1. Zombie
Begitu bangun dari tidur, sudah bisa dibayangkan bagaimana wujudku. Rambut acak-acakan super kering kusut. Di sekitaran mata menghitam, dan bengkak gara-gara menangis. Aku belum membuka suara, sepertinya suaraku masih kacau, dan serak gara-gara riak semalam.
Aku baru bangun sekitar pukul 11 siang, kepalaku sakit sebab tadi malam sudah pulangnya terlalu larut. Aku baru bisa tidur pada pukul 4 pagi itu juga karena ketiduran, menangis dari jam 11 malam membuatku kelelahan. Jasmani dan rohaniku sama kacaunya hanya karena patah hati. Lelah.
Patah hatiku disebabkan oleh sahabat dari kecilku, yang bernama Rifando. Aku menyukainya sejak dulu. Beberapa bulan lalu dia jomblo. Aku berusaha membuatnya melihatku, namun usahaku tak terlihat.
Sebenarnya aku tak perlu berusaha, jika dia memang menyukaiku juga akan memulai pacaran denganku. Sayangnya dia lebih menyukai cewek lain yang cantiknya kayak bidadari, sifat lembut, dan cerdas.
Baru tadi malam aku melihat dengan mata kepala sendiri cowok itu nembak cewek di hadapanku, selama berteman 10 tahunan. Setelah melihat acara menyakitkan itu kontan aku menepi bagai mayat hidup.
Aku mau pulang sendiri namun ditahan oleh Kelvin, Abangku yang sering menjebloskanku pada situsi menjengkelkan. Kelvin tidak memperbolehkan aku pulang sendiri sementara dia pulang bersama Natasya, pacarnya. Idenya membuatku terjebak dalam mobil bersama Rifando dan Nilla. Abangku tercinta yang membuatku ketiban sial.
Perasaan kacau balau itu puncaknya, ketika aku pulang dengan bersama-sama Rifando dan Nilla dengan mobil itu. Harusnya aku merasa beruntung Rifando masih ingat padaku, dan mau membawaku ikut serta dalam perjalanan pulang bersama mereka dari kafe. Mana ada orang yang mau diganggu apalagi habis resmi pacaran jadian kan?
Bisa dibayangkan bagaimana menjadi diriku yang duduk di belakang sendirian, hanya bisa melihat dua manusia yang baru pacaran itu ngobrol, bercandaan, dan aura kebahagiaan sedang mengelilingi hati mereka.
Dan, sebuah lagu dari D'Masive yang berjudul Di Antara Kalian terputar dari radio di tape dengan sadisnya. Rasanya aku sudah mau menangis saja di tempat. Melihat orang yang dicinta bahagia karena orang lain, bisa dibayangkan bagaimana?
Di perjalanan pulang kemarin malam, Rifando sama sekali tak mengabaikanku. Beberapa kali cowok itu menoleh ke belakang, mengajak bicara, dan memastikan aku masih sadar. Biasanya aku mudah sekali buat tertidur.
Tidak biasanya yang sering pulang larut dalam keadaan mengantuk, kali ini tak ada rasa kantuk itu. Tubuhku sedang membuat proteksi diri agar tidak menangis, tetap kuat, dan rasa sakit akibat patah hati itu pasti tak akan mampu membuatku tidur nyenyak.
Gelisah.
Kacau.
Kecewa.
Hancur.
Yang biasanya aku duduk di sebelah Rifando, kini aku di belakangnya. Menyadarkan posisiku. Aku setiap berada di sisinya hanya dalam momen tertentu saja. Saat ada orang lain yang penting baginya lebih dari diriku, aku akan berada di belakangnya. Hanya melihatnya dari belakang. Sedangkan dia akan lebih sering melihat ke sisi sebelahnya, mengabaikan yang berada di belakangnya. Sebab untuk menoleh ke belakang itu membutuhkan usaha ekstra lebih. Kini sudah ada orang yang menemaninya.
Jika sudah ada yang menemani di sisinya, mengapa masih juga mencari yang sudah berada di belakangnya? Yang pernah terpinggirkan?
Kekecewaan atas usahaku selama ini yang membuat makin sedih. Mungkin aku perhitungan. Aku tidak tulus, dan ikhlas dalam memberikan cinta padanya.
Aku berusaha sadar diri bahwa usahaku mungkin belum seberapa jika dihadiahkan berupa balasan perasaannya.
Mungkin aku saja yang belum ikhlas mencintainya. Tidak, kali ini aku tidak mau ikhlas dalam mencintainya dan menggapainya. Sudah saatnya aku ikhlas dalam melepasnya. Seharusnya. Memang benar, yang selalu ada belum tentu menjadi yang terpantas.
"Kak Andah udah bangun belom? Kata Bunda udah ada sarapan!" Suara Rafel keras bersamaan dengan gedoran pintu.
Untungnya aku memiliki kebiasaan sering tidur sampai lupa waktu, bangun siang banget, dan kebluk intinya. Aku tersadar segera loncat dari kasur, mengambil handuk untuk pergi mandi.
"Iya, mau mandi dulu," jawabku dan bisa mendengar suaraku yang aneh itu. Kenapa suaraku menjadi seperti Sponge bob yang sedang menahan tangis?
"Tumben, biasanya enggak mandi segala langsung nyari sarapan!" Rafel masih di depan kamarku.
Aku mengangkat sudut bibir, akan ada penghiburan dari orang yang tak terduga. Ini senyum pagiku untuk diriku sendiri. Ledekan Rafel yang biasanya membuatku malu jadi terdengar lucu. Apa aku sudah mulai kehilangan rasa waras?
💖💖💖
Setelah mandi, aku masih berada di dalam kamar untuk mengeringkan rambut. Ponselku bergetar keras di meja. Getarannya yang panjang membuatku penasaran ingin melihat siapa yang memanggil.
Rifando. Doyi-ku.
Melihat nama itu, aku sama sekali tidak ingin menyentuh ponsel untuk mengangkat panggilannya ke nomorku lewat telepon biasa.
Aku tak menyalakan internet, sudah membisukan obrolan di grup Geng Teletubbies, dan dengan beraninya aku juga sudah membisukan notifikasi dari kontak Rifando. Aku juga sudah menyembunyikan status Online dan terakhir dilihat di aplikasi chatting itu. Agar aku sudah tak bisa ditebak lagi. Supaya aku bisa menipu mereka juga tanpa banyak alasan.
Aku menahan diri agar tidak mengangkat telepon darinya. Panggilan dari Rifando berhenti ternyata sudah ada 20 panggilan tak terjawab.
Maaf ya, untuk saat ini panggilanmu nggak aku gubris. Semoga percobaanku berhasil ya? Ini demi aku, dan hubungan kamu juga.
Setelah telepon tak ada lagi, aku membuka kolom chat nomor Yudha. Beberapa minggu lalu sebelum aku mengutarakan perasaan padanya, cowok itu mengajak agar diriku ikut bersama teman-temannya pergi ke Pulau di ujung Utara kota Jakarta. Orang bilang obat patah hati adalah jalan-jalan, kalau versi teman-teman dekatku sih belanja ke mal. Sayang, belanja ke mal tidak akan mampu mempengaruhiku.
Andara:
Hai Yudha, apa kabarmu?
Aku udah siap ketemu sama kamu lagi Yudha, aku janji nggak berharap apa-apa sama hubungan ini.
See you!
Aku tak mau menjadikan Yudha seperti diriku, teman pelarian saat patah hati. Tapi Yudha kan sudah memberikan kejelasan bahwa tak mau ada perasaan lebih di antara kami. Itu semakin membuatku lega, jika suatu saat aku menemukan seseorang yang mencintaiku, dan membuat jarak dengan Yudha. Aku tak menyakitinya, kecuali Yudha bisa sakit hati karena ditinggal temannya. Kami hanya berteman saja.
Andara:
Yudha :"
Aku bingung sekarang
Aku udah nggak semangat ngapa-ngapain
Yudha:
Hai Ndah, udah lama nggak nyapa. Aku baik. Kabarmu baik?
Kamu kenapa? Are you okay?
Jangan lupa hari Senin ada Bazar Umum di FEB, jangan lupa mampir ya
Aku cuma bantu ngasih info sih tapi gak bisa dateng, ada urusan di kantor tempatku magang
Andara:
Thanks, aku nanti pergi kumpul sama temen-temen ciwiku aja
Yudha:
Have fun! Are you okay now? Kok nggak dijawab yang ini?
Andara:
Hari ini bisa ketemu?
Yudha:
Oke, mau ketemu di mana?
Andara:
Nanti aku share loc ya?
Karena keluar dari chatroom milik Yudha, aku bisa melihat pesan terakhir dari nomor milik Rifando.
Rifando:
Andah, Senin bareng sama aku yuk ke acara Bazar. Bareng sama Nilla juga, dia pengen kita ke acara itu barengan.
Hah, pergi bareng-bareng bertiga maksudnya? Aku masih patah hati berat. Belum siap melihat mereka bermesraan di depan mata. Apa aku orang gila yang senang sakit hati dan tersiksa?
Kali ini aku tidak mau sebodoh dulu yang dibawa-bawa oleh cowok itu. Sudah tahu bakalan menyakitkan hati. Kenapa dulu aku bisa sabar dan polos banget terlibat dalam kisah kencan Rifando sama cewek-ceweknya?
Satu hal yang harus aku hadapi lagi saat ini, yaitu belajar melepaskan. Saat aku mendapatkan waktu yang disebut sebagai kesempatan, aku tidak bisa mendapatkan apa yang aku inginkan. Sekarang adalah saatnya melupakan.
Kalau awal cerita ini aku mencintainya dengan memperjuangkannya, setelah ini aku seharusnya mulai menyerah. Aku akan mencintainya dengan melupakannya. Aku dan perasaanku akan menjadi beban untuknya, aku yakin itu.
💖💖💖
Di taman FEB siang hari itu. Beberapa hari lalu...
"Tadi di chat katanya mau ngomongin beberapa hal, apaan tuh?" Yudha memandangiku penasaran.
"Hm, aku pengen nanya, sebenarnya aku ini apa buat kamu?"
"Loh, kok jadi nanya ginian?" tanya Yudha sangat terkejut.
"Apa aku boleh sayang sama kamu, Yudha? Biar aku nggak terjebak lagi sama kisah cinta sepihak." Aku berusaha menelan rasa pahit itu masih menatap pada Yudha. "Parahnya lagi perasaan itu nggak pernah sampe ke orangnya. Aku bilang ke kamu biar jelas dari awal."
"Tunggu ... kenapa kamu ngomong hal kayak gini?"
"Aku suka sama kamu, Yudha."
Yudha masih menatapku teduh, dia kelihatan bingung sekali. Tangannya memegang kedua bahuku. "Maaf, bukan aku orangnya. Aku cuma menganggap kamu sebagai teman, nggak bisa lebih."
Lagi-lagi aku terjebak dalam zona pertemanan sialan. Aku tertawa sinis, walau ditolak aku sepertinya sudah lega.
"Kalo aku nggak memulai sama orang baru, aku bakalan begini terus enggak tau sampe kapan. Nggak bisa berpindah hati ke orang lain. Maaf aku kesannya lancang, aku berani menanyakan ini ke kamu agar nggak salah orang lagi. Aku nggak mau masuk ke percintaan yang nggak pasti lagi kayak sebelumnya. Aku jadi nekat menanyakan ini, butuh kepastian. Sayangnya, enggak ada yang suka sama aku. Gimana aku bisa mulai sama orang baru?"
"Kamu nggak salah kok buat berusaha move on. Tapi untuk ungkapin perasaan, lebih baik kamu ungkapinnya dulu ke Rifando. Kamu cinta sama dia, cinta banget kan?"
"Dia terlalu sering muncul di sekitarku, masih akrab sama Abangku, dan Bunda. Kalau aku menyatakan cinta, apa enggak aneh? Aku bisa hancurin kepercayaan dan dia bakal risih. Kamu tau enggak sih rasanya dijauhin karena kita suka?"
Yudha terpekur sesaat, rona wajahnya menunjukkan luka. Kesedihan yang tidak aku ketahui apa alasannya dia terlihat begitu. "Butuh sebuah penolakan untuk berhenti. Kamu bakal inget betapa sakitnya saat ditolak, kan?"
Aku baru tahu bahwa salah satu cara untuk melupakan adalah dijauhkan, ditinggalkan, dan penolakan itu. "Kamu menolak aku, apa ini cara kamu ngusir aku?" Sangat sedih aku sudah mendengar bahwa ditolak oleh Yudha.
"Andai aku adalah Rifando, tentu cara yang diambil akan berbeda. Aku sebagai Yudha cuma ingin bilang, hubungin, datengin, dan bicara sama aku lagi nanti. Saat kamu udah nggak punya perasaan apa pun. Maaf ya, Andah."
"Oke, kalo udah jelas gini, aku bakal lebih mudah buat move on. Bener ya penolakan itu cara menyadarkan diri biar move on."
"Aku bukan orang yang suka ngasih harapan palsu, aku nggak mau komitmen pacaran cinta-cintaan dulu, ya aku masih mau bebas. Berhubungan itu ribet dan bikin hati kacau. Maaf Andah, aku tau kamu cintanya sama Rifando, bukan sama aku."
"Makasih Yudha, udah menjadi teman dekatku. Kita cuma temenan aja, kan? Nanti aku hubungin kamu lagi kalo udah enggak ada perasaan apa-apa ya?"
Bagaimana jika aku menyatakan cinta pada Rifando, respon dia akan sama dengan Yudha? Akan meminta menjauh sampai perasaan menghilang.
"Move on tanpa orang baru itu bisa. Menjauhlah dari orang yang kamu cintai itu, dan sayangin diri kamu sendiri lebih dulu. Saat kamu mencintai diri sendiri, kamu nggak akan biarin orang lain nyakitin kamu. Ini bukan akhir dari segalanya. Kamu baik, menarik, tulus, setia, dan seru. Kalau kamu lebih melebarkan lingkar pertemananmu, akan ada yang jatuh cinta sama kamu."
"He'em."
Oke! Aku merasa sedih dan campur geli karena dihibur oleh Yudha. Pake segala akan ada yang cinta padaku juga, seperti dia meyakinkanku untuk terbuka lagi sama orang luar nantinya.
"Kalo kamu berpendapat yang sama, penolakan adalah cara untuk move on. Ungkapin perasaan kamu ke Rifando. Kalo dia menolak, dan menjauh. Dia yang kehilangan kamu, aku tau kalo kamu segalanya buat dia."
Entah mengapa aku menangis sudah sesenggukan. Yudha menenangkanku dalam diam, pemuda itu membiarkanku menangis di bahunya.
"Kenapa sih nggak ada yang suka sama aku? Orang lain bisa mudah punya pacar, disayang, dan disukain orang. Aku? Aku udah berusaha jadi menarik."
"Nangis sekarang boleh, lain kali semoga kamu udah bisa mengerti. Perasaan cinta itu hanya sekelumit kecil masalah dalam hidup. Dunia itu luas bukan hanya sekitar Rifando itu. Kamu belajar banyak hal, nanti orang-orang itu akan datang sendiri untuk mencintai kamu. Lakuin hal yang lebih positif, jangan galau orang yang nggak pernah melihat kamu. Nanti kamu akan sadar deh, kamu udah buang-buang waktu."
Tangisanku tidak lama saat sadar sesuatu. "Makasih kata-kata semangatnya. Aku udah gapapa, kamu ada kelas, kan?" tanyaku seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya.
"Beneran udah gapapa?"
Aku mengangguk pada lelaki dengan rambut yang sudah tak gondrong lagi itu. Yudha sudah memangkas rapi rambutnya demi mata kuliah magang nanti yang sebentar lagi akan dia jalankan. Dia pernah cerita sedikit sebal karena rambutnya terpaksa harus dipotong. Demi mengikuti peraturan kantor magangnya dia memangkas rambut itu.
"Kamu abis ini mau ke mana?" tanya Yudha masih belum mau meninggalkanku sendiri di taman kampus yang dekat dengan Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
"Di sini, ada janji sama Doyi. Rifando."
"Oh, ya udah kalo mau ketemu sama dia. Aku pergi dulu ya, kabarin aku!" seru Yudha sambil melambaikan tangan senyum lebar ke arahku.
Aku melambaikan tangan juga masih menoleh ke belakang untuk tetap memperhatikan Yudha, pemuda itu saat tiba di atas taman berpapasan dengan Rifando yang baru mau turun ke bawah. Mereka hanya melempar pandangan sesaat.
"Jauh banget kamu nemplok ke sini," kata Rifando sambil duduk di sebelahku memberikan minuman Mogu-Mogu rasa Melon.
"Di sini adem, enak banget buat tenangin, dan ngayal babu," kataku yang bersusah payah membuka minuman itu.
Rifando melihatku yang kesusahan membuka botol langsung membantu mengambil botolnya, dalam sekali putaran Rifando sudah bisa membuat tutup botolnya terbuka.
"Thanks!"
"Abis ketemu sama Yudha?" tanya Rifando menatapku dengan sorot yang menunjukkan tidak suka.
"Iya," kataku lesu.
Tadi aku bercerita ke Yudha karena kami merasakan mata kuliah yang sama jadi aku mengira Yudha akan paham apa yang aku keluhkan, dan resahkan. Aku juga butuh banyak nasihat, saran, berdasarkan pengalaman Yudha yang sudah melalui lebih lama dariku. Kalau orang lain mengira aku sama Yudha masuk dalam momen romantis jangan salah sangka, kami lebih mirip teman sebaya.
Perbincangan kami berakhir menjadi obrolan percintaan. Aku mengungkapkan perasaan tertarikku, namun aku sudah langsung disuruh berhenti berharap.
"Kamu beneran suka sama Yudha?"
"Ya, kalo gak suka, aku nggak mau deket-deket sama dia."
"Ndah, aku mohon jangan Yudha ya."
"Apanya?" Aku merasakan Rifando sangat aneh.
"Jangan sayang sama Yudha, nanti kamu sakit."
Rifando benar, dia sudah memberikan peringatan dari awal. Aku mengabaikan ucapan Rifando. Demi ego agar aku bisa memulai dengan orang baru lainnya. Aku tahu aku tak akan bisa bersama Rifando, dan menaruh harapan besar pada Yudha. Sayangnya, aku tidak bisa bersama dengan kedua-duanya.
💖💖💖
"Kalo aku mengungkapkan perasanku ini, apakah akan jadi beban untukmu? Apa kamu bakal kesal, marah dan membenciku? Aku takut untuk mengatakannya, Ndo. Aku takut kalo kamu akan memintaku untuk menjauh."
💖💖💖
Double killed banget jadi Andah👀☺
HAHAAHAAAAA baru mulai udah muncul satu fakta. Yudha nggak bisa balas perasaan Andah😏
11 JANUARI 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top