⚘Santriwati
Beberapa bulan tinggal di pesantren, membuat Alisya mengerti banyak hal. Terutama soal kebersamaan yang tak pernah ia rasakan seperti persahabatan sebelum-sebelumnya seperti di bangku sekolah. Makan dan tidur sehari-hari dilewati bersama keempat sahabat kurcacainya yang unik dan aneh tak jauh berbeda seperti dirinya.
"Adek-adek sekarang jadwal ngitab kitab ushul fiqh. Ayo bersiap!" ajak seorang santri senior.
Alisya tahu referensi yang dimaksud. Di awal dulu, ia mengusap dada lega karena kitab yang dimaksud masih berupa terjemahan. Jika tidak, habis nian dirinya menjadi manusia pra sejarah yang tidak tahu baca tulis yang berbentuk arab dan mungkin tanpa harakat itu.
"Kuy ngitab!" ajak Yanti.
"Yuk ahh, Girls. Daripada di kamar mulu, bosen. Itung-itung bisa ngitungin cicak di masjid," ujar Anya.
Shafa sudah bersiap dengan memeluk kitab ushul fiqh dan menunggu keempat temannya, "Fiona, Alisya, ayuk!"
Fiona sibuk mencoba baju-baju baru yang tadi siang ia beli dari pasar. Sementara Alisya sibuk dengan game garden scapes-nya sembari mengomel sendiri.
"Fiona! Alibibi!" panggil Anya.
"Gue ijin Kang Rio call gak bisa ditinggal. Biasa calon imam manja gak bisa ditinggal," ujar Fiona.
Anya, Yanti dan Shafa langsung merasa geli mendengar ucapan Fiona. Ketiganya serempak dengan mode sinis, sarkastis dan setelahnya memutar bola mata.
"Etdah yang pacaran mulu," dengus Yanti. "Alibibi!" Kali ini ia memanggil Alisya. Alisya menjadi plesetannya Alibaba. Karena si Alisya perempuan, maka berubahlah jadi Alibibi.
Alisya masih fokus dengan menekan-nekan layar ponselnya yang menjadi bentuk landscape. "Gue ijin sibuk tugas ya, Cuys. Pak botak lagi butuh taman baru buat ngundang temen-temennya buat nyambut malem halloween. Gue mesti renov cepet tamannya jadi mode serba labu merah sama unyu."
Yanti menepuk jidatnya, "Aduhh gak ngerti gue. Berangkat yuk ahh! Pada sinting entar."
Sampai ketiganya hilang dari pandangan, Fiona dan Alisya masih sama-sama sibuk dengan ponselnya masing-masing. Lebih tepatnya seperti autis yang tak terdeteksi.
Sayup-sayup malam itu gerimis menghujani sekitaran pesantren. Alisya menarik selimut tipisnya ke seluruh tubuh dengan sembarangan karena manik matanya masih fokus pada ponsel layar datarnya.
"Dek Alisya, minjem sendoknya." Suara kakak senior dari balik jendela memanggilnya.
Alisya yang masih terus sibuk dengan layar datar mini di tangannya hanya menjawab dengan anggukan. Ia yang awalnya duduk santai bersandar ke tembok kemudian bangkit untuk mengambil sendok di atas lemari dengan merabanya karena fokus Alisya masih ke layar ponsel. Sambil berjalan ke arah jendela. Tangannya menjulurkan sendok itu keluar jendela. Setelah berulang kali mengayunkan sendok agar diterima oleh si kakak senior, tapi tak diterima juga, fokus dari ponsel buyar dan mencari keberadaan si kakak senior.
Katanya mo minjem sendok, gimana sih? omel Alisya dalam hati.
Alisya celingukan masih berusaha mencari. Setelah dirasa tak ada, ia kembali fokus pada layar ponsel seraya menggeleng-gelengkan kepalanya pelan dan berbalik menuju kamar kurcacai.
"Dek!" Suara si kakak senior muncul di belakangnya.
Alisya menoleh dan hendak memberikan sendok. Namun gadis itu malah bergeming lama. Kakak kelasnya memakai mukena terusan berwarna putih panjang yang dikaitkan sampai ke leher dengan masker wajah berwarna putih juga dan rambut direbonding lurus sepunggung. Dandanan seperti kuntilanak atau sundel bolong.
Karena merasa terkejut, setelah memberikan sendok, Alisya berlari menuju kamar kurcacai. Ia segera memeluk guling sambil terus menangis. Fiona yang asik bicara sendiri dengan ponsel yang menempel rekat di telinga, jadi menoleh.
"Kenapa lo, Sya?" tanya Fiona.
Alisya menggeleng cepat dengan wajah yang masih tertimbun dalam busa guling.
🌷🌷🌷
"Eh busyet. Itu Kak Septa lo tahu. Kenapa lo nangis?" tanya Anya.
"Gue kaget, tauk," jawab Alisya.
"Rasain lu gak ikut ngaji kitab. Sok pinter aja sih. Udah dikasi terjemahannya juga eh malah sibuk halloween. Kita orang aja mana paham itu halloween, ultah aja kita gak pernah. Budaya barat itu," imbuh Yanti.
"Yee ..., gue juga sama mana paham begituan. Ini cuma game doang," bela Alisya.
Shafa yang sedari tadi diam, menggeleng kepalanya pelan. "Udah. Jangan diterusin. Entar malah jadi tengkar. Alisya, kita boleh nakal, tapi soal ilmu juga jangan ditinggal."
Alisya mengacungkan jempolnya pada Shafa, "Iya deh sori, gue lagi khilaf semalem."
"Huuu. Alhamdulillah lo sadar. Fiona keknya mesti tobat soal pacaran."
"Jangan masuk ke zona gue ya, Girls. Yang penting gue pacaran bisa jaga iman dan jaga diri."
Yanti mengacak hijab Fiona, "Susah ya, Girl."
🌷🌷🌷
Ayam berkokok berulang kali menandakan shubuh sudah mulai tiba. Tak lama setelah itu kumandang azan bertalu dari arah masjid. Para santriwati di Pesantren Mahasiswa Nurul Istiqomah bergegas ke masjid untuk menunaikan sholat subuh berjamaah. Para pengurus sudah sibuk memeriksa kamar-kamar para santriwati untuk membangunkan mereka. Sampailah pada kamar kurcacai. Para penghuninya tengah terlelap.
"Dek, ayo bangun sholat subuh!" ajak seorang pengurus.
Tak ada yang berkutik walau hanya sekedar menyahut ajakan sang senior.
"Dek! Bangun!" Sang pengurus menaikkan satu oktaf suaranya.
Muncul seorang kakak pengurus lainnya.
"Belum bangun?"
Si kakak pengurus menggeleng putus asa. Kakak pengurus yang baru datang itu berkacak pinggang sedikit sangar. Ia berjalan cepat dan menggebrak pintu kamar kurcacai dengan keras.
"Bangun!! Subuh!!" pekik kakak pengurus yang baru datang.
Alisya mengucek mata dan melihat sekilas para pengurus. "Kak, jangan keras-keras dobrak pintu nanti rusak. Anak-anak sini entar yang ganti." Setelah mengatakan itu, ia tertidur lagi.
Shafa terbangun dan menepuk keningnya, "Astaghfirullah, telat lagi." Shafa pun bangun dan bergegas ke kamar mandi.
Yanti menarik selimutnya. Anya dan Fiona malah tak membuka mata sama sekali. Yang terdengar hanya dengkuran lembut mereka.
"Dek Alisya! Dek Anya! Dek Yanti sama Dek Fiona! Bangun!" pekik pengurus tadi.
Jangan bayangkan keempatnya akan bangkit bangun dan bergegas mengambil air wudu ke kamar mandi karena ketakutan akan sentakan pengurus, yang ada mereka malah menarik selimut rapat. Alisya malah menutup telinganya dengan bonekanya yang berbentuk donat. Karena tidak ada hukuman berarti, para kakak pengurus pergi meninggalkan kamar kurcacai begitu saja dan lanjut membangunkan para santriwati di kamar lain.
Beberapa puluh menit pun berlalu.
Yanti yang baru pulang dari masjid menertawakan tingkah Alisya. Anya dan Fiona memilih tak acuh dan meletakkan mukena di atas lemari. Ternyata setelah pengurus pergi, mereka bertiga bergegas bangun dan berlomba mengambil air wudu karena hari akan mulai terang. Saat melihat Alisya masih mendengkur di atas bantal kapuknya, mereka terkaget melihat satu orang teman yang baru merasakan dunia pesantren itu masih asik dengan dunia mimpinya.
"Alisya! Bangun!"
Alisya membuka mata dan duduk. Ia mengucek sebelah matanya lalu melirik jam di dinding, "Astaghfirullah!" Alisya menepuk jidatnya.
"Ketinggalan subuh 'kan, Alibibi. Dibangunin gak bangun-bangun," ujar Yanti.
"Bukan ituuu. Gue ada kuliah pagi. Mesti cepet nih," jawab Alisya.
"Kirain nyesel gegara gak sholat subuh."
Alisya meraih handuknya berlari ke kamar mandi. Setelah mandi, ia segera menyiapkan segala alat perang untuk kuliah pertamanya itu.
Alisya setengah berlari ke kampusnya. Sesekali arloji di tangan diliriknya. Ia tak menghiraukan keringat yang mulai membasahi wajah.
Sampai di kampus dan telat sepuluh menit. Alisya mencoba mengetuk pintu kelas yang sudah tertutup.
"Masuk!" teriak dosen dari dalam kelas. Alisya bernapas lega.
Alisya membuka pintu. Ia bergeming melihat pemandangan di dalamnya. Semua mahasiswa di kelas menatapnya. Ia benci menjadi pusat perhatian.
"Sekarang tutup pintu dari arah luar!" titah sang dosen.
Alisya dibuat melongo dalam sekejap dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia masih belum mengerti bahwa sang dosen menyuruhnya keluar dari kelas alias mengusirnya. Walaupun masih gagal paham juga, ia mengangguk pelan dan menutup pintu dari arah luar.
Kembali Alisya dibuat bingung di depan pintu luar kelas. Sang dosen terdengar melanjutkan penjelasannya di dalam kelas. Setelah menunggu agak lama dan penasaran karena ketidaksampaian isi otaknya mencerna maksud dosen, ia memutuskan membuka pintu.
"Kok saya di luar gak dipanggil juga sih, Pak? 'Kan pegel nunggu di luar?" ucap Alisya kemudian pada sang dosen. Teman mahasiswanya di kelas yang awalnya hening menjadi ramai menertawakannya.
"Sudah, sudah." Pak Saif, sang dosen menenangkan kondisi kelas. "Duduklah, Nak! Lain kali jangan telat lagi. Kali ini masih ada dispensasi karena awal perkuliahan," ujar sang dosen kemudian. Entah karena kasihan atau bagaimana, ia menyuruh Alisya duduk.
"Ulumul Hadits itu ilmu yang mempelajari tentang hadis. Kalian tahu 'kan bedanya hadis dengan sunnah? Kalo hadis itu ...," terang Pak Saif melanjutkan keterangannya.
Alisya bukannya mahasiswa yang tidak cerdas, tapi karena efek kelelahan, ia mulai setengah mengantuk. Tatapan gadis itu mulai menerawang keluar jendela kaca kelas dan menyapu pandangan pada segenap pepohonan rindang sekitar kampus. Berwarna hijau pupus dan menyejukkan mata. Menenangkan segenap jiwa. Semilir angin yang melambai dari setiap ujung jemari sang dedaunan menambah lamunan entah berantah Alisya semakin terjalar ke mana-mana.
"Sudah ekspedisinya, Non?"
Alisya yang masih terkena sindrom angin semilir sejuk penuh lamunan dengan mulut membeo beralih menatap sang dosen yang juga tengah menatapnya. Gadis yang kepalang basah ketahuan tengah melamun itu segera mengatupkan mulutnya dan sok sibuk sedang membaca buku di depannya.
"Eh iya, Pak. Hadis 'kan, Pak? Hadis itu ...." Alisya bingung setengah meninggal pada pengertian hadis. Saat menoleh ke kanan dan kiri pada teman kelas yang tak satu pun dikenalnya, ia tambah kebingungan. Mereka malah tersenyum mengejek. Alisya hanya mencibir.
Pak Saif nampak geram pada Alisya, "Baiklah hari ini dispensasi lagi. Besok silakan kamu cari dosen lain di perkuliahan ini kalo kamu tetap seperti ini. Sekarang kamu duduk saja." Pak Saif mencoba sabar dan nampak menahan kegeramannya.
Alisya lagi-lagi ingin menangis dan menjerit karena kesal. Hari ini ia dipermalukan karena ulahnya sendiri.
Setelah kegiatan perkuliahan hampir selesai, Pak Saif melirik mahasiswi yang langsung dikenalnya itu untuk menanyakan sesuatu padanya. Mungkin sekalian ingin membuat Alisya kebingungan lagi karena sang dosen yakin gadis itu tak menyerap ilmu yang diterangkannya kecuali sedikit. Alisya secepat kilat memutar otak.
"Pak, katanya Imam Bukhari sama Imam Muslim itu periwayat hadis sahih. Trus antara keduanya yang paling sahih yang mana?" Pertanyaan asal, tapi sang dosen mengacungkan jempol tanpa diduga padanya. Alisya dibuat melongo. Ia membandingkan dua imam besar perawi hadis yang jelas sama-sama benar.
"Saya suka pertanyaan Anda. Kita semua tahu kalo hadis sahih adalah hadis yang sanad-nya bersambung atau sampai kepada Nabi, diriwayatkan oleh perawi yg adil dan dhabit atau kuat hafalannya. Sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan berillat," terang Pak Saif sembari membetulkan letak kacamatanya.
"Kriteria hadis sahih Imam Bukhari dan Imam Muslim terjadi perbedaan pendapat mengenai persambungan sanad. Menurut Bukhari, sanad hadis dikatakan bersambung apabila antara perawi terdekat itu pernah bertemu sekalipun hanya satu kali. Jadi tidak cukup hanya sezaman alias al mu'asarah. Sebaliknya, menurut Muslim, apabila antara perawi yg terdekat hidup sezaman maka sanad-nya sudah dikategorikan bersambung. Sebagian ulama menyatakan bahwa Bukhari menetapkan syarat terjadinya periwayatan harus dengan cara "As sama' dengan demikian hadis sahih yang ditetapkan oleh Bukhari lebih ketat persyaratannya daripada hadis yang ditetapkan oleh Imam Muslim."
Alisya kembali menggigit bibir samping. Ia segera membolak-balikkan buku dengan secepat kilat tanpa ketahuan sang dosen yang asik menerangkan. Sanad, sanad, sanad. Ia tak mengerti sanad.
Contoh sanad itu seperti Aisyah, Abu Hurairah, dan lain-lain.
Sedikit. Tapi baiklah Alisya sedikit mengerti. Yang biasanya ada sebelum isi hadis. Begitu bayangan Alisya. Ia segera membetulkan sikap seolah mengerti betul dan mengangguk-angguk tanda mengerti.
Namun bagaimana pun juga, penjelasan yang diterangkan Pak Saif, sedikit banyaknya menggugah otak cerdas seorang Alisya. Pelajaran agama menurutnya asik juga.
Terutama soal kisah perawi-perawi hadis. Ia sempat membaca sejenak tadi bahwa Imam Bukhari pernah bermimpi mengusir lalat yang artinya adalah dia membuang banyak hadis-hadis palsu artinya bukan bersal dari Nabi Muhammad. Pengertian hadis sendiri baru saja ia baca bahwa segala hal yang berhubungan dengan Nabi Muhammad. Entah itu ucapan, perbuatan ataupun ketetapan Nabi. Sementara sunnah lebih spesifik pada perbuatan Nabi. Membayangkan itu semua membuat ia terbayang akan Nabi Muhammad, sang penyampai wahyu.
Sedikit hatinya tergelitik, Pantas saja orang-orang sholeh cem para imam besar itu sifatnya strong begitu belajarnya. Nabi saja perjuangannya super strong.
Alisya menghela napas pelan. Dan hatinya kembali berbisik, Ternyata Islam gak sesederhana dalam bayangan gue selama ini. Ati-ati bener dalam mutusin sesuatu.
🌾🌾🌾
Bersambung.
Situbondo, 9 Maret 2019.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top