Part 9.
Nguping sendiri, bikin kesimpulan sendiri, terus cemburu. Kamu nggak capek?
- kata Iqbal, ke Luli -
Dia memang asem banget!!
***
Luli berangkat ke kampus dengan tergesa. Tak ada yang membangunkan, karena ia sedang tak salat. Jadilah ia bangun kesiangan gara-gara semalam begadang menyelesaikan tugas, dilanjut belajar untuk kuis Rekayasa Pondasi 1 di kelas Iqbal pagi ini. Ia tak mau nilainya buruk. Malu.
Sayang, keadaan sedang tak berpihak padanya. Bannya bocor tepat di tengah perjalanan antara kampus dengan rumahnya. Serba nanggung. Ia terpaksa menuntun sepeda motornya menuju tukang tambal ban terdekat. Setelah dapat, masih antri pula. Ya sudahlah, Luli pasrah.
Di kampus, Iqbal menyimpan kegelisahan. Mahasiswi yang kini menjadi someone special belum juga terlihat hilalnya. Padahal sesuai kesepakatan di awal perkuliahan, toleransi keterlambatan hanya diberikan sampai sepuluh menit. Dan ini menuju menit ke sembilan.
Ia telah berpura-pura sibuk untuk mengulur waktu, apalagi jika bukan menunggu Luli datang. Sampai di menit kesepuluh ia sadar, ini tidak profesional.
"Baiklah, seperti yang sudah saya sampaikan, hari ini kita kuis. Silakan persiapkan alat tulis dan kalkulator kalian. Lalu kerjakan dengan tenang.
"Untuk teman kalian yang terlambat, seperti biasa saya serahkan pada kalian untuk memberi kesempatan kuis susulan atau menanggung konsekuensi sesuai kesepakatan." Iqbal sedikit lega, kebiasaannya menyerahkan nasib mahasiswa yang terlambat pada teman-temannya sangat membantu untuk waktu seperti ini.
Dari bangku paling depan, Nara tahu bahwa Iqbal sedang galau. Ujian pertama sebagai dosen berkaitan dengan hati dan profesi harus dihadapi secepat ini. Mungkin ini pula yang menjadi hambatan bagi kesiapan Luli.
Iqbal menghubungkan laptop pada proyektor, tiga soal dari materi daya dukung pondasi terbaca di sana. Kelas perlahan hening. Sedang pertanyaan Iqbal mengenai konsekuensi keterlambatan belum satu pun mahasiswa yang melempar jawaban.
"Silakan dimulai, waktu kalian satu jam dari sekarang. Saya tinggal keluar sebentar."
Tak ke mana-mana, Iqbal hanya berdiri di depan kelas. Mengetikkan pesan, untuk satu mahasiswinya yang belum juga hadir.
[Assalamualaikum, Zulfa]
[Apa kamu baik2 saja? Hari ini ada kuis di kelas saya, kamu ingat kan?]
[Waalaikumussalam. Iya pak. Ingat. Barusan sdh wa nara dan andro tp blm dibaca]
[Angkasa? Kenapa ke dia?]
Kemudian Iqbal sadar, bukan begitu seharusnya pertanyaan yang ia ajukan.
[Maksudnya, kenapa nggak langsung ke saya?]
[Kamu kenapa blm sampai di kampus?]
[Maaf pak. Ban motor saya bocor. Ini msh di tukang tambal ban. Antri]
[Besok lagi kamu bs langsung kabari saya]
[Soal kuis, nasibmu di tangan teman2mu. Maaf, saya nggak bisa bantu]
[Ya pak. Nggak pa-pa. Sudah pasrah saya]
[Kalaupun nggak ada kesempatan buat kamu, setidaknya kesempatan saya untuk jadi bapaknya anak2 kamu tetap ada ya]
"Lah, kenapa jadi begini?! Ngemis banget."
Tapi pantang bagi Iqbal untuk menarik kembali pesan yang sudah dia kirim.
[Bapak nggak ngawasin kuis?]
[Saya nggak tenang, kamu belum datang]
Iqbal tahu, dia langsung gagal di ujian pertama. Bagaimanapun juga, ini sudah masuk kategori mencampuradukkan urusan pekerjaan dengan perasaan.
Ia kembali ke kelas, menyibukkan diri dengan persiapan penelitiannya. Kemarin sore, proposal yang dia ajukan sudah acc, tinggal melaksanakan sesuai perencanaan yang sudah dibuatnya.
"Waktu kalian tersisa sepuluh menit. Manfaatkan sebaik-baiknya."
Lalu terdengar ketukan di pintu kelas, "Biar saya yang buka pintu, kalian fokus pada kertas jawaban saja."
Bukan sesuatu yang biasa dia lakukan.
Pintu terbuka. Seorang mahasiswi berdiri di sana. Iqbal tak menyuruhnya masuk. Sebaliknya, ia yang keluar, mengajak si mahasiswi bicara di sana. Lagi-lagi bukan kebiasaannya.
"Kamu baik-baik saja kan, Zulfa?"
"Ya, Pak."
"Kakimu sudah baikan kan?"
"Bapak setiap hari menanyakan itu. Jawabannya masih sama, Pak."
"Oh iya. Tentang susulan, maaf saya nggak bisa bantu. Keputusannya tergantung teman-temanmu, dan mereka belum memberi jawaban sampai sekarang. Mungkin seusai kuis nanti."
"Nggak pa-pa, Pak. Saya sudah pasrah."
"Berat ternyata ya?" Iqbal bergumam, pelan.
"Ya, Pak. Ini yang saya takutkan."
"Kamu dengar saya?" Iqbal sedikit terkejut.
"Saya rasa, saat ini kita sepemikiran, Pak."
Dari dalam ruang kelas, dua pasang mata diam-diam mengawasi mereka. Satu karena tahu apa yang kira-kira menjadi pembicaraan dosen dengan mahasiswinya. Satu lagi sedang menduga-duga, ada apa diantara keduanya, hingga Iqbal melakukan sesuatu di luar kebiasaannya.
"Baiklah. Kamu silakan masuk."
"Terima kasih, Pak."
Mereka beriringan masuk ke kelas. Luli duduk pada bangku kosong, sembarang saja.
"Waktu habis. Angkasa, tolong kamu kumpulkan kertas jawaban teman-temanmu."
"Baik, Pak." Andro menjawab. Namanya Angkasa Andromeda. Teman-temannya memanggil Andro, tapi Iqbal memanggil Angkasa. Ia memang selalu memanggil mahasiswa dengan nama depannya.
"Kalian belum jawab, apakah akan memberi kesempatan pada Zulfa atau tidak?"
"Kasih, Pak. Kan Zulfa. Dia pasti nggak berniat telat. Beda kalo yang telat Hamzah, lewatin aja." Masih Andro yang menjawab. Disambut gelak tawa teman-temannya.
"Lagian dikasih kesempatan juga belum tentu nilai Zulfa bagus, Pak," celetuk seseorang. Lagi-lagi disambut tawa yang lainnya.
Iqbal mendadak geram, "Nggak perlu menyinggung kekurangan seseorang. Seandainya hidung kalian pesek, kalian juga pasti tidak suka kalau ada yang membahasnya di depan kalian kan?" Kelas mendadak hening, disusul beberapa kasak-kusuk.
"Zulfa, setelah ini ada kelas lagi?"
"Tidak, Pak. Masih nanti jam sebelas."
"Baik. Saya tunggu di meja saya."
"Terima kasih, Pak."
Iqbal sedang bicara dengan Pak Irfan, ketika Luli sampai di mejanya.
"Silakan duduk, Zulfa."
"Konsultasi, Pak?" tanya Pak Irfan, dosen yang terkenal killer itu duduk di meja sebelah Iqbal.
Usia keduanya tak berbeda jauh, hanya saja sifatnya bagai siang dengan malam. Pak Irfan ini tipe dosen yang banyak dihindari mahasiswa, apalagi mahasiswi. Beda dengan Iqbal, dosen kesayangan anak teksi dari berbagai tingkat dan versi.
"Kuis, Pak. Terlambat datang karena ban motornya bocor."
"Beruntung sekali punya dosen sebaik Pak Iqbal. Kalau mahasiswa saya terlambat ya nggak ada toleransi."
"Hehe, bukan saya yang baik, Pak. Memang saya serahkan pada teman-temannya untuk memberi kesempatan atau tidak."
Iqbal minta izin sebentar pada Pak Irfan. Membuka laptopnya, dan menghadapkan pada Luli soal-soal yang harus dicatat.
"Kamu sudah belajar kan, Zulfa?"
"Insya Allah."
"Perlu saya jelaskan dulu konsepnya?"
"Eng-nggak. Nggak usah, Pak. Terima kasih." Takut-takut Luli melirik ke arah Pak Irfan, berharap beliau tak mendengar penawaran Iqbal untuknya.
"Oke, silakan kerjakan ya. Satu jam dari sekarang."
"Di sini, Pak?"
"Ya. Nggak masalah. Saya nggak ada janji dengan siapapun kok."
Luli diam, mulai mengerjakan. Iqbal sok sibuk, padahal berkali mencuri lirik pada gadis di hadapannya. Ada kesempatan, profesionalisme sementara dikesampingkan.
Sampai Pak Irfan kembali mengajaknya bicara. Berawal dari obrolan seputar penelitian, lalu berbelok ke topik yang membuat konsentrasi Luli buyar.
"Pak Iqbal sudah 28 tahun kan ya?"
"Ya, Pak. Hampir 29."
"Kalau ada yang mau taaruf dengan Pak Iqbal, bagaimana?"
Iqbal tertawa kecil, sempat pula melirik ke arah Luli.
"Wah, saya nggak ta'arufan, Pak Irfan. Berat."
"Tapi sudah siap nikah kan?"
"Insya Allah sudah."
"Ya berarti bukan sesuatu yang berat harusnya. Ini teman ngaji istri saya. 26 tahun, sudah menyelesaikan magisternya, teknik industri. Sempat jadi aktivis dakwah waktu kuliah sarjana. Penghafal Al Quran juga. Pak Iqbal kan simbahnya kyai to, punya pesantren. Nah, ada potensi juga kalau Pak Iqbal nantinya berniat untuk melanjutkan mengelola pesantren simbahnya."
"Hah, Pak Iqbal punya trah kyai." Luli ciut.
"Kalau berkenan, nanti biar disampaikan istri saya ke guru ngajinya."
Ambyar. Fokus Luli benar-benar bubar. Jangankan sambil mengerjakan soal, mendengar obrolannya saja ia seakan tak sanggup. Kepercayaan dirinya yang tadi sudah dijatuhkan oleh salah satu teman sekelas, kini makin nyungsep ke jurang terdalam.
"Saya sudah punya calon istri, Pak," jawab Iqbal. Dari ekor mata ia menangkap Luli yang tegang.
"Oh, iya kah? Sayang sekali. Eh, tapi kalau masih calon kan berarti masih ada kesempatan untuk tidak jadi, Pak. Masih pacaran gitu kan maksudnya?"
"Saya nggak pacaran, Pak."
"Ta'arufan berarti?"
"Bukan juga, Pak."
"Terus?"
"Ya, saya suka sama seseorang, saya yakin untuk jadikan dia istri, saya datang melamar ke orang tuanya."
"Sudah?"
"Sudah. Sudah sebulan lebih."
"Berarti sebentar lagi nikah dong?"
"Belum tau kapannya, Pak. Calon istri saya belum siap. Jadi saya masih nunggu kesiapannya."
"Lho, eman-eman sekali (sayang sekali). Pak Iqbal ini kurang apa to, masa sampai disuruh nunggu. Gitu Pak Iqbal ya mau?"
Mata Luli mulai kesana kemari. Resah.
"Ya namanya sudah cinta, Pak." Iqbal tertawa lagi.
"Masih kekanakan banget apa gimana calon istrinya, Pak? Bukan anak SMP kan ya?" Pak Irfan terkekeh.
"Sial, baru juga kemarin dicurigai gini sama calon istri, sekarang sama rekan seprofesi. Memang aku ada tampang predator anak apa. Astaghfirullah."
"Bukanlah, Pak. Yang pasti dia anak baik-baik. Belum siap juga bukan karena perkara yang ringan. Kalau kekanakan, saya memang suka sama yang manja-manja. Soalnya saya anak bungsu, biasa dimanja, jadi inginnya punya istri yang bisa dimanja," bela Iqbal. Kembali melirik Luli.
"Ini apa sih Pak Irfan, obrolannya enggak banget deh. Males sebenernya. Kasian Zulfa juga."
"Berarti menunggu kesiapan sambil pacaran dong, Pak?"
"Ya kalau itu terserah penilaian orang saja, Pak."
"Pak Irfan nih rese banget deh ternyata. Nggak cocok sama kakunya. Provokatif. Kepo." Luli menyerah. Ia menggigiti pulpennya. Otaknya benar-benar tak bisa lagi diajak berpikir. Justru hatinya yang tergoda untuk nyinyir. Huff.
"Mungkin informasi dari saya tadi bisa dipikirkan lagi, Pak."
"Allah ya Rabbi, kekeuh amat sih. Gimana kalo Pak Iqbal kebawa?"
"Terima kasih banyak, Pak. Tapi mohon maaf, saya sedang banyak agenda, Pak. Mungkin tidak ada waktu untuk memikirkan ini. Lagipula, prioritas saya sudah jelas."
"Tapi kan ---"
"Saya mohon izin untuk membalas pesan dulu ya, Pak," ucap Iqbal sopan. Berharap obrolan tentang perjodohan bisa dihentikan. Ia sudah tak tega melihat wajah Luli.
Lima menit sok sibuk dengan gawainya. Selepas itu Iqbal mengambil pena, dan menulis sesuatu di buku agenda. Luli mengamati dengan seksama. Ia nyaris tertawa melihat Iqbal menulis sesuatu secara terbalik.
Kamu boleh selesaikan kuisnya di rumah. Maaf bikin kamu resah.
Nanti malam kita bicara lagi.
Ada yang menghangat di hati Luli, walaupun dongkol tetap lebih mendominasi. Satu hal yang membuatnya makin kagum pada sosok di hadapannya. Iqbal bisa menulis terbalik tanpa mikir, dan tulisannya sama baiknya dengan menulis biasa. Calon suaminya ini memang aneh. Ups, maksudnya istimewa!
***
Malam merayap lamban. Setidaknya bagi Luli, yang diam-diam menunggu kabar dari Iqbal. Ia masih tengkurap di karpet, setelah merampungkan kuis --dengan special case-- Rekayasa Pondasi 1, lanjut mengerjakan tugas Mekanika Tanah 2. Masih dari dosen yang sama.
Kantuk yang dihindari mulai berdatangan. Sudah kuap yang ketiga ketika gawainya berdenting. 22.06. Mata yang sudah lima watt kembali benderang begitu melihat nama yang terbaca di bilah pemberitahuan.
[Assalamualaikum Zulfa]
[Sudah tidur?]
[Belum pak, masih kerjakan tugas]
[Kuis tadi?]
[Yg itu sudah pak. Ini mektan2]
[Ada kesulitan?]
[Sulit konsentrasi pak]
[Ya kamu, bukan ngerjakan tugasnya mlh mikirin dosennya]
"Asem, ngerti aja!"
[Saya kira mas fikar udah paling akut kepedeannya, ternyata ada yg lebih parah]
[*emoticon tertawa jejer tiga]
[Sudah. Nggak usah dipikirin apa yg kamu dengar dr Pak Irfan tadi siang. Saya nggak mempertimbangkan apapun dr informasi yg dia sampaikan kok]
[Maca ciiih?]
Luli bermaksud menyindir, tapi lawan bicara salah terima. Dikira Luli sedang sok-sok manja.
[Hmm, manjanya keluar]
"Astaghfirullah, Pak Iqbal salah tangkap nih keknya. Duh."
[Maaf pak, saya nggak ada maksud begitu]
[Nggak pa-pa. Kamu tau sendiri saya suka sm anak manja]
[Tp saya bukan cm manja pak. Lulus s1 aja belum tentu tepat waktu, apalagi s2. Saya jg bukan penghafal Al Quran. Bukan aktivis dakwah. Saya cm anak manja yg belum siap dinikahi, tp mau nolak jg nggak bisa. Saya cm perempuan oportunis yg nggak mau rugi]
[Ohya satu lagi. Saya jg anak manja yg bodoh. Bapak udah dengar sendiri kan tadi di kelas]
[Besok pagi temui saya di ruang ka lab. Saya mau bicara]
[Bapak kan kl kamis buka sesi konsultasi]
[Khusus besok saya hanya terima kamu saja]
[Bapak marah sm saya?]
[Saya cuma nggak suka kamu bicara spt itu]
[Kenyataannya begitu kan pak]
[Insecure?]
[Menurut bapak?]
[Sudah malam, Zulfa. Saya capek. Butuh istirahat]
[Saya tunggu besok pagi]
Tak berbohong, nyatanya badannya memang butuh diluruskan. Seharian ia disibukkan dengan berbagai urusan, ditambah memikirkan Luli pasca mendengar obrolannya dengan Pak Irfan.
Setelah Luli berlalu dari hadapannya pagi tadi, Iqbal masih mengajar 2 SKS lagi. Lalu berkutat di laboratorium, mulai mendata apa saja yang dibutuhkan untuk riset penelitiannya, di sana sampai sore menua. Setelahnya diminta abah menemani ke salah satu proyek, berada di site hingga nyaris jam delapan malam. Pulangnya ia sempatkan mampir ke kafe. Ngapain? Nyanyi!
Salah satu stress release paling gampang baginya. Abahnya gantian ikut saja, karena Iqbal memang sebelas dua belas dengan beliau di masa muda. Bisa dibilang, Iqbal ini anak yang paling abahnya banget lah.
23.10. Iqbal belum berhasil memejamkan mata. Tapi lumayan, minimal sudah sempat mengistirahatkan badannya dengan tak melakukan apa-apa, emm, kecuali kepikiran tentang Luli saja.
Scrolling recent updates di whatsapp-nya, dan ia menemukan status Luli yang --menurut Iqbal-- ditujukan untuknya.
Insecure?!
Menurut situ?!
[Ini ttg saya ya?]
[Eh. Bapak belum tidur?]
Luli buru-buru menghapus statusnya. Dasar labil!
[Belum bisa]
[Cieee, kepikiran mbak teknik industri ya]
[Nguping sendiri, bikin kesimpulan sendiri, terus cemburu. Kamu nggak capek?]
"Asem banget lah dosen satu ini!!"
[Realitanya gitu kan pak]
[Kamu nggak ingat gimana td saya belain kamu di depan Pak Irfan?]
[Bapak nggak ingat kl sesuatu yg terucap bisa saja beda dg yg di hati?]
[Terserah kamu, Zulfa. Yg jelas saya sayang sm kamu apa adanya]
[Saya pikir nggak ada alasan buat kamu utk nggak menyayangi diri kamu sendiri. Krn setiap orang terlahir dg keistimewaan masing2]
[Selamat malam, Zulfa. Saya sayang sama kamu]
[*video: Stay The Same - Joey McIntyre]
Luli tak begitu kenal dengan lagu yang dimaksud Iqbal. Ia berkali memutar ulang.
Don't you ever wish
You were someone else
You were meant to be
The way you are exactly
Don't you ever say
You don't like the way you are
When you learn to love yourself
You're better off by far
And I hope you always stay the same
'Cause there's nothing 'bout you I would change
(Stay the Same - Joey McIntyre)
Gadis 21 tahun itu menghapus bening di kedua pipi. Sebagai perempuan, baru kali ini ia merasa begitu dicintai.
"Saya juga sayang sama Bapak." Ia menggumam lirih.
***
Cieee, Luli sayang nih yeeee....
Btw, aku mewek dong pas nulis endingnya. Gara2 lagunya. Inget belasan tahun lalu pernah ngerasa down banget (dan saat2 itu kayanya jadi yg paling sedih kl diingat), dan lagu ini selalu berhasil bikin aku semangat lagi. Hehe...
Bukan kok, bukan perkara cinta. Tapi memang mengubah masa depan dan cara pandangku sih. Alhamdulillah.
Lah, jadi inget jaman kuliah dah ini. Jadi inget juga pernah menggebet dan digebet sama anak sipil. Tapi nggak ada satu pun yg berhasil jalan bareng. Semuanya cuma muter2 dalam diam doang. Aku loh, diamnya bertahan sampe delapan tahun. Terus malah nikah sm anak mesin, temen baiknya si anak sipil. Muahaha.
*curhat mbaknyaaa?!
Okelah. Kita stop throwbacknya daripada makin. Gak jelas. Wkwk.
Tentang Luli, kalian pernah nggak sih merasa begitu dicintai?
Ini nggak bicara sudah atau belum halalnya ya. Krn kl udah berhubungan dg perasaan tuh memang susah dihindari. Sudah kodrat juga kan ya. Jadi kl menurut aku pribadi sih, yg paling penting gimana kita mengelola perasaan yg ada, nggak membiarkannya menjadi pembuka jalan utk (malah) menjauh dari cinta-Nya.
Eh, itu kl menurut aku sih. Hehe.
Terima kasih buat klean semua yaaa. Yg udah setia nunggu updatenya, yg sengaja baca, yg nggak sengaja terdampar bagai duyung di lapak yg rada gaje ini, yg udah ninggalin jejak vote dan komentar jugaaa.
Terima kasih semuanyaaa.
I love you all.
Sampai jumpa.
❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top