Part 43.

Karena bahagianya Luli yang jadi kebahagiaan buat Iiq sekarang ini.

***

Nenek sihir makan pukis
Part terakhir, please... jangan nangis

***

Luli baru saja selesai menuang sendok terakhir kacang hijau dari panci ke mangkuk. Salah satu kudapan kesukaannya selama hamil muda. Ia sudah cukup jago memasak menu satu itu, sebab manfaatnya yang katanya baik untuk ibu hamil. Dan ia membuat dalam jumlah banyak. Salah satu alasannya adalah keberadaan Nara yang juga sedang hamil, dan Lila yang memang suka kacang hijau.

Senin sore itu keluarga Rofiq Hidayat berkumpul di rumah bapak ibu. Full squad. Maka Luli memutuskan untuk menyajikan masakan hasil karyanya sebagai teman ngobrol di teras belakang.

"Bikin apa sih, Neng? Enak banget baunya."

Iqbal menyusul ke dapur. Mengendus-endus aroma kacang hijau sambil memeluk Lulinya dari belakang. Modus sih. Sebenarnya yang dia hirup dalam-dalam adalah aroma rambut sang istri.

"Kacang ijo, Kak. Karena bikinnya agak banyak, jadi bisa buat nemenin ngobrol di belakang," jawab Luli sambil bersiap membawa nampan besar berisi enam mangkuk berukuran sedang.

"Bu Nani udah diambilkan?"

"Udah, Kak. Kumasukin ke kulkas."

"Alhamdulillah. Sini, Sayang, biar aku aja yang bawa. Kamu nggak boleh bawa yang berat-berat. Cukup bawa Sya'bani junior aja. Itu juga udah berat, kan? Lahir batin malah." Seperti yang sudah-sudah, Iqbal mana pernah membiarkan Luli kerepotan.

Di belakang, ibu sedang asyik merawat beraneka tanamannya. Iqbal menaruh nampan pada meja kecil yang ada di teras.

"Bapak belum pulang, Bu?" tanya Iqbal.

"Udah kok, Iq, lagi mandi. Paling sebentar lagi ke sini."

"Luli bikin kacang ijo buat semua ya, Bu. Mas Fikar sama Nara kan belum pernah nyobain kacang ijo bikinan Luli."

Luli duduk, bersandar manja pada suaminya. Tangannya meraih toples berisi kacang almond. Ibu menghentikan kegiatannya, mencuci tangan di keran, lalu bergabung dengan anak dan menantunya.

"Memangnya kamu masak apa, Luli? Kok terdengar agak meragukan."

Sosok tinggi langsing keluar, berkalung handuk yang sebagian sisinya ia pakai untuk mengeringkan rambut ikalnya. Pertanyaan yang mengandung konten ledekan meluncur darinya.

"Cieee, sore-sore keramas, rajin amat yak!" teriak Luli balas menggoda.

Ibu tertawa. Iqbal bersiap mendengar jawaban dari kakak ipar, yang biasanya disusul perang saudara level paling bawah.

"Habis dari lapangan, juga. Anak kecil tahu apa sih soal keramas?"

"Anak kecil mana ada yang hamil, wahai Lord Zulfikar Aditya?! Nggak suka aja lihat aku jadi dewasa dan jadi istri sholihah."

"Istri sholihah mana ada yang neriakin kakaknya macam begitu?" Fikar mendekat. Melempar handuknya ke muka sang adik.

"Hih, ngeselin. Nggak higienis banget." Luli melempar balik handuk kakaknya. Asal saja.

"Udah sih, makin pada tua kok malah makin heboh gini kalau ketemu," omel ibu. Dipungutnya handuk yang jatuh dekat kakinya.

"Nara ke mana, Fik? Panggillah, biar rame-rame di sini," suruh ibu lagi.

"Naaa," panggil Fikar.

"Dalem, Mas? (Iya, Mas?)" jawab Nara sambil tergopoh keluar dari kamar menuju mereka.

Duh, sopan banget jawabnya, batin Iqbal.

"Ikut ngobrol sini, Sayang." Nara mendekat, duduk tepat di sebelah suaminya.

"Cieee, harus banget ya manggil sayangnya?" Luli mulai lagi.

Fikar diam saja. Lalu merangkul dan mencium puncak kepala Nara. Sengaja. Biar makin ribut adiknya.

"Iya iya, yang baru ketemu mantan penggemar. Modus aja cium-cium istri biar nggak diambekin."

"Istri sholihah mana pernah ngambek, Dek Luli sayang?" Fikar ya begitu, kalau ngomong sedikit, tapi bikin kesal.

"Iyalah. Dia terlalu cerdas buat ngambek sama Mas. Nah kalau ngambek paling Mas cuekin. Yang ada makan ati. Rugi. Capek doang ngambeknya."

"Mantan penggemare sopo? Masmu? (Mantan penggemarnya siapa? Kakakmu?)." Fokus ibu tepat sasaran.

"Ini kacang ijo boleh dimakan, kan ya?" Ada yang berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"Iya, Bu. Mantan penggemarnya Mas Fikar. Yang istiqomah nambah tagihan telepon rumahnya tiap hari." Tawa Luli membahana. Girang banget bisa meledek kakaknya.

"Ono opo to iki, kok rame temen? (Ada apa to ini, kok rame banget?)." Bapak muncul terakhir, langsung melempar tanya mendengar tawa Luli yang memekakkan telinga.

"Itu, Pak. Anak mbarepnya Bapak habis ketemu mantan penggemar. Nostalgia SMA."

"Rahma kan maksudnya? Ketemu di mana?" Ibu tak bisa menyembunyikan penasarannya.

"Apa sih, Bu? Kok malah antusias, begitu?" Fikar menghentikan makannya sejenak untuk komplain pada ibu.

"Di acaranya Pak Iqbal kemarin, Bu. Beliaunya nyamperin kami, nyapa-nyapa Mas. Mas pernah cerita sih, tentang mbak yang setiap hari telpon dia, tapi nggak pernah bilang kalau ternyata sekarang jadi dosennya Nara."

"Aku memang nggak tahu, Na." Fikar membela diri.

"Heh, maksudnya si Rahma Rahma itu sekarang jadi dosen di sipil, gitu?"

"Iya, Bu. PhD dari Inggris. Dari kuliah S1 udah di sana, Bu. Dosen S2, tapi ada ngajar satu mata kuliah di S1, dan pas banget di kelas Nara, Bu. Orangnya perfect banget, Bu. Smart, cantik, berwibawa, high class, dan alim. Mungkin ada yang gelo (menyesal) udah melewatkannya." Nara berujar lagi. Tenang. Datar. Tapi kesal.

Fikar berlagak sok cuek dengan tetap menikmati kacang hijaunya. Cuma hatinya yang menggerutu tiada henti.

"Tenang aja, Sya. Rahma udah ada yang punya. Kalau cuma Zulfikar mah lewat. Jadi kamu nggak perlu kuatir ada yang gelo atau bakalan ada CLBK atau apapun itu." Iqbal menenangkan iparnya.

"CLBK apaan? Orang cuma sepihak. Aku kan konsisten. Kesannya aja membela, padahal lagi menjatuhkan nih aslinya." Fikar. Tetap datar dan menyebalkan.

"Hehe, ngertinan wae, Fik!" Satu cengiran menghias wajah Iqbal.

"Santai, Nar. Bu Rahma suaminya lebih high class dari beliaunya sendiri. Berarti kan yaaa, bisa menyimpulkan sendiri lah ya bagaimana posisi Lord Zulfikar Aditya saat ini. Insya Allah tidak mengkhawatirkan. Aman."

Luli ikut menenangkan. Iqbal sudah menjelaskan profil Rahma Khairunnisa padanya. Dari masa sekolahnya, keluarganya, sampai suami dan anak-anaknya.

"Iya, Lul. Nggak apa-apa, kok. Santai aja. Namanya manusia kan ya kadang ngerasa insecure juga."

Fikar menatap Nara, yang kemudian balas memandangnya. Ia menggeleng sambil tersenyum, seperti memberi kode pada istrinya. Nara tersenyum tipis, agak dipaksakan, lalu ia mengangguk, dan diam. Cukup dengan mata mereka saling berbicara.

Iqbal, yang memang senang mengamati, merasa kagum melihat cara berkomunikasi kedua iparnya. Dalam hati ia memuji kedekatan mereka, yang bisa memahami satu sama lain tanpa harus berbicara.

"Alhamdulillah. Mas Fikar mah kalau soal begitu-begitu bisa dipercaya, Nar. Lagian kalau cuma penggemar kan memang dia punya banyak, to? Kak Iiq, malah mantan yang banyak."

Aduh, mulai deh. Mesti siap-siap kena bully nih. Iqbal menarik napas.

"Tapi aku udah nggak terlalu ambil pusing sih, Nar. Dulu sih ya insecure pakai banget. Tiap kali ketemu mantannya Kak Iiq, bawaannya pengin nangis, pengin ngamuk. Sekarang ya kadang masih, tapi udah jauh mendingan dari pas awal-awal dulu. Udah sering kejadian sih. Jadi lama-lama kuat."

Berkedok memberi nasehat, Luli mengambil kesempatan untuk curhat.

"Dia kan mantannya high quality semua, Nar. Kebanyakan dosen. Yaa minimal mahasiswi S2 lah. Mana cantik-cantik, bening-bening, smart semua. Lihat penampilannya aja aku udah merasa terintimidasi. Apalah aku yang sama phone aja kalah smart. Gimana nggak insecure coba?

"Tapi itu dulu. Sekarang udah nggak terlalu, Nar. Soalnya Kak Iiq bisa nunjukin sih kalau dia memang cuma sayang sama aku. Dan apa yang dia bilang dia tunjukkan dengan perbuatan.

"Nah, apalagi Mas Fikar, kan? Yang mantan aja dia nggak punya. Kalau ada yang suka, dia malah menghindar. Kamu cuma harus percaya aja sih sama Mas Fikar." Luli menutup bicaranya dengan wejangan untuk sang kakak ipar.

"Masya Allah. Adikku udah dewasa tenan. Memang layak jadi istri sholihahnya Bapak Iqbal Sya'bani, ST, MT. " Luli mencebik. Melempar tisu ke arah kakaknya.

"Ya dong. Luli gitu loh!"

"Dih, sombongmu lho." Cibir Nara.

"Mulai deh Tom and Jerry show," gumam Fikar. Cukup keras, hingga Iqbal dan ibu tertawa.

"Sudah sudah. Wis podo gede kok udur wae (sudah pada besar kok berdebat terus)." Bapak menengahi.

"Oh iya, bapak punya satu fakta nih. Ternyata, Iqbal tuh terkenal di fisip juga lho, terutama di HI. Bapak malah baru tahu gara-gara tadi di kantor pada bahas acara Sabtu kemarin. Banyak yang komentar kalau kaget, pada bilang, ternyata mantunya Pak Dekan ini Mas Iqbal dosen teknik sipil to? Bapak juga heran, lha kok pada tahu, kan nggak bapak tulis di undangan kalau kamu dosen teknik sipil. Lha kok jebule---"

"Mantannya dosen HI pasti?!" Luli menyela bicara bapak. Sok cool. Entah hatinya.

Duh, kok ya balik ke situ lagi, lho. Iqbal tersenyum. Kecut.

"Ngertinan lho anak wedok ki. (Tahu aja lho anak perempuan(ku) ini." Bapak terkekeh.

"Ya apalagi coba, Pak? Paling kan ya itu. Kak Iiq kan mantannya banyak yang dosen juga."

"Bener tuh. Dan nggak cuma satu kampus. Ada juga dosen kampus sebelah. Kampus di Semarang bawah juga ada."

Zulfikar bagai menyiram bensin pada kobaran api. Sengaja. Mau menguji sejauh mana perkataan Luli pada Nara tadi bisa dibuktikan.

"Sempat trending malah. Itu hasil cinlok di latsar. Terus, waktu Iqbal jalan sama si Marcella itu, Iqbal kan rajin banget nyambangi fisip."

"Semangat banget, Fik, ngegosipnya? Dapet info dari mana deh?" Muka Iqbal sudah tak enak dilihat. Berasa ditelanjangi di depan mertua, istri, dan iparnya. Duh.

"Lah gimana, sih? Kan kakaknya Marcella dosen arsitektur. Dan siapa pula yang meragukan ketenaran Iqbal Sya'bani di kalangan dosen fakultas teknik? Kayak nggak sadar aja, Bro?"

"Udah sih, Mas. Aku aja nyantai, kok. Nggak usah diterus-terusin deh, kasian suamiku."

Luli meraih tangan Iqbal, menggenggamnya erat, lalu mengecup satu pipinya.

"Nggak apa-apa, Bapak Iqbal Sya'bani sayang. Mantan kan udah masa lalu, yang penting masa depanmu adalah aku." Lagi, satu kecupan diberikan Luli.

"Alhamdulillah. Ibu lega banget lihat kamu begitu, Nduk. Memang sudah seharusnya kamu nggak keder gara-gara mantan atau apalah itu. Digawe santai wae (dibikin santai aja), ambil positifnya. Berarti Iqbal tuh istimewa. Dan kamu? Lebih istimewa lagi. Buktinya kamu, kan, yang Iqbal pilih jadi istri."

Semua tertawa. Menyetujui pendapat ibu baru saja. Lalu mereka menyantap kacang hijau bikinan Luli. Walau baru satu menu yang dikuasai dengan baik, tapi Luli bisa memberikan rasa yang istimewa pada masakannya.

Topik berat sudah tak ada lagi, hanya pembicaraan ringan yang meramaikan teras belakang rumah keluarga Rofiq Hidayat sore itu.

Tanpa malu-malu, Luli meminta Iqbal menyuapinya. Iqbal tak keberatan. Bagi dia, malunya melakukan ini belum seberapa jika dibandingkan membahas mantan di depan keluarga istrinya.

"Ante Luliii, Lila mau kacang ijonya lagi. Enak. Tadi udah habis satu piling sama Bu Nani."

Lila datang dari jalan-jalan keliling komplek. Menghambur tiba-tiba dan berhenti di pelukan tantenya. Luli senang bukan kepalang, ada yang memuji masakannya. Dengan semangat ia mengiyakan. Tapi... ia baru sadar yang di panci sudah tak ada sisa lagi.

"Kak, kacang ijonya habis. Gimana dong?" bisik Luli pada sang suami. Panik.

"Tenang, Sayang. Masih ada punyaku kan."

Ah, iya. Luli lega. Ia menyuapi Lila dengan gembira. Sementara sang keponakan menggelendot manja di pangkuan Om Iqbalnya.

Fikar tak lagi cemburu pada adik ipar sekaligus sahabatnya itu. Sebaliknya, ia senang melihat kedekatan om dan keponakannya. Begitu pun Nara, ia tak menyangka akan punya hubungan keluarga yang dekat dengan dosen idola di jurusannya. Tentu saja bapak ibu menjadi orang yang paling berbahagia dengan hubungan anak, menantu, serta cucunya. Rasanya tak ada yang lebih berharga selain kebersamaan mereka yang dipenuhi oleh bahagia.

Maghrib tiba sebentar lagi, kebersamaan yang hangat terpaksa diakhiri. Fikar lebih dulu undur diri. Menggendong Lila dan menggandeng Nara menuju ke kamar mereka.

Iqbal hendak membereskan tumpukan mangkuk beserta nampannya, tapi ibu tak mengizinkan. Bu Nani yang mengambil alih semuanya.

"Iq," panggil bapak saat Iqbal dan Luli akan beranjak.

"Nggih, Pak."

Iqbal berhenti. Membalikkan badan menghadap kedua orang yang sangat dicintai oleh Luli.

"Pripun, Pak, Bu? (Bagaimana, Pak, Bu?)"

"Iq, Nduk, bapak sama ibu terima kasih sekali untuk semuanya. Kami bahagia. Apa yang menjadi keinginan kami sudah terlaksana. Dan boleh dibilang sempurna, tanpa kurang suatu apapun. Kami bahagia bisa berbagi kebahagiaan dengan banyak orang, dengan teman-teman, sahabat, dan terutama dengan keluarga.

"Terima kasih, Iq. Di sela kesibukanmu yang nggak sedikit, kamu masih mau meluangkan waktumu untuk mewujudkan keinginan bapak dan ibu. Ngapurane ya, Nang, (Mohon dimaafkan ya, Nak) kalau bapak sama ibu merepotkan."

Kedua netra yang mulai menunjukkan gurat menua itu berkaca-kaca. Ibu malah sudah beberapa kali mengusap bening di kedua pelupuknya.

"Mboten, Pak. Ndak repot sama sekali. Iiq senang, jadi ada pengalaman baru lagi. Iiq yang terima kasih banyak sama Bapak dan Ibu, karena sudah membesarkan Luli, memberinya banyak kesan dan pesan untuk bekal menjalani hidup dengan bahagia. Karena bahagianya Luli yang jadi kebahagiaan buat Iiq sekarang ini, Pak, Bu. Dan bahagia terbesarnya Luli adalah Bapak dan Ibu. Matur nuwun, Pak, Bu."

Iqbal memeluk sang bapak mertua, yang terisak-isak di bahu menantu bungsunya. Luli memeluk ibu. Ia bahagia, sebab sejak kecil dialah yang selalu berada di dada ibunya setiap kali membutuhkan ketenangan dan dukungan.

"Sampun adzan, Pak. Monggo siap-siap ke masjid sama Iiq dan Zulfikar."

Sekali lagi Iqbal memeluk Pak Rofiq. Menepuk bahunya tiga kali, lalu melepas pelukan, dan mencium tangannya. Pada ibu, Iqbal melakukan hal yang sama.

"Titip Luli ya, Iq." Pesan ibu.

"Malah Luli yang selalu jagain Iiq, Bu."

Iqbal tertawa, diikuti bapak dan ibu mertuanya. Ia lalu merangkul Lulinya. Mengacak rambutnya penuh cinta. Berdua memohon diri dan berlalu ke kamar mereka.

Bapak dan ibu saling pandang, mengucap hamdalah bersama, dan bergandengan pula menuju ke kamar utama.

***

Usai makan malam, Iqbal menyusul Luli ke kamar.

"Kenapa nggak ikut makan, Neng?"

"Udah tadi pas mau isya. Laper, Kak. Nggak kuat kalau harus nunggu yang lain. Maaf ya?"

"Nggak apa-apa. Yang penting anakku nggak kelaparan."

"Anak kita, Kak." Luli merajuk. Iqbal tergelak. Ia suka sekali menggoda Luli perihal anakku dan anak kita.

"Neng, foto-foto kamu yang di kamar ini harus ada kah?"

Mata Iqbal berkeliling, melihat beberapa pigura berisi foto Luli yang terpajang di meja dan salah satu sisi tembok kamar mereka.

"Kenapa, Kak? Mengganggu ya? Kakak nggak suka?"

"Dih, ya bukan begitu, Neng. Apa sih yang nggak aku suka dari kamu? Cuma...."

"Cuma apa, Kak?"

"Cuma..., sekarang kan kamu udah nggak sendiri, udah ada aku. Kayaknya gimana gitu lihat foto-foto kamu yang masih sendiri. Aku merasa dicuekin."

"Emang bener ya kata Nara. Pak Iqbal memang lebay!" Luli tertawa geli.

"Terus, Kak?" tanyanya lagi.

"Aku ganti ya sama foto-foto kita berdua?"

"Boleh banget kalau itu sih. Nanti aku ikut pilih ya."

"Hehe, forgive me, Nyonya Sya'bani. Sayangnya foto yang buat ganti udah siap sekarang ini. Jadi kamu cuma bisa pilih beberapa dari yang sudah ada. Nggak apa-apa ya?"

Namanya juga Iqbal Sya'bani. Kalau sudah berencana, maunya secepat dan seideal mungkin mewujudkannya. Termasuk mengganti foto. Ia bahkan sudah mencetak beberapa dengan ukuran yang pas sesuai frame foto yang akan ditempati.

"Hih, Kak Iiq curang." Luli cemberut. Membuat Iqbal gemas untuk mencium dan mencecap sedikit bibir istrinya yang menyerupai ikan cucut.

Ia lalu mengambil sebuah file folder dari backpack-nya. Dikeluarkannya foto-foto pilihannya dari dalam sana, menyerahkan pada Luli untuk melihat dan memilih beberapa yang ia suka. Sementara dia mengeluarkan foto-foto yang lama dari piguranya.

"Ya Allah, Neng. Kamu berapa kali sih ganti-ganti foto gini? Narsis banget."

"Emang kenapa, Kak?"

"Nah ini, satu frame aja lembarannya banyak banget." Iqbal menggeleng heran, Luli cekikikan.

Dalam satu frame ia menemukan beberapa lembar foto. Bagi Iqbal, yang tak pernah sekalipun memajang foto diri di kamarnya, itu sesuatu yang memancing keheranan.

"Namanya juga anak muda, Kak."

"Maksudmu aku tua. Gitu, kan?"

"Dih, sensi!" Dicubitnya perut suaminya. Jahil.

Luli kembali asyik memilih foto. Iqbal melanjutkan melihat foto-foto istrinya. Dari yang terbaru, sampai saat masih imut dengan baju-baju bergambar Princess atau karakter kartun favorit Luli di masa kecilnya.

Pada beberapa foto Luli saat remaja, perlahan Iqbal merasa pernah melihat gadis ABG di lembar-lembar yang ia genggam.

"Ehk." Iqbal menelan saliva. Merasa pernah akrab dengan satu foto yang baru saja ia lihat. Foto yang tak dipajang, tapi ada dalam tumpukan.

Seorang gadis remaja seusia SMP, mengenakan kaus putih dan overall denim. Pashmina kuning membalut kepalanya. Senyum lepas menghias wajahnya yang putih bersih tanpa polesan. Sneakers putih tampak berpadu serasi dengan model lipatan di ujung celana.

"Neng."

"Hemm?"

"I-ini kamu, kan?" Iqbal menyodorkan foto yang berhasil membuatnya dag dig dug tak keruan.

Luli menoleh. Kemudian mengiyakan, segera setelah melihat foto yang Iqbal tunjukkan.

Iqbal menaruh semua foto yang baru saja dilihatnya. Dengan gegas membuka ponsel dan mencari sesuatu di sana.

"Neng, t-tolong ambilin itu, anu, emm, itu, ambilin laptopku ya. Sekalian itu, emm, bukain."

"Kenapa sih, Kak? Kok gugup gitu."

"Udah, lakukan aja dulu. Nanti kalau ternyata bener, baru aku kasih tahu."

Luli tak bertanya lagi. Percuma. Kalau suaminya sedang fokus pada sesuatu, biasanya ia tak akan dapat jawaban apa-apa. Ia hanya harus melakukan yang diminta dengan segera. Itu kalau ingin dapat jawaban dengan segera pula.

"Allahu Akbar. Bener. Masya Allah." Terdengar gumam dari mulut Iqbal.

"Neng, tolong bukain email ya."

"Bukannya biasanya udah otomatis ya, Kak?"

"Ini email cadangan. Ketik aja iiq dot syabani."

"Password-nya?"

"Iiq ganteng anak umi satu dua tiga empat lima."

"APA, KAK?!" Luli ngegas, disusul tawa yang mengalir deras, sambil tangannya tetap mengetikkan iiqgantenganakumi12345.

Iqbal tak peduli. Satu-satunya yang ada di pikirannya saat ini adalah foto masa abege Luli tadi.

"Coba search di folder sent, Neng. Cari aja pakai keyword lucu. Cari yang subjeknya ada kata lucu."

Luli makin tak mengerti apa maunya sang suami. Tapi ia tetap melakukan apa yang diminta.

"Ada?"

"Ada, Kak. Subjeknya lucu banget dan lucu imut."

"Coba buka attachment-nya, Neng."

Sekali lagi Luli melakukan apa yang diminta suaminya. Ia terkesiap melihat fotonya saat SMP, dengan baju sama persis dengan yang ada di foto yang baru saja Iqbal tunjukkan padanya.

Pada foto bersubjek lucu banget, ia terlihat berdiri di depan mobil, seperti sedang menunggu.

Dan di foto bersubjek lucu imut, ia duduk di antara tamu undangan sedang menikmati teh botol dengan sedotan.

"Astaghfirullah. Ini... ehk, i-ini kan aku, Kak. K-kok bisa ada di sini?"

Iqbal mendekat. Memeluk Luli erat. Diciuminya rambut Luli bertubi-tubi. Kalimat i love you meluncur pula berkali-kali.

"Kak, ini gimana sih? Aku nggak ngerti!" seru Luli, masih dalam dekap erat sang suami.

Iqbal memeluk erat Luli sekali lagi. Masih sambil memeluk, ia menjelaskan apa yang sedang terjadi.

"Waktu KKN, Pak Kepala Desa punya gawe, mantu. Beberapa dosen ada yang datang, mungkin yang kenal atau pernah bertemu dengan beliau untuk urusan KKN mahasiswa. Kami peserta KKN ikut ke sana. Aku sempat foto-fotoin suasana di kondangan, termasuk di deretan tamu undangan dan di dekat parkiran pas dosen-dosen pada mau pulang.

"Terus pas udah di rumah, aku pindah dan cek-cek file fotonya. Nah, ada dua foto yang isinya ada anak cewek abege. Kelihatan imut dan lucu. Gemesin gitu. Tapi mau kusimpan kan ya nggak enak, nanti ketahuan yang lain dikira aku naksir anak di bawah umur.

"Dan nggak tahu kenapa, aku suka aja lihat anak abege itu. Apa ya..., pokoknya lucu, imut, gemes gitu. Makanya aku save sendiri dengan kirim attachment via email cadanganku. Habis itu sibuk skripsi, urusan umi, abah, dan ibu, terus kuliah magister, dan sebagainya. Aku lupa dengan sendirinya.

"Sampai tadi aku nemu foto kamu dengan outfit yang sama persis. Aku jadi ingat sesuatu. Makanya aku buru-buru cek di HP. Terus biar makin yakin, cek juga pakai laptop. Ya---"

"Iya, aku pernah ikut bapak ke kondangan. Diajakin karena ada Mas Fikar KKN di sana."

"Ya Allah, Neng. Nggak nyangka banget. Masya Allah."

"Maksud Kak Iiq, yang di foto itu aku?" Iqbal mengangguk.

"Luli kan? Yang di foto itu Luli kan? Berarti Kakak dulu pernah suka sama aku, terus sekarang aku jadi istrinya Kakak, gitu kan?"

"Iya, Sayang. Itu kamu. Dan itu berarti, jauh sebelum kita menikah, aku udah pernah menyimpan sosokmu di hatiku."

"Allahu Akbar. Jadi...."

Gantian Luli yang memeluk Iqbal. Ia menangis saking terharunya.

Tiba-tiba Luli melepas pelukan dan mendorong Iqbal, lalu berlari dan membuka pintu.

"Ibuuu, Bapaaakk, Maasss, Naaar...." teriak Luli heboh.

Semua yang dipanggil tergopoh-gopoh mendatangi kamar Luli dengan wajah penuh kekhawatiran.

"Ada apa, Nduk? Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?" tanya ibu. Kekagetan terpancar jelas pada wajahnya.

"Ya Allah, Bu. Masya Allah. Ternyata Kak Iiq udah naksir Luli dari zaman Luli masih abegeee."

Kamar mendadak heboh. Luli dengan semangat empat lima menunjukkan bukti, lengkap dengan cerita yang baru saja ia dengar dari sang suami.

Sementara Iqbal melipir ke dekat pintu. Melihat kejadian di hadapannya dengan senyum yang lebar mengembang.

Ia bahagia. Sungguh, sangat bahagia.

***

END

***

Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di part terakhir. Bisa ngeluarin lagu (agak baru) yang gue banget. Kenal sembilan tahun, berpisah bertahun-tahun, melewati ini itu anu, akhirnya ketemu lagi, dan... Eh, terus nikah dong. Haha...

Btw, sejujurnya aku bingung mau mengakhiri dg bagaimana. Karena aku sendiri sebenernya belum pengen selesai. Belum siap berpisah sama Iqbal-Luli.

Terima kasih banyak ya, teman-teman. Sudah membaca sampai sejauh ini. Tetap setia menanti, mendukung, dan memberi apresiasi. Aku tersanjung dan super duper senang sekali. Pokoknya love love love bangeeett.

Aku juga minta maaf untuk segala kesalahan dan kekurangan selama menulis ini. Semoga ada hikmah, pesan, pelajaran, dan atau manfaat yang bisa diambil.

InsyaAllah masih akan ada satu atau dua extra part. Dan mungkin BTS alias behind the story, gimana ceritanya aku menulis cerita ini dari awal sampai akhir.

Kalau ada yg mau ditanyakan ttg cerita ini (dari mana idenya, gimana proses nulisnya, dsb), please tag dan tulis komentarmu di bagian ini yaaa.

Dan, oh ya, sebelum part ini benar-benar selesai, boleh dong kasih kesan dan pesan kalian setelah baca cerita ini dari awal sampai akhir. Hehe..

*Nasi berkat dimakan ramai-ramai
Meski hati merasa berat, tapi cerita ini tetap harus usai

*Daun sirih hanyut di sungai
Terima kasih and goodbye
❤❤❤

Purwodadi, 14012021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top