Part 4.2.
Sudah menjadi prinsip saya untuk memberikan istri saya kehidupan, minimal sama seperti yang diberikan orang tuanya. Kalau lebih, Alhamdulillah. Tapi jangan kurang dari itu.
- Iqbal Sya'bani -
------
*Mantu-able sekali mas-mas satu ini
*Maap rada panjang. Mungkin bisa siapin minum dan cemilan :D
*Enjoy reading
***
Bapak membuka pertemuan kali ini tanpa banyak basa-basi. Mungkin karena melihat wajah si anak gadis yang sudah tak jelas ekspresinya. Beliau meminta Iqbal untuk segera saja menyampaikan maksud kedatangannya.
"Emm, jadi begini, Zulfa. Sebelumnya saya mohon maaf kalau kedatangan saya mengejutkan kamu. Seperti yang sudah disampaikan oleh Bapak, saya datang ke sini adalah untuk menyampaikan niat baik saya, yaitu melamar kamu. Memohon kesediaan kamu untuk menjadi istri saya. Pendamping hidup saya." Iqbal menyampaikan semua dengan lancar, tanpa hambatan, apalagi keraguan.
"Ini beneran, Pak? Bukan prank? Atau jangan-jangan, Bapak salah orang?"
"Astaghfirullah," gumam Iqbal, sangat pelan.
Ibu mencubit paha Luli. Bapak menghela napas. Fikar dan Nara berpandangan, berdua justru menahan tawa.
"Tentu saja bukan, Zulfa. Saya serius. Saya serius meminta kamu untuk menjadi istri saya. Pendamping hidup saya." Iqbal mengulangi permintaannya.
"T-tapi, kenapa harus saya, Pak? Mahasiswi teknik sipil banyak yang lebih dari saya. Yang mati-matian ngefans sama Bapak juga ada, nggak cuma satu dua malah." Luli angkat bicara tanpa diminta.
"Karena cinta seringkali datang tanpa direncana, Zulfa. Begitupun saya ke kamu. Saya sendiri tidak tahu kenapa bisa begitu, tapi saya tahu kalau perasaan ini istimewa, sebab baru kali ini saya merasakannya. Dan saya tak ingin berpanjang waktu. Saya rasa itu sudah lebih dari cukup untuk meyakinkan saya, bahwa kamu yang selama ini saya nantikan dalam hidup saya."
"Emm, tapi masa tiba-tiba begini, Pak? Nanti kalau saya sudah terima, ternyata rasa yang bapak bilang mendadak hilang, bagaimana?"
Ibu menepuk pelan paha anak bungsunya. Fikar dan Nara kembali berpandangan, lagi-lagi merasa lucu dengan jawaban Luli, walau memang ada benarnya.
"Kalau hanya dibiarkan, tentu saja rasa ini bisa hilang. Entah begitu saja, ataupun butuh waktu sekian lama. Itulah kenapa saya datang, meminta kamu untuk merawat rasa ini bersama saya. Kalaupun hati kita belum satu frekuensi, insya Allah akan bisa sama setelah dijalani, Zulfa.
"Banyak yang bisa kita jadikan contoh, bahwa menikah itu tak harus lebih dulu melalui perkenalan yang sekian lama. Bahkan tak perlu jauh-jauh. Zulfikar dan Asya misalnya. Benar demikian nggih, Pak, Bu?"
"Kok kami sih contohnya?!" sahut Nara spontan.
Tangan Fikar yang sedari tadi merangkul, refleks meremas bahu kiri sang istri. Lalu menempelkan hidung di kepala Nara, dan membisikkan sesuatu tepat di telinganya.
"Asem, ini calon ipar mesra banget sih dari tadi. Bikin baper aja. Semoga bisa segera menyusul, ada yang diajak mesra-mesraan begitu." Iqbal merutuk dalam hati melihat kemesraan Fikar dan Nara, yang tak sekali dua kali tertangkap olehnya.
"Ya, betul. Boleh dibilang demikian. Saya sama ibunya dulu juga begitu kok. Malah yang berinisiatif orang tua. Kami bagian menjalani saja. Alhamdulillah, sudah hampir tiga puluh tahun bersama, malah semakin hari semakin cinta. Bener gitu ya, Bu?" Bapak menyatakan persetujuan atas pendapat Iqbal.
"Dih, Bapak. Katanya nggak mau intervensi, ini sih namanya diam-diam menggiring opini."
"He-em, bener. Orang jaman dulu kan ya pasrah saja to, Nak Iqbal. Kalau anak jaman sekarang kan jarang yang seperti itu, sok kudu ngeyel sik (kadang harus ngeyel dulu). Yang pacar-pacaran dulu lah, apalah. Makanya ibu itu salut kalo ada yang berani langsung datang seperti Nak Iqbal begini. Walaupun mungkin anaknya jadi kaget, tapi tetap saja buat ibu ini so sweet.
"Jadi, kalo ibu sih yess. Nggak tau kalo Bapak, Zul, dan ..., Luli."
"Allahu Rabbi, Ibu nih apaan deh. Bahasanya gitu amat. Malu ih. Ini sih secara terselubung juga nyuruh aku bilang iya. Hadeh."
"Tapi saya bukan termasuk mahasiswa pintar, Pak. Bahkan biasa-biasa pun tidak. Kalau dirangking, bisa jadi saya masuk sepuluh besar dari bawah. Atau malah ..., lima besar. Menikahi saya hanya akan menjatuhkan reputasi Bapak," sahut Luli cepat.
"Ini tentang nilai?"
"Ya, salah satunya."
"Saya bisa bikin nilai kamu jauh lebih baik dari sekarang, Zulfa."
"Maaf, Pak, saya anti privilege. Lagipula, itu akan membuat teman-teman saya curiga."
"Zulfa, kamu lupa kalau saya dosen? Dan sebelum menjadi dosen, saya juga mahasiswa teknik sipil, sama seperti kamu. Mata kuliah yang saya pelajari juga hampir semua sama. Insya Allah saya paham ilmunya, dan saya tau konsepnya.
"Saya bisa mengajari kamu sampai paham, kapanpun kamu butuh diajari. Bukan menaikkan nilaimu secara cuma-cuma hanya karena kamu istri saya. Itu tidak sejalan dengan idealisme saya."
Luli melirik ibu, menemukan pancaran kekaguman sekaligus harapan di wajah perempuan paling berarti bagi hidupnya. Beralih menatap Fikar, yang terlihat begitu respek pada calon ipar. Lantas memandang bapak, yang sedang tersenyum penuh arti pada sang rekan satu profesi. Duh.
"Ehk, t-tapi kemampuan saya menerima penjelasan juga tidak sebaik kebanyakan orang, Pak."
"Itu nggak penting buat saya, Zulfa. Insya Allah kesabaran saya memberi penjelasan juga di atas kebanyakan orang. Hanya satu hal yang penting buat saya."
"Emm, ap-apa itu, Pak?"
"Kemampuan kamu untuk menerima saya sebagai suami kamu."
Dhuarrr! Bak disambar petir, untuk kesekian kali wajah Luli makin tak jelas ekspresinya. Kaget, takjub, minder, malu, ragu, haru, bercampur jadi satu.
"Ya Allah, kok so sweet banget sih Nak Iqbal ini?" celetuk ibu tanpa basa-basi.
"Allahu Rabbi, apa deh ibu so swat so swit mulu. Lagian, kok jadi ibu yang baper sih?! Lupa umur ibu nih. Jaim dikit kek."
Bapak, Fikar, dan Nara tertawa mendengar celetukan ibu. Iqbal tak ketinggalan. Lupa, pada Luli yang kebingungan harus bersikap bagaimana.
"Jadi demikian Zulfa, Bapak dan Ibu Rofiq, Zulfikar, juga Asya. Saya ---"
"Lila kok nggak dipanggil sih, Om? Kan Lila ada di sini juga. Om-nya jahat, Lila nggak suka. Huhuhu...."
Belum selesai Iqbal mengakhiri kalimatnya, Lila protes karena tak disebut namanya. Bahkan pakai acara nangis segala. Iqbal menggaruk kepala, tak tahu bagaimana menghadapi bocah kecil yang menangis karena dia.
Bagi Luli, ini adalah kesempatan untuk menarik diri. Tentu saja dengan memanfaatkan Lila.
"Aih, ponakan kesayangan tante jangan nangis yaaa, cup cup. Yuk kita makan coklat, tante punya lho di kulkas."
Tanpa izin papa mamanya, Luli mengambil Lila begitu saja dari pangkuan Nara. Menggendong, membujuk, memeluk, juga menciumi gadis kecil itu penuh sayang, sembari melenggang dari arena dengan senyum kemenangan. Setidaknya di dalam, ia bisa sejenak menghela napas dengan tenang.
Pun Lila. Mendengar kata coklat, ia lupa rasa kesal pada calon Om-nya. Langsung diam, dengan kedua mata berbinar. Memeluk balik tantenya dan tertawa riang.
"Heh, Luli, jangan pergi? Sopan sedikit lah." Fikar mengejar Luli. Merasa kelakuan adiknya teramat konyol dan tak dewasa sama sekali.
"Masya Allah, calon ibu yang baik ini sih. Insya Allah aku nggak salah pilih."
Sebaliknya dengan Iqbal, bukan fokus pada kurangnya etika Luli yang berusaha melarikan diri, ia justru makin terpesona pada sang mahasiswi. Desir yang sedari tadi ada, bukannya menghilang malah makin sering datang.
Di matanya, Luli terlihat makin istimewa saat menggendong dan menenangkan Lila. Aura keibuan terpancar kuat menembus hati Pak Dosen yang sedang dilanda asmara.
Acara menjadi kacau. Ibu turut pula menyusul Luli. Nara yang masih tinggal jadi mati gaya. Untung ada bapak, yang mengajak ngobrol ringan calon menantunya, sebagai pengalih perhatian atas tingkah polah anak gadisnya.
"Maaf ya, Nak Iqbal. Ya begitulah anaknya. Monggo, malah bisa jadi bahan pertimbangan untuk memutuskan akan berhenti atau tetap melanjutkan niat baiknya. Tentu dengan menerima segala kekurangan putri saya."
"Nggih, Pak. Insya Allah bukan masalah untuk saya. Malah jadi makin yakin. Zulfa keibuan, Pak, pintar meng-handle anak kecil. Sesuatu yang selalu menjadi kesulitan bagi saya."
Nara terlihat menahan tawa. Heran. Dosen satu itu ternyata konyol juga kalau lagi jatuh cinta.
"Ya sudah, kita makan dulu saja, Nak Iqbal. Perut saya juga sudah krucuk-krucuk ini. Monggo." Bapak tersenyum. Mempersilakan tamunya untuk makan malam bersama, setelah lebih dulu mendapatkan kode dari ibu yang muncul sekejap di ruang tamu.
Pada akhirnya, Luli --terpaksa-- turut hadir di meja makan. Hanya mengambil sepotong kecil dori asam manis dan sesendok sambal mangga sebagai kepantasan saja.
Sesekali ia mencuri pandang pada sang dosen, yang beberapa saat lalu baru saja melamarnya. Lalu tertunduk malu, ketika pandangan mereka saling beradu. Aish.
"Maturnuwun, Pak, Bu. Masakannya enak semua. Alhamdulillah," puji Iqbal saat makan malam usai.
Semua masih anteng di kursinya, kecuali Lila, yang sudah pindah ke tempat tidur.
"Duh, pasti obrolannya pindah ke sini nih. Kapan kelarnya deh?! Udah pengen masuk kamar terus ngunci pintu." Luli mulai gelisah.
"Yang mana hasil masakan kamu, Zulfa?" Suara Iqbal yang renyah terdengar lagi. Kali ini tertuju pada sang calon istri. Aih, diterima saja belum!
"Ehk, eng-nggak ada. Saya nggak bisa masak, Pak. Masak nasi pakai magic jar saja jadinya bubur. Pokoknya saya bukan istri idaman. Kasihan Bapak kalau jadi suami saya." Jawaban Luli terdengar tak enak.
"Dih, baper." Nara berbisik, disambut tendangan Luli di bawah meja.
"Aduh, salah bicara!" Iqbal sedikit menyesal.
"Oh. Ya nggak pa-pa sih. Saya bisa masak kok, nanti biar saya sekalian yang ajarin kamu. Lagipula, buat saya memasak bukan tugas utama seorang istri. Delivery order banyak, katering harian juga banyak. Nggak perlu kuatir, Zulfa."
"Saya juga jarang nyuci, nyetrika, ngepel, dan pekerjaan rumah lainnya lho, Pak." Luli makin menjadi.
"Zulfa, saya meminta kamu menjadi istri untuk jadi ratu di rumah tangga kita nanti. Bukan untuk jadi pengurus rumah tangga. So, semua yang kamu bilang itu nggak ada pengaruhnya pada niat baik saya."
"Baik buat Bapak, belum tentu baik buat saya kan?"
"Sudah, Nduk. Nanti direnungkan dulu, dipikirkan masak-masak. Kami semua siap dimintai pertimbangan. Sekarang ngobrolnya yang santai dulu saja. Biar nggak tegang." Bapak menengahi.
"Ya habisnya ---"
"Ssstt. Sudah, Luli. Nurut Bapak saja kenapa sih?" Fikar yang kesal.
"Oh iya, kalau Nak Iqbal dengan Fikar satu angkatan ya? Gimana ceritanya bisa dekat? Kelihatannya kalian berdua ini beda sifat." Bapak mencoba mencairkan suasana.
"Hehe, nggih, Pak. Kalau sifat memang banyak bedanya, tapi kesamaan kami lebih banyak, Pak. Sebenarnya dari SMA saya sudah tahu Zulfikar, kami sama-sama anak band dan sering ikut event bareng. Tapi saya nggak pernah menang dari dia, Pak.
"Qodarullah kami KKN bareng. Setelahnya wisuda sarjana juga bareng. Lalu sama-sama kuliah S2, eh wisudanya bareng lagi. Ikut tes dosen ya bareng lagi. Alhamdulillah sama-sama diterima. Makanya kami jadi dekat, Pak."
"Berarti satu angkatan ya dengan Fikar?"
"Mboten, Pak. Kalau masuk kuliahnya iya, tapi kalau umur saya lebih tua satu tahun. Zulfikar kan SMA-nya akselerasi, saya tidak. Jadi Zulfikar masih lebih unggul dari saya, Pak."
"Wah, Nak Iqbal ini merendah. Kakak-kakaknya Luli sudah cerita banyak sama saya tentang prestasi Nak Iqbal kok."
"Waduh, prestasi apa, Pak. Saya orangnya biasa saja. Cuma senang belajar dan mengajar, Pak."
"Wah, bagus itu. Nah, kalau Nak Iqbal tinggalnya di mana ya?" Bapak melanjutkan 'interogasi'.
"Saya tinggal di daerah Bukit Sari, Pak, dengan abah dan umi. Masih ikut orang tua, karena yang masih lajang tinggal saya."
"Oh ya? Berapa bersaudara?"
"Saya anak bungsu dari lima bersaudara, Pak. Kakak saya empat-empatnya tinggal di luar Semarang. Yang pertama perempuan, tinggal di Malaysia ikut suaminya. Yang kedua laki-laki, tinggal di Jakarta. Yang ketiga laki-laki lagi, tinggal di Inggris dari sejak kuliah S2, sekarang sedang menempuh doktoral. Yang keempat perempuan, tinggal di Bandung. Lengkap nggih, Pak."
"Haha, ramai ya kalau ngumpul?"
"Nggih, Pak. Alhamdulillah."
"Bapak ibu, kerja atau usaha?"
"Abah kontraktor, Pak. Insinyur sipil juga. Kakak-kakak saya yang laki-laki juga sipil semua. Kalau umi ibu rumah tangga. Sama seperti kakak-kakak saya yang perempuan."
"Nanti saya juga disuruh jadi ibu rumah tangga ya, Pak?" celetuk Luli spontan.
"Cieee, udah siap nerima Pak Iqbal nih kayanya?" Nara tertawa. Terdengar girang bisa ngeledekin sahabat sekaligus adik iparnya.
Wajah Luli memerah seketika.
"Nggak harus, Zulfa. Kalau untuk itu senyamannya kamu saja, yang penting kamu selalu ada buat saya."
Bapak dan ibu senyum-senyum. Nara dan Fikar menahan tawa. Luli sibuk merutuk dalam hati.
"Dih, ngegombalin kok ya di depan bapak ibu lho. Bikin malu aja!"
"Berarti kalau sudah nikah nanti tetap tinggal dengan orang tua, atau di rumah sendiri, atau di sini?"
"Lho lah, Bapak gimana sih? Kok ada opsi di sini segala? Aku kan belum bilang menerima. Hiks."
"Emm, itu bagaimana nanti saja dengan Zulfa, Pak. Kalaupun tinggal di rumah sendiri, insya Allah sudah siap juga, Pak, Bu. Alhamdulillah dekat dari sini, dan dari Bukit Sari. Dekat juga dari kampus. Kalau pas ada jeda ngajar, kadang saya pulang ke sana. Jadi sudah siap ditempati kapan saja, Pak, Bu."
"Di mana, Bro? Madina?" Fikar menyebut satu perumahan elit sekira dua kilometer ke arah kampus, dari rumah bapak ibu.
"Iya."
Tebakan Fikar tak meleset sedikitpun. Ia kenal baik siapa Iqbal. Meski jarang bercerita banyak soal keluarga dan latar belakang dirinya, Fikar tahu pasti kelas sosial sohibnya. Memilih satu rumah di The Madina Residence tentu bukan sesuatu yang berat buat Iqbal.
"Sebelah mana?"
"Daerah depan, Fik. Satu blok setelah gerbang. Dekat masjid."
"Wih, kawasan elit tuh, Luli." Fikar berkomentar lagi, kali ini sambil memandang ke arah Luli.
"Nggak ngaruh kali, Mas. Memangnya aku cewek matre?!" Luli sewot.
"Nggak pa-pa, Zulfa. Nggak usah dipikirkan yang begitu-begitu. Sudah menjadi prinsip saya untuk memberikan istri saya kehidupan, minimal sama seperti yang diberikan orang tuanya. Kalau lebih, alhamdulillah. Tapi jangan kurang dari itu."
"Ya Allah ya Rabb. Mana pantes Pak Iqbal bersanding sama aku? Yang ada makin minder akunya." Luli menunduk. Dadanya sesak. Ia ingin menangis saat itu juga.
Ibu mengerti apa yang ada di pikiran anak bungsunya. Membisikkan sesuatu pada bapak, yang kemudian berkata, "Baiklah, mungkin dengan Luli cukup sampai di sini saja nggih, Nak Iqbal. Biar dia istirahat dulu. Saya yakin saat ini hatinya sedang tidak baik-baik saja.
"Nah, kalau Nak Iqbal masih berkenan untuk di sini, nanti kita lanjut ngobrol sambil main catur di teras belakang. Bisa main catur to?"
"Nggih, Pak. Insya Allah bisa. Tapi. mungkin saya izin pulang saja, Pak. Kebetulan rumah kosong, abah sama umi ke rumah mbah di Pemalang. Lagipula sudah malam, Bapak Ibu juga sudah waktunya istirahat. Zulfikar sama Asya juga mungkin masih ada acara."
"Gak usah baper kali, Bro." Fikar menyikut bahu Iqbal. Ia tahu apa yang ada di benak sahabatnya tentang dirinya dan Nara. Keduanya terkekeh.
"Tapi mohon maaf, Pak, Bu. Sebelum diakhiri acara malam ini, jika boleh saya ingin bertanya satu hal lagi pada Zulfa."
"Gimana, Nduk?" Bapak meminta persetujuan yang bersangkutan. Luli mengangguk pelan.
"Udahlah buruan, biar aku bisa segera masuk kamar. Shock lahir batin."
"Jadi, apakah kamu menerima lamaran saya, Zulfa?"
"Ya Rabb, kan aku belum ngobrol sama keluarga. Gimana sih Pak Iqbal nih?!"
"Emm, maaf. Belum, Pak."
"Alhamdulillah."
"Kok alhamdulillah?"
"Minimal jawabanmu 'belum', bukan 'tidak', jadi masih ada harapan buat saya."
"I-iya. Begitu, Pak. Maaf sekali lagi. Saya permisi dulu. Assalamualaikum."
Setengah berlari Luli meninggalkan meja makan. Masuk ke kamar, dan tak lupa mengunci pintu. Jilbabnya dilepas dan dilemparkan asal saja. Detik berikutnya, ia telah tenggelam di balik bantal. Meluapkan segala rasa yang campur aduk tak keruan.
Hati Luli dipenuhi keharuan. Ia merasa Allah teramat baik padanya. Si gadis biasa-biasa saja, yang ibadahnya masih jauh dari istimewa, tapi Allah memberinya pilihan, untuk bisa mendampingi seseorang yang begitu spesial. Iqbal.
Sungguh, bermimpi pun Luli tak pernah. Terlintas di pikirannya juga sama sekali tak ada. Bahkan hendak ngefans pada Iqbal seperti mahasiswi lainnya pun ia butuh mikir beribu kali, sebelum akhirnya memutuskan untuk memilih tidak. Bisa jadi, diantara mahasiswi yang lain, cuma dia yang nggak pernah memandang keberadaan Iqbal sama sekali.
***
Lebih sedikit dari jam dua belas malam, Luli belum berhasil memejamkan mata. Masih tak percaya dengan peristiwa yang dialaminya.
Diambilnya gawai, lalu meng-update status whatsapp-nya.
Malam yang aneh.
Belum satu menit, sebuah pesan dia terima.
[Assalamualaikum, Zulfa.
Maafkan saya sudah bikin aneh malam kamu]
[Kamu belum tidur?]
....
- Spoiler aja -
***
Acieee, yang dilamar... Ihhirrr :D
Kira-kira chatnya Iiq dibalas nggak ya sama si Luli?
Bocoran dikit.
Aku nulis chatnya mereka sampai kepingkel-pingkel sendiri lho ngebayanginnya. Haha
Nanti di next part yaaa. Yang mau tau alasan Iqbal gonta ganti patjar, insya Allah akan ada juga. Kl gak ada perubahan lho yaaa :D
Alhamdulillah, bisa menepati janji untuk update lagi hari ini.
Terima kasih utk kalian semua yang sudah mampir ke sini. Sudah vote, komen, dan menyimak ceritanya Iqbal-Luli. Semoga suka dan terhibur.
Maafkan kl agak panjang. Semoga nggak bikin bosan.
Happy weekend, teman-teman.
Sampai jumpa
❤❤❤
Semarang Atas (rumahnya Luli naik dikit lagi), 11072020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top