Part 7.
Kalau dari awal kamu punya prinsip dan pemikiran yang baik tentang kehidupan, kamu akan dapat menjawab setiap pertanyaan -tentang kehidupan- dengan baik pula. Insya Allah.
- Iqbal Sya'bani -
--------
Notes:
*part ini agak serius, tapi teteup lah ya, nggak jelas. Haha...
*anak sekelas makan bubur
biar nggak jelas, semoga tetap terhibur
***
Luli membantu ibu di dapur. Sebuah kemajuan yang sungguh membahagiakan. Tentu saja tak diserahi tanggung jawab menyelesaikan satu menu pun. Ia hanya diberi peran mengupas, menyiangi, dan mencuci sayuran.
Usai tugasnya beres, ia tak juga beranjak dari dapur. Sibuk mengamati apa-apa yang dilakukan ibu dan Bu Nani.
"Tumben Mbak Luli betah di dapur?" tanya Bu Nani.
"Ya kalo sebentar lagi jadi istri kan dapur akan jadi tempat yang didatengin sehari-hari," jawab ibu.
"Alhamdulillah. Jadinya kapan Mbak Luli nikahan?"
"Secepatnya. Doakan wae, Mbakyu."
"Ibu apaan sih? Luli belum siap, Bu? Nggak yakin akan cepat juga." Luli menyahut tanpa mikir.
"Lah keyakinanmu udah salah dulu. Makanya, pasrah saja sama Allah. Wong udah dikirim laki-laki sholeh, baik, mapan, kok masih banyak yang jadi pikiran."
"Udah ah, Luli mau mandi aja." Mulut Luli mengerucut, bersiap pergi dari depan ibu dan Bu Nani.
"Mungkin karena Mbak Luli masih suka ngambek dan aleman (manja) begitu. Jadi dianya sendiri belum yakin."
"Iya, Bu Nani, itu salah satunya," sahut Luli lagi.
"Halah, pancen kakean acara kok kowe kui! Wis, ndang adus kono!" (Halah, memang kebanyakan acara kok kamu itu! Udah, buruan mandi sana!).
Lagi-lagi Luli tak langsung mandi. Hanya menyambar handuk lalu masuk ke kamar. Berniat mengambil baju ganti, ujung-ujungnya di tempat tidur dia berhenti. Rebahan dong, memangnya apalagi?!
Gawainya berdenting, satu pesan dari Iqbal terbaca di layar.
[Assalamualaikum, Zulfa]
[Maaf. Kl saya ajak abah sama umi boleh?]
"Ehk, ngawur banget sih Pak Iqbal nih. Ngubah acara seenak sendiri."
[Waalaikumussalam]
[Nggak boleh. Saya belum siap pak]
[Belum siap apa?]
[Belum siap kenalan sm calon mertua]
Begitu tersadar, Luli kaget setengah mati. Ia segera menghapus pesan terakhir yang terlanjur terkirim.
[Telat, Zulfa. Sudah saya baca]
[Iya, nanti saya datang sendiri kok]
[Sampai ketemu calon mantunya abah umi]
Dilemparnya HP ke karpet, untung jatuh ke atas lipatan bedcover.
"Gobl*k banget sih, Luliii. Bilang gitu kan ya dalam hati aja. Ini kenapa keketik. Kekirim pula. Ya Allah, maluuu." Sesal Luli. Rasanya ingin menangis saja.
***
Tepat pukul sepuluh, sebuah HRV putih berhenti di depan rumah Luli. Tak sampai semenit, si empunya keluar dengan menenteng sebuah paperbag berukuran cukup besar. Brand oleh-oleh terkenal dari kota Bandung terbaca di luarnya.
"Assalamualaikum." Iqbal mengucap salam.
"Waalaikumussalam. Alhamdulillah, ketemu lagi ya, Nak Iqbal." Bapak dan Ibu Rofiq Hidayat menyambut ramah.
"Alhamdulillah. Oh ya, Bu, ini ada titipan dari Umi."
"Waduh, kok repot-repot to uminya Nak Iqbal ini."
"Mboten repot, Bu. Kebetulan semalam baru datang dari Bandung."
"Monggo, duduk dulu, Nak Iqbal. Sambil nunggu Fikar dan Luli." Pak Rofiq mempersilakan.
"Gimana, Nak Iqbal? Sehat semuanya?"
"Alhamdulillah, sehat semua, Pak."
"Ada acara apa di Bandung?" Bapak membuka obrolan.
"Nggak ada acara khusus, Pak, cuma abah umi kangen sama cucu-cucunya. Sekalian silaturahim ke saudara-saudara di sana."
"Apa banyak keluarga yang di Bandung?"
"Nggih, Pak. Selain kakak, ada banyak saudara abah. Abah lahir dan besar di Bandung. Sampai sekarang Aki, Nini, dan saudara-saudara juga masih banyak yang tinggal di sana."
"Masih sehat semua kakek neneknya?"
"Enin sudah nggak ada, Pak. Tapi ada Nini, nenek sambung. Alhamdulillah masih sehat semua."
"Masya Allah. Abahnya Nak Iqbal asli Bandung ya? Urang Sunda berarti nya?" Bapak sok-sokan pakai Bahasa Sunda.
"Sumuhun. Betul, Pak. Tapi kalau dibilang asli ya bukan juga sebetulnya, Pak. Karena Aki saya bukan orang Sunda. Aki itu campuran Betawi sama Padang, tapi dari kecil di Bandung, jadi sudah kaya orang Sunda. Kalau Enin asli Sunda. Nini juga asli Sunda. Makanya Abah saya Sunda banget, Pak."
"Wah, berarti Nak Iqbal ini campur-campur Indonesia raya ya," canda ibu.
"Nggih, Bu. Saya 50% Jawa, 25% Sunda, Betawi dan Padang masing-masing 12,5%."
Bertiga tertawa, saat Fikar dan Luli datang bersamaan.
"Kalau anak teknik bicara angka selalu detail gitu ya?"
"Hehe, nggak selalu, Pak. Kecuali Zulfikar mungkin."
"Apa nih? Baru duduk sudah dibawa-bawa nih namaku."
"Hehe, bukan apa-apa, Fik. Never mind. Asya mana nih, kok gak kelihatan?"
"Tidur, Bro. Tadi nemenin Lila main sepeda, terus habis mandi bocahnya ngantuk, eh lha kok mamanya ikut merem. Maaf ya, Bro, jadi nggak bisa ikut menyambut."
"Nggak pa-pa, Fik. Santai aja."
"Monggo, Nak Iqbal, diminum dulu tehnya. Itu Luli yang bikin lho," tawar ibu.
Ibu tak bohong. Luli sendiri yang menawarkan diri untuk menyeduh teh. Tentunya dengan petunjuk dari ibu, berapa banyak tehnya, berapa sendok gulanya, berapa liter airnya.
"Masya Allah. Ini sih sudah pasti enak, Bu." Iqbal meraih cangkirnya dengan tak sabar.
"Iya, paham. Soalnya ngerasainnya bukan pake lidah, tapi pake hati," celetuk ibu, disambut tawa yang lainnya.
"Ibu apa sih, nyebelin banget ih!" Cuma Luli yang tak tertawa. Bahkan tersenyum pun tidak. Dia sibuk menyembunyikan wajah. Malunya masih terbawa.
"Oh iya, Pak, Bu, dapat salam dari abah dan umi. Sebenarnya tadi maksa mau ikut kemari, tapi nggak jadi, karena kata Zulfa, dia belum siap ketemu calon mertua." Iqbal melirik Luli.
"Waalaikumussalam. Sampaikan juga salam dari kami untuk calon besan." Bapak ibu tertawa.
Detik berikutnya, semua mata tertuju pada Luli, yang sedang menggigit bibir kuat-kuat. Ia pula mendekap bantal erat-erat. Merasakan kesal yang teramat sangat. Kalau bisa, ia ingin melempar Iqbal dengan apa saja yang ada di depannya.
"Maaf, Zulfa, kalau kamu tidak berkenan. Saya cuma bercanda."
Tak tahan, Luli mengangkat kepala. Matanya berkaca-kaca, menatap pria yang duduk persis di seberangnya. Iqbal auto merasa berdosa. Tatapannya menyiratkan permohonan maaf yang sebesarnya.
"Sudah, nggak usah dimasukkan hati, Nduk. Wong kami semua cuma bercanda."
"Bapak sih, nggak tau ada insiden kelepasan kirim whatsapp tadi. Kan malu pake dibahas segala." Luli menunduk kembali.
"Ya sudah, Nak Iqbal, mungkin kita bisa langsung saja masuk ke agenda utama kedatangan Nak Iqbal kemari ya."
"Oh, nggih, Pak. Siap. Monggo."
"Emm, jadi dua pekan ini kami sudah banyak bicara dengan Luli. Ya saya, Zulfikar, Nara, dan terutama ibunya. Termasuk semalam, pulang dari pergi, dia narik-narik ibunya untuk tidur sama dia. Ternyata nggak sengaja ketemu sama Nak Iqbal waktu jalan sama kakak-kakaknya, dan dia ingin cerita ke ibunya malam itu juga.
"Luli sudah cerita semuanya, dan ibunya sudah melanjutkan pada saya, juga kakaknya."
Iqbal lega, sekaligus gemas. Ia merasa senang mendengar kedekatan Luli pada ibunya. Memang terkesan manja. Tapi Iqbal tahu, kemanjaan itu justru menjadi penanda, bahwa hati Luli terikat kuat dengan keluarganya. Ia yakin, keluarga seperti inilah yang akan selalu saling mendukung, dalam senang maupun sulitnya.
"Alhamdulillah," gumam Iqbal.
"Sebelumnya kami mohon maaf, karena Luli sendiri memang tidak bisa memberi keputusan yang tegas. Kami bisa memaklumi, karena untuk bersanding dengan Nak Iqbal, yang punya segudang kelebihan, tentu bukan sesuatu yang mudah bagi Luli yang kadang berkecil hati.
"Tapi untuk tidak bersedia, anaknya sendiri merasa tidak bisa. Inipun kami maklum. Sangat manusiawi ketika seorang anak gadis tidak sanggup menolak pesona dari lawan jenisnya, apalagi yang mendekati sempurna macam Nak Iqbal ini.
"Jadi intinya, anak kami Luli, atau Zulfa, bersedia menerima pinangan dari Nak Iqbal. Dalam hal ini Nak Iqbal secara pribadi ya, belum dengan keluarga. Hanya saja, belum siap jika harus menikah sekarang, atau dalam waktu dekat ini."
"Alhamdulillahirobbil 'alamiin." Respon Iqbal mantap. Lega. Bahagia.
"Kami yakin, Nak Iqbal bisa mengerti dan memahami kondisi Luli. Memang banyak hal yang menjadi pertimbangan sehingga dia belum siap untuk menikah dalam waktu dekat. Dan kami rasa semua itu ya ada baiknya juga. Kami sendiri salut, dia bisa berpikir jauh ke depan. Meski ya banyak keraguan-keraguan, tapi Luli tidak malu-malu untuk menyampaikan pada kami.
"Kurang lebih demikian, Nak Iqbal." Bapak menutup penuturannya mengenai jawaban Luli atas lamaran Iqbal tempo hari.
"Nggih, Pak. Alhamdulillah. Saya lega sekali mendengarnya. Saya terima kasih sekali kepada Bapak, Ibu, juga Zulfikar, dan Zulfa tentu saja.
"Mengenai kesiapan Zulfa, insya Allah saya bisa menunggu, Pak. Namun, saya mohon diberi kesempatan untuk membantu Zulfa mempercepat kesiapannya.
"Sejujurnya saya tidak tahu apa yang bisa saya lakukan untuk itu, tanpa mengganggu prinsip dan kenyamanan Zulfa. Maka saya mohon petunjuk dari Bapak, Ibu, dan keluarga, kiranya apa saja yang sebaiknya saya lakukan agar tidak terlalu berlama-lama dalam penantian.
"Dan mohon maaf. Jika boleh, saya ingin tahu apa yang membuat Zulfa belum siap?"
"Soal itu, mungkin akan lebih baik kalau anaknya sendiri yang menjawab ya, Nak Iqbal."
"Loh, k-kok Luli sih, Pak? Bapak. Bapak aja." Luli tak siap.
"Nggak pa-pa, Nduk. Kamu saja." Ibu bersuara.
"Emm, ya, emm, ya i-intinya saya belum siap, Pak. Karena banyak hal yang belum saya tau tentang bapak, begitu juga sebaliknya. Saya juga belum siap kalo keluarga besar teknik sipil tau kalo saya menikah dengan bapak. Saya nggak siap dihujat, atau dibenci fans-fansnya Bapak. Itu nggak enak, Pak. Saya bisa bilang begini karena saya tau sendiri gimana Nara pernah diperlakukan nggak enak sama mahasiswinya Mas Fikar. Saya nggak mau itu kejadian di saya juga, Pak." Dengan lancar Luli menyampaikan, sudah macam curhat di forum terbuka saja.
"Saya juga belum tau tentang keluarga Bapak, apakah bisa menerima saya atau tidak. Bapak tau sendiri kan, saya tuh bodoh kalau soal kuliah. Saya juga bodoh urusan rumah tangga. Saya anaknya manja, cengeng, kekanakan. Nanti jangan-jangan keluarga Bapak nggak suka lagi punya mantu yang modelan saya begini."
"Zulfa ---"
"Saya belum selesai, Pak!"
"Oke, maaf."
"Terus tentang anak, saya juga kayanya belum siap kalo harus langsung hamil dan punya anak. Berat, Pak, kuliah di sipil sambil hamil, terus punya anak kecil. Kaya Nara. Tapi kan selisih umur kita jauh sekali, Pak. Saya nggak yakin Bapak mau menunda untuk punya anak.
"Terus kan kalo nikah bukan cuma buat setahun dua tahun ya, Pak, tapi buat sekali seumur hidup. Saya tau, sekarang ini Bapak udah pegang laboratorium, terus juga pembina di himateksi. Kata Mas Fikar, Bapak dulu juga ketua himateksi. Kata Mas Fikar juga, selain di pendidikan, passion Bapak adalah di organisasi, jadi ke depannya nanti ada kemungkinan Bapak akan masuk ke struktural. Dan kayanya itu berat sekali buat saya."
"Emm, ya kurang lebih gitu lah, Pak. Bingung saya kalo harus jelasin semuanya. Karena ya memang ada yang saya nggak ngerti gimana jelasinnya. Pokoknya gitu deh, Pak. Banyak."
Panjang lebar penjelasan Luli. Mungkin sebagian besar terdengar kekanakan, tapi Iqbal bisa memahami. Ia sama sekali tak memandang sebelah mata pada gadis yang dia inginkan menjadi istri.
"Baiklah, Zulfa. Kalau boleh saya jawab sekarang, akan saya jawab."
"Boleh, Bro. Itu lebih baik," ucap Fikar.
"Alhamdulillah. Mohon izin menjawab nggih, Pak, Bu."
"Iya iya, monggo. Silakan, Nak Iqbal. Dengan senang hati kami akan menyimak."
"Jadi begini, Pak, Bu, Fik. Tentang keluarga besar teknik sipil, kalau Zulfa belum siap untuk diketahui status hubungannya dengan saya nanti, kami bisa menikah dengan sederhana dulu saja, yang penting sudah sah dan halal. Saya tidak masalah jika harus menyembunyikan status sementara waktu, sampai Zulfa siap.
"Insya Allah jika sudah menikah, sudah boleh diskusi panjang lebar berdua kapan saja, saya optimis bisa membantu meyakinkan Zulfa tentang bagaimana kami di kampus nanti.
"Kemudian tentang keluarga saya, insya Allah saya siap kapanpun mengajak Zulfa masuk ke keluarga saya. Kenalan dengan abah dan umi, dengan kakak-kakak saya, semuanya. Saya yakin, keluarga saya akan menerima Zulfa dengan tangan terbuka, dengan penerimaan yang apa adanya.
"Karena tentang Zulfa, saya sudah menceritakan semua yang saya tahu pada keluarga inti saya. Dan semua tahu persis, kalau bicara tentang Zulfa saja sudah membuat saya bahagia, apalagi membawanya masuk ke keluarga sebagai istri saya."
Wajah Luli merona seketika. Malu-malu bahagia.
"Tapi saya tahu persis prinsipnya Zulfa. Jangankan datang ke rumah saya, untuk berkirim pesan setiap hari saja Zulfa keberatan. Jadi saya belum ada bayangan bagaimana dan kapan mengenalkan Zulfa ke keluarga saya. Selama dua pekan ini, kami berkomunikasi hanya tiga kali saja, Pak, Bu. Zulfa yang meminta demikian, sedangkan saya, meskipun berat tapi saya berusaha untuk menghormati permintaannya.
"Emm, tentang anak, salah satu tujuan menikah tentunya adalah untuk melangsungkan keturunan. Tapi bagi saya, itu kembali pada bagaimana calon ibunya anak-anak kelak. Jika Zulfa siapnya setelah sarjana, mungkin programnya bisa ditunda dulu. Dan tidak harus setelah wisuda, setelah menyelesaikan TA misalnya. Atau jika sudah menikah nanti dan kami bisa bicarakan baik-baik bagaimana menyiasati hamil sebelum lulus, ya itu lebih baik lagi.
"Jadi tidak masalah untuk saya pribadi seandainya pun harus menunda. Bisa jadi dengan penundaan tersebut, Allah hendak memberi waktu lebih panjang untuk kami belajar. Menyiapkan diri agar kelak menjadi orang tua yang bisa mendidik anak-anaknya dengan siap dan bahagia.
"Terakhir, tentang menjadi bagian dari struktural, itupun masih sangat jauh. Kalau untuk menikah, umur saya bisa jadi masuk kategori tua. Tapi untuk menduduki jabatan struktural, mungkin saya masih tergolong sangat muda. Kalaupun Allah tunjuk saya untuk lebih cepat masuk di struktural kampus, bagi saya yang terpenting adalah niatnya.
"Jadi, Pak, Bu, saat ini saya memang dipercaya untuk menjadi Kepala Laboratorium Mekanika Tanah. Tapi bagi orang yang mencintai dunia pendidikan, struktural mungkin bukan sesuatu yang menyenangkan. Jauh lebih bahagia mendidik, mengajar, dan menempa mahasiswa untuk menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas, punya attitude dan ketaatan yang baik, juga mencintai tanah air dan ilmunya.
"Tapi keberadaan pejabat struktural tetap saja dibutuhkan. Karena dalam dunia kampus tentunya juga harus ada pembuat kebijakan yang tetap memihak pada kebenaran, memantau jalannya aktivitas di lingkungan kampus agar berjalan sebagaimana mestinya, memastikan kesiapan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan belajar mengajar, dan lain sebagainya.
"Pada akhirnya, jabatan struktural jika kita niatkan untuk kebaikan, untuk kemajuan, bahkan untuk bekal pulang ke kampung akhirat kelak, insya Allah akan menjadi kebaikan pula.
"Nggak usah jauh-jauh, Zulfa. Kamu bisa tanyakan pada Bapak, seseorang yang mencintai dunia pendidikan sekaligus duduk di struktural. Juga bisa belajar pada Ibu, bagaimana mendampingi Bapak berkaitan dengan jabatan yang dipercayakan kepada beliau.
"Betul demikian nggih, Pak?" Iqbal mengakhiri jawabannya.
Pak Rofiq berkali menggelengkan kepala, dengan senyum memenuhi wajah. Merasa kagum sekaligus salut pada anak muda di hadapannya.
"Ya ya ya, masya Allah. Betapa bangganya saya punya calon mantu seperti Nak Iqbal ini."
Luli menengok ke arah bapak dengan tatapan cengo. Mata membesar, mulut melongo.
Bapak melanjutkan lagi, "Kalau saya, ini kalau saya ya, inginnya ya segera mantu si Luli. Karena anak perempuan kan menjadi tanggung jawab orang tua sampai mereka menikah. Kalau sudah mantu, kan tuntas pula tanggung jawab kami pada Luli. Cuma kan kami juga harus mempertimbangkan kesiapan Luli, yang akan menjalani.
"Kami memang tidak menyarankan anak-anak untuk pacaran. Alhamdulillah anak-anak bisa menerima dengan pikiran terbuka. Karena kalau menurut kami, pacaran itu bisa menyebabkan kehilangan momentum saat sudah menikah nanti. Lha apanya yang istimewa, selain status yang berubah jadi sah dan halal saja?
"Ngobrol berdua, sudah biasa. Jalan berdua, sering. Kontak fisik, mungkin nggak satu dua kali. Cuma belum boleh tinggal satu atap saja to.
"Nah, kalau nggak melalui pacaran kan momentum setelah pernikahan itu justru menjadi lebih menyenangkan. Ada deg-degannya, ada malu-malunya, ada lucunya, ada konyolnya. Tapi juga ada kagumnya, takjub, amazing, dan sebagainya, ketika mengetahui bahwa ternyata pasangan kita itu punya banyak keistimewaan yang baru kita temukan dan sangat kita syukuri kemudian.
"Benar begitu kan, Nak Iqbal?"
"Ehk, i-iya. B-betul. Betul sekali itu, Pak." Iqbal mendadak gagap. Di benaknya terlintas bayangan para mantan. Ia berasa sedang ditampar oleh sang calon mertua. Panas, Bro!
"Saya justru salut sama Luli. Dia berani menyampaikan pada kami apa adanya. Perasaannya, keberatannya, keinginannya, dan sebagainya. Ini jauh lebih mending daripada Fikar dengan Nara waktu itu. Sore kenal, besok pagi melamar, lusa nikah.
"Benar-benar nggak ada kesempatan bernafas itu Nara. Dan dia seperti nggak punya pilihan, karena ada balita yang membutuhkan kehadirannya. Kami sendiri sempat ragu waktu Fikar minta izin, dan minta kami menemani bertemu ibunya Nara. Rasanya terlalu cepat.
"Sekarang, kami bersyukur sekali punya Nara sebagai bagian dari keluarga kami. Dia yang selalu menyayangi Lila dengan tulus, melayani Fikar dengan baik, sama kami juga baiknya masya Allah.
"Anak itu dari awal sudah nggak memikirkan dirinya sendiri untuk menerima ajakan menikah dari Fikar. Walaupun beberapa saat kemudian sempat nyaris pisahan gara-gara ego, gengsi, salah paham, macam-macam lah.
"Alhamdulillah, walaupun sempat tiap hari Fikar kami marahi habis-habisan, pada akhirnya semua terlewati dengan baik. Dan sekarang, mereka berdua itu mesranya, Masya Allah. Bikin iri yang lihat. Baper kalau kata anak sekarang.
"Lha jangankan yang anak muda, saya sama ibunya saja kalau lihat mereka berdua kadang suka iri. Apalagi Luli. Iyo to, Nduk?"
"Apa deh maksudnya? Pake bawa-bawa Mas Fikar sama Nara segala. Aku sama Pak Iqbal kan case-nya beda." Luli cemberut. Fikar senyum-senyum, merasakan cinta yang selalu tumpah ruah untuk Nara.
"Jadi begitu, Nak Iqbal. Kalau saya, ibunya, kakak-kakaknya, insya Allah sudah mendukung penuh Luli Iqbal menuju halal. Tapi kalau salah satu dari yang mau menjalani belum siap, ya lebih baik kita tunggu sampai waktunya tiba. Kita bantu bersama biar kesiapannya datang segera."
"Ya Rabb, apa pula Luli Iqbal menuju halal. Bapak nih bisaan deh." Luli membatin lagi.
"Nah, kalau Nak Iqbal mau kenalan lebih lanjut sama Luli, ya memang setahu kami dia keberatan untuk ngobrol berduaan, sekalipun hanya lewat media. Kalau buat kami, itu bagus. Dia ingin menjaga momentum untuk setelah menikah nanti.
"Namun, bukan berarti tidak ada jalan untuk Nak Iqbal mengenal Luli lebih jauh. Silakan datang ke sini. Pintu rumah ini selalu terbuka lebar untuk Nak Iqbal. Tentu tidak langsung dengan Luli. Tapi Nak Iqbal bisa berdiskusi, dengan saya dan ibunya, dengan Fikar dan Nara, atau bisa jadi dengan Luli juga, tapi tetap ada pendampingnya.
"Pokoknya jangan sungkan. Kita ini sudah keluarga kok, cuma tinggal nunggu resminya. Bener ngono to, Nduk?"
"Iya, bener banget!" Luli menjawab dengan sigap.
"Ehk." Lalu keselek begitu sadar kalau dia tampak tak sabar.
Begitulah. Hati sih sudah tak sabar, namun hati pula yang merasa belum siap. Ah, hati. Memang harus hati-hati.
Menghela napas panjang, cuma itu yang bisa Luli lakukan. Sesekali mencuri pandang, pada Iqbal yang tak bisa melepas senyum dari wajahnya. Lampu hijau dari keluarga Rofiq Hidayat membuat dia teramat bahagia.
***
Hai, ketemu lagi sama Iqbal dan Luli.
Yang pertama, mohon maaf dulu ya kalo part ini rada ngalor ngidul gak jelas gitu. Ini tuh nulisnya di sela-sela ngerjain pekerjaan rumah, kebetulan pas anak2 kemarin di rumah mbahnya, lah kok ngetik bae sampe pas dicopas trus seret ke wattpad, lah udah 2,5K aja. Jadi, aku tuh nulis apa cobaaaa?! Haha...
Ya syudahlah, pokoknya terima kasih banyak untuk teman-teman pembaca semua. Semoga tetap bisa menghibur dan menyampaikan sedikit pesan cinta, dari aku untuk kalian semua Eaaa...
InsyaAllah ketemu lagi di part berikutnya ya. Jum'at atau Sabtu nanti.
Tetap sehat, semangat, dan jangan lupa bahagia.
Sampai jumpa
❤❤❤
Banyumanik, 21072020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top