Part 5.

Saat kita sudah pasrah dan menyerahkan segala sesuatu pada Sang Maha, saat itulah Dia berikan sesuatu itu --yang sebelumnya kita kejar mati-matian-- dengan cuma-cuma.

--------

Notes:

* Mohon maaf sebelumnya, part ini hampir 4K words lho. Harap bersabar, ini bukan ujian.

* Enjoy reading, semoga nggak boring. Haha..

***

Lebih sedikit dari jam dua belas malam, Luli belum berhasil memejamkan mata. Masih tak percaya dengan peristiwa yang baru saja dialaminya. Diambilnya gawai, lalu meng-update status di whatsapp.

Malam yang aneh.

Belum satu menit, sebuah pesan dia terima.

[Assalamualaikum Zulfa.
Maafkan saya sudah bikin aneh malam kamu]

[Waalaikumussalam.
Nggak pa-pa pak]

[Belum tidur?]

[Belum pak]

[Kamu nggak suka ya?]

[Nggak kok pak]

[Terus?]

[Saya cuma kaget saja]

[Merasa nggak pantas]

[Untuk?]

[Jadi istri bapak]

[Kenapa?]

[Ya knp harus saya pak? Kan ada Mbak Wulan atau Kak Peni yg jelas2 suka sm bapak. Mereka jg mahasiswi2 pintar. Selevel lah sm bapak]

[Oh ya. Ada Arimbi jg. Anak tingkat satu yg nggak cuma pintar, tapi jg lucu, imut, centil. Saya yg sesama perempuan aja gemes, apalagi bapak. Dan dia ngefans banget lho sm bapak]

[Masih ada lagi?]

[Cieee, senang ya pak kl banyak yg ngefans?]

[Saya senangnya kl ada nama Zulfa diantara yg kamu sebut tadi]

[Gombal!]

Luli mulai lebih santai, merasa tak perlu jaga imej. Ia sedikit mengikis jarak sebagai mahasiswi kepada dosennya. Karena memang status mereka yang mendadak meningkat dalam waktu singkat. Bahkan --bagi Luli-- terlalu cepat.

[Saya mau ngefans sm bapak aja mikir2 dulu kok. Kayanya nggak pantas jg]

[Zulfa, saya nggak suka kamu ngomong begitu. Kamu itu istimewa buat saya]

[Istimewa tuh telurnya lima pak]

[Martabak pak man kali]

[Nah, itu kesukaan saya pak]

[Sama]

[Berarti kita jodoh]

[Kl kue bandungnya bapak suka yg apa?]

[Kl kamu?]

[Bapak dulu dong. Nanti ikut2 saya lagi biar bisa bilang kita jodoh]

[*Emoticon ngakak guling-guling]

[You make my day, Zulfa]

[Jadi, kapan saya bisa dapat jawaban dari kamu?]

[Bapak mau jawaban iya atau tidak?]

[Kalau iya?]

[Berarti bukan sekarang. Saya masih butuh waktu utk menjawab iya. Tinggal bapak sabar apa enggak]

[Kalau tidak?]

[Kalau tidak sabar, bapak bs tarik lamarannya, dan mencari yg lain]

Iqbal men-tag satu pesan untuk di-reply.

[Maksud saya, kalau saya mau jawaban tidak?]

Pesan Iqbal terkirim. Centang abu-abu langsung berubah menjadi biru.

Typing ....

Semenit, lima menit, sepuluh menit. Iqbal sabar menanti.

[Sebenarnya...]

[Apa?]

Typing .... Luli ragu atas isi pesan yang hendak ia kirim.

[Sebenarnya apa, Zulfa?]

Lima menit bergulir, Iqbal mulai tak sabar. Sedang yang ditunggu masih sibuk ketik hapus ketik hapus ketik hapus. Sampai akhirnya Luli nekad mengirim balasan meski hatinya dipenuhi rasa malu.

[Sebenarnya, saya yg nggak siap utk menjawab tidak pak]

Di seberang sana Iqbal tertawa. Tangannya meninju udara. Hamdalah berkali meluncur dari bibirnya. Bahagia!

[Nggak pa-pa, Zulfa. Insya Allah saya sabar menunggu sampai kamu siap jadi Ny. Iqbal Sya'bani]

[I love you]

Gawai di genggaman Luli bergetar. Bukan. Bukan karena notifikasi, tapi karena tremor yang mendadak menyerang Luli.

[Pak, please. Nggak perlu bilang begitu. Belum siap dinikahin bukan berarti saya mau dipacarin sama bapak]

[Jadi saya harus hapus pesan
yg tadi?]

[Nggak usah jg nggak pa-pa pak. Udah terlanjur]

[Terlanjur kamu bintangin?]

[*Emoticon marah jejer tiga]

[*Emoticon ngakak guling-guling
jejer tiga]

[Sudah malam, Zulfa. Tidur!]

[Bapak blm ada hak nyuruh2 saya]

[Saya tau. Saya cuma latihan biar nggak gagap kl sudah tiba waktunya nanti]

[Selalu punya jawaban ya.
Persis mas fikar. Menyebalkan!]

[*Emoticon tertawa jejer tiga]

[Lanjutin wa-an sama kamu boleh? Takutnya jadi penantian rasa
pacaran]

[Nyindir?]

[Baper?]

[Nggak pak. Saya mana pantas baper sm bapak?]

[Itu lagi]

[Ya sudah. Ada tugas yg belum dikerjakan nggak? Atau belum selesai?]

[Banyak pak. Knp memangnya?]

[Sini saya ajarin, daripada melek sampai malam cm galau doang. Biar ada faedahnya]

[Biar geser jadi penantian rasa bimbingan belajar gitu ya pak?]

[*Emoticon ngakak guling-guling]

[Kamu lucu banget sih, Zulfa.
Saya suka]

[Ya habis, belum jd istri udah
diledekin mulu. Gimana jd istri?
Bisa habis dibully saya]

[Cuma canda, Zulfa. Jangan bikin kamu berubah pikiran ya]

[Maaf. Udah terlanjur berubah
pikiran saya pak]

Baru beberapa detik centang abu-abu istiqomah, Iqbal sudah resah. Khawatir Luli benar-benar berubah pikiran.

[Zulfa]

Semenit. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit.

[Zulfa. Please, jawab chat saya]

[Zulfa]

Semenit. Lima menit. Sepuluh menit.

[Baiklah. Maafkan saya]

[Selamat tidur Zulfa. Mimpi iqbal]

[Mimpi indah maksudnya]

[Sengaja]

Hampir setengah jam gelisah, Iqbal pun menyerah. Segitunya orang jatuh cinta, sampai berkali menengok notifikasi demi balasan pesan yang dinanti.

Sepuluh menit kemudian, Luli kembali ke kamar. Tergelak sendiri membaca pesan terakhir dari Iqbal.

[Saya baru habis makan pak. Laper]

Tak sampai satu menit dari sent, read, typing, hingga pesan balasan diterima Luli. Rupanya yang di seberang sana masih menanti.

[Jam segini makan? Tadi pas makan bareng ngapain aja? Curi2 pandang terus sih]

[Gercep amat pak balasnya?]

[Ge-er pula]

[Baru habis minta maaf udah
bikin dosa lagi sm saya]

[Iya deh. Maaf lagi]

[Tadi kenapa cm makan sedikit?]

[Cieee perhatian]

[Penting ya buat bapak?]

[Penting banget]

[Kamu kan calon istri saya]

Desir yang sedari tadi ada makin sering menyapa. Luli tersipu. Ia menundukkan kepala. Padahal tak ada siapapun di dekatnya.

[Selera makan udah nguap pak. Udah eneg duluan. Gak jelas perasaan gara2 dapat lamaran dadakan]

[Saya tuh nggak pantas buat bapak. Silakan dipikirkan lagi pak]

[Orang sipil itu bicaranya progres.
Ini malah balik lagi ke obrolan awal, bahas kamu nggak pantas buat saya]

[Ya begitulah. Beda level kita memang terlalu jauh pak. Bapak ketinggian buat saya]

[Besok saya ke rumah kamu lagi deh]

[Eh, buat apa pak?]

[Buat nikahin kamu. Biar kamu
ngerti kl nikah itu bukan ttg pantas atau nggak pantas. Bukan soal
pintar, level, dsb]

Sungguh, ada yang geli di hati Luli. Sedari tadi ia tersenyum sendiri. Tapi kali ini, rona merah turut mewarnai kedua pipi.

[Sudah dulu ya pak. Sudah malam]

[Dari tadi kali malamnya]

[Saya takut pak]

[Makanya cepet nikah biar ada yg nemenin]

[Bukan takut hantu kali pak]

[Takut apa?]

[Takut ngerasa nyaman kl diterus-terusin begini sm bapak]

[Ya baguslah. Semakin cepat
nyaman, semakin cepat kita
punya momongan]

[Dih, maksudnya apa deh?]

[Ya kl kamu udah nyaman sm saya
kan kita bisa segera menikah.
Terus punya anak]

[Harus langsung punya anak
ya pak? Kl gitu nikahnya nanti aja kl saya udah ST]

[Kelamaan, Zulfa]

[Ya sudah. Bapak bs cari pengganti saya yg bersedia dinikahin sekarang juga]

[Ya nggak gitu juga]

[Nunggu lama juga gpp kok. Insya Allah saya sabar. Malah bisa memperbanyak puasa]

[Maksudnya?]

[Rahasia!]

[Kl perlu saya jg akan puasa senin kamis di hari selasa]

Luli malu setengah mati. Kekonyolannya tempo hari dibahas lagi. Rasanya ingin melempar sandal pada si dosen yang nggak punya empati sama sekali.

[Pak Iqbal jahat!]

[Menyebalkan!]

[Selamat malam pak]

[Assalamualaikum]

[*Emoticon tertawa berjejer tiga]

Tak ada balasan. Iqbal menunggu, hingga lima menit berlalu.

[Zulfa, kamu marah?]

[Saya cm becanda. Jangan diambil hati ya]

[Zulfa, kamu masih read. Jawab saya dulu. Please]

Semenit. Lima menit. Sepuluh menit.

Luli masih online, tapi tak ada tanda-tanda hendak membalas pesan Iqbal. Rasa sebal terlanjur berjejal. Ia kesal.

[Baiklah Zulfa]

[Tolong maafkan saya]

[Waalaikumussalam]

[Selamat tidur]

[I love you]

[Nggak perlu dibintangin]

"Dasar dosen gokiiill! Untung ganteng! Calon suami lagi!" Luli menggumam gemas. Segaris senyum tergores tipis. Manis.


***

Minggu pagi. Iqbal baru saja keluar dari kolam renang. Wajah dan rambutnya yang basah membuat level kegantengannya meningkat beberapa derajat. Kalau Luli melihat, bisa dipastikan tak ingin menunda untuk mendengar penghulu berkata "sah", lalu dilanjutkan dengan 'tsah'. Aish.

Iqbal mengenakan bathrobe-nya, kemudian berjalan menuju pantry. Ia memilih buah segar di dalam lemari pendingin. Lalu sibuk mengupas dan segala aktivitas lanjutannya.

Segelas jus mangga siap diminum, manakala sosok uminya terlihat. Tampaknya bukan baru tiba, karena beliau sudah mengganti baju pergi dengan mengenakan homedress batik favoritnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam. Kapan dateng, Mi? Kok nggak ada suaranya." Iqbal mencium tangan uminya.

"Udah lima belas menitan, Dek. Kamunya aja yang nggak denger." Umi balas mengecup kedua pipi dan kening anak bungsunya.

"Mau jus, Mi?"

"Enggak usah. Umi mau dengerin laporan kamu aja, Dek."

"Laporan apaan, Mi?"

"Jadi kapan umi sama abah mantu?"

"Dih, gitu amat. Belum tau kapan, Mi."

"Subhanallah. Kamu ditolak, Dek?! Ya Rabb. Yang sabar ya, Sayang. Umi pastikan, gadis itu nyesel udah nolak kamu!"

"Umi apaan sih? Sukanya ngegas duluan deh. Mesinnya langsung panas aja. Iiq tuh bukan ditolak, Mi, cuma belum diterima."

"Lah, bedanya apa deh?"

"Dianya iya, tapi nggak sekarang. Masih butuh waktu dan kesiapan. Gitu Umiku tersayang."

"Apa sih yang bikin dia nggak siap? Kamu kan udah siap semua, Dek."

"Banyak, Mi. Terutama karena dia belum yakin kalo Iiq ngelamar dia. Ngerasa nggak pantas jadi istrinya Iiq. Beda level katanya."

"Beda level gimana? Kaya pangeran dan Upik Abu gitu?"

"Dih, contohnya lho. Gak sekalian Bawang Merah dan Bawang Putih, Mi?" Umi tertawa, menoyor pelan kepala anaknya.

"Ya gitu deh, Mi. Dia ngerasa Iiq tuh terlalu sempurna, sedangkan dia terlalu biasa-biasa saja. Bahkan mau ngefans sama Iiq seperti mahasiswi Iiq yang lain aja dia ngerasa nggak pantes. Gimana Iiq nggak makin jatuh cinta coba, Mi?"

"Tunggu tunggu. Jadi yang kamu lamar itu mahasiswimu? Eh, apa gimana?"

"Iya, Mi?"

"Duh, Gusti nu Agung! Allahu akbar! Laa hawla wa laa quwwata illa billah!"

"Umi apaan sih?! Perasaan dikit-dikit heboh deh." Iqbal menepuk jidatnya. Menyedot jus mangganya sampai habis tak bersisa.

"Emang boleh ya, Dek, nikah sama mahasiswimu? Gak kudu nunggu lulus gitu?"

"Ya boleh lah, Mi. Yang penting tetap profesional aja sih. Cuma yaaa, kayanya itu juga yang bikin dia belum siap, Mi."

"Semester berapa?"

"Empat, Mi. Nggak usah heboh lagi lho ya. Umurnya baru mau 21 taun."

"Iya deh iya. Terus, Dek, apa sih yang bikin kamu jatuh cinta sama dia?"

"Emm, apa ya, Mi? Iiq juga nggak ngerti. Ceritanya tuh ...."

Iqbal menceritakan kronologi kejadiannya hingga ia jatuh cinta pada Luli. Dari Nara pingsan, sampai salat berjamaah berdua. Umi mengangguk-angguk. Tersenyum sendiri.

"Rasanya tuh beda banget, Mi. Dari sekian banyak pacar, nggak pernah sekalipun hati Iiq ngerasa deg-degan yang gimana gitu. Kaya pas deg-degan lihat dia habis wudhu itu, Mi. Iiq langsung yakin deh kalo 'ini lho yang aku tunggu', gitu, Mi."

"Jadi dia adiknya Zulfikar?"

"Iya, Mi. Makanya Iiq nggak perlu waktu lama untuk memutuskan, karena Iiq udah kenal baik sama kakaknya. Udah tau bagaimana sifatnya, dan kira-kira seperti apa keluarganya mendidik dia." Umi kembali mengangguk-angguk.

"By the way, abah mana, Mi?"

"Biasa, langsung tidur. Kalo di rumah mbah kan mesti begadang, ngobrol sama pakdemu sampe pagi. Padahal pulang tadi juga umi yang bawa mobil."

"Nah, Dek, sekarang umi mau tanya. Pacarmu ganti berapa kali sih?"

"Ehk. Apa sih, Mi? Gak usah ditanyain deh, Iiq aja udah nggak inget-inget sama mereka."

"Lah kamu sendiri tadi bilang 'sekian banyak pacar'. Kan umi jadi kepo."

"Tanya yang lain aja deh, Mi, jangan jumlah. Iiq nggak mau umi jantungan kalo tau. Tapi percaya Iiq deh, Mi, dari sekian banyak pacar, gak ada satupun yang pernah Iiq sentuh. Iiq pacarannya baik-baik kok, Mi. Syar'i."

"Heh, ngawur aja!! Mana ada pacaran syar'i. Pacaran aja udah nggak ada dalam agama. Pernyataanmu lho asal banget."

"Ya maksudnya, Iiq tuh nggak pernah pacaran yang gimana-gimana kaya anak-anak jaman now gitu, Mi."

"Nah terus?!"

"Ya cuma jalan berdua aja. Makan, ngobrol, udah."

"Umi kok nggak yakin."

"Serius, Mi. Demi Allah. Iiq pegang tangan aja nggak pernah, Mi."

"Trus kamu pacaran buat apa dong? Bukannya pacaran tuh salah satu modus buat bisa bersentuhan fisik?"

"Emm, setidaknya buat Iiq nggak begitu sih, Mi. Iiq pacaran karena nggak yakin bisa nikahin seseorang kalo Iiq belum kenal dia lebih jauh. Jadi kalo ada yang menurut Iiq menarik, ya Iiq sampaikan baik-baik niat Iiq, terus kami jalan, Mi. Pacaran kalo kata orang. Kalo kata Iiq sih perkenalan.

"Itupun Iiq selalu cari yang orang Semarang, Mi. Yang masih tinggal sama orang tuanya. Iiq selalu dateng ke rumahnya, minta ijin baik-baik sama orang tuanya buat ngajak anaknya pergi. Nganter pulang pun selalu sampai di hadapan orang tuanya lagi, dan nggak pernah lebih dari jam sepuluh malam.

"Bener-bener cuma ngobrol, Mi. Gimana kesehariannya, orang tuanya, keluarganya, kerjaannya, pemikirannya, gaya hidupnya, gitu-gitu, Mi. Karena nikah kan bukan cuma melibatkan dua orang, Mi, tapi juga dua keluarga. Iiq nggak mau kalo nantinya berumah tangga, ternyata ada satu dua anggota keluarganya yang mengganggu kondusivitas rumah tangga."

"Maksudmu?"

"Ya misalnya, kaya salah satu mantan Iiq ternyata dari keluarga broken home gitu, Mi. Negatif banget lah. Bapaknya peminum, kakaknya narkoba, ibunya yang cari uang, dia juga apa-apa ngusahain sendiri. Keseharian dia tuh udah drama kehidupan banget gitu deh, Mi.

"Nah, yang kaya gini kan berpotensi jadi duri dalam rumah tangga nanti, Mi. Sedangkan orang berumah tangga kan pengennya nyari kedamaian, ketentraman, bahagia, gitu. Jadi, dengan berat hati Iiq putus sama dia.

"Kasian sih, Mi. Sebenernya anaknya baik kok, sopan juga, cuma kurang beruntung aja berada di tengah-tengah keluarga yang begitu. Dan Iiq sendiri nggak siap masuk ke keluarga yang begitu, Mi. Egois memang, tapi kan wajar juga kalo orang ingin sesuatu yang ideal."

"Cieee, yang katanya udah nggak inget-inget tapi masih bisa cerita detail tentang mantannya."

"Umi apaan sih, sukanya ngeledek deh."

"Tapi dari sekian banyak pacar itu, semua putusnya baik-baik?"

"Emm, ya baik-baik sih, Mi. Tapi kebanyakan karena Iiq menganggap mereka kurang baik-baik, Mi."

"Kurang baik-baik gimana?"

"Iiq memang menghindari kontak fisik, Mi. Karena niat pacaran memang cuma buat saling mengenal aja. Kalo fisik itu kan baru boleh nanti setelah menikah secara sah, Mi."

"Terus?"

"Tapi ...." Wajah Iqbal tampak malu-malu.

"Udah sih, cerita aja! Pake malu-malu kucing segala. Nggak pantes tau, Dek!"

"Dih, Umi mah kitu nya. Teu ngarti kumaha perasaan Iiq." (Dih, Umi sih gitu ya. Nggak ngerti gimana perasaan Iiq).

"Halah, udah buruan ceritanya!"

"Tapi, emm, hampir semua dari mantan Iiq tuh pada menginginkan sentuhan fisik, Mi. Iiq risih. Takut tau, Mi."

"Takut apa emang?"

"Takut tergoda lah, Mi." Uminya terpingkal-pingkal mendengar penuturan si anak kesayangan.

"Masya Allah, Dek. Kamu kok lucu sih. Umi jadi pengen ngunyel-unyel kamu deh. Lha wong takut tergoda kok pacaran lho, jalan berdua, semobil berdua. Ya Allah ya Rabb, umi kira kamu tuh pinter semua-muanya, Dek, ternyata kamu punya sisi kedodolan juga ya. Astaghfirullah."

Iqbal kesal. Sudahlah diwawancarai hal yang dia nggak pengen bahas, eh masih pula diketawain.

"Sorry sorry, Dek. Kita lanjutin ngobrolnya ya."

"Emoh ah. Umi ngeselin gitu." Iqbal cemberut. Kesel!

"Lah, dosen kok ngambekan. Gimana ntar jadi suami, jadi bapak."

"Tuh kan, Umi sukanya pukul rata deh. Iiq kan ngambek cuma sama umi doang."

"Iya iya, Dek Iiq sayang. Jadi pacar-pacarmu dulu kamu putusin gara-gara kegenitan gitu?"

"Yaaa nggak gitu juga kali, Mi bahasanya. Nggak tega Iiq ngatain begitu. Sebagian besar anak baik-baik kok, Mi, cuma ya ternyata mereka mengharap lebih sama Iiq. Agresif. Mungkin memang begitu kebiasaan orang pacaran ya, Mi.

"Padahal Iiq tuh netapin waktu enam bulan, Mi. Kalo secara penilaian Iiq tentang dia dan latar belakangnya oke, dan selama enam bulan dia nggak minta macem-macem, emm maksudnua yang berhubungan dengan fisik, Iiq mau langsung ngelamar dan nikahin dia, gitu."

"Mereka tau kamu bikin batas waktu enam bulan itu?"

"Ya enggak lah, Mi."

"Dan nggak ada yang lolos satupun?"

"Nggak ada, Mi. Ya ada sih yang karena Iiq nggak cocok sama latar belakangnya. Tapi sebagian besar memang gak lolos di situnya, Mi. Ada yang suka nyari kesempatan pegang tangan Iiq lah, minta digandeng lah, meluk-meluk, pas ulang taun minta dicium, ada yang kalo Iiq lagi nyetir suka parkirin tangan di paha Iiq, paling parah nyosor duluan, Mi. Hih, ngeri. Untung Iiq nggak kepancing." Iqbal bergidik sendiri.

"Dih, berarti kamu udah ternoda dong, Dek?"

"Umi jelek banget sih bahasanya."

"Eh, Dek. Kalo kaya gitu bukannya laki-laki malah suka ya, Dek?"

"Ehk, yaaa..., emm, yaaa..., nggak mau munafik. Ada rasa gimana gitu, Mi. Iiq kan cowok normal, Mi. Tapi Iiq selalu inget Umi, abah, mbak, teteh, abang, aa. Iiq takut dosa, Mi. Iiq takut kebablasan. Iiq nggak mau ngecewain umi dan semuanya."

"Ya Allah, Dek. Jadi kami yang selalu jadi remnya kamu?" Umi bangkit dari duduknya. Memeluk Iqbal dari belakang kursinya. Diciuminya kepala anak bungsunya, membelai-belai rambutnya dengan berlinangan air mata. Terharu.

"Iya, Mi. Iiq pacaran tuh beneran cuma pengen kenal lebih jauh sebelum nikahin dia. Nggak ada modus yang lain, Mi. Apalagi fisik. Iiq maunya menjaga sampai sah dan halal nanti. Makanya begitu dia menginginkan sentuhan fisik, Iiq minta maaf. Iiq nggak bisa. Dan kasih tau dia kalo selesai sampai di situ saja. Iiq kasih tau baik-baik alasannya."

"Mereka bisa terima? Mantan-mantanmu."

"Kan Iiq jelaskannya baik-baik, Mi. Apa adanya. Ya mau nggak mau terima lah. Walaupun ada satu dua yang merasa Iiq munafik, apalah itu. Tapi nggak sampai yang benci-bencian, drama gitu, Mi. Lah jalan juga gak ada yang sampe satu semester, Mi.

"Hampir semuanya nyesel sih, Mi. Malu juga mereka. Satu dua ada yang ngemis-ngemis minta balikan, tapi Iiq emoh. Ntar keulang lagi, mancing-mancing lagi, trus Iiq nggak tahan godaan gimana?"

"Dari sekian banyak, kamu semua yang putusin?"

"Hehe, iya, Mi. Tapi baik-baik ya, Mi. Catat, Mi. Putus baik-baik! Iiq nggak suka menyakiti hati orang lain kok, Mi. Ya ada satu sih, Mi, dia yang mutusin Iiq. Ini parah banget malah."

"Kenapa?"

"Jadi dia nih kelihatannya baik-baik, Mi. Jalan sama dia udah mendekati enam bulan, dan dia sama sekali nggak menuntut apapun dari Iiq. Jalan, makan, ngobrol. Gitu aja santai, Mi. Latar belakangnya juga Iiq udah bisa terima. Tapi ternyata, Mi ...."

"Ternyata apa, Dek?"

"Ternyata dia nggak banyak menuntut karena Iiq cuma dijadiin cadangan doang, Mi. Dia udah punya pacar, tapi lagi jauhan karena pacarnya pendidikan apa gimana gitu. Kan asem banget, Mi. Mana Iiq waktu itu udah siap-siap pula untuk bawa hubungan ke jenjang yang lebih serius karena udah hampir enam bulan dan semuanya berjalan sesuai harapan. Eh, tiba-tiba dianya dateng, say thanks ke Iiq, dan ngomong apa adanya kalo dia udah punya cowok, malah udah mau nikah. Bener-bener asem banget!"

Bukan berempati atas kejadian yang menimpa Iqbal, uminya malah tergelak sampai meneteskan air mata.

"Ya Allah, Dek. Pait banget. Playboy kok bisa lolos dijadiin lelaki cadangan lho. Hahaha."

"Umi udah sih. Dari tadi bahasanya enggak banget deh. Lagian siapa juga yang playboy, jelek banget capnya." Iqbal bersungut. Kesal.

"Ya ya ya, sorry sorry, Dek. Umi bisa ngerti pemikiran kamu kok, Dek. Iya, kamu nggak playboy. Umi bangga sama kamu, juga sama prinsipmu, ya walaupun agak ngaco gitu." Masih sambil tertawa.

"Nah, Dek, terus sekarang berarti mau pacaran dulu sama adiknya Zulfikar?"

"Enggak, Mi. Iiq udah hampir satu semester ini stop pacaran. Iiq udah insyaf, Mi. Walaupun maksud Iiq baik, tapi kalau nggak sesuai dengan ajaran agama, ya jatuhnya nggak bagus juga, Mi.

"Yang Iiq diputusin itu pacar terakhir Mi. Kejadian itu bikin Iiq jadi mikir berkali-kali. Ini karena Allah sayang sama Iiq, jadi dikasih peringatan begini.

"Selama ini Iiq nggak yakin kalo bisa nikah tanpa kenal lebih jauh dulu sebelumnya. Jadi kaya nggak percaya sama Allah gitu, Mi, kalo akan kasih jodoh yang baik buat Iiq lewat jalur yang benar. Astaghfirullah.

"Setelahnya Iiq memutuskan kalo Iiq nggak mau pacaran lagi, apapun alasannya. Iiq udah ikhlas dan pasrah sama Allah, Mi, mau dikasih jodoh yang seperti apa. Iiq yakin, semua yang Allah kasih adalah yang terbaik buat makhluk-Nya.

"Sampai sebesar ini Iiq nggak pernah kekurangan apapun, selalu dikelilingi orang-orang yang sayang sama Iiq, tapi ternyata ada yang kurang dari Iiq, Mi."

"Apa itu, Dek?"

"Kurang bersyukur, dan kurang yakin sama Allah. Terutama soal jodoh. Kalo dalam Islam nggak ada pacaran, ya mestinya karena nggak ada manfaat di dalamnya, Mi. Malah banyak mudharatnya mungkin. Tapi Iiq ngeyel kan, Mi. Dan hasilnya, malah nggak ketemu-ketemu jodoh."

"Terus pas kamu udah ikhlas, udah pasrah sama Allah, mau dikasih yang seperti apapun akan kamu terima, malah kamu ketemu sama si adiknya Zulfikar ini ya, Dek? Masya Allah."

"Eh, iya juga ya, Mi. Iiq malah nggak kepikiran sampai ke situ, Mi. Pokoknya pas kejadian mau sholat dhuhur itu, setelahnya Iiq langsung yakin aja gitu, Mi. Makanya Iiq nggak nunggu lama, langsung Iiq sampaikan sama anaknya, di depan keluarganya.

"Dia beda, Mi. Istimewa. Belum pernah pacaran sama sekali. Lah pergi berdua sama Iiq aja dia blingsatan nggak karuan. Lucu. Itu salah satu yang bikin Iiq jatuh cinta sama dia, Mi. Iiq yakin, dia terjaga. Dan menjaga dirinya.

"Anaknya lucu banget deh, Mi. Polos. Lugu gitu. Keluarganya juga insya Allah baik-baik, Mi. Bapaknya dekan FISIP, malah profesor, Mi. Guru besar. Gitu itu to, Mi, anaknya masih nggak pe-de dan nggak percaya lho kalo Iiq ngelamar dia.

"Tapi semalem kami lanjut chat di WA, Mi. Intinya kalo secara resmi dengan keluarganya dia belum mengiyakan. Tapi kalo sama Iiq dia udah kasih lampu hijau kalo dia nerima, cuma belum siap kalo harus nikah sekarang.

"Nggak pa-pa ya, Mi. Insya Allah Iiq sabar kok. Umi sama abah juga semoga mau ikut bersabar ya. Doain terus ya, Mi, semoga kami berjodoh.

"Umi pasti suka deh kalo ketemu sama dia. Anaknya biasa banget sih, Mi. Dibilang cantik juga enggak cantik-cantik amat. Pinter juga nggak pinter-pinter amat. Tapi Iiq suka. Ngobrol sama dia, biarpun cuma lewat chat, bisa bikin Iiq ketawa terus, Mi. Happy."

Umi menatap lekat-lekat wajah anaknya yang belum berhenti bicara, tentang seseorang yang berhasil menawan hatinya, tanpa lebih dulu melewati proses pacaran, dan semacamnya. Semua terjadi begitu saja.

Pada kedua mata anak bungsunya, umi menemukan binar bahagia yang tak berjeda sepanjang membahas calon istrinya. Dalam hati umi, doa-doa terlantun saat itu juga.

Ibu mana yang tak yakin pada seseorang, yang ketika menceritakannya saja anaknya sudah terlihat begitu bahagia.

***

Aish, akhirnya selesai juga. 3,5K+ kata lho. Panjangnyaaa. Mohon dimaapkeun lah kalo bikin kalian capek bacanya. Mana isinya dialog semua.

Dan seperti biasa (seperti Luli juga), aku entah berapa kali ketik hapus sebelum akhirnya pe-de buat up ini. Haha..

Aku nangis dong pas nulis ending part ini. Ngebayangin binar-binar matanya Iqbal, yang bikin uminya menghujani dengan doa-doa. MasyaAllah, romantis sekaliii. Mom & son goals banget deh iniii.

Ngebayangin juga beberapa belas taun lagi ngalamin yg begini. Insya Allah.
Pengennya sampe besar anak2 tetep bisa manja sama bapak ibunya, ky si Iiq gitu. Soalnya kakakku cowok mulai SMP udah mulai malu jalan bareng keluarga. Huhuhu...

Nah, udah tau juga kan ya kenapa mantannya Iiq meng-ular naga panjangnya bukan kepalang?!

Eits, tapi belum tau jumlah pasnya kan ya! Nantilah, suatu saat. Tapi jangan seperti warningnya Iqbal ke uminya yaaa, "kalo tau jumlahnya, ntar Umi bisa jantungan!" jiahaha...

Btw, pasti capek ya bacanya?
Tapi salut banget sama kalian. Udah baca sepanjang itu, masih sempet kasih vote dan ninggalin komentar dong. Yang pasti apresiasi kalian selalu menghibur buat aku.
Pokoknya i love you so much.

Bersih-bersih pake bakiak,
Terima kasih banyaaakk.

Sampai jumpa.
❤❤❤

Ujung Selatan Kota Semarang, 14072020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top