan tanganku.

"Ya kalo buat Nilla bukan gelang kayak gitu juga kali. Nilla mana cocok pake gelang tali hitam kayak gitu. Tangannya dia cocoknya pake gelang perak dengan manik bersinar gitu."

"Enggak mungkin. Tangan Nilla itu cantik, cocok pake gelang apa aja. Yah apalagi dipake sama aku, enggak bakalan cocok."

Aku mendesis ingin mengumpat kasar lalu berusaha melepaskan gelang itu, tanganku diraih oleh Rifando yang menghentikan kegiatanku. Pegangan tangannya membuatku diam. Kedua tangannya memegang masing-masing pada tanganku.

"Cocok banget buat kamu, liat deh keren kan?" seru pemuda itu, membuatku jadi melihat ke arah pergelangan tanganku. Gelang itu sepertinya langsung menyatu dengan jam tangan QnQ warna hitam milikku. Memang keren sih, tapi apa aku sanggup melihat benda ini?

Tanganku sudah mengambil gelang itu memaksa agar bisa keluar dari pergelangan tangan. Aku menyerahkan gelang itu ke tangan kanan Rifando.

"Aku nggak bisa terima, gelangnya itu aneh buat dipake sama aku. Aku juga nggak terlalu suka pake gelang. Kalo ngasih gelang sekalian dong yang bagus." Ucapanku sangat kasar, tak menghargai usahanya, dan terkesan meremehkan ya? Tapi begitulah memang perasaan asliku. Tersinggung. Kesal! Inilah juga caraku untuk menolak barang pemberian darinya, kalau cara baik tidak bisa, terpaksa aku harus galak banget.

"Iya udah disimpen aja Ndah, terus mau aku kasih ke siapa? Itu gelangnya kelihatan keren di tangan kamu." Rifando memandangiku dengan kecewa. "Aku cuma mau ngasih gelangnya, enggak mau terima?"

"Ngapain aku nyimpen gelang kamu?" balasku sambil memutar bola mata.

"Kenapa memangnya?"

"Ya kenapa aku harus mau terima pemberian kamu, dan simpen gelang itu? Aku nggak suka gelangnya, kasih ke temanmu aja yang suka." Aku menjawab lalu mengangkat kedua bahuku.

Kakiku membawa beban ini agar memutar tubuh dan berjalan pelan-pelan berusaha menjauh meninggalkan pemuda itu yang masih berdiri di ujung jembatan.

"Andah, kok jadi pergi ninggalin aku sih?" teriak Rifando lalu bicara lagi dari belakang. "Ini gelangnya disimpen aja gapapa kalo nggak suka pake gelang. Bukannya kamu suka Sunflower?"

Tidak tahu lagi, aku rasa sunflower itu sudah mulai lelah dalam mengejar. Punggungku memutar untuk mengatakan sesuatu hal padanya. "Kausmu tipis nanti masuk angin dan perut kembung. Aku haus mau minum, udah yuk kita duduk dan ngeliat dari kursi di pinggir jalanan aja!" seruan ajakanku membuat

Rifando menjadi berjalan gontai menyusulku.
Sesampainya Rifando di sebelahku wajahnya masam, namun tangannya menepuk-nepuk ngacakin ujung kepalaku. Sepertinya dia kesal. Tapi caranya kenapa begitu, mending aku dimarahin daripada dielus-elus begitu. Sebel. Kami berjalan bersama menjauh dari ujung jembatan itu.

Satu hal yang aku sadari saat berada di ujung jembatan kayu tersebut. Seperti jembatan itu yang hanya terbentang beberapa meter saja dari pinggir pantai, tidak bisa mencapai ujung laut sana di benua lain, bahkan jembatannya setengah dari laut ini saja tidak bisa. Ada hal yang memang memiliki ujung akhir begitu saja. Terpaksa dibatasi. Akan ada ujungnya pada sesuatu yang terlihatnya tak ada ujung, itu namanya batas.

💖💖💖

"Setelah pulang diantar oleh kamu, aku iseng membuka galeri ponsel dan menemukan foto kamu tahun lalu. Waktu kita habis dari Dufan dan mampir ke pantai sampai malam. Dulu kamu lagi patah hati, di dalam foto tertawa palsu. Sok bahagia padahal lagi move on. Tapi aku nggak mau kayak kamu yang difoto sok bahagia tapi aslinya kacau."

Usai menuliskannya, kertas itu aku lipat menjadi kecil dan memasukannya ke dalam toples dari kaca transparan. Entah kapan aku bisa memberikan semua isi kertas-kertas itu. Saat aku melihat kertas warna-warni di dalamnya, terbayang sudah berapa banyaknya hari saat aku mulai berani mengejarnya. Seberapa banyak kertas di dalam itu, seberapa banyak juga cerita tentangnya.

💖💖💖








Aku mau kasih tau karena aku ga pernah bilang kalo Andah suka nulis di kertas-kertas, tapi dari cerita Peka di setiap awal atau akhir part cerita ada tulisan yang dibold itu curhatan Andah yang dia tulis ... kayak diari kesehariannya kali ya🤔

Yuk puter mulmed buat dengerin lagu rekomenku yang relate sama cerita ini 🤣




Btw, yg baca ada yang fans Doyoung???



31 JAN 2021


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top