Part 8.

Zulfa, sebaiknya kita menikah segera. Nggak enak kan ada kesempatan berdua gini tp gak bisa dimanfaatkan.

-------

Aish apalah ini ada 'kesempatan berdua' segala. Butuh cctv nih kayanya.

***

Sudah menjadi kebiasaan Luli saat dilanda bosan. Ia akan pergi ke toko buku, dan menguras simpanannya bulan itu untuk membeli dua tiga buku.

Pun sore itu. Sudah hampir dua jam ia menghabiskan waktu di toko buku favoritnya yang terletak di Jalan Pandanaran. Asyik membaca dan memilih buku hingga lupa waktu, sebelum akhirnya membawa tiga judul ke kasir.

Usai menerima kembalian, diliriknya Casio yang melingkar pada pergelangan kanannya. 15.36, dan ia sedang tidak salat sehingga bisa sedikit lebih santai.

"Sudah bukunya? Cuma itu aja?" Satu suara menusuk gendang telinga Luli. Ia merasa akrab, maka menolehlah ia pada sumber suara.

Dilihatnya sepasang sejoli sedang menunggu antrian di kasir sebelah.
Seorang gadis muda --sangat muda malah-- menenteng tas belanja yang isinya terlihat gemuk. Entah berapa buah buku yang berada di dalam situ.

Gadis itu menggandeng mesra laki-laki di sebelahnya. Menggelendot manja, seolah dunia cuma milik berdua.

"Ini sudah banyak kali, Om. Kalo nambah lagi, nanti Om bisa bangkrut."

"Nggak lah, cuma buku. Apa sih yang enggak buat kesayangan Om."

Ya, Luli tak salah lagi. Suara itu memang sangat dia kenali, bahkan lebih dari sebulan terakhir ini menjadi suara yang seringkali ia rindui.

Perut Luli mendadak bergolak. Mual, muak, jijik, sebal, benci, marah bercampur menjadi satu. Rasanya ingin punya pintu ke mana saja, biar bisa langsung lompat ke kamarnya dan menumpahkan air mata di sana.

"Pak Iqbal?!" gumam Luli, yang ternyata cukup keras.

Laki-laki di hadapannya menoleh. Rautnya terlihat kaget.

"Zulfa, kamu ---"

Dan air mata Luli luruh begitu saja. Ia kabur tanpa bicara apa-apa. Iqbal sempat menangkap sorot mata yang menyiratkan kebencian di mata gadis pujaannya.

"Kamu bayar sendiri ya. Setelah itu tunggu Om di mobil." Sedikit tergesa ia serahkan dompet dan kunci mobil pada si gadis muda. Lantas berlari meninggalkannya. Mengejar Luli yang berkelebat secepat kilat.

Beruntung, Iqbal masih sempat menangkap bayangan Luli, yang berlari melewati area tas-tas, terus ke belakang menuju toilet. Gadis itu masuk ke satu toilet yang kosong, dan bersegera mengunci pintunya. Menyalakan keran untuk menyamarkan tangisnya.

Iqbal refleks masuk ke area toilet wanita. Mengetuk salah satu pintu yang ia yakini ada Luli di dalamnya. Menggedor lebih tepatnya.

"Zulfa, keluarlah! Saya bisa jelaskan semuanya. Ini salah paham. Please, keluarlah."

Pintu terbuka. Seorang ibu berusia hampir sebaya uminya keluar dari sana.

"Sial, salah bilik!"

"Masnya ngapain di sini? Ini toilet wanita lho. Mau berbuat jahat ya?! Saya laporkan satpam sekarang juga!"

"Ehk, b-bukan, Bu. Maaf. Saya menyusul emm ..., ist-istri saya. Y-ya benar, istri saya."

"Istri apa bukan? Kok nggak yakin gitu? Sudah, Masnya keluar atau saya panggilkan satpam! Siapapun yang di dalam sana, saya nggak akan biarkan dia keluar selama Masnya masih di sini. Keluar!"

Di kamar mandi yang masih terkunci, Luli sebenarnya merasa kasihan. Tapi pikirannya terlanjur dibutakan oleh rasa marah dan benci pada sosok berstatus calon suami.

Setengah tak rela, Iqbal keluar. Ibu itu masih terus mengikuti sampai Iqbal tak bisa melihat ke arah toilet.

"Mbak, tolong bilangin ke yang di dalam toilet, kalau mau keluar dan pergi, suruh sekarang juga." Ibu itu meminta tolong pada mbak-mbak yang melewati mereka berdua. Matanya tak lepas mengawasi Iqbal.

"Ya Rabbi, mimpi apa saya sampai harus mengalami kejadian seperti ini? Astaghfirullah."

"Maaf, Bu. Tapi saya sama sekali tidak berniat jahat. Dia calon istri saya. Ada kesalahpahaman tadi di atas."

"Saya nggak peduli. Kalau memang dia istri Masnya, atau calon istri, nanti bisa diselesaikan di rumah. Sekarang yang saya tau, saya harus waspada. Siapa tau itu bisa melindungi sesama saya."

"Bisa-bisanya aku yang bertampang sweetheart dikira penjahat. Asem banget!"

Iqbal berkali mengumpat dalam hati. Sedang si ibu berkali menoleh ke arah toilet. Ia lega melihat Luli keluar. Usai berterima kasih pada sang ibu melalui isyarat, Luli berlari menuju parkiran di sisi belakang. Setelah memperkirakan Luli aman, barulah ibu itu mengizinkan Iqbal pergi.

"Baik, Bu. Saya minta maaf. Terima kasih banyak sudah melindungi calon istri saya."

Dirogohnya saku, mengambil gawai. Nada panggilan terdengar, namun yang di seberang seolah tak ada niat untuk menerima. Atau mungkin juga sudah membelah jalanan di atas motornya.

Iqbal melangkah gontai ke mobil. Mayya, gadis yang bersamanya, tampak telah menunggu di sana.

"Siapa, Om? Lemes banget sih. Pacarnya ya?"

"Bukan, May. Dia calon istrinya Om Iiq."

"Oh, yang mahasiswinya Om itu? May pernah dengar ibu sama ayah ngobrolin tentang Om sama tante itu."

"Iya, bener. Itu dia. Pasti dia mikir yang bukan-bukan tentang kita. Damn."

"Nggak kekejar kah?"

"Nggak."

"Masa kalah cepat sama perempuan sih. Berarti gerakan Om terlalu lamban. Perlu diet mungkin?"

"Badan udah atletis, ideal gini disuruh diet. Dasar bawel. Bukan merasa berdosa malah ngeledekin." Iqbal menoyor pelan kepala gadis itu. Ia tahu pasti, apa yang ada di benak Luli melihat kejadian tadi.

"Ada insiden tadi di belakang. Nggak pa-pa, nanti Om selesaikan segera."

Luli memacu motornya secepat ia bisa. Satu-satunya yang ada di pikiran adalah segera sampai di rumah. Hatinya seakan mau meledak oleh amarah. Sepanjang perjalanan, lagi-lagi air matanya tumpah ruah.

Setengah jam lebih, hingga akhirnya ia memasuki gerbang perumahan. Kepalanya terasa makin berat. Matanya berkunang-kunang, mungkin sebab menahan perasaan dan menangis sepanjang perjalanan. Luli merasa lelah yang tak lagi tertahankan. Hingga di depan rumah ....

Braakkk!! Bukan menarik rem, ia justru menarik gas. Menabrak bagian belakang mobil bapak dengan cukup keras, lalu ia terhempas. Hal terakhir yang ia rasa adalah kakinya yang tiba-tiba merasakan panas.

Bapak dan ibu tergopoh keluar, berdua mendapati Luli yang telah terkapar. Sebagian badannya tertimpa motor yang masih menyala mesinnya. Ibu tergesa masuk ke rumah, menyambar outer seadanya, dan kunci mobil di gantungan.

Bapak bergegas meminta bantuan tetangga, yang dengan sigap memindahkan motor, lalu bersama bapak menggotong Luli. Membaringkannya di baris tengah Mobilio abu-abu tua.

"Maturnuwun sanget njih, Pak Har. Menika langsung kami bawa ke rumah sakit mawon. Nitip rumah njih." (Terima kasih banyak ya, Pak Har. Ini langsung kami bawa ke rumah sakit saja. Nitip rumah ya.)

Usai mengunci pintu, ibu mengucap terima kasih kepada Pak Haryono, tetangga sebelah yang barusan membantu bapak mengurus Luli.

"Njih, Bu. Hati-hati. Mbak Luli kecapaian kelihatannya. Kakinya itu yang agak parah kena knalpot."

Mobil melaju, hanya butuh lima menit untuk sampai di rumah sakit yang dituju. Luli segera mendapatkan pertolongan pertama. Bapak dan ibu sedikit lega. Sembari menunggu, mengabari Fikar, juga Nara.

Hampir maghrib, Iqbal tiba di rumah Luli. Ia memarkir mobilnya asal saja. Mengetuk pintu rumah, namun tak jua ada tanda-tanda hendak terbuka.

"Mas, Pak Rofiq dan ibu ke rumah sakit."

"Oh, nggih. Nyuwun sewu, kalau boleh tahu, kenapa ya, Pak?"

"Tadi itu Mbak Luli naik motor, pas sampai nabrak mobil bapak dari belakang, terus pingsan. Itu pecahan lampunya saja belum sempat dibersihkan." Pak Har menghampiri Iqbal. Memberi informasi, lengkap dengan rumah sakit tujuan.

"Astaghfirullah." Iqbal seketika kalut, hanya sempat mengucapkan terima kasih, lantas memacu mobil menuju rumah sakit langganan Fikar. Masih sempat menelpon kakak sulungnya yang sedang berada di Semarang untuk menyusulnya ke rumah sakit.

Usai memarkir mobil, ia berlari dengan tak sabar. Dari bagian informasi, ia tahu Luli sudah masuk ruang perawatan. Ya, bapak dan ibu memutuskan agar Luli dirawat inap dulu barang satu malam.

Tok tok tok. Iqbal mengetuk pintu ruangan VIP tempat Luli berada. Bapak yang keluar, memberi senyuman pada sang calon mantu.

"Tunggu sebentar ya, Nak Iqbal, biar Luli pakai kerudungnya dulu." Lalu kembali menutup pintu.

"Siapa, Pak?" tanya ibu.

"Nak Iqbal. Kok tau ya kalau Luli di sini? Apa kamu ngabari Nak Iqbal, Nduk?"

"Enggak! Jangan bolehin masuk. Aku nggak mau ketemu sama dia!"

"Ada masalah apa?"

"Pokoknya Luli nggak mau ketemu. Suruh pulang aja Pak Iqbalnya, Bu." Luli menangis lagi.

Bapak hanya mengangguk. Keluar kamar, dan mengajak Iqbal bicara.

"Maaf, Nak Iqbal, Lulinya ndak mau ketemu. Ada salah paham apa antara Nak Iqbal dengan dia?"

"Nggih, Pak, betul. Ada salah paham yang harus saya luruskan. Kakak saya sedang dalam perjalanan. Nanti biar Zulfa bicara dengan kakak saya dulu, Pak."

"Oh, begitu. Baiklah. Kalau begitu kita maghrib dulu saja, sambil menunggu kakaknya Nak Iqbal datang."

"Nggih, Pak." Berdua menuju lantai dua, tempat mushola rumah sakit berada. Iqbal menceritakan secara singkat kronologi kejadian yang membuat Luli menjadi seperti ini.

Beruntung, jarak rumah mereka tak terlalu berjauhan. Pun sepanjang Ngesrep, Srondol, hingga Banyumanik yang biasanya macet di Jum'at petang, kali ini berbeda. Hingga kakak Iqbal bersama anak sulungnya tiba tak lama setelah menerima telepon dari adiknya.

"Mbak udah sholat?"

"Udah, Alhamdulillah."

Iqbal mengenalkan kakak sulungnya pada bapak, yang kemudian memanggil ibu. Keduanya mempersilakan kakak Iqbal untuk menemui Luli.

"Assalamualaikum, Dek Zulfa."

"Waalaikumussalam." Luli mengerenyit, mencoba mengingat siapa perempuan di hadapannya.

"Kita baru pertama ketemu kok. Saya Hasna, kakak sulungnya Dek Iiq." Lagi, Luli mengerutkan dahi.

"Oh, maksud Mbak, Iiq itu Iqbal. Iqbal Sya'bani." Wajah Luli langsung berubah tak enak. Sinis.

"Dek Iiq sudah cerita sama Mbak. Nggak panjang lebar, tapi Mbak sudah bisa menangkap maksudnya. Jadi Mbak ke sini mau jelasin sama Dek Zulfa. Karena kalau Dek Iiq sendiri yang jelasin, jangankan mau mendengar, menemui saja mungkin Dek Zulfa enggan."

Hasna mengambil tangan kanan Luli, menggenggam erat dengan kedua tangannya.

"Ini cuma salah paham, Dek. Dek Iiq itu sayang banget sama Dek Zulfa. Dan saya yakin sebaliknya. Buktinya, Dek Zulfa cemburu kan lihat Dek Iiq sama perempuan lain?" Luli diam, hanya hatinya ingin menyangkal.

"Dek Iiq tau kok apa yang menjadi prasangka Dek Zulfa. Tapi percayalah sama Mbak, Dek Iiq nggak seburuk itu, dia nggak serendah yang Dek Zulfa pikirkan. Tunggu sebentar ya."

Hasna menuju pintu, memanggil anak sulungnya yang berusia 15 tahun.

"Inikah anaknya? Yang bikin Dek Zulfa marah sama Dek Iiq?"

"Loh, kok?!" Bukannya marah, Luli justru kaget. Ia mulai menebak kejadian berikutnya, dan ia menjadi malu seketika.

Kenapa nggak husnudzon dulu? Kenapa langsung marah? Kenapa nggak berpikir panjang? Kenapa nggak mau dengar Pak Iqbal kasih penjelasan? Kenapa kekanakan sekali? Dan berbagai kenapa memenuhi benaknya.

"Namanya Sumayyah. Panggil saja May atau Mayya. Anak sulungnya Mbak, ponakannya Dek Iiq yang paling besar. Umurnya 15 tahun, dan memang bongsor seperti ayahnya. Sudah gitu, kalau sudah sama Omnya itu nempelnya Masya Allah. Dekat banget. Sering dibilang kaya orang pacaran. Mungkin karena selisih umur yang cuma 13 tahun."

Mayya mendekat. Bersalaman dan mencium tangan Luli sembari memperkenalkan diri.

"Saya Mayya, Tante. Maaf ya kalau bikin Tante sama Om Iiq jadi salah paham begini."

"Eh, eng-nggak apa-apa, Mayya. Saya yang minta maaf," jawab Luli. Kemudian Hasna menyuruh anaknya keluar lagi.

"Sudah clear ya, Dek Zulfa. Dek Iiq nggak seburuk yang ada dalam pikiran Dek Zulfa. Dia itu sayang banget sama Dek Zulfa. Kami sudah tau semua ceritanya. Jadi, tolong dimaafkan ya. Mungkin hanya kurang komunikasi saja diantara kalian berdua.

"Dek Iiq itu kalau diantara kami berlima, dia yang paling kenceng solat malamnya. Ngajinya juga yang paling bagus diantara kami, terutama hafalannya. Insya Allah dia terjaga dari hal-hal yang Allah tidak sukai, termasuk seperti yang dipikirkan Dek Zulfa tadi.

"Ya kalau pacar memang dia pernah punya, tapi ya gitu, selesai ya selesai. Sekarang ini yang dia harapkan untuk jadi istrinya ya cuma Dek Zulfa."

"Oh, jadi pernah punya pacar juga to Pak Iqbal nih. Jangan-jangan banyak lagi mantannya. Huh."

"Tolong dimaafkan Dek Iiqnya ya, Dek. Usahakan tetap bisa menjalin komunikasi dengan baik, meskipun tetap memegang prinsip masing-masing. Bisa kok, insya Allah."

"Emm, iya, Mbak. Saya yang minta maaf, sudah suudzon duluan tanpa mau dengerin penjelasan Pak Iqbal. Malah jadi begini kejadiannya."

"Alhamdulillah. Nggak apa-apa, insya Allah semua ada hikmahnya."

"Iya, Mbak. Insya Allah besok-besok saya nggak emosian lagi. Nggak kekanakan lagi."

"Ya sudah, Mbak pamit dulu ya. Ngobrol lah sama Dek Iiq, biar lega dan clear semuanya."

"Insya Allah. Terima kasih banyak, Mbak Hasna. Sekali lagi maafkan saya ya, Mbak."

"Nggak pa-pa. Oh iya, satu lagi, Dek."

"Apa itu, Mbak?"

"Jangan lama-lama ya nikahnya, lebih cepat lebih baik. Abah sama umi juga sebenarnya sudah ingin kenal sama calon mantunya." Luli tersipu.

"Saya saja masih yakin nggak yakin kalau Pak Iqbal beneran melamar saya, Mbak. Saya lho, Mbak! Padahal mahasiswinya yang suka sama Pak Iqbal tuh banyak, dan semuanya jelas lebih segalanya daripada saya."

"Masya Allah. Memang begitu adanya kok, Dek. Dek Iiq tuh ya, kalau udah cerita tentang Dek Zulfa, matanya tuh beda. Berbinar-binar, kaya bahagia banget gitu. Dulu agak-agak nggak percaya sih kalau umi cerita, soalnya umi memang suka lebay gitu. Tapi pas kemarin sampai sini, terus lihat sendiri gimana Dek Iiq cerita tentang Dek Zulfa, saya baru percaya.

"Terus, Dek Zulfa manggilnya jangan Pak dong ya, aneh gitu Mbak dengarnya. Panggil Mas lah, atau Kak, Aa, Abang gitu." Wajah Luli makin memerah.

"Hehe, belum kepikiran, Mbak."

"Mungkin bisa mulai dipikirkan dari sekarang. Ya sudah, Mbak pulang dulu ya, masih ada acara. Insya Allah nanti kalau kalian berdua menikah, Mbak ke Semarang lagi." Hasna menyalami Luli, mencium pipi kiri dan kanannya, terakhir say good bye pada calon adik ipar.

Hasna mohon diri. Pulang bersama Mayya setelah sempat berbincang berempat dengan bapak ibu Luli, juga adik kesayangannya. Sesaat setelah kakak dan keponakannya berlalu, Iqbal masuk. Mendekati Luli yang langsung dilanda dag dig dug.

"Assalamualaikum, Zulfa."

"W-waalaikumussalam, Pak." Dengan ragu Luli mengangkat wajah, menatap pria di hadapannya. Malu. Sudah menuduhnya begitu hina.

"Saya sudah dapat izin bapak ibu untuk menemui kamu. Gimana keadaan kamu, Zulfa?"

"Ya Allah, suaranya manis banget. Berasa mau meleleh nih."

"Eh, yaaa gini, seperti yang Bapak lihat." Iqbal menarik kursi sedikit menjauh dari bed Luli.

"Maafkan saya ya, Zulfa. Saya tau kok apa yang ada di pikiran kamu tentang kejadian tadi."

"Sudah, Pak, nggak usah dibahas. Saya yang harusnya minta maaf dulu, sudah menuduh bapak seburuk itu."

"Mulai besok, setiap akan pergi-pergi, saya kasih kabar dulu ke kamu. Ke mana, ngapain, sama siapa. Biar nggak ada salah paham lagi kalau ada kejadian macam ini."

"Nggak usah nggak pa-pa, Pak. Belum ada kewajiban Bapak ke saya kok."

"Justru itu. Saya pengen cepat-cepat punya kewajiban ke kamu."

"Kewajiban laporan kegiatan Bapak, gitu?" tanya Luli dengan polosnya.

"Kewajiban memberi nafkah lahir dan batin buat kamu, Zulfa. Juga kewajiban untuk membahagiakan kamu."

"Ehk." Luli salah tingkah.

Dosen satu ini ternyata berbahaya kalau sudah bicara manis begini. Selain bisa bikin diabetes, juga berpotensi bikin jantungan anak gadis orang. Aish.

"Tapi saya senang lho kamu cemburuin begitu."

"Siapa juga yang cemburu?! Pe-de banget sih, Pak." Luli tak terima.

"Kata Zulfikar, perempuan itu nggak ada yang mau mengakui kalo dia cemburu. Dan sepertinya dia benar." Luli manyun, membuang muka dengan rasa sebal tak terkira.

"Kita menikah saja ya, Zulfa."

"Bapak kalo nggak sabar silakan cari pengganti saya."

"Bener, kamu nggak apa-apa? Ikhlas melepas saya?"

"Ehk. Y-ya, s-sa-saya, emm, ik---, emm i-iya, s-saya, ik-ikhl ---"

"Fixed. Kamu nggak ikhlas, Zulfa. Menikahlah dengan saya. Besok pagi saya mulai urus semuanya ya?"

"Pak, jangan suka maksa."

"Saya nggak memaksa, Zulfa. Saya cuma merasa kalau ini memang sudah waktunya."

"Tapi, Pak ---"

"Nak Iqbal, titip Luli sebentar ya." Bapak menyela obrolan mereka berdua. Luli sedikit lega.

"Emm, maaf, Bapak mau ke mana? Ibu?"

"Saya sama ibunya mau pulang dulu, ambil baju dan keperluan menginap nanti malam. Sebentar lagi Fikar dan Nara datang. Nak Iqbal di sini sebentar menemani Luli ya. Kami percaya penuh kok sama kalian berdua."

"Duh, Pak Rofiq sih percaya penuh. Aku yang nggak yakin sama diriku sendiri."

"Emm, tapi, Pak, apa tidak sebaiknya menunggu sampai Zulfikar tiba di sini?"

"Dia sudah di parkiran kok. Cuma kan Lila sama Bu Nani mau langsung ikut kami ke rumah, jadi harus pindah mobil. Nggak pa-pa, Nak Iqbal sebentar saja. Kami percaya sama kalian berdua." Bapak mengulangi pernyataannya.

"Emm, baiklah kalau demikian. Insya Allah saya akan jaga Zulfa dengan baik, Pak, Bu."

"Alhamdulillah. Kami pulang dulu ya, Nak Iqbal. Luli, baik-baik ya, Nduk." Ibu turut berpamitan. Menyodorkan tangan untuk dicium anak gadisnya.

Bapak ibu meninggalkan mereka berdua saja. Iqbal mengantar sampai pintu, dan membiarkannya tetap terbuka.

"Zulfa, ada yang perlu saya bantu kah? Mau minum mungkin? Atau makan?"

"Emm, eng-nggak ada, Pak."

"Kalau begitu, kamu kalau sendirian di sini berani nggak?"

"Memangnya kenapa, Pak?"

"Saya yang takut, Zulfa."

"Takut hantu?" Lagi. Polos cenderung bego.

"Takut khilaf, Zulfa."

Luli menahan tawa. Ia merasa lucu. Di satu sisi ia pula merasa kagum. Bukannya mencari kesempatan, tapi Iqbal justru dengan jujur menyatakan kekhawatiran. Nyatanya Iqbal memang khawatir, dari tadi saja saat bapak ibu masih di luar, ia rasanya ingin sekali menggenggam tangan Luli. Prinsip yang dia agung-agungkan di depan para mantan seakan menguap, yang ada justru berkebalikan.

"Saya tau, bapak ibu percaya saya akan menjaga kamu dengan baik. Tapi saya yang nggak begitu yakin sama diri sendiri. Mungkin ini bapak ibu mau ngetest kita juga, Zulfa. Kalau kamu berani sendiri, saya tunggu kamu diluar saja ya? Pintu biar terbuka, saya temani kamu dari luar nggak pa-pa kan?"

"Oh, i-iya, Pak. Nggak pa-pa. Makasih banyak ya, Pak."

"Hemm. Kamu pegang HP kan? Kalau ada apa-apa, WA saya ya. Atau panggil aja. Saya duduk di sana, kelihatan kok dari sini." Iqbal menunjuk ke luar pintu. Lalu beranjak, menggeret bangku yang didudukinya ke sana.

Begitu duduk, ia mengeluarkan gawainya, dan mengetikkan pesan. Bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk yang ada di dalam sana.

[Zulfa]

Handphone Luli berdenting, yang segera ia ambil dan cek notifikasinya. Teksi Dosen Pak Iqbal.

"Duh, apa sih pake nge-WA segala?"

[Iya pak]

[Sebaiknya kita menikah segera. Nggak enak kan ada kesempatan berdua gini tp gak bisa dimanfaatkan?]

Luli senyum-senyum sendiri. Kentara sekali dia malu-malu happy. Lupa, bahwa kelakuannya terlihat dari tempat Iqbal berada.

[Kl ada pesan tuh dibalas dulu, jangan mlh senyum2 sendiri & saya disuruh nunggu balasan]

[Kata siapa saya senyum2 sendiri? Bapak pede sekali]

[Kamu lupa kl saya di depan pintu?]

"Astaghfirullah. Kenapa aku selalu mendadak bego sih kalo di depan Pak Iqbal?! Malu-maluin banget. Huh."

Luli mencuri pandang, tepat saat Iqbal melihat padanya. Ia buru-buru membuang muka.

[Kamu lucu deh. Saya suka]

[Nggak usah ngeledek deh pak]

[Iya deh. Maaf]

Iqbal menatap tajam pada Luli, lantas melempar senyum saat gadis itu tertangkap mencuri pandang lagi.

[Zulfa, boleh saya minta izin?]

[Mau kemana pak?]

[Nggak ke mana2]

[Kok minta ijin?]

[Iya. Saya minta izin buat mandangin kamu dari sini]

Ada yang menghangat di hati Luli. Ingin tersenyum, tapi sekuat hati menahan diri.

[Belum halal pak!!]

[Makanya, kita halalkan secepatnya ya?]

[Maksa!]

[Memang!]

Mereka lantas diam-diaman. Iqbal memanfaatkan kesempatan, memandangi Luli tanpa henti. Kan sudah minta izin. Plak!!

Sekira lima Fikar dan Nara datang. Mereka bertiga saling sapa sebentar sebelum ketiganya masuk ke ruangan.

"Kamu kenapa, Luli? Nggak pernah-pernahnya kaya begini," tanya Fikar.

"Udah sih Mas nggak usah dibahas. Pokoknya aku jatuh, pingsan, masuk rumah sakit. Kakiku kena knalpot tauk, Mas. Gak mulus lagi deh ini." Luli menjawab malas-malasan.

"Tadi berduaan sama Pak Iqbal ngapain aja hayo?" goda Nara.

"Apa sih? Udah lihat sendiri juga kalo Pak Iqbal nungguin di luar."

"Saya ajak nikah secepatnya, Sya. Tapi belum mau. Malah saya dibilang maksa." Iqbal turut menjawab, lebih mirip curhat sih.

"Iya nih, nunggu apa sih sebenernya?! Nikah tuh memang seringkali harus diawali dengan paksaan, Lul. Kalo nunggu sikap sempurna siap grak buat masuk dunia rumah tangga, ya nggak akan ada siapnya."

"Apa sih ini berdua? Dateng-dateng bikin puyeng. Pulang aja lah sana. Nggak faedah."

"Oh, jadi gitu ya? Maunya berdua-duaan sama Pak Iqbal, trus kita diusir suruh pulang."

"Embuh ah. Mau tidur aja." Luli merajuk, menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Sedang Fikar, hanya geleng-geleng melihat Tom and Jerry beraksi di depan matanya.

"Ya gitu itu, Bro. Sejak iparan, mereka yang dulu sahabatan sekarang jadi kaya Tom and Jerry. Kita nanti jangan begitu ya."

"Nggak lah, Fik. Kita nanti kaya Upin dan Ipin aja." Mereka tertawa, kecuali Luli, yang masih menyembunyikan diri dalam selimutnya.

Handphone Iqbal berbunyi. Ia izin sebentar untuk turun ke lobi. Tak sampai lima menit, ia sudah kembali. Tangannya menenteng sebuah plastik yang menguarkan aroma wangi. Menghampiri Luli yang tak lagi bersembunyi.

"Kesukaanmu, Zulfa. Mau martabak apa kue bandung? Ini yang telurnya lima lho. Kesukaan calon nyonya," tawar Iqbal pada Luli. Dua sejoli lain yang sudah sah berdehem menggoda.

"Kue bandungnya yang apa, Pak?"

"Hitam manis."

"Ah, iya mau. Itu kesukaan saya."

"Iyakah? Itu kesukaan saya juga lho. Berarti kita ---"

"Iya iya, kalian berdua itu jodoh. Tapi belum sah. Jadi jangan berlagak kaya orang udah nikah. Minggir, Bro. Biar aku saja yang melayani adikku." Skakmat! Fikar memang suka mengganggu keasyikan orang. Menyebalkan!

"Iya deh. Kalo kakak ipar sudah bikin keputusan, kita bisa apa?"

Nara tergelak, lalu menimpali, "Betul, Pak Iqbal. Kalo Bapak Zulfikar Aditya, ST, MT sudah bikin keputusan mah kita bisa apaaa?"

Fikar tersenyum saja. Dengan sabar melayani Luli makan kue bandung Pak Man kesukaannya. Mengambilkan minum untuk adiknya. Bahkan mengelap ujung bibir Luli yang belepotan coklat. Iqbal terharu melihat kedekatan kakak beradik di depannya, sekaligus agak cemburu.

"Ya sudah. Berhubung aku sudah nggak dibutuhkan, aku pamit dulu ya." Iqbal mohon diri.

"Lho, kok kesusu, Bro? (Lho, kok buru-buru, Bro?) Bukan karena cemburu lihat aku sama Luli kan? Dia adikku lho."

"Haha, nggak lah, Fik. Ngawur aja. Di rumah ada kakakku yang dari KL. Baru datang kemarin, dan cuma di sini sampai lusa. Zulfa juga biar istirahat. Mana tau kalo ada aku dia mau istirahat jadi nggak enak kan? Sekalian turun solat isya."

"Bareng aja kalau begitu, Bro. Aku juga belum solat," ujar Fikar.

Iqbal setuju. Kemudian mendekati Luli untuk mohon diri.

"Zulfa, saya pulang dulu ya."

"Emm, i-iya deh, Pak. Nggak apa-apa."

"Kok kamu kaya nggak ikhlas gitu sih, Lul, dipamitin Pak Iqbal." Nara nih, kalau bicara nggak pernah pakai basa-basi.

"Apa sih, Nar? Jangan rese bisa nggak sih?!"

"Sudah, Zulfa, Asya kan cuma becanda. Saya pulang dulu ya. Maafkan saya sudah bikin kamu jadi begini."

"Iya, Pak. Maafkan saya juga atas kejadian yang tadi. Terima kasih buat Pak Man-nya ya, Pak."

"Nanti kita lanjutkan lagi obrolan kita tadi ya." Iqbal menatap Luli lembut. Betapa ingin menggenggam tangannya, lalu mengecup keningnya. Tapi belum boleh. Oh nasib.

"Cieee, alamat ada yang siap-siap begadang nih."

"Emang dasar rese ya!!" Segumpal tisu melayang ke muka Nara. Dia tertawa.

-------

Di parkiran, Iqbal menyalakan mesin mobilnya, diikuti pendingin udara, dan perangkat audio. Ia baru memilih lagu saat sebuah pesan diterima. Nama Nyonya Iqbal Sya'bani tertera di layarnya.

[Hati2 di jalan ya pak]

[Tolong kabari kl bapak sdh sampai di rumah]

Ini pesan pertama, di mana Luli yang memulai, dan isinya menunjukkan perhatian gadis itu untuknya. Wajah Iqbal berubah seketika, tak bisa digambarkan dengan kata-kata, kecuali satu. Bahagia!

Ia mengganti pilihan lagunya. Beberapa detik berikutnya, HRV putih itu meluncur seiring suara merdu seorang Iqbal Sya'bani, membelah jalanan Semarang atas menuju Bukit Sari.

It's amazing how you
Can speak right to my heart
Without saying a word
You can light up the dark
Try as I may I could never explain
What I hear when you don't say a thing

The smile on your face let's me know that you need me
There's a truth in your eyes saying you'll never leave me
The touch of your hand says you'll catch me wherever I fall
You say it best
When you say nothing at all

(When You Say Nothing At All - Ronan Keating)

***

Jiahaha, lagunya lawas imit, Mbak'eee. Ketauan umur ini sih. LoL.

Aku loh senyum2 sendiri, ngebayangin si Iqbal melantunkan lirik pas bagian "You say it best, when you say nothing at all" sambil dia senyum-senyum sendiri inget si Luli. Eaaaakk...
*Nggak boleh ngebayangin anak gadis orang, woiii! Belum halal lho, Iq!

Tadinya judulnya Part 8.1, tapi panjangnya udah 3,9K words gini. Astaga, gile bener dah. Nulis ginian doang lho padahal. So, titik satunya kuhapus deh, jadi Part 8 ajah. Kl dikasih bagian dua takut ntar pada diabetes. Soalnya kemanisan, Gaes. Haha...

Baiklah, semoga kalian menikmati dan terhibur dengan cerita ini ya.

Terima kasih untuk semuanyaaa.

Sampai jumpa.
❤❤❤

Semarang Atas, 23072020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top