Part 42
Kamu tahu kan, sejak hari pertama menikahi kamu, aku sudah ingin mengumumkan dan menunjukkan pada setiap orang kalau kamu adalah milikku. Kalau kamu adalah Nyonya Iqbal Sya'bani.
***
Untuk kesekian kali, Luli mematut diri di depan cermin. Masih merasa gendut, tapi tak apa, toh semua sudah tahu statusnya sekarang adalah seorang istri. Jadi tak ada yang harus disembunyikan, terutama perutnya yang sudah mulai terlihat berisi.
Wajah polosnya sudah dipoles oleh Acha. Tak berlebihan, hanya lipstick merah pekatnya yang sedikit mencolok dengan kulitnya yang putih bersih. Itu sudah cukup mengubah kesan di wajahnya. Cantik.
Sekali lagi ia mematut diri. Ia hanya ingin tampil berbeda di depan teman-teman, adik tingkat, dan kakak tingkatnya. Juga beberapa dosen dan karyawan yang mungkin akan hadir di kafe nanti. Ia merasa harus meyakinkan setiap orang bahwa ia memang pantas untuk bersanding dengan sang dosen idola.
Rasa bahagia juga meletup-letup di dada. Keinginan bapak untuk menggelar syukuran atas pernikahan anaknya sudah terwujud. Meski agak ribet, Iqbal yang kesibukannya sudah seabreg masih mampu pula menghandle segala persiapan resepsi mereka.
Tiga gelaran sebelumnya dihelat dengan konsep yang sama, di tempat yang sama pula. Semua sesuai keinginan sang bapak mertua, yang diamini pula oleh abah dan umi Iqbal, bahkan dengan antusiasme melebihi si empunya keinginan.
No standing party. Maka konsep round table Iqbal ajukan.
Pengaturan tempat duduk tamu menjadi yang paling ribet. Bapak menginginkan agar tidak berbaur antara tamu laki-laki dan perempuan. Dengan argumen dan alasan yang dapat diterima, Iqbal menyampaikan kalau itu kurang pas untuk dilakukan, tapi ia sekaligus memberi solusi. Ia menerapkan pembagian kursi seperti di kafenya.
Pasangan suami istri duduk berdampingan di satu meja bundar besar bersama beberapa pasangan lain. Hanya pasangan belum sah serta mereka yang datang sebagai single fighter alias jomlo yang dipisahkan tempat duduknya. Itupun masih dalam satu ruangan yang sama, cuma memisahkan laki-laki dan perempuan pada meja yang berbeda.
Petugas bagian penerima tamu pun tak mengalami kesulitan yang berarti, sebab setiap undangan telah dibagi berdasarkan abjad untuk nomor tempat duduk, lengkap dengan status single atau marriage plus nama pasangannya. Mereka cukup menunjukkan kartu souvenir setelah sampai di pintu hall.
Siapa lagi yang punya ide begini kalau bukan Iqbal Sya'bani?
Satu lagi permintaan bapak mertua. Tak mau menerima sumbangan dalam bentuk apapun, sebab niatnya seratus persen karena ingin berbagi kebahagiaan.
Menantu yang cerdas tentu tak kehabisan akal. Ia mengusulkan untuk meniadakan meja penerima tamu beserta buku tamu. Menggantinya dengan menggelar kotak-kotak pesan dan tanda tangan di sepanjang photo booth yang terbentang beralas karpet merah, beberapa belas meter dari lobi hingga ke pintu hall.
Layaknya wall of fame, setiap tamu undangan yang datang menuliskan pesan untuk mempelai beserta nama dan tanda tangannya. Lalu beberapa fotografer yang tersebar di setiap empat meter akan mengambil pose tamu undangan tersebut di sana. Persis seperti pergelaran awards di Hollywood sana. Semua undangan menunjukkan sukacita dan kegembiraan yang mendalam. Senyum tulus dan tawa lepas tergambar di sepanjang spot foto ber-background kolase foto kedua mempelai dan coretan pesan serta tanda tangan dari tamu undangan.
Mungkin tak hanya bapak mertuanya yang bahagia. Pihak wedding organizer pun sama, sebab mendapatkan satu tambahan konsep pernikahan untuk portofolionya.
Satu-satunya yang gagal diwujudkan Iqbal justru permintaan sang istri tercinta. Ia tak berhasil melobi abah, umi, bapak, ibu, dan kakak-kakak mereka soal kostum yang diinginkan Luli. Kurang etis dan kurang menghargai tamu undangan, begitu alasan semua. Iqbal pun sesungguhnya menyetujui, hanya menjaga perasaan Luli. Hingga akhirnya cuma di acara terakhir di kafe saja Luli bisa mengenakan white and denims seperti keinginannya.
"Kenapa senyum-senyum sendiri, Neng?"
"Aku cantik ya, Kak, pakai baju gini?" Luli berputar-putar sambil memegarkan dress putihnya yang lebar.
"Kapan sih kamu nggak cantik? Terima kasih ya, Neng."
"Untuk apa?"
"Untuk perayaan pernikahan kita. Kamu tahu kan, sejak hari pertama menikahi kamu, aku sudah ingin mengumumkan dan menunjukkan pada setiap orang kalau kamu adalah milikku. Kalau kamu adalah Nyonya Iqbal Sya'bani."
Luli mendekat, memeluk suaminya erat. Iqbal memajukan wajahnya lebih dekat. Ia menginginkan bibir Luli yang merah pekat.
"Aku udah pakai lipstik, Kak. Nanti Kak Iiq belepotan gimana?"
Iqbal mengembus napas kasar. Kemudian memonyongkan mulut. Cemberut.
"Apa sih, Kak? Manja banget deh."
"Kasih cium di sini ya, Sayang." Dia menunjukkan bagian dada kemejanya.
"Buat apa sih? Show up banget."
"Biar semua tahu kalau kamu sayang aku."
"Bapak dosen kesayangan bisa lebay juga yaaa."
Luli mencubit perut suaminya dengan gemas. Tapi tetap saja memberikan apa yang Iqbal minta. Satu kiss mark tergambar jelas di kemeja Iqbal Sya'bani. Rautnya menunjukkan rasa happy.
"Thank you, Love." Dihadiahinya tiga kecupan untuk sang istri. Pada kening, juga kedua mata.
"Terima kasih ya, Kak. Udah mewujudkan semua keinginan bapak dan ibu. Aku bahagia. Sejak dulu aku nggak pernah bisa bikin bapak ibu bangga, semua yang berhubungan dengan itu udah diambil sama Mas Fikar. Tapi tidak untuk yang satu ini. Mas Fikar tak pernah bersedia, jadi aku menjadi yang pertama. Mungkin juga satu-satunya.
"Dan Kak Iiq melakukan semuanya dengan sempurna. Padahal kesibukan Kakak nggak sedikit. Urusan Kakak nggak sedikit. Aku sayang Kakak, from the bottom of my heart."
Sejoli itu berpelukan lagi. Seakan dunia milik berdua. Yang lain statusnya HGB saja.
"Kita berangkat sekarang ya," kata Iqbal setelah melepas pelukan.
Luli segera memakai sneakers biru tua yang senada dengan jilbabnya. Lalu mengenakan jaket jeans sebagai sentuhan terakhir. Penampilannya sungguh paripurna.
Iqbal berhenti lagi, "Neng, kamu cantik amat sih pakai outfit begitu. Pengen peluk lagi deh."
"Kak, apa sih? Nanti telat lho. Udah ah." Didorongnya Iqbal agar menjauh.
Sang dosen idola tertawa. Ia berhenti di pintu, memandangi setiap gerakan istrinya dengan penuh cinta. Senyum seperti tak mau pergi dari wajahnya. Bahkan hingga mereka meninggalkan Bukit Sari dan tiba di kafe yang hari itu khusus dibuka untuk acara mereka saja.
Tepat pukul setengah delapan, Iqbal dan Luli muncul bergandengan di tengah-tengah kerumunan, yang seluruhnya adalah dari keluarga besar teknik sipil kampus mereka. Sontak setiap pasang mata beralih pada keduanya.
Penampilan Iqbal malam itu sungguh berbeda jauh dengan saat di kampus. Blue jeans dengan sedikit sobekan di lutut kiri, kemeja putih yang dibiarkan keluar dibalut dengan blazer semi formal warna biru tua yang serasi dengan jilbab luli. Sneakers putih tanpa kaus kaki makin menambah kesan casual pada acara malam itu.
Satu yang membuat setiap tamu tersenyum. Tanda bibir Luli yang menempel jelas pada kemeja Iqbal.
"Iq, ngapain dulu tadi sebelum ke sini?" tanya Fikar. Mengira sang adik ipar tak tahu ada yang tertinggal di bagian dada kemejanya.
"Nggak ngapa-ngapain lah. Persiapan aja."
"Halah. Nggak usah bohong. Lihat deh ada merah-merah di kemejamu. Ckckck, edan tenan! Sempat ya?" Senyum miring tercetak di wajah Zulfikar.
"Oh, ini. Hehe." Satu cengiran menyebalkan Iqbal berikan. Kemudian menggandeng Luli berlalu dari hadapan iparnya.
Berdua naik ke panggung tempat live music. Iqbal mengambil microphone dan memulai acara dengan memberi sambutan.
Ucapan syukur dan terima kasih menjadi yang pertama disampaikan. Lalu tak ragu-ragu bercerita tentang perjalanan cintanya hingga menikahi mahasiswinya sendiri.
Selama bicara, tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan sang istri, yang berdiri dengan malu-malu di sampingnya.
"Jadi begitulah ceritanya." Iqbal hendak menutup sambutannya.
"Saya sangat bangga menjadi suaminya. Eh, dia malah malu kalau ketahuan sebagai istri saya. Maka saya terpaksa menyingkirkan profesionalisme. Yang seharusnya tak mencampuradukkan urusan kampus, rumah, dan hati, terpaksa saya lakukan."
Ada yang geram di tengah kerumunan. Si bapak dosen yang selalu menjunjung tinggi profesionalisme. Siapa lagi kalau bukan Zulfikar Aditya, ST, MT!
"Ya, saya menyingkirkan profesionalisme sebagai suami, dengan membawa kekuasaan saya di kampus sebagai dosennya. Kalau tak mau menunjukkan posisinya sebagai istri saya, saya juga nggak akan menunjukkan posisi saya sebagai dosennya saat di kampus. Akan saya cuekin dan nggak saya anggap sebagai mahasiswi saya." Tentu saja Iqbal hanya bercanda.
Gelak tawa bersahutan memenuhi ruangan. Satu kata terucap dari sang kakak ipar, "Asem!"
"Insya Allah saya akan tetap berusaha untuk profesional saat di kampus. Namun saya minta maaf, di sini, sekarang ini, pada rekan-rekan seprofesi, teman-teman mahasiswa, juga seluruh keluarga besar teknik sipil, seandainya ada satu dua moment di mana saya terpaksa harus menyingkirkan itu semua. Saya mohon pemaklumannya, terutama jika itu berkaitan dengan kondisi kehamilan ibu dosen yang satu ini."
Lagi, semua tertawa saat Iqbal menyebut Luli sebagai ibu dosen, sedangkan Luli menyambutnya dengan wajah merah padam. Saty cubitan mendarat diam-diam di pinggang sang suami.
Sambutan Iqbal akhiri. Ia pula mempersilakan setiap yang datang untuk enjoy tonight. Menikmati setiap hidangan, kudapan, juga minuman yang semuanya halal dan aman. Tak lupa berpesan agar makan dan minum sambil duduk, sebab sudah diupayakan untuk menyediakan banyak kursi. Pesan yang untuk kesekian kali mengundang gelak tawa dari semuanya.
Terakhir, Iqbal memberi kebebasan untuk siapapun yang ingin menyumbangkan suara. Tentunya setelah perform-nya sebagai vokalis untuk band pembuka usai. Kesempatan untuk tampil ye kan?!
Warga jurusannya kembali dibuat terkesima. Di kampus, Iqbal memang hampir tak pernah menunjukkan kemampuannya dalam hal tarik suara.
Tapi keadaan berbalik kemudian. Gantian Iqbal yang terkesima. Manakala ia turun dari panggung, lalu dua orang naik menggantikannya.
Ia tak sabar menunggu perform dari kakak beradik, yang keberadaan sang adik memenuhi setiap ruang hatinya dengan cinta. Jantungnya berdegup tak keruan saat sang ipar memulai petikan gitar. Disusul suara Luli yang terdengar.
"Sebenarnya saya nggak suka nyanyi. Dan nggak bisa. Tapi bapak dosen suka. Jadi saya mencoba untuk memberi sesuatu seperti yang beliau sukai. Sebuah lagu untuk suami saya, Bapak Iqbal Sya'bani."
Dan saat Luli mulai bernyanyi, jemari Iqbal terkepal erat. Sekuat tenaga menahan gerimis yang muncul begitu saja di hatinya. Betapa ia ingin berlari memeluk istrinya. Kesayangannya.
Ia berusaha sabar menanti hingga lagu usai. Sepanjang itu ia berulang kali menutup mulutnya dengan tangan kiri, dan masih berusaha menahan bening yang mendesak-desak dari kedua sudut netra.
Nara yang duduk di dekat panggung sudah sibuk menyeka air mata. Salahnya sendiri, pakai berkali-kali menatap bergantian pada sahabat dan dosennya. Haru menyeruak, sampai-sampai suaminya yang ada di atas sana tak berarti apa-apa.
Pada akhirnya Iqbal tak mampu membendung perasaannya. Ia menyusul Luli ke atas panggung. Memeluk dan menciumi kepala sang istri yang tetap melanjutkan lagu dengan senyum bahagia.
Tanpa malu-malu Iqbal meneteskan air mata, sambil tetap memeluk Lulinya. Lalu setelah reda harunya, ia meminta satu lagi microphone dan mengimbangi suara Luli yang ternyata tak kalah bagusnya.
Cuma satu lagu, tapi membekas di hati setiap yang menyaksikannya.
"Ya Allah, Lul, bagus banget. Kereeenn," sambut Nara saat Luli sudah turun dari panggung. Heboh.
"Aku sampai nggak dianggap ya, Na? Cameo banget," sahut Fikar datar. Untuk pertama kalinya ia merasa kalah dari adik satu-satunya.
"Haha, iya. Dikacangin."
Bukannya menghibur, Nara malah membuat Fikar makin kesal. Apalagi ditambah tawa yang pecah dari Luli dan Iqbal.
"Hei. Zul ya? Zulfikar? Masih ingat aku?" Seorang perempuan menyela canda tawa mereka.
Fikar nyaris tersedak melihat siapa yang menghampiri meja mereka.
"Eh, ada Bu Rahma," sapa Iqbal sok sopan. Padahal sekuat hati menahan tawa.
"Apaan sih, Bal? Sok sopan banget." Rahma Khairunnisa tertawa.
"Sini, Bu Rahma. Silakan duduk sini. Kami mau menyapa teman-teman yang lain dulu."
Iqbal berpamitan sambil melirik Zulfikar. Mata mereka beradu. Fikar menatap tajam seakan berkata, "Awas kowe yo!"
Iqbal buru-buru menarik tangan Luli dan berlalu. Masih sambil menahan tawa, dan sesekali menoleh ke arah meja yang ditempati Zulfikar, Nara, dan Rahma.
"Kenapa sih, Kak? Kayak ada yang Kak Iiq sembunyikan?" Luli mencium gelagat yang berbeda.
"Nantilah, aku ceritain. Sekarang kita sapa teman-teman mahasiswa sama bapak ibu dosen dan karyawan yang dateng ya, Sayang."
Luli terpaksa mengiyakan. Ia berusaha mengusir kekepoannya,dan tampil percaya diri, agar setiap yang melihat mereka tahu bahwa Luli pantas menyandang predikat sebagai Nyonya Iqbal Sya'bani.
Betapa Luli makin kagum dan bersyukur melihat bagaimana suaminya begitu dekat dan membaur dengan mahasiswanya, tanpa harus kehilangan wibawa. Ia pula jadi turut naik posisi, dari mahasiswi biasa, sekarang jadi mahasiswi sekaligus istri dosen. Tentu saja penghormatan lebih itu tetap ada, meski ia tak pernah meminta.
Pun di hadapan rekan seprofesi serta karyawan di jurusan mereka. Meski Iqbal termasuk yang muda, sama sekali tak ada kesan ia dipandang sebelah mata. Semua menghormati dan menghargai sekaligus akrab saat berbincang dengan Iqbal Sya'bani.
Dua hari itu, tak ada yang lebih berbahagia selain Iqbal Sya'bani. Setelah bertahun-tahun menyimpan pedih seorang diri, mencari yang terbaik meski lewat jalur yang salah, sampai akhirnya Allah menjodohkannya dengan seorang yang secara pribadi jauh dari kriteria yang dia inginkan sebagai penyandang namanya dibalik gelar nyonya.
Dan di tengah ramah tamahnya, entah berapa kali sudah ia mengungkapkan cinta, bahagia, serta terima kasihnya kepada seorang Zulfa Nurulita.
"Saya tak ingin melewatkan malam ini begitu saja. Saya juga ingin menyampaikan selamat kepada Bapak Iqbal Sya'bani, dosen idola saya, role model saya. Yang saya kagumi bukan sekadar karena kepribadian dan prestasinya, tapi juga kebanggaan, karena antara beliau dan saya ternyata memiliki banyak kesamaan."
Iqbal berhenti, mendengarkan dengan saksama pada suara yang ia kenal. Ia tersenyum, meski terpaksa. Sambil berusaha menjaga air muka agar tak menunjukkan perubahan yang terbaca.
Andro melanjutkan kalimatnya, "Selamat menempuh hidup baru, Pak Iqbal. Selamat berbahagia. Sungguh, saya turut berbahagia untuk kebahagiaan Pak Iqbal dengan...." Ia menghela napas, sebelum melanjutkan kata-katanya.
"Zulfa. Zulfa Nurulita."
Andro mengakhiri ucapan selamatnya. Disusul sebuah lagu yang terlantun, tapi bukan lagu bahagia.
Iqbal berusaha tetap tenang dan bersikap wajar. Hanya tangan kirinya yang meremas erat jemari sang istri, membuat Luli tahu hati suaminya sedang tak baik-baik saja. Ia menarik Iqbal, menyeretnya ke ruang kerja.
"Kakak cemburu?"
"Hemm."
"Ya sudah, aku minta izin sama Kakak, nanti aku mau bicara sama Andro. Biar clear semuanya."
"Aku ikut."
"Nggak boleh."
"Kalau gitu aku nggak kasih izin."
"Kak, ini untuk kebaikan semuanya ke depan. Biar nggak ada ganjalan lagi. Aku nggak pernah tahu kalau Andro punya hati sama aku, Kak. Baru setelah menikah dan Kakak sering cemburu. Please, Kak. Izinkan ya? Kak Iiq boleh ngawasin deh, tapi nggak boleh dengar obrolan kami."
"Kalau aku tetap nggak kasih izin?"
"Aku akan paksa Kakak untuk kasih izin. Nanti aku akan kasih tahu obrolan kami ke Kakak deh. Kakak percaya sama aku, kan?"
"Tapi, Neng...."
Luli memeluk Iqbal. Mengusap punggungnya dengan sayang. Berusaha meyakinkan bahwa semua yang akan ia bicarakan dengan Andro adalah untuk kebaikan mereka.
Iqbal ingin percaya. Tapi egonya memberontak dan memaksa untuk tak memberi izin pada istrinya. Ia gelisah, hanya karena satu nama. Angkasa Andromeda.
"Kak...." Luli mengendurkan pelukan. Menangkup pipi Iqbal dan menatap dalam-dalam pada laki-laki yang telah menaburkan benih cinta pada hatinya, pada rahimnya.
Pada akhirnya Iqbal mengangguk, lalu memeluk Luli sekali lagi.
"Aku sayang kamu, Neng. Aku nggak mau kehilangan kamu. Hatimu. Pergilah. Selesaikan semuanya dan buat aku lega."
"Aku janji, Kak. Setelah ini kebahagiaan kita makin sempurna. Nggak ada lagi yang mengganggu hati Kakak, seperti halnya penerimaanku akan keberadaan Mbak Pipit."
Dan Luli memenuhi janjinya. Menyelesaikan semua urusan hati yang melibatkan seorang Angkasa Andromeda.
***
"Neng, suaramu bagus lho. Kita bisa sering jamming bareng dong."
Acara sudah usai. Mereka telah siap untuk menutup malam setelah dua hari penuh kurang istirahat. Iqbal bahkan sudah mematikan lampu kamar, menyisakan lampu tidur di sisi kiri kanan tempat tidur mereka, dan memeluk Luli dari belakang.
"Latihannya susah payah, Kak. Mas Fikar yang ngajarin."
"Gimana ceritanya?"
"Aku bilang ke dia, pengen nyanyi buat Kakak. Tadinya diketawain, tapi mas tetep mau bantuin kok. Terus pas pertama denger suaraku, katanya suaraku ternyata bagus, tinggal banyak latihan dan sedikit polesan.
"Makanya aku sering ke rumah ibu. Mas Fikar sama Nara juga. Pas banget Kakak sibuk pula. Nggak banyak sih latihan bareng Mas Fikarnya, tapi kalau pas dia nggak bisa, Nara yang pegang gitarnya. Dia tuh persis Mas Fikar, diajari apa-apa gampang dan cepet bisa. Kecuali nyetir, nyalinya nggak ada." Mereka tertawa.
Luli melanjutkan lagi, "Yang pilihin lagu juga Mas Fikar lho."
"Oh, pantesan. Dia sih sukanya lagu-lagu lama." Iqbal tertawa. Dalam hati bersyukur memiliki Zulfikar sebagai sahabat.
"Terima kasih banyak ya, Neng. I love you." Iqbal mengeratkan pelukan. Menyusupkan tangan kirinya ke dalam kaus longgar yang luli kenakan.
"Oh iya, Kak. Sekarang aku mau nagih janjinya Kak Iiq sama aku." Luli teringat sesuatu.
"Janji yang mana lagi, Sayang? Kan malam ini kita udah janji mau tidur aja, nggak ada yang lain-lain lagi."
"Iih, itu lagi kan yang dipikirin Kak Iiq."
"Ya karena aku nggak merasa punya janji apa-apa untuk malam ini, Zulfa Nurulita sayang."
Luli menghentikan jari-jari Iqbal yang sedang mengusap perutnya. Menjauhkannya dari sana, lantas membalikkan badan. Mereka berhadapan sekarang.
"Kakak nyembunyiin apa tentang Bu Rahma?"
Iqbal tak jadi tidur. Ia bangkit sambil tertawa.
"Ya Allah, Neng. Ternyata dari tadi kamu penasaran sama ini ya? Kaciaaan deh anak bapak mertua," goda Iqbal. Luli jadi sebal.
"Iya, makanya kasih tahu, biar aku bisa tidur nyenyak." Ucapan Luli membuat Iqbal makin ngakak.
"Jadi gini, sekarang aku tanya dulu. Kamu ingat nggak dulu Zulfikar dipanggil apa sebelum dipanggil Fikar?"
"Zul. Dan aku lebih seringnya manggil mas aja nggak pakai nama. Kenapa memangnya?"
"Terus tahu nggak kenapa panggilannya ganti jadi Fikar?"
"Tahunya udah agak besar sih. Kan waktu itu aku baru umur sembilan atau sepuluh gitu, Kak. Aku yang paling nggak mudeng-mudeng malah waktu dia udah ganti panggilan jadi Fikar. Kenapa sih, Kak?"
"Iya, tapi kenapanya ganti panggilan kamu tahu?"
"Tahu sih. Kalau di sekolah dari SD memang dia dipanggil Fikar karena ada murid lain yang namanya Zul. Tapi di keluarga masih tetap dipanggil Zul. Terus kata ibu, pas SMA minta ganti gara-gara ada kakak kelasnya cewek yang rajin banget deketin Mas Fikar, sampai dia risih. Dan si mbak-mbak itu ikut-ikut manggil Zul. Mas Fikar kesel, terus minta dipanggil Fikar aja, termasuk di rumah."
"Cocok. Persis kayak yang diceritain Fikar ke aku."
"Terus apa hubungannya?"
"Kamu ingat nggak, tadi Rahma manggil apa ke masmu?"
"Rahma siapa? Bu Rahma?"
"Iya. Ingat kan tadi dia manggil masmu apa?" Iqbal mengulang pertanyaannya.
"Zul," jawab Luli datar.
"Eh, tunggu ...." Luli menyadari sesuatu.
"Maksudnya... Eh, jadi mbak-mbak yang dulu ngejar-ngejar Mas Fikar itu...."
"Yes! You're right! Mbak-mbak itu namanya Mbak Rahma Khairunnisa," sahut Iqbal, masih sambil tertawa.
"Allahu Akbar! Nara ngerti nggak ya? Pasti tadi awkward banget. Kak Iiq malah ngajak pergi. Huh, aku jadi kelewat moment seru yang bisa buat ngeledekin Nara sama Mas Fikar, kan!!
"Dasra, Kak Iiq tuh memang ngeselin! Nggak sayang sama aku! Udah tahu istri suka yang seru-seru, pas ada kesempatan lihat di depan mata malah diajakin pergi. Aku nggak suka sama Kak Iiq! Kakak tidur di bawah aja sana. Jahat!" Luli ngomel tak keruan. Kesal, karena melewatkan satu kejadian yang menurutnya terlalu sayang untuk dilewatkan.
"Lho, kok jadi gini sih, Neng?" Iqbal menepuk jidatnya keras. Luli tetaplah Luli. Yang emosi dan reaksinya seringkali di luar ekspektasi.
Keduanya tak jadi tidur. Mereka bersatu padu. Bersatu untuk *padu! Iqbal membujuk Luli agar tidur di pelukannya, Luli menolak mentah-mentah. Masih kesal karena melewatkan moment bersejarah antar Fikar, Nara, dan Bu Rahma.
*padu (bahasa jawa): berdebat
***
Yeaiy, Alhamdulillah bisa menyapa lagi setelah hampir dua pekan absen.
InsyaAllah masih satu part lagi kebersamaan kita sama Iqbal-Luli. Nggak apa-apa yaaa.
Pasti ada yg kepo juga nih tentang:
1. Ketemuannya Zul sama Mbak Rahma
2. Obrolan Luli berdua sama Angkasa Andromeda
Hehe, iyaaa. Rencananya mau kukasih di extra part. InsyaAllah.
Oke deh, sampai di sini dulu ya.
Terima kasih sudah bersabar menanti, dan sudah bersama sampai sejauh ini.
Oh iya, ini lagunya Luli yg dibawain dengan iringan gitar dari Zulfikar. Teteup dong ya, jadoel punya. Haha..
Eh, tapi jangan dibayangin ini Lulibsm Fikar ya. Beda! Wkwk
Pohon kelapa di lapangan parkir
Sampai jumpa di part terakhir
❤❤❤
Semarang, 11012021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top