satu

"Shual!" panggil Galya pelan agar pria tersebut menoleh padanya.

Shual berpaling, mendekatkan wajah padanya.
"Apa?" katanya dengan mata berbinar.

"Ayo kita pulang. Ini sudah jam sepuluh. Besok acaranya dimulai jam sepuluh. Kita sudah harus bersiap-siap dari subuh" bisik Galya yang ternyata masih bisa didengar Dila sepupu Shual.
"Kalau kau lelah, pulanglah duluan. Biarkan kami berkumpul sedikit lama lagi. Setelah ini kau bisa memiliki Shual setiap menitnya" kekehnya yang jelas sekali sudah minum terlalu banyak.

Semua orang yang mengelilingi meja tertawa tapi tidak dengan Galya dan Sweeta temannya Dila.
Mata mereka bertemu, Sweeta melotot Galya langsung membuang pandangan ke arah lain sambil memainkan jemarinya tidak mau mencari masalah dengan wanita yang semenjak pertemuan pertama mereka sudah ketus padanya.

"Apa kau lelah?" tanya Shual mengurai jemari Galya.
Galya menatap mata Shual dan mengangguk.
"Kalau begitu aku akan mengantarmu pulang" katanya membawa Galya berdiri.

"Shual kau tidak asik" protes Sweta.

Shual tertawa.
"Setelah mengantar Galya, aku akan kembali" janjinya diiringi sorakan teman dan sanak keluarga saat dia dan Galya menjauhi meja.

"Apa benar kau akan kembali setelah mengantarku?" tanya Galya lemah.

Shual tersenyum dan mengangguk.
"Begitulah rencanaku. Aku jarang bertemu mereka semua.
Malam ini masih panjang kalau lelah aku bisa menginap saja di sana sekalian jadi besok pagi bisa langsung siap saat kau sampai" katanya mencoba meyakinkan Galya.

Galya melihat hotel yang akan jadi tempat resepsi dan pesta pernikahan mereka.
Hotel itu adalah milik papanya dan Shual adalah direktur di sana.
Mereka bertemu pertama kali di sana saat Galya menemui papa yang ternyata sedang bersama Shual.
Galya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Dan ternyata gayung bersambut, Shual bilang dia juga merasakan hal yang sama hingga memutuskan untuk mengejar Galya meski resikonya papanya Galya akan marah dan mungkin akan memecatnya.
Tapi kata Shual dia tak peduli semua itu, dia rela kehilangan semuanya asal bisa memiliki Galya.

Hubungan mereka berkembang begitu pesat, mereka jadi tak terpisahkan.
Galya bahkan rela menyerahkan semuanya pada Shual yang menolaknya dan bilang kalau dia hanya akan menyentuh Galya saat mereka sudah menikah.
Demi semua itu Galya mati-matian membantu Shual meyakinkan dan membujuk agar mengizinkan mereka menikah, padahal papa ingin Galya melanjutkan kuliahnya ke luar negeri agar kelak bisa mengurus hotel dengan baik.
Galya pikir selama Shual membantunya dia akan bisa mengurus semua milik papa kelak.

Galya tidak terlalu kenal dengan keluarga Shual.
DIA bertemu sanak saudara Shual Baru baeu ini saja, sekitae enam bulan yang lalu.
Galya tahu Shual yatim piatu meski keluarganya ramai di luar kota, hanya Shual sendirian disini.
Shual bekerja pada Papanya Galya, yang kagum dan mengakui kemampuan Shual. Tanpa ragu papa memberi Shual jabatan sebagai asisten pribadinya.
jabatan yang sudah lama diincar banyak orang.

Dia lah yang mendesak Shual mengundang seluruh keluarga, teman dan orang-orang yang diinginkan oleh Shual menyaksikan pernikahan mereka.
Mereka semua ditampung di hotel, Galya ingin keluarga Shual tahu kalau mereka semua disambut dengan baik karena Galya akan menjadi bagian dari mereka.

"Apa kau keberatan aku kembali ke sana?" tanya Shual bingung.

Perlahan Galya menggeleng, meski hatinya ingin dia mengangguk, dia tidak mungkin bersikap manja dan egois dengan selalu memgotrol Shual.
Galya berusaha menutupi kenyataan betapa terobsesinya dia pada pria tampan tersebut.
Galya nyaris terobsesi kalau sudah berurusan dengan Shual tapi tentu saja dia memendamnya karena dia takut Shual akan lari ketakutan meninggalkannya.
Sikap hati-hati dan kesopanan Shual tidak masalah, karena pria tersebut selalu bersikap manis padanya.

"Pergilah. Tapi nanti aku akan menelponmu. Paling lambat jam dua kau sudah harus istirahat" kata Galya manja merebahkan kepalanya ke bahu Shual yang sedang menyetir.
Shual tertawa dan mengecup rambut Galya.

Galya masuk ke kamarnya sepuluh menit kemudian.
Mengganti bajunya lalu menghapus riasan tipis yang selalu dia gunakan.
Tak lama Galya sudah naik ke atas ranjang, berbaring dibalik selimutnyanya yang empuk dan nyaman.
Sayangnya mata Galya tak bisa di pejamkan.
Bahkan sampai jam 2 dini hari dia masih belum tertidur sekejapu.

Galya mencari HP nya dan segera menghubungi nomor Shual yang tak kunjung diangkat.
Galya menelpon berulang kali dan tak kunjung dapat jawaban, bahkan setelah satu jam berikutnya.
Galya mulai cemas, dia mulai berpikir tentang kecelakaan Dan segala macam hal buruk lainnya.
Dia mengumpat karena tak punya satupun punya nomor telpon teman atau kerabat Shual.

Saat nyaris putus asa, Galya menukar baju tidurnya dengan dress sederhana dan menutupi dengan mantel tebal yang cocok dalam suhu dingin seperti ini.
Galya berlari menuruni tangga, senang karena tak terlihat jejak papa dimanapun, pria setengah baya itu pasti sudah istirahat karena besok berperan penting dalam penikahan putrinya.

Galya mengendarai mobilnya sendiri, sesuatu yang tak lagi dilakukannya semenjak punya Shual di sisinya.
Dalam waktu singkap dia sudah berada di depan teras, melompat keluar dari mobilnya.
melemparkan kuncinya pada petugas yang mengenalinya.

Galya berlari ke ruang berkumpul tadi, ruang aula yang besok akan jadi tempat pesta.
Keningnya berkerut saat tidak melihat Shual di sana, masih ada sisa satu dua orang di meja tapi mereka terlihat mabuk parah, Galya tahu kalau percuma saja bertanya padanya.

Galya keluar dari sana, berpikir untuk pergi ke apartemen Shual saja, siapa tahu pria tersebut sudah pulang dan tertidur sampai tidak mengangkat telponnyanya.

"Galya?"

Galya menoleh, itu suara sepupunya Raco jadi dia segera mendekat.
"Kenapa kau masih di sini!"

"Aku harus memastikan persiapan besok sudah beres. Sudah selesai dan sekarang aku mau pulang, istirahat" senyumnya.

"Apa kau melihat Shual?" tanya Galya tidak bisa menyembunyikan kecemasannya sambil memperhatikan sekeliling.

Wajah Raco berubah, dia melirik ke satu tempat sekilas, meski Galya tidak begitu yakin.
Bahu Raco terangkat.
"Aku tidak melihatnya" jawab Raco pada Akhirnya.

Galya memijat keningnya.
"Aku tidak bisa menghubunginya. Mungkin dia sudah pulang dan ketiduran.
Sebaiknya aku ke sana untuk memastikan"

Raco menggeleng.
"Tapi ini sudah terlalu larut. Kau juga seharusnya menelponku tadi" tegurnya.

"Aku terlalu cemas dan lupa untuk berpikir" lirih Galya.

Raco melihat sisa keluarga Shual.
"Kita tanya kan ke mereka saja" katanya pelan.

Galya menggeleng.
"Aku tidak yakin. Mereka terlalu mabuk" gumamnya.

Raco tidak menjawab, dia menarik lengan Galya menuju orang-orang tersebut.
Saat mereka berdiri di sana, dua orang sepupu Shual yang tengah mabuk itu menoleh, perlahan mengenali Galya dan tersenyum.

"Maaf tapi kalian harus pergi dari sini. Tempat ini harus dirapikan agar besok bisa dipakai" tegur Raco dingin membuat kaget dua orang tersebut.
Galya jadi segan, meski mereka sedikit memalukan mereka tetap keluarga Shual yang harus dihargai.

"Maaf" kata Galya.
"Sudah terlalu larut, sebaiknya kalian istirahat. Takut besok kalian akan kesulitan bangun" tambahnya, diterima dengan baik oleh dua orang tersebut yang mengangguk, langsung berdiri sempoyongan.
Sebelum mereka melangkah, Galya menahan salah satunya.
"Maaf, tapi apa kalian melihat Shual atau tahu dia ke mana atau di mana sekarang?" tanyanya setelah yakin keduanya masih paham apa yang dikatakan orang lain.

Keduanya mengangguk.
"Dia dan Sweta pergi untuk melihat kamar pengantin kalian" tunjuknya ke arah pintu menuju lift.

Dada Galya berdentam kaget tapi dia tetap menampilkan senyum dan ucapan terimakasih.
Kedua orang itu melangkah sempoyongan meninggalkan Raco dan Galya.
Raco diam begitu juga dengan Galya.

Perlahan Raco menarik tangan Galya.
"Ayo akan kuantar kau pulang" bisiknya lirih menolak menatap tangan Galya.

Galya menepis tangan Raco dan tersenyum.
"Apa kau sudah memeriksa kamar itu juga. Apa semuanya aman, tidak ada yang kurang?" tanyanya ceria.

Raco mengangguk.
"Sudah. Itu yang pertama kulakukan" jawabnya.

"Jam berapa?" tanya Galya sedikit tegang.

"Barusan saja" jawab Raco
"Barusan itu pukul berapa?" desak Galya.

Raco menghela napas.
"Aku lupa tapi semua orang yang bersamaku tahu itu, nanti kutanyakan pada mereka.
Sekarang aku antar kau pulang saja" desaknya.

Galya menggeleng.
"Aku baru ingat aku meninggalkan sesuatu di sana. Sebaiknya aku pergi dan mengambilnya"

Raco menarik Galya yang sudah berjalan selangkah.
"Galya sudahlah" tegasnya.

Dengan kasar Galya menepis lengan Raco.
"Kalau kau tidak mau menemaniku, aku bisa pergi sendiri"
Dengan setengah berlari Galya meninggalkan Raco.
Raco berdecak kesal segera menyusul Galya menyelinap masuk saat pintu Lift mulai menutup.

"Bukankah kau ingin pulang?" sindir Galya dengan mata berkaca-kaca.

Raco tidak melihat pada Galya.
"Kau tidak punya kuncinya, aku punya" jawabannya adalah suara terkahir yang terdengar dalam Lift sampai mereka keluar dari sana.

Semakin dekat dengan kamar pengantinnya semakin goyah hati Galya.
Dia memegang tangan Raco, meremas jemarinya yang basah ke lengan baju sepupunya itu.
Di depan pintu kamar, sebelum memasukan kartu, Raco melirik Galya minta kepastian, Galya mengangguk perlahan dengan mata yang mulai berkilat.

Satu gesekan dan satu putaran hendel, pintu terbuka.
Mereka melangkah masuk, reflek meredam langkah yang dibantu oleh karpet bulu tebal.
lorong kamar antara kamar mandi dan ruang pakaian diisi oleh tas dan koper Galya dan Shual yang akan mereka bawa saat bulan madu besok lusa.
Semuanya sudah siap dan beres seperti yang Raco bilang.!
lalu terlihatlah ruangan luas nan mewah dengan sofa-sofa indah yang di tata sebagai teman untuk sebuah kasur besar yang berisi air yang akan membuat orang yang tidur disana merasakan sensasi tak terlupakan.

Namun bagi Galya yang belum pernah mencoba tidur di sana tetap takkan pernah melupakan apa yang dia lihat diatas kasur itu.

Ubtuk sesaat Galya dan Raco tidak bersuara, mereka berdua terpaku pada bokong Shual, pada sosok Shual yang sedang menunggangi perempuan yang yang Galya kenali sebagai Sweta.

Hati Galya yang merah, berbunga-bunga dan bersinar oleh kebagian langsung menghitam, mengering dan kelam.
Dalam hidupnya Galya tidak pernah merasakan perubahan emosi dan perasaan secepat ini.

Rasa kagum dan cinta yang besar pada Shual berganti amarah beracun dan kebencian yang membuatnya merasa jijik dan mual.
Perut Galya bergolak, dia muntah tapi tidak ada yang keluar selain dari semua kekaguman dan cintanya untuk pria tersebut.

*******************************
(08112020) PYK.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top