Part 4.1.

Pak Iqbal nih ngapain juga pake ke sini? Kan malu ketauan dosen kalo aku dilamar orang. Mas Fikar juga gimana sih? Udah tau mau ada acara keluarga malah temennya dateng diterima, harusnya suruh pulang aja. Duh, kacau!

- Zulfa Nurulita (Luli) -

-------

*Neng Zulfa, peka dikit napaaa?!

*enjoy reading :)

***

Luli memasukkan kantong belanjaan terakhir. Pagi ini ia diminta menemani ibu belanja di pasar. Tentu saja tugasnya hanya membantu membawa belanjaan, karena membedakan sawi dengan selada saja dia gagap. Apalagi jahe dengan lengkuas, dia bisa mendadak engap.

Dari pasar, Luli mengarahkan mobil ke lapangan tenis kampus. Menjemput bapak yang sejak pagi berkumpul bersama rekan seprofesi yang menggemari olahraga pukul bola itu.

Hampir jam sepuluh mereka sampai di rumah, bersamaan dengan Fikar, Nara, dan Lila yang datang dari Salatiga.

"Kok udah balik? Katanya di Salatiga sampe besok malam?" tanya Luli pada iparnya.

"Kan mau ada acara spesial, jadi kami nggak mau melewatkan dong ya."

"Acara apa sih sebenernya? Bingung aku tuh." Luli tampak kesal karena tak tahu menahu bahan pembicaraan semua orang.

"Mandi dulu sana! Nanti kita jelasin sama-sama," perintah ibu pada anak gadisnya.

"Jahat bener deh, masa serumah cuma aku yang nggak ngerti mau ada apa."

"Nggak sendiri kali, Lul. Lila juga nggak ngerti kok." Nara kembali menggoda.

"Ah, Lila mah nggak diitung kaleee."

Luli melangkah, masuk ke kamar untuk mengambil baju ganti, sebelum kemudian pergi mandi. Sengaja berlama-lama, pikirnya lumayan untuk mengurangi waktu bantu-bantu di dapur. Sesuatu yang sama sekali tak ia sukai.

"Cieee, yang mau punya acara, mandinya lama beneeerr." Nara menggoda sekeluarnya Luli dari kamar mandi.

"Acara apa sih? Aku tuh nggak paham tau nggak sih." Luli kesal.

"Ya udah sana, taro anduk dulu. Ditunggu yang lain di teras belakang," ujar Nara lagi.

"Duh, ada apa sih sebenernya?! Gini amat!" batin Luli, makin kesal. Mau tak mau ia menuju ke tempat yang disebutkan oleh Nara.

Bapak, ibu, dan Fikar terlihat sedang berbincang serius saat Luli datang. Dengan muka kusut bagai kaus belum disetrika, ia duduk sembarang saja.

"Tante senyum dong. Kata papa kalo cembelut nanti mukanya jadi jelek." Lila menghampiri. Asal duduk di pangkuan tantenya.

"Papamu tuh yang suruh banyakin senyum."

"Sensi amat yang mau jadi istri orang."

"Iyalah, masa jadi istri kucing!"

"Ehk, jadi istri orang?! Maksudnya?!" Luli setengah berteriak begitu tersadar apa yang dikatakan kakaknya.

"Ish, ngomong yang bener ah, Luli. Ada anak kecil juga."

"Ya habis, semuanya nyebelin. Cuma ngasih tau mau ada acara apa kok ya berat amat. Aku kan ngerasa jadi manusia terbego di alam semesta."

"Lebay!" seru Nara yang baru datang membawa segelas susu untuk Lila.

"Ya tapi maksudnya Mas Fikar tadi tuh apa coba?!"

"Udah udah, sekarang kita beritahu Luli biar nggak kesel lagi." Ibu menengahi.

Bapak memasang wajah serius, sebelum memulai bicara, "Jadi gini ya, Nduk. Hari Kamis kemarin ada seorang pemuda datang menemui bapak, dan ---"

"Pemuda harapan bangsa ya, Pak?"

"Hush!" Secuil kulit kacang melayang ke arah Luli, dari Nara.

"Dan kami berdua bicara serius tentang beberapa hal. Intinya, dia minta izin untuk datang ke rumah, ketemu bapak, ibu, masmu, Nara, ---"

"Berarti nggak butuh ketemu aku kan, Pak?!"

"Luli, diam dulu kenapa sih! Nggak sopan." Mata Fikar menyorot tajam pada adiknya. Tak suka.

"Iya, maaf." Luli menunduk, menyambar cushion untuk dipeluk.

"Ya tentu saja ketemu kamu juga, sebagai pusat dari semuanya."

"Maksudnya ap---"

"Luli!" Nada Fikar meninggi. Ia paling tak suka jika ada orang yang memotong pembicaraan, apalagi sedang serius. Tapi begitulah Luli, kalau sedang kesal suka lupa adab.

"Nggak pa-pa, Fik," kata bapak pada Fikar. Lalu melanjutkan kembali bicara pada Luli.

"Nduk, bapak ibu minta maaf sama kamu, karena nggak langsung memberitahu tentang hal ini, padahal berkaitan erat dengan kamu."

"Nggak, Pak. Luli yang minta maaf. Mas Fikar benar, harusnya Luli diam dulu." Mata Luli basah. Dia memang cengeng dan melankolis. Apalagi mendengar bapak, ibu, atau kakaknya berucap maaf lebih dulu padanya. Luli auto merasa berdosa.

"Jadi begini, Nduk. Kamu, bocah kecil kesayangan kami semua, nggak terasa ternyata sudah beranjak dewasa. Sudah menjadi gadis yang cantik dan punya daya tarik. Bahkan sudah ada yang ingin menjadikan kamu sebagai pendamping hidupnya."

Mata Luli membelalak, lengkap dengan mulut yang menganga. Ia kesulitan mencerna maksud bapaknya. Kecerdasan yang sudah sedikit di bawah rata-rata makin turun levelnya. Ia tak bisa berkata apapun juga.

"Malam nanti, bapak sudah mengizinkan seseorang yang punya niat baik pada kamu untuk datang dan bertemu kita semua. Bapak sudah rembugan dulu dengan ibu, masmu, dan Nara. Dan kami sepakat untuk tidak memberitahu kamu dulu siapa orangnya.

"Bapak mohon maaf sekali lagi, sebenarnya bapak pribadi ingin sekali memberitahu kamu siapa orangnya, hanya saja ibumu menyarankan untuk tidak usah dulu. Biar sekalian nanti malam saja saat yang bersangkutan datang. Ibumu yang paling mengerti kamu, jadi kami semua menyetujui saran ibu.

"Untuk saat ini, kami cuma bisa kasih tahu maksud dan tujuannya untuk bertemu dengan keluarga kita."

"Tunggu, Pak, tunggu. Maksudnya gimana sih ini?"

"Jadi, ada seorang laki-laki yang punya niat baik untuk melamar kamu, Nduk." Singkat, padat, jelas.

"Maksudnya ada yang mau ngelamar Luli gitu, Pak?"

"Iyaaa!" Yang lain menjawab serempak. Gemas.

"Astaghfirullahaladziim."

"Alhamdulillah kek, malah istighfar. Gimana sih?!" gerutu Nara pelan, tapi tetap saja menyusup ke pendengaran Luli. Satu cibiran diberikan Luli untuk sang ipar.

"Tenang saja, Nduk. Nanti, kamu nggak harus langsung memberi jawaban. Kamu masih muda, jika merasa belum siap, katakan saja. Atau mungkin ada syarat yang ingin kamu ajukan, atau apapun, kamu boleh menyampaikan apa saja sesuai perasaan, keinginan, dan pertimbanganmu. Bahkan nggak langsung jawab pun nggak masalah, karena bapak yakin, kamu tentu butuh ngobrol, diskusi terlebih dahulu dengan kami."

"Siapa, Pak? Luli kenal orangnya?"

"Luli kenal. Bapak kenal. Masmu dan Nara juga kenal. Insya Allah orangnya baik, dan bapak yakin kamu juga tahu tentang itu, Nduk."

"Luli mau tau sekarang saja, Pak."

"Nggak, Nduk, nanti malam aja! Ibu nggak mau kamu kepikiran dan malah jadi beban seharian ini. Terus nanti malah nggak mau keluar pas tamunya datang.

"Wis pokoke kamu santai aja, yang penting siapin diri, siapin hati. Nggak usah bantu di dapur juga nggak pa-pa. Kamu santai pokoknya." Ibu angkat bicara. Oh bukan, bertitah lebih tepatnya.

"I-iya deh. Luli ikut kata Ibu aja." Lemas. Tak berdaya.

Sejatinya ia masih merasa ini tidak adil. Dia yang mau dilamar, eh dia juga tak boleh tahu siapa orangnya. Kesel dobel-dobel.

Tapi kalau ibu sudah bersuara, dia bisa apa? Komplain pun percuma karena pasti 91% gagal, 6,5% tak berhasil, dan 2,5% sia-sia belaka, alias absolutely gagal total! Semua juga tahu, ibu yang paling paham dan mengerti dirinya.

Di luar sana, Luli memang telah teruji sebagai pemberani, mandiri, percaya diri, dan bisa melindungi dirinya sendiri. Namun jika sudah masuk lingkaran keluarga, ia berubah 180° menjadi bocah manja kesayangan semua. Apapun yang berkaitan dengan mengambil keputusan, khususnya yang terkait kehidupan dan masa depannya, ia tak bisa apa-apa tanpa petunjuk dari orang-orang terdekat, terutama ibunya.

Masa kecil yang hampir tertinggal dari teman-teman seusianya membuat Luli setengah bergantung pada ibunya. Ibu yang selalu ada untuknya, yang telaten membimbingnya, yang rela mengorbankan karir demi dia, yang dengan ikhlas kembali pada peran utama mendampingi anak-anak, terutama dirinya. Hingga ia bisa menjadi Luli yang sekarang. Kalau tak demikian, bisa jadi dia tetap tertinggal jauh hingga detik ini.

Maka diam dan menurut --pada ibu-- adalah perbuatan yang paling tepat saat ini. Mungkin ibu benar, kalau dia tahu dari sekarang, kegalauan akan datang lebih awal. Dan ia akan tersiksa seharian. Jadi untuk saat ini, 'tak tahu apapun' menjadi opsi terbaik untuk diterima.

Bagi Luli, harinya terasa begitu panjang hingga malam akhirnya datang. Ia sudah berpesan pada ibu untuk tak ikut acara makan malam. Bagaimana mau makan, kalau perut rasanya tak keruan. Grogi, penasaran, galau, deg-degan, malu, segala rasa bercampur jadi satu.

Awalnya ibu menolak mentah-mentah permintaan Luli, tapi akhirnya menyerah setelah anak gadisnya mengancam tak akan mau keluar menemui sang tamu istimewa. Duh, ancamannya, ngalahin Lila.

Sampai ba'da Isya, Luli masih setia mengurung diri di kamarnya. Sedari siang tak henti pula menerka, siapa kiranya laki-laki yang akan datang melamarnya.

"Bapak kenal, Mas Fikar kenal, Nara kenal. Ibu nggak disebut. Kira-kira siapa ya?"

Deretan nama dan profil kaum adam yang dia kenal sepertinya telah diabsen semua, tapi tak satu pun memenuhi kriteria dari petunjuk yang ada

"Tante Luli, udah siap belum? Kata nenek, Tante disuluh kelual sekalang." Lila memanggil. Bu Nani membantu mengetukkan pintu.

Dihelanya napas panjang sebelum keluar kamar. Masih sempat pula mematut diri dan mengecek penampilannya saat melewati cermin. Ia memantapkan hati, mengayun kaki menuju ruang tamu. Melantunkan basmalah berulang kali. Bahkan merapal doa yang diucapkan oleh Nabi Musa.

"Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul 'uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii"

(Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku).

Kehadiran Luli disambut senyum dari mereka yang lebih dulu berkumpul di ruang tamu. Ibu terlihat sangat lega, memanggil Luli untuk duduk di sisinya.

Melihat Iqbal berada diantara keluarganya, Luli merasa malu. Sinar matanya menunjukkan bahwa ia resah. Berkali menatap keluar pintu, seperti sedang mencari sesuatu.

"Katanya yang mau ngelamar udah datang, lah mana? Pak Iqbal nih ngapain juga pake ke sini? Kan malu ketauan dosen kalo aku dilamar orang. Mas Fikar juga gimana sih? Udah tau mau ada acara keluarga malah temennya dateng diterima, harusnya suruh pulang aja. Duh, kacau!"

Sungguh, kepolosan dan keluguannya kali ini berada di titik terendah. Naif. Sama sekali tak ada pikiran bahwa Iqbal adalah orang yang dimaksud bapaknya siang tadi. Padahal jelas-jelas dirinya dipanggil, yang berarti acara sudah siap dimulai, dan si tamu istimewa sudah ada di lokasi.

"Bagaimana, Luli? Kamu sudah siap? Sudah bisa dimulai, Nduk?"

"Bukannya mau makan malam dulu ya, Pak? Kan Luli nggak ikut makannya," bisik Luli pada bapaknya.

"Enggak, acara diganti ke intinya dulu. Biar makan malamnya nanti lebih santai."

"Eh, emm, t-tapi kenapa ada Pak Iqbal di sini, Pak? Apa Mas Fikar nggak kasih tau kalo kita mau ada acara malam ini? Kok malah namu ke sini. Kan Luli malu, Pak, ketauan dosen kalo dilamar orang." Masih berbisik.

"Maaf, Nduk. Jadi yang bapak katakan siang tadi, orangnya ya beliau ini. Memang Nak Iqbal yang mau melamar kamu, Nduk."

"Ehk."

Krik krik krik.

Luli mendadak blank. Ia oleng. Tak yakin pada apa yang didengarnya. Ragu dengan apa yang tengah terjadi padanya. Dosen kesayangan anak teknik sipil datang untuk melamarnya?! Wow, bagai mimpi di siang bolong.

"I-ini bukan lagi pada nge-prank Luli kan ya, Pak?"

"Astaghfirullah, Luli. Kok mikirnya begitu sih? Sudah, kamu diam dulu aja. Biar Bapak buka acara." Kali ini ibu yang berbisik. Sedikit kesal dengan ke-telatmikir-an anaknya.

"Ya gimana mau percaya. Pak Iqbal lho. Mana pantes aku bersanding sama beliau?! Kaya langit dan bumi. Ini pasti ada yang salah. Nggak mungkin banget. Drama macam apa pula ini. Duh."

Luli ingin menangis. Ia merasa tak pantas. Kalau benar Iqbal yang akan melamarnya, ia ingin menolak saja. Mana mungkin membiarkan orang seistimewa dosennya itu untuk bersanding dengan dirinya yang teramat sangat biasa saja.

Tapi tunggu!

Melewatkan seorang laki-laki idaman setiap wanita dan calon mertua?! Ia pun tak yakin mampu.

Galau! Huhuhu.

***

Yeaiy, update jam segini. Sambil nemenin anak2 main sepedahan di Waduk Diponegoro, Undip.

Part-nya pakai 4.1. Karena kejadiannya di satu waktu, tapi kalau dijadiin satu kepanjangan. Hehe. Insya Allah besok update lagi. Enak ternyata punya tabungan draft. Haha...

Terima kasih sudah mampir ke sini ya, teman-teman. Terima kasih juga sudah vote dan komentar. Sungguh, baca2 komentar kalian tuh jadi penyemangat buat aku.

Sampai jumpa.
❤❤❤

Tembalang, 10072020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top