10. Seperti bunga

"Suer deh, Mama pengen kamu dateng. Tapi Mama tau sendiri nggak bisa nelepon bujukin kamu karena lagi sibuk masak banyak nih. Plis, dateng ya? Mama bawel nih mastiin kamu harus dateng. Kamu mau aku dibawelin sepanjang hari?"

Aku mendengarkan suara nyerocos Rifando bersamaan dengan suara keras dari TV rumahnya. Sungguhan aku lagi mager sekali buat bersiap, apalagi berangkat ke rumah Rifando. "Harus banget ke sana ya? Aku lagi lengket sama kasur nih-"

"Andah, Sayangku," suara perempuan tiba-tiba muncul mengejutkan. Mataku jadi melotot sempurna dengan tubuh menegang. Rasanya aku bakalan lebih syok kalau mendengar itu suaranya Rifando.

"Iya, Tante?" Aku menjawab sudah gelagapan.

"Andah main ke sini dong nyusul, Tante masak banyak takutnya enggak abis. Sepi kalo nggak ada Andah tuh. Kamu ke sini ya? Nanti kalo Fando nggak mau jemput, bakal Tante suruh isiin saldo OVO kamu buat ongkos ke sini. Tante kangen banget mau ketemu."

Hah??

Aku semakin tercengang karena bujuk rayu Tante Emma sungguh menggoda. Bukan hanya menggoda, aku justru jadi tidak enak hati banget. Sudah diajakin ke acara makan bersama mereka, ditambah aku diongkosin. Keluarga mereka membuatku jadi semakin merasa takut. Aku takut tidak bisa membalaskan kebaikan mereka.

"Tuh dengerin, aku mau isiin nih ke nomor E-wallet kamu. Beneran ya ke sini?" Suara Rifando sudah terdengar lagi memintaku agar datang ke rumahnya.
Baik, mau gimana lagi?

"Makasih loh, jadi ngerepotin kalian banget," ucapku tidak enak hati.

"Ya gapapa, ini perintah Mama. Awas ya Ndah, kalo kamu nggak dateng, aku yang bakalan diomelin sama Mama!" Nada suara Rifando penuh ancaman.

"Iya-iya, tunggu kedatanganku."

"Aku tunggu beneran," sahut Rifando.

Salah satu kebodohanku ialah sudah membantunya memilih barang untuk cewek yang disukainya, mengisi acara dengan bernyanyi lagu romantis dalam acara penembakan mereka, dan sekarang ditambah satu lagi yaitu menerima ajakan Rifando untuk ke rumahnya.

Aku tahu di rumah Rifando nanti sudah pasti ada Nilla, cowok itu yang cerita bahwa Nilla main ke rumahnya atas ajakan Tante Emma. Kemarin aku sudah menolak mentah-mentah ajakan Rifando. Hari ini, di siang pukul 11 ini pemuda itu meneleponku mengatakan agar aku datang ke rumahnya atas permintaan sang Mama. Mana sudah diberikan ongkos jalan pula. Ditambah Rifando juga meneror Bunda agar aku datang ke rumahnya. Terjepit di suasana sulit tidak ada alasan untuk kabur.

Cukup lama aku bersiap-siap. Sekitar jam 12:30 siang aku baru bisa meninggalkan rumah. Untuk mengumpulkan niat, dan juga remahan hatiku yang berserakan di lantai yang memakan waktu paling lama. Siapa sih yang niat dan semangat bakal ngeliat cowok yang disukain lagi pacaran sama cewek lain di depan mata? Aku memang sudah bodoh sekali.

💖💖💖

Kedatanganku sudah ditunggu sekali oleh Tante Emma. Saat baru masuk pintu dan berteriak memanggil nama Rifando. Yang muncul pertama kali justru wanita berambut sebahu itu. Aku segera memeluk wanita yang berjalan dengan tongkat itu. Setelahnya kami berbincang tentang Tante Emma yang menanyakan Bunda. Aku mengamati dalam rumah Rifando sangat sepi. Tidak melihat sosok pria itu di mana pun.

Ketika di dapur hanya ada Mbok Tuti yang sedang bergulat di depan kompor. Aku dan Tante Emma melanjutkan obrolan di kursi dapur.

"Fando mana, Nte?" tanyaku heran celingukan.

"Di atas deh, katanya lagi nyetak foto gitu. Dia punya frame foto baru, terus pengen diisi sama foto. Di atas kali ya sama Nilla dan Elda. Katanya Elda juga baru beli kertas foto."

Aku mengangguk pelan, dalam hatiku menjadi sedikit gelisah. Aku enyahkan perasaan jelek itu daripada semakin membuatku jadi sesak dan bad mood.

"Ndah, kamu bilang ke Fando kalo udah sampe. WA aja," ucap Tante Emma.

Benar juga, daripada aku menyusul ke atas lebih baik mengirimkan pesan ke cowok itu. Beberapa menit setelah aku mengirimkan pesan, tiga orang yang dimaksud sudah turun dan muncul di dapur. Mereka bertiga terlihat sedang tertawa-tawa kecil bahagia.

"Astaga, untung kamu dateng! Aku udah takut bakal dikutuk jadi batu sama Mama," tawa Rifando berjalan mendekatiku. Pria dengan celana pendek dan kaus merah itu melemparkan senyuman kecil. Aku membalasnya dengan senyuman aneh.

Malas.

"Hai Andah, ke sini sama siapa?" tanya Nilla duduk di sebelahku. Cewek dengan kemeja tanpa lengan warna pink itu sangat cantik sekali.

"Diongkosin sama Fando," jawabku sambil melirik ke cowok yang juga langsung tertawa itu. Kami jadi saling melemparkan tawa geli. Tawa terpaksa tepatnya.

"Kak Andah, ada foto yang mau dicetak nggak? Aku sama Kak Fando baru beli kertas foto kemarin. Nanti mau nyetak foto nih biar sekalian nyobain kertasnya." Suara Elda menyentakku jadi mengalihkan pandangan padanya. Dia Elda, adiknya Rifando yang masih remaja.

Aku jadi berpikir, sepertinya tidak ada foto yang ingin aku cetak. Aku tidak mungkin menunjukkannya di depan mereka, bahwa ada foto bersama Rifando yang jelas mau aku simpan dalam versi cetak. Foto saat menonton konser di Parkir Senayan, berada di Bianglala Dunia Fantasi bersama keluargaku, dan foto kebersamaan kami berdua yang remeh banget cuma foto iseng di warung pinggir jalan dan Tiramissyou.
Namun aku malu untuk melakukan hal itu di depan Rifando, apalagi ada sang pacarnya. Bisa jadi aku bakal dianggap aneh kan? Aku tidak mau dikira macam-macam. Bisa jadi aku dianggap mirip maniak Rifando.

💖💖💖

Setelah acara makan siang di dapur langsung banyak piring kotor. Aku sudah bersiap-siap akan membantu Mbok Tuti, sebab piringnya cukup banyak ditambah peralatan yang tadi tidak langsung dicuci. Daripada aku melamun tidak jelas, apalagi di hadapanku ada Rifando-Nilla. Aku bakalan fokus mencuci piring di westafel membantu Mbok Tuti. Ini adalah kegiatan yang aku suka, ya jiwa anak Part Time kafe memang begini.

"Hai, ada yang bisa Nilla bantu?" Sosok perempuan cantik muncul di sebelahku. Aku yang lagi membilas piring dan gelas nyaris menjatuhkan barang saking terkejutnya.

"Ini mau dibilas, boleh bantuin juga kok Nill," sahutku agak bergeser agar Nilla bisa mendapatkan percikan air bersih untuk membilas yang sudah digosok sabun oleh Mbok Tuti.

"Duh Mbak-mbak udah cantik seneng banget nyuci piring," kekeh Mbok Tuti agar suasana tidak canggung.

Aku diam saja sebab tidak tahu mau membicarakan apa dengan Nilla. Melihatnya saja yang sangat ceria dan cantik membuatku langsung sesak.

"Nilla, ke depan sini temenin aku. Udah jangan ngerjain nyuci piringnya, udah ada Andah yang bantuin!" seruan Rifando membuat kami berdua jadi menoleh. Cowok itu sedang berdiri di dekat pintu dapur. "Biar Andah aja yang bantuin Mbok Tuti. Sayang, kamu ke depan yuk milih foto yang mau kamu pasang di Frame," ajaknya.

"Ohh, iya Sayang, sebentar lagi nyusul." Nilla menjawab sambil cepat-cepat membilaskan tangannya yang terkena air sabun.

"Udah kamu ke depan aja dipanggil sama Fando tuh." Aku tersenyum kecil saat bertemu pandang olehnya. Entah mengapa perasaanku sudah kacau sekali karena keberadaanku di sini sebenarnya tak penting amat kan buat Rifando.

Nilla melemparkan tawa sambil mengeringkan tangan. "Ya udah aku ke depan dulu. Makasih udah boleh bantuin, duluan ya Mbok!" seru Nilla sambil nyengir kecil. "Nanti kita ngobrol di depan ya?"

Setelah kepergian cewek itu, aku menekuri westafel yang masih ada banyak alat-alat makan yang belum dibilaskan. Pandanganku mendadak jadi panas dan hatiku bagai ditusuk-tusuk nyeri.

Memang kamu nggak bisa bahagia Ndah, ngeliat Rifando udah bangkit dari patah hatinya? Udah nemuin cewek lain yang lebih baik, penyayang, dan lembut daripada cewek lainnya yang dulu? Kamu bilang, kamu bakal bahagia selama Rifando bahagia. Tapi kenapa kamu sedih sendirian? Kalau mereka sudah saling cinta dan sayang, ya aku yang terabaikan, dan bagai asteroid asing ini bisa apa lagi?

💖💖💖

Setelah menyelesaikan cucian piring, aku sempat pergi ke ruang TV agar bisa menyatu berbaur dengan Nilla, dan Rifando. Namun aku baru mengintip sedikit melihat mereka sedang ngobrol, tertawa, bahagia, dan saling menggoda memukul kecil membuatku langsung lemah. Aku semakin sadar harus pergi dari tempat mengintip itu kala melihat Rifando sedang merangkul bahu Nilla dan berujung tangannya mengusap puncak kepala gadis itu. Iya, setelah melihat adegan manis mesra itu aku segera membawa tubuh ke halaman samping.

Di sebuah pohon mangga halaman samping rumah Rifando ada tali tambang yang terikat di salah satu batangnya membuat ayunan dari kayu persegi panjang. Aku duduk di sana tidak tahu lagi mau ke mana sambil menikmati permainan ayunan itu. Lamunanku sudah terbagi ke mana-mana, tentu saja perasaan kacau sedih yang mendominasi. Sedangkan tali itu terus membawaku terombang-ambing di udara.

"Kak Andah, sendirian aja!" seru Elda muncul dari belakang sambil membawakan sebuah bunga.

Aku mengerjapkan mata melihat bunga yang dibawa Elda itu salah satu Bunga yang sulit ada, jarang aku temukan, dan juga sangat aku sukai. Bunga Matahari itu masih berukuran kecil. Lingkarannya kurang lebih seperti tutup gelas.

"Di sekolahku ada praktik menanam Bunga, waktu aku beli Bunga dikasih banyak. Di taman depan ada yang aku tanam. Kata Bang Fando, Kak Andah suka sama Bunga Matahari. Nggak apa-apa kalo layu atau nggak bisa ditanam Kak, tapi Kak Andah terima ya?"

Senyuman manisku tak bisa ditahan lagi menerima sebatang Bunga Matahari itu. "Kenapa dikasih ke aku El, kalo tau Bunganya bakalan layu dan mati? Kalo dibiarin tetap di pot bunga tertanam kan bakalan tetap hidup, tapi makasih ya?" Aku memandangi bunga itu dengan perasaan hangat. Rasanya saat sedih lalu diberikan setangkai bunga berwarna cerah, hatiku menjadi senang.

"Iya Kak, makanya dirawat ya biar bunganya tetap tumbuh hidup dengan cantik. Kalo mau merawat nanti aku bawain Sunflower yang masih ternaman di tanah dalam polybag di taman depan ya?"

"Oke, aku dikasih pesan tanggung jawab besar begini sama Elda." Aku tertawa pelan.

"Kak Andah pengen ngerasain jadi Bunga nggak sih?" tanyanya membuatku heran karena tidak ada sangkutpautnya dengan ucapanku tadi.

Dilempar pertanyaan seperti itu, aku jadi merenung. Ada alasan mengapa aku sangat menyukai Bunga Matahari. Bunga ini memiliki cara hidup yang unik. Dia akan tumbuh mengarah ke asal datangnya cahaya, alias Matahari. Biasa disebut sebagai Heliotropik. Ketika tak ada sumber cahaya, Bunga Matahari akan diam saja tidak ada pergerakan. Ketika Matahari sudah muncul dia akan bergerak lagi untuk mencari ke asal sumber cahaya. Entah mengapa bunga ini rasanya mirip aku, yang selalu hanya melihat pada Rifando.

"Gimana ya Kak rasanya jadi Bunga, apa senang saat diberikan ke orang yang lagi bahagia misalnya pernikahan, wisuda, perayaan anniversarry, dan hari kasih sayang. Apa mereka sedih saat harus menemani orang yang meninggal di atas tanah pemakaman?" Elda menerawang dengan mata yang berbeda memandangi ke arah langit.

Aku jadi ikut memikirkan imajinasi dari Elda. Bagaimana rasanya menjadi Bunga Matahari yang sudah berusaha terus mencari sumber kehidupannya untuk tetap bertahan hidup. Namun pada akhirnya akan tetap layu dan mati. Ini seperti pemikiran, mengapa harus hidup kalau akhirnya akan tetap mati. Tapi menurutku tidak ada yang sia-sia juga kehadirannya di bumi. Tuhan sudah menciptakan semuanya dengan berguna dan punya maknanya masing-masing.

"Kak Andah, makasih ya untuk segalanya." Kata-kata Elda membuatku jadi menoleh padanya dan mengerutkan dahi heran.

"Untuk apa?" tanyaku pelan bagai gumaman. Aku juga tak sadar mengeluarkan suara dalam kepalaku ya keluarnya seperti itu.

"Kak Andah udah ikut bahagia, menangis, dan sayang sama keluarga ini. Kakak yang bisa memberikan kehangatan keakraban di antara dinginnya, kesibukan, dan egoisnya kita semua. Kakak kayak udah bagian dari keluarga kami." Kata-kata Elda segera memberikan efek menyentuh hatiku sampai rasanya menjadi sakit sekali.

Hatiku diremas sampai tak terbentuk lagi. Ucapan Elda menyadari juga satu hal. Aku memang sudah sedekat itu dengan mereka, sampai Rifando tak bisa lagi melihatku untuk sisi yang lain. Aku sudah seperti bagian keluarga sedekat itu dengannya. Aku menepis segera pemikiran itu, tak mau egois hanya memikirkan tentang Rifando. Ada orang lain yang sedang berbicara mengungkapkan isi hatinya. Abaikan dulu kenyataan pahitku dengan Rifando. Hubunganku di sini juga bersama Elda, dan Tante Emma.

"Aku pernah punya janji sama Bunda, buat selalu mengingat kalian. Cuma omongan anak kecil dulu. Tapi aku tetap ingat sampe sekarang. Semakin besar, aku bisa mewujudkannya sendiri buat menjaga kamu dan Tante."

Lamunanku mendadak melayang, dahulu aku pernah melihat Tante Emma dan Elda menangis kesakitan, aku berjanji tak akan membuat mereka merasakan hal itu lagi. Kejadian itu yang membuatku terus mengikat pada Tante Emma, aku tak akan membuat perempuan itu sedih dan kesepian. Aku sebisa mungkin akan menghargai dan membuatnya bahagia, walau aku tanpa sadar menyakiti hati sendiri.

"Kak," tiba-tiba Elda memanggilku dengan ekspresi wajah yang membeku sesaat.

"Hm?"

"Kakak seperti Bunga buat kita."

"Oh, romantis banget kata-katamu. Jadi, aku ini kayak bunga? Kalo kamu penasaran bagaimana perasaan Bunga saat ada di suasana sedih, bahagia, dan romantis. Jawabannya bunga akan selalu bahagia di mana pun berada." Bahkan bunga yang tak bernama itu juga bahagia, yang selalu diabaikan oleh orang-orang di sekitar. Bunga yang sampai layu dan mati tak pernah diperhatikan oleh orang lalu lalang. Padahal setiap hari Bunga itu melihat orang itu di sekitarnya bagaimana pun kondisi orang itu. Orang itu sedih, bahagia, marah, kecewa, dan kesal. Sang bunga melihat semuanya perasaan orang itu. Tapi bunga liar tak bernama itu tak pernah dilihat.

Aku dan Elda kembali masuk ke dalam rumah Rifando. Kami pergi ke halaman depan untuk melihat bunga yang akan aku bawa pulang nanti. Setelah itu Elda masuk ke kamarnya di atas sedangkan aku memutuskan lebih baik pulang saja lebih cepat.

Di ruang keluarga masih ada Rifando dengan Nilla sedang bercanda berbicara. Mereka berdua sedang melihat-lihat cetakan hasil foto, dan frame foto yang pernah aku sarankan pada Rifando tergeletak di meja sudah berisi foto mereka berdua dengan latar berupa kehitaman. Sepertinya foto itu diambil saat senja hari. Senja yang indah, seindah senyuman si pemilik nama itu. Ah, sudahlah cukup-cukup!

"Doy, aku mau pulang ya. Tante Emma ke mana?"

"Pulang? Cepet banget? Kalo mau balik sekarang aku nggak bisa nganter ya Ndah, masih ada Nilla di sini," ucap Rifando. "Kamu belum mau pulang?"

"Aku masih mau di sini sih, tapi kalo Andah mau pulang gapapa kita barengan sekalian dianterin."

Aku segera menolak, tidak mau ada adegan dengan latar lagu Di Antara Kalian versi selanjutnya terulang lagi. "Enggak usah. Kamu kalo masih pengen main sama Fando, ya gapapa kalo kalian masih di sini aja."

"Gapapa?" Rifando menatapku bingung.

"Iya, aku pulang ya sekarang. Aku bisa pulang sendiri kok. Ya udah, duluan ya! Salam buat Tante Emma!" pamitku sambil diam-diam mengirim pesan ke Elda, bahwa aku sudah mau pulang akan membawa polybag tanaman darinya.

Dalam perjalanan pulang aku mengingat kata-kataku tadi saat di halaman samping bersama Elda.

"Kenapa dikasih ke aku El, kalo tau bunganya bakalan layu dan mati? Kalo dibiarin tetap di pot bunga tertanam kan bakalan tetap hidup."

Sama seperti perasaan, kenapa hati dikasih ke seseorang, kalo tahu nanti hatinya bakalan patah dan sakit hati. Kalau sejak awal sudah dijaga, tidak akan jadi rusak seperti ini.

💖💖💖


Inget nggak part waktu Andah nemenin Fando nonton konser di Senayan, difotoin di Bianglala Dufan, makan tengah malam pas Fando ribut sama Kelvin?😭

Mulmed itu lagu yang cocok sama Andah heheee😳

🎶🎶

Aku tlah tahu kita memang tak mungkin...
Tapi mengapa kita selalu bertemu dan bertemu...
Aku tlah tahu hati ini harus menghindar...
Namun kenyataan ku tak bisa...
Maafkan aku terlanjur mencinta...
Ternyata hati tak sanggup melupa...

Maafkan Aku
song by Tiara Andini

🎶🎶🎶

29 JAN 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top