Part 39.1.
Saya nggak meminta penjelasan apapun dari kamu, Angkasa. Biar nanti saya selesaikan dengan istri saya. Selamat liburan. Usahakan semester baru sudah move on dari Zulfa Nurulita.
***
Mendekati selesai, yuk lah kita bikin ramai. Kalau perlu kita adakan baku hantam. Mwahaha.....
***
Hari terakhir UAS. Luli menyelesaikan soal ujian hampir pukul sebelas. Tak langsung pulang, ia bersama Nara menuju ke kantin. Keduanya sama-sama ingin menikmati soto ayam yang sekarang jarang mereka rasakan.
Sejak statusnya dengan Iqbal menjadi rahasia publik, Luli jadi sungkan untuk terlalu lama menghabiskan waktu di lingkungan kampus. Kalau tak ada kepentingan lain, ia memilih untuk segera pulang. Tak mesti ke Madina, kadang juga ke rumah bapak ibunya.
"Apaan tuh, Lul? Soto ayam kok nggak pakai ayam," komentar Nara melihat mangkuk Luli hanya berisi nasi, kecambah, seledri, dan kuah.
"Daripada habis makan soto langsung keluar bubur."
"Dih, jorok bener sih, Lul!" Nara kesal.
"Ya kamu sih udah tahu aku lagi nggak kuat bau-bau daging, pakai nanya segala. Salah sendiri."
Perselisihan dengan topik soto ayam tanpa ayam diakhiri. Mereka menikmati makannya dengan lahap, terutama Luli. Nara sampai terheran-heran melihat adik iparnya makan bak orang kelaparan.
"Lul, gitu amat sih makannya. Malu-maluin Pak Iqbal aja. Dikira nggak pernah dikasih makan enak. Ini makan soto aja sampe lahap banget kayak pengungsi nggak makan tujuh hari," ujar Nara begitu mangkuk di tangannya kosong. Mangkuk Luli sudah lebih dulu tandas.
"Laper banget tahu, Nar! Kamu sih ngerjain soal santai aja. Aku kan harus memeras tenaga dan pikiran. Emang gini sih kalau otak pas-pasan, kalau nggak bisa dibilang kurang."
"Nggak gitu lah, Lul. Kamu udah banyak progress kok. Pak Iqbal sendiri yang bilang ke Mas Fikar. Kalau dikasih soal, waktu menjawabmu makin hari makin baik katanya. Berarti kamu tuh sebenernya bisa, cuma tinggal dibanyakin latihan biar makin akrab dan paham sama materinya.
"Alhamdulillah ada Pak Iqbal, yang sabar banget ngajarin kamu. Kalau Mas Fikar bilang, udah kayak guru les sama muridnya. Padahal nggak dibayar."
"Nggak dibayar apa deh? Dibayar pakai cinta lho yaaa." Luli protes.
"Halah, itu juga Pak Iqbal yang cinta banget sama kamu."
"Kok gitu sih, Nar? Kayaknya orang rumah tuh kalau sama aku pada suuzon banget. Aku juga cinta banget kali, Nar, sama Kak Iiq." Wajah Luli mendadak mendung. Nara jadi tak enak hati.
"Iya, maaf, Lul. Aku nggak bermaksud begitu kok. Aku percaya kamu juga cinta banget sama Pak Iqbal, cuma mungkin nggak kelihatan karena tertutup sama manjamu ke beliau.
"Tapi memang Pak Iqbal tuh sabarnya masya Allah. Mas Fikar yang udah sabar ngadepin aku aja kadang suka takjub sendiri lihat adik iparnya ngadepin kamu."
"Wow. Jadi Lord Zulfikar Aditya tuh bisa takjub juga sama suami adiknya? Nggak ngerasa tergeser lagi karena di mata Lila ada hal-hal yang papanya bukan lagi nomer satu?"
"Dih, gitu amat manggil masmu. Ngeselin gitu juga dia kakakmu satu-satunya lho, Lul. Walaupun yaaa gitu deh. Tahu sendiri lah, masmu kan memang gengsinya sama egonya rada tinggi. Cemburunya apalagi. Walaupun kata ibu, sekarang udah jauh lebih mending daripada dulu waktu sama Mbak Ayu."
"Udah ah, Nar. Nggak usah bahas kayak begitu. Seneng amat bahas mantan. Lagian, Mbak Ayu juga kan udah nggak ada. Kalau itu bikin nggak nyaman hatimu, mending skip aja kan ya."
Aish, Nyonya Iqbal Sya'bani sok-sokan menasihati. Nggak inget sendirinya suka banget bahas mantannya Iqbal yang barisannya sampai deret keduabelas.
"By the way, Lul. Tumben nggak buru-buru cabut dari kampus? Malah santai-santai di sini."
"Iya, Kak Iiq mau ngadep Prof. Hadi katanya. Aku suruh nunggu dulu sebentar."
"Ada project apa sih, kayaknya kok Pak Iqbal sering banget ketemu beliau?"
"Nggak tahu, Nar. Rahasia katanya. Dia kan tahu banget kemampuan istrinya dalam mikir yang berat-berat tuh agak payah. Makanya nggak kasih tahu ada project atau apa lah itu sama Pak Prof."
"Mulai lagi deh. Mungkin cuma nunggu waktu yang tepat aja, Lul. Atau sekarang belum final, jadi nunggu pasti dulu gitu. Mas Fikar juga kadang gitu, kok.
"Lagian, suka banget merasa rendah diri. Insecure. Lah aku, Mas Fikar, Pak Iqbal aja yakin dengan kemampuanmu kok, kenapa malah kamu nggak yakin sama dirimu sendiri sih, Lul? Itu mental block, jangan dipiara."
"Mental block tuh temennya paving block ya, Nar?"
"Alah embuh ah, Lul."
Luli nyengir. Nara yang sekarang memang makin dewasa. Pemikiran dan sikapnya makin matang. Luli kadang malu sendiri. Umurnya lebih tua dari Nara, tapi polahnya masih begitu-begitu saja, terutama saat di tengah-tengah keluarga. Ditambah Iqbal yang begitu memanjakannya.
"Eh, Nar. Tapi kamu nggak mau ke perpus kan? Atau mau ke sana? Ya udah nggak apa-apa sih, Nar. Nanti aku nunggu Kak Iiq di deket parkiran aja."
"Nggak, Lul, santai aja. Udah kelar ujian juga mau ngapain ke perpus."
"Balikin buku mungkin?"
"Nggak kok. Sekarang, kalau buku-buku yang sekiranya penting dan sering dipakai, sama masmu dibeliin, biar nggak bolak balik minjem."
"Wah, bau-bau calon dosen ini sih."
"Doain aja, Nar. Mas juga suka bilang gitu. Aku suruh jadi dosen aja. Sekarang nabung dulu, jadi nanti bisa langsung kuliah S2. Alhamdulillah. Bersyukur banget punya Mas Fikar. Kalau ingat gimana awal-awal ketemu dan nikah sama masmu, duh, keselnya luar biasa."
"Tapi sekarang cintamu luar biasa gitu lho ya."
"Ya karena masmu memang serius, Lul. Dia nggak pernah main-main dengan omongannya. Ibarat kata, mau becanda aja dia mikir jauh ke depan." Nara menerawang. Ada yang berdesir setiap kali bicara tentang Zulfikar Aditya.
"Masih suka cemburuan, Nar?"
"Sama aku? Jarang. Nggak pernah malah. Cemburu atau nggak kan tergantung kitanya juga, Nar. Aku udah tahu gimana dia kalau cemburu, jadi aku menjaga sendiri lah, gimana supaya nggak terjadi hal-hal yang bisa memancing itu."
Gawai Luli bergetar. Nama Yeni muncul di layar. Ia meminta izin pada Nara untuk menerima panggilan.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Dengan Saudari Zulfa?"
Suara laki-laki dewasa terdengar di seberang sana. Luli sedikit kaget. Diaktifkannya loudspeaker, lalu menepuk siku Nara, memberi kode untuk turut mendengarkan.
"Eh, iya, benar. Maaf, ini dengan siapa ya, Pak? Yeni di mana?"
"Saudari Yeni mengalami kecelakaan bersama driver ojek online yang membawanya...."
Luli kaget, tapi tak panik. Ia mendengarkan dengan saksama, begitu juga Nara. Mereka lega mendengar suara Yeni, yang meski lemah, tapi masih bisa tenang, bahkan meminta bantuan untuk menghubungi Luli.
Ada kemungkinan Yeni patah tulang. Driver ojek onlinenya lebih parah lagi. Dia pingsan, dan sudah lebih dulu ditolong untuk dilarikan ke rumah sakit.
Panggilan diakhiri. Luli segera menghubungi seseorang untuk meminta bantuan. Jika itu tentang kelas, maka hanya satu nama yang terlintas.
"Ndro, kamu di mana? Masih di kampus?"
"Iya. Aku masih di kelas. Gimana?"
"Yeni kecelakaan sama pak ojolnya. Ini lagi jalan ke rumah sakit kampus. Kita ke sana ya."
"Oke. Kamu jangan panik. Sekarang kamu di mana?"
"Aku nggak panik kok!" sentak Luli tak terima.
"Iya. Maaf." Andro malah minta maaf.
Dasar bucin!
Nara membatin. Ia dengar, sebab Luli mengaktifkan loudspeaker-nya.
"Aku di kantin sama Nara. Ada Yudi nggak? Kalau ada ajak sekalian."
"Oke. Kita ketemu di depan gedung dua. Kamu jangan lari-lari ya, Zulfa. Ingat buat jaga diri, lagi hamil." Andro masih sempat-sempatnya berpesan demikian.
"Andro belum move on dari kamu, Lul. Kasian."
"Apa sih, Nar?! Nggak jelas. Yeni lagi gawat malah komentarin orang."
Luli bergegas menuju ibu kantin. Membayar dua mangkuk soto, tiga kerupuk, dua perkedel, satu tahu, dan dua botol air mineral. Setelahnya segera menarik tangan Nara, menyeretnya menuju depan gedung dua. Andro dan Yudi sudah ada di sana.
"Kamu sama Yudi aja, Zulfa. Aku nggak mau cari masalah sama Pak Iqbal," kata Andro.
"Aku aja yang sama Yudi. Aku nggak bisa kalau bonceng kamu, Ndro. Motormu tinggi banget. Perutku udah gede gini. Resiko." Nara menolak.
"Ya udah, aku aja yang boncengin kamu pakai motor Yudi." Luli memberi usulan.
"Jangan, Lul. Kamu kan nggak boleh bawa motor sama Pak Iqbal." Nara menolak.
"Ya udah, kalian naik taksi online aja. Biar kami yang ke rumah sakit dulu. Kami tunggu di sana." Andro memberi usulan.
"Ya Allah, pada suuzon banget sih sama Pak Iqbal. Ini tuh darurat. Dia juga pasti paham. Lagian rumah sakitnya deket ini. Ada Nara juga yang bisa jadi saksi kalau dia marah nanti. Kasian Yeni nggak ada yang nemenin. Udah, aku sama kamu aja, Ndro. Kalau Pak Iqbal marah, aku yang nanggung."
Luli mengambil keputusan yang sangat berani. Yang ada di kepalanya hanya Yeni. Dia sendirian, kesakitan, mungkin panik juga. Maka Luli tak mau lebih lama lagi membiarkan teman baiknya itu sendiri.
Hanya butuh tujuh menit untuk mereka sampai di rumah sakit kampus. Andro dengan tangkas mencari informasi hingga mereka bisa secepat mungkin mengetahui keadaan dan posisi Yeni.
Mereka ke IGD, Yeni sedang ditangani. Kondisinya sadar sepenuhnya, hanya terlihat kesakitan karena luka yang diderita. Luli dan Nara meminta izin untuk berada di sana.
"Tadi ada mobil dari arah berlawanan. Dia nyalip depannya sampai makan jalur kami. Padahal ojolku udah di pinggir sebelah kiri. Di sebelah kanan ada mobil, depan ada motor tiga, semuanya ngerem mendadak. Motornya pak ojolku udah tua, mungkin remnya udah nggak pakem. Dia gak bisa berhenti terus banting setir ke kiri, padahal parit di situ."
Yeni menceritakan kejadian yang baru saja dia alami, sambil meringis menahan sakit. Kaki dan tangannya lecet-lecet agak parah, dua tulang jarinya patah, pelipisnya juga berdarah.
"Keluarga udah ada yang tahu, Yen?" Luli bertanya, Yeni menggeleng.
Luli berinisiatif menghubungi keluarga. Ia pernah bertemu dengan orang tua Yeni, jadi lebih mudah menjelaskannya pada mereka. Setelahnya, barulah ia keluar, hendak menghubungi suaminya.
"Assalamualaikum, Kak. Maaf, aku nggak nunggu Kakak. Tadi lagi di kantin sama Nara, terus Yeni telpon. Dia kecelakaan, Kak. Ini di rumah sakit kampus. Aku langsung nyusul ke sini tadi. Jarinya patah dua, sama kaki, tangan, wajah lecet berdarah-darah. Aku nungguin di sini dulu ya, Kak, sampai dia dapat ruangan. Kayaknya nggak langsung operasi."
Seperti petasan, Luli bicara tanpa jeda. Iqbal bahkan belum sempat menjawab salam.
"Waalaikumussalam. Iya, Neng. Ini aku baru mau ketemu Prof. Hadi. Nanti dari sini aku nyusul ke rumah sakit. Atau kalau kamu udah selesai duluan, kamu pulang ke Banyumanik dulu aja sama Asya. Jangan lupa, kabari Zulfikar juga "
"Iya, Kak. Udah kok, Nara udah bilang Mas Fikar. Maafin Luli ya. Luli sayang Kakak."
"Iya, nggak apa-apa. Aku yang minta maaf nggak bisa bantu. Nanti sore deh kita jenguk bareng-bareng. Ya?"
"Hemm."
"I love you, Nyonya Sya'bani."
"I love you too, Bapak Sya'bani."
"Mmuah."
"Genit deh. Awas, nanti kucubit kecil-kecil." Luli terkekeh. Satu mmuah ia berikan sebagai balasan sekaligus mengakhiri panggilan.
Ada yang diam-diam mencuri dengar percakapan sepasang suami istri Sya'bani. Ada hati yang luka, tapi tak berdarah seperti Yeni.
"Move on, Ndro. Udah tahu bakal sakit hati, masih nguping juga," gurau Wahyudi. Nara ikut tertawa mendengarnya.
Mereka berempat bertahan di rumah sakit, sampai Yeni menempati ruang rawat inap dan menunggu keluarganya datang dari Jogjakarta.
Menjelang asar, keluarga Yeni tiba juga. Kedua orang tua Yeni mengucapkan terima kasih yang sangat pada keempat teman anaknya. Empat plastik yang masing-masing berisi dua kardus bakpia berpindah tangan saat keempatnya berpamitan.
Berempat berjalan menuju pintu keluar. Bercanda tawa di sepanjang selasar.
"Kalian berdua naik taksi online aja ya. Buruan pesen gih. Ntar kita tungguin sampai datang deh."
Andro meminta Luli dan Nara untuk memesan taksi online saja. Yang tadi bisa dimaklumi karena keadaan mendesak. Tapi kalau kali ini ia nekad memboncengkan Luli lagi, menurutnya itu sama saja bunuh diri. Ia tak mau menanggung resiko, meski hatinya tentu saja mengingini.
"Iya iya, ngusir banget sih," jawab Luli asal.
"Aku nggak mau menanggung resiko, Zul. Pak Iqbal kalau sama kamu posesif banget. Dan beliau punya kuasa atas nilaiku."
"Dia nggak gitu kali, Ndro. Jelek amat penilaianmu sama dia. Insya Allah Pak Iqbal profesional." Bela Luli.
Area parkir sudah di depan mata. Luli belum menyadari ada bahaya yang sedang mengintainya. Diantara sekian mobil yang parkir berseberangan dengan area parkir roda dua, ada Iqbal Sya'bani yang sedang menghela dan mengembus nafas dengan gusar. Kedua tangannya mengepal. Ia kesal.
Luli baru mau memesan taksi online, ketika Iqbal turun dari mobil dan menuju ke arahnya.
Andro, Yudi, dan Nara lebih dulu menyadari. Angkasa Andromeda tentu menjadi yang paling tak enak hati diantara ketiganya. Ia menarik napas berulang kali, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Zul, nggak usah pesan. Itu udah dijemput Pak Iqbal," bisik Yudi.
Luli mengangkat wajah. Menemukan sosok yang dicintai menuju padanya. Rautnya menunjukkan rasa tidak suka. Giliran Luli mengambil napas sepanjangnya.
"Assalamualaikum." Iqbal mengucap salam. Keempat mahasiswanya menjawab berbarengan.
"Bagaimana keadaan teman kalian?"
"Udah datang kok, Kak, keluarganya. Yeni udah aman." Luli yang menjawab.
"Oke. Kita pulang sekarang." Iqbal meraih tangan Luli.
"Terima kasih sudah mengantar dan menemani istri saya. Juga ipar saya. Kami pamit dulu. Assalamualaikum," ujar Iqbal pada Yudi dan Andro. Datar.
"Maafkan saya, Pak. Saya sudah minta Zulfa untuk---"
"Saya nggak meminta penjelasan apapun dari kamu, Angkasa. Biar nanti saya selesaikan dengan istri saya. Selamat liburan. Usahakan semester baru sudah move on dari Zulfa Nurulita."
Nara dan Yudi berpandangan. Keduanya merasa iba pada Andro. Luli pun demikian. Ia tahu Iqbal cemburu, tapi ia merasa suaminya terlalu berlebihan.
"Asya, kamu pulang dengan kami," ajak Iqbal. Lebih kepada perintah. Dan itu diucapkan tanpa menghentikan langkah.
"Eh, s-saya mau k-ke rumah bapak ibu, Pak. Nanti saya turun di depan gerbang Madina, biar kensananya naik ojek saja."
"Zulfikar sudah tahu kamu mau ke sana?"
"Sudah, Pak."
"Ini sudah sore. Lila gimana?"
"Lila sama Bu Nani juga di sana, Pak. Tadi pagi kami berangkat dari sana."
"Kalau gitu aku juga mau pulang ke rumah bapak ibu aja deh, Kak," sahut Luli. Iqbal tak menjawab.
Sepanjang Tembalang hingga Banyumanik dilalui dengan diam. Nara jadi ikut canggung. Ia tahu, diamnya Iqbal bukan karena tak ada topik untuk dibahas, tapi sedang berusaha mendinginkan hati yang panas.
Sampai di depan rumah orang tuanya, Luli langsung turun dari mobil. Iqbal sudah mencegahnya, memegang erat tangan Luli agar tak meninggalkan seat-nya. Tapi tak berhasil, istrinya bergerak lebih cepat.
Masih gusar, Iqbal turun dan menyusul Luli yang ngibrit ke kamar.
"Kamu tadi sama Angkasa?" Iqbal berusaha menekan emosi.
"Kak, nggak usah mulai deh. Tadi kan darurat, masa iya mau dipermasalahin. Biasa aja kenapa sih?" Luli berusaha menghindar.
"Biasa aja? Kamu tahu kan aku nggak suka. Kenapa kamu lakukan juga?"
"Kan udah kubilang, tadi itu darurat. Yeni sendirian, kecelakaan. Yang terlintas buat dimintain bantuan cuma Andro. Ya kan aku---"
"Kita pulang ke Madina. Sekarang!"
"Nggak mau. Kakak lagi marah. Emosi gitu. Nanti kalau kakak KDRT sama aku gimana? Aku mau di sini. Kakak pulang sendiri aja sana."
"Oke. Aku pulang. Kalau sampai malam aku nggak jemput kamu ke sini, nggak usah dicariin."
"Apa sih, Kak?! Nggak usah ngomong gitu juga kali!" Luli ngegas, walaupun dalam hati ia merasa cemas.
Iqbal tak bereaksi, tetap melangkah melewati pintu. Ia menemui ibu, menceritakan apa yang baru saja terjadi, dan meminta izin untuk menenangkan hati. Ibu memaklumi. Meminta maaf atas apa yang dilakukan Luli sampai membuat Iqbal dilanda emosi.
Iqbal pergi. Belum tahu akan ke mana. Ia hanya ingin menjauh dari Luli. Entah sejenak, atau mungkin sehari, atau ....
Nggak tahu lah, dipikir nanti lagi. Yang penting menjauh dulu dari Luli, biar nggak makin emosi.
***
Gitu deh Iqbal Sya'bani. Diambekin Luli model apa pun dia kuat, tapi dibikin cemburu dikit dia oleng.
Sungguh, bucinnya luar biasa. Butuh 'ditampar' dulu nih sama uminya.
Kira-kira, dia pergi ke mana yaaa?
Yuk tebak-tebakan. Haha...
Besok yaaa, kita minta umi 'nampar' bapak dosen yang mendadak bocah kalau cemburu sudah membuncah. Halah.
InsyaAllah besok atau lusa aku update 39.2-nya. Ini hari terakhir bocils UAS. Semoga besok-besok lebih banyak waktu yg bisa dicuri buat ngetik-ngetik. Hehe.
Terima kasih sudah setia menyimak sampai sejauh ini. Maafkan jika ada kesalahan dan kekurangan.
Makan cimol dicampur bihun
I love you all & see you soon
❤❤❤
Ungaran, 11122020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top