Part 6.

Saya nggak suka lihat kamu menangis sekarang, karena saya nggak bisa apa-apa. Saya ingin jadi seseorang yang menguatkan setiap kali kamu menangis, tapi nggak bisa kalau cuma dengan melihat saja.

Menikahlah dengan saya, Zulfa.

-------

*belum apa-apa aku udah pengen bilang 'eheks'. Gombalmu lho, Bal!!

*3,5K words. Bisa sambil makan cangcimen dan minum mijon nih

*beli permen di poskamling,
happy weekend & enjoy reading

***

Hampir dua pekan sejak Iqbal menyampaikan lamaran. Semenjak itu pula, semua berjalan seperti biasa. Pun saat di kampus, Iqbal tak sedikit pun terlihat berbeda, ia memperlakukan Luli seperti yang sudah-sudah. Tentu saja ini membuat Luli dilanda bimbang. Sebenarnya Iqbal serius atau tidak saat memintanya menjadi pendamping hidup?

Meski ia yang meminta dosennya itu untuk tak menghubungi, sesungguhnya hati tak bisa dipungkiri. Ia ingin menerima perlakuan sedikit berbeda setiap kali mereka bertemu di kampus. Yaa, minimal tatapan mata lah.

Luli hanya tak tahu. Di sana, Iqbal sekuat hati menahan rindu. Bukan satu dua kali keinginan untuk menyapa Luli datang, ia hanya berusaha menekannya hingga menghilang. Bahkan menatap wajahnya pun tak dia lakukan. Tersiksa? Pasti. Tapi ia berusaha menghormati keinginan Luli.

Sepanjang hampir dua pekan pula, nyaris setiap hari mereka berdua hanya saling menyimak recent update di status whatsapp masing-masing. Hingga menjadi semacam kode, bahwa sesungguhnya mereka saling menyimak dan memperhatikan. Aish.

Sabtu pagi menjadi waktu yang dinantikan oleh Iqbal. Besok ia akan ke rumah Luli, untuk mendengar jawaban dari keluarganya. Itu berarti ia akan kembali bertemu sang pujaan hati. Bertemu dalam arti sebenarnya. Bukan sekadar melihat dari jauh, lantas berpura-pura menganggapnya tak ada. Capek.

Sejak berhari lalu ia bertekad untuk menyapa Luli sehari sebelum kehadirannya. Ditatapnya layar gawai dengan senyum terkembang. Membaca kembali obrolan pertama mereka pasca status tak lagi sekadar dosen dengan mahasiswinya.

Lalu senyumnya memudar, begitu membaca permintaan Luli keesokan sorenya.

[Assalamualaikum pak Iqbal.
Maaf. Kalau kita nggak kebanyakan ngobrol seperti semalam nggak pa-pa kan, Pak? Saya takut terjebak dlm hubungan yg sebenarnya belum diperbolehkan]

[Maaf ya pak]

[Maksudmu pacaran?]

[Kurang lebih demikian pak]

[Sebenernya saya keberatan. Tp saya akan berusaha menghormati permintaan kamu Zulfa]

[Maafkan saya kl membuat kamu jd nggak nyaman]

[Saya yg minta maaf pak. Saya justru takut terlalu nyaman, hingga kebablasan & melanggar prinsip yg saya pegang selama ini]

[Nggak pa-pa Zulfa]

[Oh ya pak. Kl di kampus, tolong bersikap biasa saja ya pak]

[Insya Allah]

[Terima kasih banyak ya pak]

[Sekali lagi maafkan saya]

[Tapi saya boleh merindukan kamu kan Zulfa?]

[Itu hak bapak]

[Kamu juga punya hak buat merindukan saya kok]

[Pak. Please. Jangan bikin saya galau]

[Iya. Maaf]

[Kamu rajin update status ya, biar saya tau kl kamu baik2 saja]

[Nggak janji pak]

Senyum Iqbal terbit lagi. Luli memang tak memberi janji, namun ia yakin bahwa gadis itu memberinya hati. Meski tak sering, tapi statusnya selalu hadir, minimal sekali dalam sehari.

Selepas subuh, ia izin untuk melewatkan jam makan pagi bersama abah dan uminya. Umi memahami, pun abahnya. Iqbal sudah lebih dulu menceritakan tentang semua rencananya pada beliau berdua.

[Assalamualaikum Zulfa]

[Besok saya ke rumah kamu. Bapak sudah kasih tau kah?]

Balasan datang tak lama kemudian.

[Waalaikumussalam]

[Iya sudah pak]

[Jawaban kamu utk saya tetap sama kan Zulfa?]

[Saya nggak tau pak]

[Maksud kamu?]

[Bapak beneran mau nikahin saya? Tp kok saya nggak pernah merasa bapak ada yg beda kpd saya]

[Ini ttg apa ya Zulfa? Saya kok nggak paham]

Kenyataannya Iqbal tak mengerti ke mana arah pembicaraan Luli.

[Nggak pak. Bukan ttg apa2 kok]

[Zulfa, tolong jelaskan. Ini pasti ada sesuatu]

[Nggak ada kok pak. Nggak ada apa2. Sama spt bapak ke saya. Nggak ada apa2. Biasa saja]

[Tp saya nggak biasa saja ke kamu Zulfa]

[Atau ini ttg saya dg kamu saat di kampus?]

Iqbal mencoba menganalisa keadaan. Mencari di mana kira-kira letak kesalahannya.

[Saya salah ya?]

[Saya cuma mengikuti permintaan kamu Zulfa]

[Kalau kamu pikir saya baik2 saja, kamu salah Zulfa]

Tak ada balasan.

"Ya Rabb, sesulit inikah menghadapi calon istri?" Iqbal menyugar gusar. Banyak mantan tak menjamin ia paham pada kemauan tersembunyi kaum perempuan. Konsep pacarannya saja agak aneh, wajar kalau tak paham.

Di sana, sekira lima kilometer dari tempat Iqbal berada, Luli melempar HP ke atas kasur. Kesal. Ia merasa ingin menangis. Ingin mengungkapkan sebab kekesalannya, tapi jelas tak mungkin. Memang mau ditaruh di mana mukanya?!

Memegang prinsip memang sulit. Tapi mengungkapkan perasaan pada kaum adam melalui isyarat, ternyata berkali lipat lebih sulit. Huft.

***

"Lul, ikut ngafe yuk. Mukamu lho, kek origami. Seharian dilipat-lipat bae. Mas Fikar punya kafe favorit. Di sana konsepnya bagus. Space buat pengunjungnya dibagi berdasarkan jumlah. Dan status juga," ajak Nara.

Dia memang cerdas, bisa memancing penasaran Luli untuk mengakhiri ke-mager-an hari ini.

Fikar dan pasukan lengkapnya ada di rumah bapak ibu sejak siang tadi. Seperti biasa, kalau tidak ke Salatiga, mereka selalu menghabiskan weekend di sana. Sore atau malam pergi berdua, meninggalkan Lila dalam penjagaan kakek, nenek dan tantenya.

Tapi tidak malam itu, mereka rela mengorbankan kebersamaan demi menghibur Luli, yang entah kenapa wajahnya sudah tak sedap dipandang dari waktu pertama mereka datang.

"Ayolah, sekali-sekali malam mingguan sama kami, mumpung masih sendiri. Kan belum tentu bisa kalo udah jadi Nyonya Iqbal Sya'bani." Nara melanjutkan provokasi.

"Apa sih bawa-bawa Iqbal Sya'bani segala?! Gak jelas!" Luli menyahut. Kentara sekali ada kesal dalam nada suaranya.

"Kok bete sih denger nama Pak Iqbal? Kalian berantem ya? Kamu ngambek sama beliau? Cieee, kaya olang pacalan aja Tante Luli iniii."

"Apa sih, Nar?! Nggak usah ngomporin gitu deh. Rese!"

"Duh duh duh, adik ipar kesayangan marah. Udahlah, buruan ganti baju, habis isya langsung cuss ya. Pokoknya malam ini bebas dari tugas bantuin jaga Lila deh."

"Tapi alih tugas jadi obat nyamuk papa mamanya? Sama aja bo'ong. Malah lebih malesin. Mentang-mentang jomblo, dikerjain."

"Dikasih tawaran menarik kok ditolak. Terakhir nih. Mau ikut apa nggak? Nyesel gak tanggung jawab lho aku."

Luli bimbang. Nyatanya perasaan yang sedang tak baik-baik saja membuatnya ingin melarikan diri sejenak dan melakukan hal di luar kebiasaannya.

"Emm, iya deh. Aku ikut."

"Nah, gitu dong."

"Tapi beneran nggak ganggu nih?"

"Nggak lah. Yang penting kamu nanti pegang raket nyamuknya yang bener ya!"

"Asem!" Didorongnya pelan jidat Nara.

"Woooh, dasar adik ipar durhaka."

Fikar geleng kepala melihat Luli dan Nara. Dua sahabat yang berubah bagai Tom and Jerry sejak statusnya bergeser menjadi kakak dan adik ipar.

"Mas sudah minta izin ke bapak ibu kok, Luli. Ibu malah senang. Kata ibu, biar bisa hilangin ketegangan kamu menjelang Iqbal datang besok pagi."

"Apa sih?! Dia lagi!" gumam Luli sebal. Ia segera berlalu untuk bersiap.

Sepulang Fikar dari masjid, bertiga meluncur menuju tujuan. Sebuah kafe yang terletak di kawasan pertengahan antara Semarang atas dengan Semarang bawah. Meski tak sering, konsepnya yang unik dalam menerima pengunjung membuat Fikar senang ke sana.

"Baru sekali ini ya, Lul, malem mingguan keluar? Ciyan." Nara membuka pembicaraan dengan menggoda Luli.

"Halah, mending. Kamu juga dulu malem mingguan malah ngelesin bocah esde. Nggak ada romantis-romantisnya."

"Emang romantis yang kaya gimana sih, Lul? Yang kaya Pak Iqbal waktu ngelamar kamu gitu ya? Hasseeekk." Nara tak henti menggoda.

"Sudah ah, Na, nggak usah dibahas terus. Luli malu nanti." Fikar menegur istrinya.

"Luli malu apa Mas yang cemburu?" goda Nara. Dicubitnya pinggang Fikar, membuat yang bersangkutan kegelian. Luli mengalihkan pandang.

"Asem. Masih berapa jam ke depan nih ngadepin orang mesra-mesraan. Ya Allah, semoga jangan nyesel deh saya ikut suami istri nggak jelas ini."

"Yakin deh, kamu pasti suka kalo sudah sampai di sana. Beneran nyaman banget suasananya. Dan unik," ujar Fikar lagi. Sedikit merasa bersalah melihat wajah Luli dari spion tengah. Ia tahu, Luli tak nyaman melihat mereka bermesraan.

"Emang unik gimana sih kafenya?" Luli penasaran.

"Jadi di sana tuh pengunjungnya dibagi berdasarkan jumlah, Luli. Kalau datang sendiri, nanti diarahkan ke space sebelah selatan. Di sana nyaman banget buat yang duduk sendiri. Ada banyak buku yang bisa kamu pilih buat menemani kesendirian, semacam perpustakaan. Setiap meja ada stop kontaknya, ada cushion-nya juga.

"Banyak yang suka ngerjakan tugas di sana, memanfaatkan wifi gratis yang disediakan. Sangat bersahabat untuk mahasiswa yang butuh konsentrasi mengerjakan tugas." Fikar mulai menjelaskan.

"Trus kalo dateng berdua, tempatnya di space utama, Lul. Jadi di sekeliling tempat kru-nya kerja gitu. Mau cowok semua, cewek semua, pokoknya kalo datengnya berdua ya mau gak mau kalo tetep duduknya di sekitaran situ. Apalagi kalo cowok sama cewek. Kecuali bisa nunjukin bukti kalo suami istri, kaya kami. Biar ke sana berdua juga boleh dong milih di belakang.

"Kesannya ribet kan ya. Rese juga gitu. Tapi karena udah pada tau rules-nya, jadi yang dateng ke situ ya enjoy aja. Memang sih di space bagian situ bisa terpantau para pengunjung yang berdua-dua. Gak ada privasi. Dan yang jelas gak ada kesempatan grepe-grepe lah buat mereka yang pacaran di sana. Hahaha."

"Hish, apa sih, Na. Pakai bahasa yang bagus, Sayang."

"Hehe, iya, Mas. Maaf." Nara mengecup pipi Fikar sekilas. Hati Luli kembali memanas. Ia memalingkan muka. Takut baper.

"Nah, kalo datengnya berbanyak, atau keluarga, kita bisa milih tempat di area belakang. Ada yang outdoor juga, macem taman terbuka gitu. Mushola juga di sekitar situ. Musholanya enak, nyaman, adem. Ada kricik-kricik airnya. Pokoknya asik deh, Lul. Nanti kita di belakang aja, tapi kalo kamu pengen lihat ke space jombloers, aku siap anter."

"Iya deh. Jadi penasaran. Kayanya asik ya konsepnya. Beda dari yang kebanyakan." Luli mengangguk-angguk.

Mobil melambat, tujuan mereka sudah terlihat. Fikar memarkirkan Innova-nya. Seperti yang dikatakan Nara, Luli merasa nyaman. Baru masuk saja ia langsung suka dengan suasananya.

"Masya Allah, ada ya kafe model begini. Salut banget sama ownernya, berani bikin yang begini, patut diacungin jempol deh," batin Luli usai melihat sepasang muda mudi yang  bersitegang dengan kru kafe. Mereka  tak bersedia duduk di area yang telah ditentukan, tapi akhirnya tetap menerima untuk duduk di space yang disediakan bagi mereka yang datang berdua. Mungkin sama sepertinya, baru pertama datang ke tempat ini.

"Kalian pesan dulu ya, aku mau ke toilet. Pesankan aku seperti biasanya ya, Sayang." Fikar pamit sebentar. Luli masih asyik memperhatikan sekeliling.

Sekeluarnya dari toilet, Fikar menangkap sosok yang dikenalnya dengan baik. Iqbal.

Fikar bukan tipe orang yang suka kepo, maka ia tak pakai acara memata-matai. Didatanginya Iqbal tanpa basa-basi.

"Bro," sapa Fikar.

"Eh, lho, Fik, kok sampe sini? Sama Asya?"

"Iya. Nah kamu, ke sini ngapain, Bro? Sama siapa?"

"Duh, dicurigai calon ipar nih ceritanya?!" Iqbal tertawa. Fikar tidak.

"Emm, duduk di sebelah mana, Fik?" tanya Iqbal lagi.

"Di belakang. Aku kan bawa akta nikah." Barulah kali ini Fikar tertawa.

"Kita ke tempatmu duduk yuk, Fik."

"Nah pertanyaanku belum terjawab. Kamu sama siapa, dan ngapain di sini, Bro?"

"Aku ---"

"Mas Iqbal, maaf. Ini laporan yang minggu ini. Sama ini kontaknya ketinggalan di meja, katanya tadi mau langsung pulang." Seorang kru kafe menghampiri. Menyerahkan sebuah map, juga kunci mobil Iqbal.

"Aku belum jadi pulang. Tolong taruh di mejaku lagi ya. Thanks."

Fikar mengerenyitkan dahi, mencoba menebak alasan keberadaan Iqbal di kafe tersebut.

"Kamu owner-nya sini, Bro?"

"Eh, anu, cuma bantu-bantu aja sih. Ini punya kakak-kakakku kok, aku bantu jalanin aja karena aku yang di sini."

"Masya Allah. Masih sempat merendah ya."

"Fik, tolong jangan bilang soal ini ke Asya ya. Dan Zulfa."

"Kenapa?"

"Kuatir adikmu berubah pikiran."

"Memangnya dia udah kasih jawaban ke kamu? Kan baru besok."

"Udah yuk duduk dulu aja. Aku join sama kalian boleh kan, Fik? Nggak pa-pa ya sekali-sekali ngeganggu malam mingguannya pengantin agak baru?"

"Aku sama Luli juga kok, Bro."

"Ehk, serius?!" seru Iqbal. Dadanya mendadak berdebar. Hampir dua pekan, dan ia punya kesempatan bertemu sehari lebih awal.

"Semangat banget, Bro."

"Hehe. Kelihatan ya?"

"Banget."

"Dari hari Minggu setelah aku datang, aku nggak ada komunikasi sama Zulfa, Fik. Dia yang minta begitu. Di kampus pun dia maunya aku biasa saja. Tapi tadi pagi pas aku ngabarin besok mau ke rumah lagi, ada sedikit kesalahpahaman kurasa. Dia kelihatannya marah. Atau ngambek. Eh, apa ya? Pokoknya begitu deh, Fik, nggak tau deh, nggak jelas. Aku nggak paham. Yang jelas pesanku nggak dibalas lagi sejak pagi tadi."

"Oh, jadi bener ya ada sesuatu diantara kalian? Pantes."

"Kenapa memangnya, Fik?"

"Mukanya Luli dari kami datang sudah kusut. By the way, kamu kalau benar sudah siap nikah sama Luli, ya siap-siap aja ngadepin yang begini sehari-hari, Bro."

"Masalahnya aku nggak tau di mana letak kesalahanku, Fik."

"Sudah, nggak perlu tau di mana salahnya. Pokoknya kalau keadaan seperti itu, sebagai laki-laki sih iya aja, salah juga terima aja. Kalau nggak gitu bisa perang dingin, Bro. Bahaya!"

"Tapi aku pengen ketemu adikmu. Ngobrol sedikit, meluruskan gimana maunya. Aku nggak mau besok pulang dengan tangan hampa, Fik. Minimal dia nggak berubah pikiran lah."

"Memangnya gimana pikiran dia?"

"Ya, ada lah pokoknya." Iqbal menarik napas, sesaat berikutnya tampak berpikir keras.

"Emm, kamu di meja berapa? Nanti aku nyusul ke sana deh, kita jangan datang bareng. Kalian makan dulu aja. Tolong jangan bilang mereka kalo kita ketemu. Aku mau kasih sesuatu ke adikmu."

"Oke. Kami di belakang, meja 33."

Fikar berjalan ke arah meja mereka tadi. Iqbal mengikuti, berhenti di jarak yang menurutnya aman, lalu memandang dari jauh gadis --biasa saja-- yang begitu ia harapkan. Ditunggunya hingga Fikar duduk dengan nyaman, barulah ia menghampiri ketiganya.

"Assalamualaikum. Boleh gabung kah?" sapanya ramah.

"Loh, Pak Iqbal, kok di sini?! Ngapain?" Nara bertanya, sedikit berisik.

Luli melengos, padahal hatinya bertanya-tanya. Matanya pun mencari-cari, memastikan Iqbal benar-benar datang sendiri.

"S-sendirian, Pak?" Luli gugup.

Pertanyaan bodoh. Nara cekikikan, menendang kaki luli di bawah meja.

"Menurut kamu?"

"Ya siapa tau lagi jalan sama siapa gitu." Ketus Luli tak bisa menyembunyikan suasana hati.

Nara menutup mulutnya, tak sanggup lagi menahan tawa. Tetap cekikikan biarpun Fikar menginjak kakinya.

"Maunya sih sama kamu."

"Huh."

"Sorry, Fik. Boleh kami bicara berdua?" Iqbal meminta izin.

"Ehk, emm..., emm." Luli salah tingkah. Memandang Fikar dan Nara bergantian, seakan memohon agar Fikar tak mengabulkan.

"Iya boleh, silakan, Bro. Biar kami geser dulu sementara, sambil ngawasin kalian berdua."

"Ih, Mas Fikar gimana sih?!  Malah diijinin. Jangan-jangan emang mereka bertiga nih ngejebak aku. Ngeselin banget!"

"Thanks, Fik."

Fikar dan Nara berpindah tak jauh dari mereka berdua. Luli gelisah, menunduk menyembunyikannya. Iqbal menghela napas dalam, membuat Luli semakin tenggelam.

"Zulfa, kalau saya salah, saya minta maaf. Tapi saya nggak paham,  kenapa sejak pagi kamu diam."

"S-saya ...." Ia sejenak mengangkat wajahnya, lalu menunduk lagi di detik berikutnya.

"Sebaiknya kita menikah secepatnya. Jika besok bisa, saya mau menikahi kamu saat itu juga."

"S-saya ...." Suara Luli makin sumbang. Dua bening tampak meluncur dari kedua netra.

"Jangan menangis sekarang. Saya nggak suka melihatnya."

"S-saya orangnya cengeng, Pak. Kalau Bapak nggak suka lihat saya menangis, berarti saya bukan orang yang tepat untuk Bapak."

"Bukan begitu, Zulfa. Saya nggak suka lihat kamu menangis sekarang, karena saya nggak bisa apa-apa. Saya ingin jadi seseorang yang menguatkan setiap kali kamu menangis, tapi nggak bisa kalau cuma dengan melihat saja.

"Menikahlah dengan saya, Zulfa. Secepatnya."

"S-saya nggak bisa, Pak."

"Tapi kenapa?"

"Saya belum siap."

"Apa yang bikin kamu belum siap? Biar saya bantu menyiapkan."

"Banyak, Pak. Banyak sekali. Tapi .... "

"Tapi apa, Zulfa?"

"Tapi, emm, tapi s-saya juga tetap nggak siap untuk bilang emm ..., eng-enggak, Pak." Teramat lirih, tapi tidak untuk Iqbal. Ia bahkan tak bisa menyembunyikan senyumnya.

"Alhamdulillah. Nggak pa-pa, Zulfa. Setidaknya kamu nggak menolak saya, itu sudah cukup untuk saat ini. Selanjutnya, saya akan bantu kamu sebisa saya biar kamu lebih cepat siap untuk jadi istri saya."

Luli memaksakan diri mengangkat wajahnya. Memberanikan diri menatap sepasang mata di hadapannya, dan ia menemukan semburat bahagia di sana. Binarnya, membuat jantung Luli seakan mau runtuh. Ia sampai sekuat hati menahan diri agar tak luluh. Sebab memang ia belum siap, meski hati menginginkan sebaliknya.

"Kenapa Bapak nggak pernah mau melihat saya kalo di kampus? Saya pikir Bapak yang berubah pikiran. Atau saya memang cuma biasa saja buat Bapak?"

"Ya Rabb. Bener ternyata, ini penyebabnya. Zulfa Zulfa."

"Oh, jadi benar ya, ini yang bikin kamu nggak mau balas pesan saya dari tadi pagi?"

"Kenyataannya begitu kan, Pak?"

"Kamu lupa dengan pesan kamu? Yang meminta saya untuk bersikap biasa saja di kampus?"

"Ehk, tapi, Pak ...."

"Tapi apa?"

"Tapi kan saya cuma bilang untuk bersikap biasa saja. Saya nggak pernah melarang Bapak untuk melihat saya. Sebelum ini kan Bapak ya kadang melihat ke saya kalo di kampus. Sekarang malah nggak pernah sama sekali." Ada kesal dalam suara Luli, tapi terdengar menggemaskan di telinga lawan bicaranya.

Iqbal terkekeh, "Zulfa, kamu tuh lucu. Selalu bikin saya happy kalau ngobrol sama kamu gini."

"Saya tuh kesel, Pak. Malah bapak happy, gimana sih?!" Tawa Iqbal lepas sudah.

"Sayangnya belum halal. Saya pengen banget nyubit hidung kamu."

Cuma begitu, tapi sukses bikin Luli tersipu. Perutnya bergolak, oleh serangan beribu kupu-kupu.

"Zulfa, kamu tau nggak?" Luli menggeleng.

"Saya bukan nggak mau melihat kamu saat di kampus, tapi saya memang menghindari itu. Saya yakin, nggak akan bisa bersikap biasa kalau sampai saya melihat kamu. Apalagi kalau sampai pandangan kita bertemu.

"Kalau kamu pikir saya baik-baik saja, kamu salah. Saya mungkin jauh lebih tersiksa daripada kamu. Makanya, saya pengen segera nikahin kamu. Bahkan kalau harus menyembunyikan pernikahan kita dulu, saya siap, Zulfa."

"Maksud Bapak, kita menikah siri gitu?" Dahi Luli berkerut.

"Bukan, Zulfa. Saya nggak ada kepikiran sedikit pun untuk itu."

"Jadi?"

"Jadi, ya kita menikah di KUA, tanpa perayaan, tanpa pengumuman, kecuali ke RT RW setempat dan tetangga kiri kanan. Yang penting kita udah punya akta nikah, udah sah, udah halal."

"Terus, tinggal serumah?"

"Iya dong, kan udah nikah. Gimana sih kamu?!" Iqbal mulai santai, tak sekaku sebelumnya.

"Nggak mau ah, Pak."

"Nggak mau nikahnya, apa nggak mau tinggal serumahnya?"

"Nggak mau semuanya."

"Kenapa?"

"Saya belum siap hamil, Pak."

"Pakai alat kontrasepsi."

"Ehk!!" Luli mendelik. Risih.

"Eh, sorry. Kok jadi bahas ke mana-mana sih ini. Maaf, Zulfa. Maaf kalo bikin kamu jadi nggak nyaman."

"Jadi, kamu mau kan, Zulfa?"

"Mau apanya, Pak?"

"Ya mau segera menikah dengan saya lah."

"Terus pake alat kontrasepsi?!"

Tawa Iqbal meledak mendengar pertanyaan Luli yang sungguh polos.

"Zulfa, saya nggak bisa nunggu kamu lebih lama lagi. Besok saya sampaikan ini ke bapak sama ibu Rofiq. Kita bahas bareng dulu. Kalo semua oke, kita nikah secepatnya. Kita sembunyikan dulu sampai kamu siap.

"Nggak pa-pa, Zulfa. Kamu tenang aja. Armand Maulana sama Dewi Gita yang terkenal aja bisa nyembunyiin pernikahan sampai bertahun-tahun, apalagi kita, yang tetangga blok sebelah aja belum tentu tau kita ini siapa."

Wajah Luli berubah, galau datang tanpa bisa dihindari. Ia terlihat hendak bicara, tapi tak satupun kata keluar dari bibirnya. Kelu.

"Sudah, kamu nggak perlu bilang apa-apa sekarang. Besok saya yang akan menyampaikan semuanya. Kamu tenang aja."

"T-tapi, Pak ---"

"Kamu sini dulu ya, saya punya sesuatu buat kamu." Iqbal berdiri, lalu pergi begitu saja meninggalkan Luli.

Pun gadis itu, hanya mengekori langkah dosennya melalui tatapan mata. Pria 28 tahun itu melangkah mendekati panggung kecil tempat live music tampil. Biasanya tiap akhir pekan banyak pengunjung yang turut naik panggung dan menyumbangkan suara. Kali ini Iqbal sendiri yang akan melakukannya.

Luli tak berkedip melihat Iqbal meminta gitar dan bicara pada personil band di atas sana, lantas duduk di belakang stand microphone. Serius mencoba satu dua petikan, sebelum menggenggam microphone dengan style yang meyakinkan.

"Saya tak ingin banyak bicara, hanya ingin seseorang tau, bahwa dia sungguh berarti buat saya."

Intro lagu telah meluncur dari petikan gitar seorang Iqbal Sya'bani. Sesekali matanya tertuju pada gadis yang sedang dilanda galau karena dia. Dari tempatnya duduk, jantung Luli sudah tak jelas irama detaknya.

Luli berkali tersenyum sendiri. Dia tak begitu suka musik, pun tak tahu banyak mengenai lagu dan artisnya. Tapi ternyata berbeda rasanya, ketika sebuah lagu ditujukan kepadanya. Membayangkan kejadian seperti ini saja ia tak pernah. Terlebih lagi melihat sosok istimewa yang membawakannya.

Setengah berlari Nara menghampiri Luli. Fikar mengikutinya dengan sebal.

"Lul, sumpah deh, Pak Iqbal tuh romantis banget. Kalo jadi aku, besok langsung cari tanggal nikahan, Lul!" Heboh. Seperti kebiasaan Nara jika berhadapan dengan iparnya.

"Apa sih, Na. Nggak usah suka memprovokasi begitu lah, Sayang." Fikar mengingatkan, padahal sejatinya ia cemburu.

"Mas cemburu ya? Mau ngelamar lagi, yang romantis kaya begini?"

"Kalau aku melamar lagi, ya orangnya lain lagi berarti, Na. Kamu mau begitu?" Satu cubitan mendarat tanpa ampun di pinggang Fikar. Bukan cubitan yang main-main, karena Nara melakukannya dengan serius. Fikar meringis kesakitan, tetap saja tak membuat Nara melepas jepitan tangannya.

"Rasain deh. Laki-laki kalo genit tuh memang harus diginiin!" omel Nara, disambut Fikar yang memohon-mohon padanya untuk melepas cubitan.

Luli tergelak. Lupa pada resahnya yang baru saja ada.

"Kamu kalo ketawa gitu saya jadi makin suka deh." Suara Iqbal muncul tiba-tiba, disusul rona merah di kedua pipi Luli.

"Ya Allah, ada Mas Fikar sama Nara juga! Pak Iqbal nih bikin malu deh."

"Bro, sudah, Bro. Nggak usah merayu adikku. Bukan apa-apa, tapi yang baper itu istriku. Aku kena cubit terus ini. Sakit." Berempat tertawa. Iqbal lagi-lagi mencuri pandang pada Luli, menikmati tawa lepasnya yang di mata Iqbal begitu istimewa.

"Iya deh, sorry. Eh, kalo Zulfa pulangnya sama aku boleh nggak, Fik?"

"Bapak jangan ngelunjak, ih!!"

***

Nah lo, si Iiq dibilang ngelunjak kan sama calon istriii. Haha...

Alhamdulillah, akhirnya bisa up lagi. Ketemu sama kalian lagi. Senangnya hati iniii.

By the way, mohon maaf kalo ceritanya rada gak jelas yak. Udah gak sempet banyak baca-edit lagi. Pokoknya kelar trus cuss publish. Lagi banyak gawe soalnya.
*sok sibuk ding :D

Terima kasih buat kalian semua. Yg sudah baca, vote, komentar, nyapa2 di instagram. Semuaaa.

Oh iya, ini lagu yg dibawain Iqbal buat Luli tadi yaaa. Sangat mainstream. Soalnya Luli nggak ngerti banyak tg musik, jadi kasih yg sejuta umat saja.

Part berikutnya kita kawal Iqbal menerima jawaban yak.

Sampai jumpa.
❤❤❤

- Bandar, 18072020 -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top