⚘Liburan

Anya, Fiona, Yanti dan Shafa sudah berkumpul di gazebo kampus sejam lebih. Tinggal satu orang yang belum kumpul yaitu Alisya.

Yanti menengok arloji di tangannya, "Lo yakin, Alibibi bilang bakal keluar jam sembilan? Ini lho udah jam sepuluh lewat," ujarnya.

"Yakin," jawab Anya.

"Tapi tu anak belum nongol juga."

"Ke gue juga ngomongnya jam sembilan pas kuliahnya selesai," celetuk Fiona.

Shafa yang asik menyedot es dogernya dari bungkus plastik yang ia pegang lantas mengatakan, "Alisya kesambet kali. Coba cek deh di depan base camp anak pecinta alam. Di situ banyak pohon mahoni mungkin Alisya lagi ada di bawah pohon itu sambil senyum sendirian."

Anya, Fiona dan Yanti menoleh seketika pada Shafa. Sementara Shafa sendiri malah sibuk melihat isi es doger yang tersisa.

"Eh busyet ini anak yang malah kesambet es doger."

"Shafa anak pe'a dasar."

"Aku bukan anak pecinta alam tauk."

"Pendek akong."

"Samperin gih ke kelasnya. Jangan-jangan tu anak ngilang, ada yang nyulik atau lebih dramatisnya gak tau jalan ke bunderan gazebo," ujar Yanti sedikit khawatir.

"Biar gue sama Fiona yang samperin. Lo sama Shafa aja di sini. Kali bener es dogernya pake majikom. Kesambet beneran entar. Kita juga yang repot," ucap Anya.

Lanjut langkah mereka menyisiri koridor kampus menuju kelas yang ditempati Alisya.

Sesampainya di kelas itu, Anya dan Fiona melihat kelas sudah sepi. Anya memandang sejenak pada Fiona yang dibalas angkat bahu dan gelengan kepala oleh gadis itu. Anya kembali mendekatkan diri ke kelas Alisya. Anya tertegun. Lalu menutup mulut dan cekikikan sembari memegang perutnya di luar kelas. Fiona yang tak mengerti jadi mengernyitkan kening. Ia juga coba mengintip dari balik jendela kaca. Fiona malah membuka mulut sembari terbelalak dan menepuk jidatnya. Lalu berkacak pinggang. Keduanya lantas berlari menuju ke bunderan gazebo dan melepas tawa terbahak-bahak. Yanti dan Shafa saling bertukar pandang karena tak mengerti.

"Alisya beneran kesambet?" tanya Shafa dengan tampang polosnya.

Namun Anya malah meraup muka Shafa dengan tangan saking gemasnya.

"Soto babat kita itu emang paling beda, Plends. So great gitu loh." Belum selesai berucap, Fiona kembali tertawa sembari memegangi perutnya.

"Serius dikit dong!" bentak Yanti yang mulai tak sabar.

"Lo pada tau gak? Si Alibibi cah unik itu belum kelar nulis arab satu papan full. Satu jam-an kita nunggu orang nulis arab. Satu papan, Vroh."

Keempatnya tertawa berjamaah seketika. Menurut hemat mereka, satu papan itu sedikit. Dibandingkan mereka yang menulis arab berlembar-lembar kertas.

Tak berselang lama, Alisya datang dengan wajah ditekuk sembari menggenggam tali tas selempangnya. Keempat temannya pura-pura tak tahu apa yang terjadi padanya. Dan biarkan alunan emosi seorang Alibibi yang berkicau menceritakan pengalaman menulis arabnya.

"Lo kenapa, Sya? Hidung pesek lo tambah mengecil kalah sama pipi lo yang cemberut kalo gitu," tanya Anya.

"Gue disuruh nulis arab. Begh tu dosen kejem bener. Gue ditungguin kelarnya nulis arab tanpa harakat. Udah gitu satu papan, kecil-kecil kek semut dan parahnya lagi, gue gak ngerti, tulisan arab itu maksudnya apa. Yaudah gue tulis aja. Setelah kelar tulisan gue, cuma diparaf doank habis itu langsung tutup tu buku tanpa sepatah kata pun dan tu dosen pegi gitu aja. Rasanya tu, gue pengen ...."

Keempat teman Alisya diam mendengarkan curhat gadis itu. Sampai akhirnya, Alisya mengeluarkan tisu dari dalam tas dan ia menjerit asal lalu menangis seketika.

"Gue pengen nangis, Gaes."

Alisya kali ini tidak akting. Ia menangis dan membanjiri wajahnya dengan air mata sampai hidungnya memerah. Terlihat sekali dirinya begitu kesal.

"Lo pada tau gak? Gue tu sediiih, sebbeel, kesseel, dan lanjutannya lagi, gue nyesseeel. Kenapa nyokap gue mesti nyuruh gue kuliah di jurusan yang gak sejalur sama gue. Gue jurusan multimedia kalian tau gak?" Alisya bersungut dan mengelap banyak cairan dari mata dan hidungnya. Keempat temannya menggeleng pelan. "Gue biasa berteman dengan angka dan huruf plus gambar-gambar imajinasi yang gue buat sendiri, bukan tulisan arab imajinasi tanpa harakat gitu. Gue pengen nabok pipi gue sendiri. Gue kek mo gila sekarang juga. Satu jam! Satu jam, Plends. Gue nulis gak kelar-kelar dan ditungguin tu sama dosen."

Bisa dibayangkan, Yanti, Shafa, Fiona dan Anya yang awalnya hendak tertawa jadinya malah melongo dan mendapat tontonan gratis salah seorang kawannya yang hampir gila hanya karena tulisan arab yang menurut mereka itu biasa saja.

"Kalo gini mah Alibibi lebih parah kesambetnya dari jin penunggu pohon mahoni," celetuk Shafa.

Yanti segera meraup wajah Shafa dengan tangannya. Gadis itu seperti tak sadar mengatakan hal itu.

Dari kejauhan seseorang memperhatikan mereka dengan wajah datarnya. Setelah itu, dia pergi begitu saja.

😊😊😊

"Girls, lo liat ini apaan?"

Para kurcacai menghampiri Fiona yang sedang mengipasi wajahnya dengan lima lembar tiket jurusan Banyuwangi. Rumah si Yanti.

"Tiket kereta kelas ekonomi?"

Fiona mengangguk. Tak ayal keempatnya hendak mengambil satu persatu tiket itu, tapi segera direbut balik oleh Fiona. Tangan kirinya menengadah sembari melambai, "Bayar dulu sepuluh rebu elahh."

"Bukannya gratis?" tanya Yanti.

"Gratis pala lu? Sepuluh rebu lumayan buat satu renteng kerupuk kesukaan gue. Ada empat. Jadi siniin empah puluh rebu semua."

"Yaelah. Hampir puasaan juga mestinya lo lebih dermawan, Na. Kasi sedekah gitu sama temen-temen lo ini."

"Ooo tidak bisa. Sedekah itu cuma berlaku buat dinas sosial. Kita sama-sama mahasiswi menengah ke bawah kudu saling memaklumkin itu. Sedekah nanti aja kalo udah mo lulusan."

Diawali Alisya yang membayar dan mendapatkan tiket. Setelah itu disusul ketiga kawannya.

😄😄😄

Setelah menuruni Stasiun, mereka menapaki jalanan berdebu itu. Terlebih stasiun itu berdekatan dengan pasar tradisional. Mencari ojek rasanya sulit. Apalagi letak rumah di pedesaan ojek online, mana mungkin ada. Walhasil bukannya menaiki ojek online atau mobil sewaan, yang ada, terpaksa mereka menaiki andong. Jenis kendaraan tradisional yang ditarik seekor kuda.

Setelah menaiki andong, kelima sahabat itu merasakan kenyamanan menikmati perjalanan pedesaan. Fiona, Anya, Yanti dan Shafa bisa merasakan itu, tapi berbeda dengan Alisya. Ia yang paling belakang naik ke andong malah mendapat tempat duduk paling depan. Asyik benar, tapi sayangnya ekor kuda tak berhenti menyapa wajah mulusnya.

"Gak pa-pa, Neng?" tanya pak delman yang sedang bekerja mengendara kuda supaya baik jalannya.

"Gak pa-pa, Pak," cengir Alisya.

Keempat sahabat di belakangnya hanya bisa tersipu. Demi kegerahan badan dan otak, Alisya disapa keempat temannya melalui aplikasi chat di grup kurcacai.

Fiona

Lo belum bedakan, Bi? Itu kuda kok seneng banget jadi perias wajah lo yang kusut.

Anya

Bettul. Jangan salahkan si kuda imut nan polos. Salahkan Alibibi yang jarang bedakan.

Alisya

Gue tadi bedakan keles. Yang salah kuda, gue malah jadi tersangka gegara bedak. Ini buntut kuda, Cai. Bukan alas bedak. Gue nangis nih.

Ekor si kuda yang tak baik jalannya karena jalanan berbatu itu masih saja terus menggempur wajah Alisya. Ditambah sisa kotoran yang melekat di ujung ekor si kuda, tambah jadi bedak gratisan bagi wajah mulus Alisya.

Yanti

Alibibi jarang bedakan. Biarlah kali ini dia dapet bedak gratis.

Hampir saja ponsel yang dipegang Alisya terjatuh karena kibasan ekor kuda yang tak henti menyerbunya. Kedua ujung bibirnya melorot ke bawah tanda cemberut.

"Pengen cepet nyampe. Pak Delman, buruan ya? Kuda Bapak terlalu bersahabat sama saya."

"Kenapa, Neng?"

"Ekor, Pak. Ekor kuda Bapak." Meringis Alisya. "Mana itu kotoran masih nempel sempurna, hiks."

Keempat sahabatnya kompak tertawa lebar. Alisya melirik sang delman yang seolah menahan tawa.

"BISA DIEM GAK! Ya Allah ..., Kuda!!!"

Bertahan. Adalah satu kata yang kini dirasakan Alisya. Ia juga melirik pak delman yang nampak santai mengendarai kuda tanpa belas kasihan padanya.

"Yan! Rumah lo ada kembang tujuh musim gak?" tanya Alisya setengah teriak.

Yanti nampak menghitung jari, "Kalo macam bunga sih ada, cuma gak nyampe tujuh musim, adanya dua."

"Mintakin sama tetangga lu!"

"Buat apa??"

"Buat siraman pake aer tujuh sumur. Badan sama rambut gue entar ketularan kuda. Ngik-ngik tengah malem! Eeehhh!" Alisya mulai emosi.

"Sabaaarrr." Kompak sahabat Alisya menyahut.

Sawah melintang menghampar di sepanjang jalan kanan dan kiri. Kini Alisya menerima juga akhirnya kibasan demi kibasan si ekor kuda. Ia pikir anggap saja kibasan kuda adalah salon yang sedang merias wajahnya dengan sedikit eye shadow debu bercampur kotoran kuda yang mulai mengering karena terik mentari.

Setelah menempuh perjalan sekitar  empat kilometer dari pasar, tibalah juga geng kurcacai di rumah Yanti. Alisya langsung berhambur menuju kamar mandi untuk mandi. Sayangnya kembang tujuh musim yang ia harapkan tak ada, adanya sebelum mandi, ia harus memutar roda sumur dulu karena PDAM di rumah Yanti belum ada. Baginya memang pengalaman baru, tapi bagi jiwa raga, itu melelahkan.

🐒🐒🐒

Drrttt ..., drrtttt ..., drrrttt.

Anya terbangun dari tidurnya karena terkejut. Kedua kelopak matanya melekat sempurna sampai rasanya tak ada ruang untuk melihat. Semuanya serba gelap. Padahal ia sudah mencoba membelalakkan mata, tetap saja semuanya pekat.

"Astaghfirullah! Padam, Ya Allah!" pekik Anya.

Anya gelagapan mencari keempat kawan yang sebelumnya tidur di dekatnya. Kosong.

"Woyy! Pliz kalian di mana? Gue gak lagi ultah!" teriak Anya.

Walaupun sedikit gemetaran, ia meraba di antara dinginnya tembok malam itu mencari keberadaan para kawan, tentunya dengan gerutuan wal umpatan.

Anya mencoba meraba ke kamar paling tengah rumah Yanti yang nampak terbuka pintunya. Dengan bermodal basmalah, ia meraba ke sekeliling dinding mencari pegangan. Seseorang berteriak.

"Sssttt! Jangan berisik," bisik seseorang di dalam kamar itu.

"Bokong gue ada yang megang, Tulul."

"Busyet dah, kalian di sini semua. Woyy! Napa gue ditinggal sendiri, Oooonn!" lontar Anya. "Ini gue ngena megang bokong lo, gue, A ...."Belum selesai Anya berucap, seseorang membekap mulutnya. Anya gelagapan karena gemetar. Ia mulai sangsi, itu tadi bisikan para kawannya atau bukan.

"Anya, lo diem, Egok!" bisik seseorang yang membekap mulutnya tepat di telinganya.

"Lo siapa?" lirih Anya bertanya.

"Gue Fiona. Diem bae!"

Anya menyingkirkan tangan Fiona, "Gue kelelep gak bisa napas, ehh."

"Lo gak denger suara dari tadi?" sahut Alisya.

"Suara apaan?" tanya Anya.

"Diem ahh, berisik," omel Yanti.

"Coba lo dengerin lagi, Nya," celetuk Shafa.

Drrttt ..., drrttt ..., drrttt ....

"Itu bukannya suara hape? Gue bangun gegara bunyi itu, mana gelap. Pas nyari kalian pada ngilang."

"Bukan, Nya. Itu bukan suara hape."

"Lah, trus?"

"Gelap-gelap gini, jangan-jangan suara hantu."

Mereka berempat semakin saling merekatkan diri karena ketakutan.

"Keknya bukan deh. Itu kek suara orang lagi gergaji kaca."

"Mana ortu lo lagi gak ada, Yan. Busyett dah. Gimana kalo rumah ini kemasukan rampok."

"Gue coba hubungi sodara gue," usul Yanti.

"Buruan, Yan!"

Yanti dengan gemetaran memencet nomor saudara sepupunya. Tak jua diangkat. Ia juga mencoba menghubungi tetangga dan temannya, tetap nihil tak ada jawaban. Maklum, tengah malam buta ditambah pemadaman, tentunya orang tertidur takkan tersadar dan bahkan tambah terlelap dalam buaian mimpi.

Sesuatu seolah bergerak di bawah dan samping mereka. Mereka semakin mengeratkan diri. Malam itu rasanya malam yang mencekam. Shafa bahkan menangis karena saking takutnya.

"Mbookkk! Isun beraattt!"

Kelimanya berteriak histeris. Cobaan apa lagi yang mereka hadapi. Sebuah suara tanpa wujud malah menggema di kamar sempit itu.

"Isun kejepit!" teriak suara itu lagi.

"Yan, hantunya kejepit," bisik Fiona.

Yanti bergeming sesaat. Saat ia menoleh ke belakang dan menyenteri bagian belakangnya dengan senter ponsel, ia terkejut.

"Wahyudin! Riko ngapa di situ?"

"Sun kejepit! Ikai kamare isun!" sahut Wahyudin.

"Astaghfirullah, gue lupa, Kawan. Ini kamar Wahyudin, adik gue."

Anya, Alisya, Fiona dan Shafa terkejut. Jadi yang sedari mereka duduk dan sandari itu bukan beralaskan kasur, tapi tubuh adik Yanti bernama Wahyudin.

"Onok opo to, Mbok?" tanya Wahyudin. Mbok yang dimaksud adalah kakak.

"Din, lo dengerin deh itu suara apaan?"

"Bangun, Mbok. Wahyudin ambil sesuatu dulu. Ajimat sakti isun."

Wahyudin tanpa berpikir dan mendengarkan suara yang dimaksud, langsung mengangkat kasur dan mengambil sebilah clurit.

"Hei, Din. Itu apaan?" tanya Alisya saat menyenteri barang yang dimaksud Wahyudin.

"Clurit, Mbok."

Alisya tanpa sadar tertawa lebar dan mengatakan, "Mainan ponakan gue kek gituu." Clurit minimalis yang Wahyudin pegang membuat mulut Alisya harus dibekap oleh para kawannya.

"Alibibi dasar. Gue sumpel mulut lo."

Alisya masih tak bisa menahan tawanya. Namun kali ini tanpa suara.

Kembali pada asal suara. Kembali pula mereka pada ketakutan.

"Itu suara apaan sih? Kok gak berhenti-berhenti."

😲😲😲

Bersambung.
Situbondo, 5 Juli 2019.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top