Part 38.

Iiq yang minta dari Luli, Bu. Suka nggak tega kalau dia kelihatan keberatan. Sudah cukup berat bawa Sya'bani junior, yang lain kalau ada Iiq biar Iiq saja. Kalau mau diomelin, Iiq aja yang diomelin, Bu.

***

Ibu mertua mana coba yang tega ngomelin mantu laki macam gini?!

***

Tepat jam delapan pagi Luli sudah berada di rumah bapak ibu. Tentu saja dengan suami dan kedua mertuanya. Fikar dan Nara pun telah lebih dulu sampai, karena hari Sabtu dia hampir selalu santai. Tak seperti weekdays yang disibukkan dengan urusan kampus dan proyeknya.

Iqbal bablas ke dapur, menaruh oleh-oleh made in umi, yang dibuat khusus untuk keluarga besan. Setelahnya ia masuk ke kamar, menaruh ransel berisi Macbook dan segala tetek bengek yang berkaitan dengan urusan pekerjaan.

"Sini, Neng, biar aku aja yang bawakan." Cegatnya saat melihat Luli membawa nampan berisi tea set.

"Nggak usah, Kak. Nggak pantes. Ini kan identik dengan tugas perempuan. Lagipula Kakak kan di sini mantu, kalau ada anak, ya anaknya yang harus lebih aktif bekerja."

"Aturan dari mana? Feodal banget. Siniin deh." Iqbal memaksa, Luli terpaksa. Nampan pun berpindah tangan.

"Siap-siap diomelin ibu deh," gerutu Luli di belakang sang suami.

Feeling Luli terbukti. Ibu memang tidak mengomel, tapi matanya terang-terangan memelototi anak bungsunya. Luli merengut. Kesal pada Iqbal.

"Iiq yang minta dari Luli, Bu. Suka nggak tega kalau dia kelihatan keberatan. Sudah cukup berat bawa Sya'bani junior, yang lain kalau ada Iiq biar Iiq saja. Kalau mau diomelin, Iiq aja yang diomelin, Bu." Ibu tak jadi marah, hanya berucap hamdalah.

Dua keluarga membuka obrolan dengan topik ringan. Tapi tetap saja membuat Luli deg-degan.

"Luli agak berisi ya?" celetuk Fikar spontan. Tak sadar, apa yang ia katakan membuat mood Luli berantakan.

"Gendut maksudnya? Apa susahnya sih, tinggal bilang gendut juga!"

Iqbal memegangi Luli yang sudah siap berdiri. Dilemparnya satu kode untuk kakak ipar. Kode tersampaikan. Meski Nara tak pernah mengalami hal yang demikian, tapi Fikar langsung paham.

"Mungkin maksudnya Zulfikar tuh kamu seksi, Neng. Tapi nggak enak sama aku mau bilang gitu." Iqbal mencoba menjaga mood istrinya.

"Seksi? Seksi apaan? Seksi konsumsi? Yang bagian ngabisin snack? Makanya gendut. Gitu?"

Kondisi gawat. Semua tawa terpaksa ditahan agar tak membuat keadaan makin darurat.

"Ini lho yang disenengin uminya Iiq dari Neng Zulfa, Pak, Bu. Nggak pernah jaim. Apa adanya. Kalau sudah eyel-eyelan gini tuh bikin kangen sama anak-anak. Bener ya, Neng?" Abah mencoba mencairkan suasana. Meminta persetujuan pada umi.

"Betul, Pak Rofiq, Ibu. Anak banyak sudah jauh semua. Tinggal Iiq yang masih di dekat kami. Alhamdulillah kok ya jodohnya Neng Zulfa, yang selalu bikin suasana jadi hidup dan meriah. Kami senang karena dia nggak pernah jaim. Apa adanya. Marah ya marah saja, ngambek ya ngambek saja, senang ya senang saja. Kalau saya ajak apa dan dia lagi nggak mood, ya bilang terus terang. Nggak bikin kami bingung harus bersikap bagaimana. Masya Allah."

Panjang lebar umi berkata. Mengulurkan tangannya, mengelus tangan si menantu bungsu yang duduk di sebelahnya.

"Terima kasih, Umi, udah mau nerima Luli yang kayak begini."

Hati Luli sejuk seketika. Semua kekesalan pada Lord Zulfikar Aditya menguap entah ke mana. Ia balas menggenggam tangan sang ibu mertua.

"Nah, karena itu juga kami datang ke sini pagi ini, Pak Rofiq, Ibu, dan Mas serta Mbak Zulfikar. Jadi semalam kami sudah bicara sedikit dengan Iiq dan Zulfa, tentang status mereka berdua yang Alhamdulillah sekarang sudah terbuka di lingkungan kampus.

"Sebab dari awal yang jadi penghambat untuk mengadakan syukuran pernikahan adalah soal itu, berarti untuk saat ini hambatan sudah tidak ada. Clear. Tinggal membicarakan kapan waktunya dan bagaimana konsep acaranya.

"Kalau untuk waktu, saya usul secepatnya. Pekan depan mungkin, setelah Zulfa menyelesaikan ujian semesternya. Atau kalau terlalu mepet ya dua pekan lagi."

Abah to the point saja. Memanfaatkan momentum yang menurut beliau tepat. Seperti sengaja tak memberi kesempatan pada sang menantu untuk berkelit dan menghindar lagi.

"Abah," bisik Luli, memandang pada bapak mertuanya.

"Gimana, Neng Zulfa? Sudah siap to?" Abah balik bertanya. Luli malu-malu, menoleh pada suaminya.

"Insya Allah siap, Bah." Iqbal yang menyahut.

"Jadi begitu, Pak Rofiq dan Ibu. Dari pihak kami insya Allah sudah siap kapanpun dan bagaimana konsepnya nanti. Tinggal menyesuaikan dengan keluarga dari Bapak Rofiq."

"Alhamdulillah jika demikian." Bapak bicara, menanggapi abah yang sudah langsung pada topik utama.

"Kami bersyukur sekali semuanya berjalan sesuai rencana. Untuk syukuran pernikahan anak-anak kita, kalau saya pribadi, dan insya Allah begitu juga dengan kami semua, keluarga dari pihak Luli, sangat setuju untuk diadakan secepatnya. Cuma, mungkin pada teknisnya saja nggih yang agak membutuhkan waktu. Seperti mencari tempat, undangan, dan sebagainya."

Iqbal mengangkat tangan, meminta izin hendak bicara. Luli dan Nara sudah berasa ikut rapat senat saja.

"Iya, silakan, Iq." Bapak memberi kesempatan pada menantunya.

"Mohon maaf kalau jadi menyela nggih, Pak. Untuk teknis insya Allah sudah semua, Pak. Iiq sudah menghubungi dan berpesan pihak-pihak yang nantinya akan terlibat untuk siap diminta sewaktu-waktu. Desain undangan sudah Iiq buat dari sejak melamar Luli, tinggal diisi tanggalnya saja. Cetaknya juga sudah minta gimana caranya agar maksimal dua hari jadi, dan sananya sudah menyanggupi, kapanpun. WO sudah siap, souvenir juga tinggal eksekusi. Mungkin tinggal mau dibikin seperti apa acaranya dan kapan. Setelah itu baru cari tempat. Begitu, Pak, Bu, Zul."

Fikar hampir mengangguk, tapi berbalik menatap tajam adik ipar yang dia anggap kurang ajar, sebab berhenti pada Zul, dan tidak menyebut Fikar. Iqbal pura-pura tak sadar.

"Oh iya, Pak, Bu, untuk baju juga insya Allah sudah siap, termasuk yang akan dipakai Luli. Cuma mungkin harus fitting lagi karena ukuran yang dipakai ini ukuran waktu Luli belum ham ... mil." Suara Iqbal menghilang tiba-tiba, sadar ia melakukan kesalahan besar yang ....

"Maksudnya aku gendut? Bajunya nggak muat? Kakak tuh ngeselin emang. Suami nggak pengertian! Ini kan gara-gara Kak Iiq juga. Huhuhu...." Luli ngegas, lalu bablas. Lari ke kamar tanpa pamit pada yang lain.

Iqbal ikut berdiri, meminta maaf, lantas mengejar sang istri.

Zulfikar tersenyum, tampak puas. Mungkin dalam hati berkata, "Rasain kamu, Iq, kualat sama kakak ipar!"

Para hadirin di ruang tamu tak ikut beranjak bubar, malah melanjutkan pembicaraan tanpa kehadiran pengantin baru yang seringkali justru bikin suasana jadi buyar. Semua tahu, Iqbal pasti setuju. Dan Luli, dia akan mengikuti semua keputusan yang diambil sang suami.

Di kamar, drama pasangan lebay dan bucin sedang berlangsung. Iqbal memohon-mohon maaf pada Luli, yang kali ini menangis dengan serius. Sepertinya sensitivitas berkaitan dengan berat badan dan body memang cukup tinggi.

Iqbal menjadikan hal ini sebagai prioritas untuk tidak dibahas. Berbagai kata kunci yang berkaitan dengan berat badan ia enyahkan sementara dari pikirannya.

Ia tak lagi bicara apa-apa. Cuma diam, memeluk istrinya yang meringkuk di pinggiran tempat tidur. Ia tahu, Luli hanya butuh berdamai dengan dirinya, dengan hatinya, dengan pikirannya. Dan yang seperti ini bukan hanya istrinya. Ia ingat, Erik juga pernah bingung waktu Acha hamil anak ketiga. Body yang tak pernah jadi masalah di dua kehamilan sebelumnya, seakan berubah menjadi musibah yang cukup parah.

"Kak."

Setelah hampir sepuluh menit dalam peluknya, suara Luli terdengar. Iqbal lega. Sangat lega.

"Iya, Sayang?"

"Apa Kakak tetap sayang sama aku kalau aku gendut?"

"Bahkan kalau kamu minta aku untuk ikut gendut, aku siap, Neng."

"Nggak. Kakak nggak boleh gendut. Yang sekarang ini udah ideal banget. Aku nggak mau punya suami yang kegendutan. Aku mau Kak Iiq yang sekarang aja."

"Kalau aku, aku maunya Luli yang apa adanya. Gendut ya pe-de, naik berat badan ya santai, pokoknya aku sayang sama kamu yang apa adanya."

"Berarti kalau aku ngambek gara-gara berat badan, Kakak nggak sayang?"

"Pokoknya aku sayang kamu, apapun keadaannya. Udah. Itu aja yang harus kamu tahu. Sekarang kita keluar ya, gabung ke ruang tamu lagi. Oke?"

Iqbal mencium sekilas bibir Luli. Ia tak menerima bantahan kali ini.

Pembicaraan di ruang tamu tampaknya telah usai. Iqbal dan Luli disambut dengan penjelasan oleh Zulfikar, yang semua disetujui oleh keduanya.

"Alhamdulillah. Saya jadi ingat waktu pertama kali Nak Iqbal kemari. Rasanya baru kemarin kejadiannya, sekarang sudah mau jadi orang tua. Kami, saya dan ibunya, masih sering tertawa kalau ingat Luli yang menyangka sedang di-prank sama dosennya." Bapak bernostalgia.

"Iya ya, Pak. Saya juga masih suka geli kalau ingat Luli yang kesel sama Mas Fikar pas Pak Iqbal pertama kali ke sini. Dipikirnya mau ada yang ngelamar, eh malah Mas Fikar ngebolehin Pak Iqbal namu. Dia malu kalau dilamar orang dan ketahuan sama dosennya. Padahal Pak Iqbal sendiri yang mau ngelamar. Lul, Lul, polosmu lho." Nara menimpali. Yang lain tertawa.

"Ya gimana, Nar. Bapak Iqbal Sya'bani, ST, MT lho, tiba-tiba datang buat melamar Zulfa Nurulita, mahasiswi biasa-biasa saja, nggak ada istimewa-istimewanya. Kan bau-bau prank banget." Lagi-lagi semua tertawa.

Umi meraih dan menggenggam tangan si menantu bungsu, beliau turut pula berkata, "Saya juga masih ingat sekali, waktu Iiq bilang kalau dia habis melamar anak perempuan. Sebelumnya nggak bilang apa-apa dulu pada kami, makanya saya kaget setengah mati. Tapi waktu dia cerita tentang Neng Zulfa, masya Allah, matanya itu terlihat beda. Iiq kelihatan semringah dan bahagia. Makanya saya sendiri langsung yakin, waktunya Iiq mengakhiri status bujang sudah tiba."

"Tapi belum lapuk kan bujangnya?" goda abah. Tawa kembali pecah.

Hanya tawa Iqbal yang perlahan menghilang, berganti mata yang berkaca-kaca.

"Iya. Saya masih ingat semuanya dengan baik. Sangat baik. Saya ...."

Iqbal menyusut bening yang tiba-tiba saja memberati kedua netra. Membuat pandangannya sedikit memburam. Satu per satu kenangannya dari sejak pertama duduk di ruangan ini seakan diputar kembali.

"Kak. Kakak kenapa?" Luli menyentuh paha suaminya, menatap dalam kedua matanya.

Iqbal tertawa, agak sumbang. Menahan tangan Luli agar tak beranjak darinya.

"Saya berterima kasih sekali pada semua yang ada di sini. Yang telah mendukung, mendoakan, juga menerima saya dan Luli. Saya sudah jadi suami, dan itu sesuatu yang sangat berarti. Saya bahkan sudah mau menjadi bapak, maka betapa hidup saya sungguh sangat berarti. Saya bersyukur memiliki Luli. Saya bersyukur memiliki abah dan umi. Dan saya bersyukur, Allah melengkapi hidup saya dengan menjadikan bagian dari keluarga ini. Keluarga Bapak dan Ibu Rofiq Hidayat. Menjadi adik ipar dari sahabat saya sendiri, juga ... mahasiswi saya."

Dipandangnya bergantian Fikar dan Nara. Fikar tersenyum, Nara mengusap air mata.

"Udah sih, Kak. Jangan melow. Luli nggak suka."

Ia genggam tangan lelakinya. Satu tangan mengusap bening yang masih menggantung pada kedua sudut mata Iqbal. Lalu satu kecupan ia berikan pada pipi, yang selalu menjadi sasaran setiap kali ia terbangun dari mimpi.

"I love you, Bapak Sya'bani," bisik Luli.

"Sudah, Dek. Nanti dikira abah yang nurunin romantisnya ke kamu. Abah kan nggak enak."

Suasana romantis mendadak rusak. Semua terbahak.

Abah lalu memohon diri, menutup pertemuan kali ini. Mungkin besok-besok dua keluarga akan lebih sering bertemu, untuk persiapan resepsi pernikahan Iqbal dan Luli dua pekan lagi.

Usai membantu ibu di dapur, Luli minta izin untuk menyusul Iqbal ke kamar. Rupanya si laki-laki kesayangan sedang sibuk dengan pekerjaan.

"Kerjaan apa sih, Kak, kayaknya akhir-akhir ini sibuk banget?"

"Hehe, iya, Neng sayang, lagi ada project rahasia. Nanti kalau udah waktunya aku kasih tahu. Oke?"

"Iya deh, Bapak Dosen. Mahasiswi semenjana macam Zulfa Nurulita ini tahu apa memangnya."

"Jangan mulai lagi deh. Kamu udah mulai ada peningkatan kok. Nilaimu di mata kuliahku bagus, dan itu murni hasil usahamu. So proud of you, Sayang." Ditinggalkannya pekerjaan, menghampiri Luli yang duduk di tepi tempat tidur dengan tatapan sayang untuknya.

"Maafkan aku ya, Neng."

"Maaf? Untuk apa?"

"Tadi aku emosional, ingat pertama kali datang ke rumah ini. Aku dulu udah kuatir banget kamu bakal nolak aku."

"Kakak tuh aneh deh. Ada juga aku yang rugi kalau nolak Kakak. Tapi aku tuh dulu beneran nggak yakin. Rasanya kayak mimpi, tapi pas dicubit kok sakit. Ini tuh dilamar Pak Iqbal lho, yang fansnya mengular, yang---"

"Ssstt, aku harus apa untuk meyakinkan kamu, Neng? Sudah sejauh ini lho, apa kamu masih tetap merasa nggak yakin lah, mimpi lah, dan semacamnya? Bukannya kamu udah pernah bilang kalau---"

Sejoli itu saling memotong pembicaraan pasangannya.

"Itu dulu, Kak sayang. Sekarang nggak lagi, insya Allah. Luli udah tahu dan udah yakin banget kalau sayangnya Kakak, cintanya Kakak, cuma buat Luli seorang. Tapi Kakak janji ya, akan selamanya begini. Dan Kakak juga janji, jangan marah sama aku kalau aku bikin pengakuan. Aku memang salah, melanggar hak orang lain. Tapi gara-gara itu juga aku jadi tahu dan makin yakin kalau Kakak cuma milikku, cuma cinta sama aku. Nggak ada yang lain, termasuk Mbak Pipit."

Duh, perasaanku nggak enak nih. Ada apa ya bawa-bawa Pipit lagi? batin Iqbal.

"Kenapa bahas masa lalu lagi sih, Neng?"

"Emm, sebenernya aku tuh, emm... aku udah melanggar privasi Kak Iiq."

"Apa sih, Sayang? Aku udah merasa nggak ada privasi di depan kamu. Nggak ada rahasia apapun yang kusembunyikan dari kamu."

"Ya mungkin nggak ada maksud disembunyikan, tapi aku memang dapatnya dari tempat yang tersembunyi, Kak."

"Ini tentang apa sih? Jangan bikin deg-degan deh, Neng."

Iqbal mencoba mengingat sesuatu yang masih ia sembunyikan, tapi sama sekali tak ia temukan. Nyatanya memang tak ada lagi yang ia sembunyikan dari Luli, kecuali ... sesuatu tentang pekerjaan, yang untuk saat ini memang masih ia rahasiakan.

"Ini tentang surat, Kak."

Deg. Iqbal langsung tahu surat yang Luli maksud. Ia sempat mencarinya, tapi tak ketemu. Sempat khawatir pula Luli yang akan menemukannya lebih dulu. Dan apa yang dia khawatirkan terjadi juga.

"Surat bersampul kuning?" Luli mengangguk. Iqbal menggigit bibir bawahnya, siap menerima apapun reaksi sang istri.

"Maaf ya, Kak, aku lancang mencuri baca. Nggak sampai selesai kok, tapi aku udah tahu siapa pengirimnya. Dan aku jadi tahu, kalau ternyata keberadaanku sangat berarti buat Kak Iiq. Maafkan aku ya, Kak, kalau selama ini masih sering meragukan Kakak. Aku cuma nggak percaya diri, kalau aku pantas dicintai sebegini dalamnya oleh seorang Iqbal Sya'bani. Aku ...."

Tangis Luli pecah sudah. Pun dengan Iqbal. Mereka saling memeluk, saling melepas segala keraguan. Luli bahagia, Iqbal lega luar biasa.

"Alhamdulillah. Kupikir kamu akan marah karena surat itu, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Aku tahu kamu istimewa, dan itu selalu muncul di saat-saat yang nggak terduga. I love you, Zulfa Nurulita."

"I love you too, Bapak Zulfa Nurulita."

"Ngawur! Ada juga Ibu Iqbal Sya'bani."

Dicubitnya hidung Luli gemas. Luli tertawa, mencium laki-laki kesayangannya dengan panas, yang disambut Iqbal sampai keduanya nyaris kehabisan napas.

-------

Dua jarum pada jam di dinding kamar Luli mendekati angka sepuluh. Iqbal melirik Luli yang sudah pulas sejak tadi. Kecapaian, sebab selepas isya ia bermain dengan Lila hingga hampir jam setengah sembilan. Keponakannya masuk kamar, tantenya pun menyusul, dan tak lama kemudian langsung terkapar.

Iqbal tersenyum, merapikan anak-anak rambut yang menutupi sedikit bagian wajah Luli. Mencium kening perempuan yang teramat ia cintai itu, kemudian melangkah menuju pintu. Ia butuh kopi, untuk menemani menghabiskan malamnya sendiri. Oh, tidak sendiri, ada pekerjaan yang setia menemani.

Baru saja memenuhi cangkir dengan air panas, satu suara tertuju padanya.

"Heran. Iqbal Sya'bani bisa sebegitu bucinnya sama Luli."

Si pemilik suara tak menoleh sedikit pun pada yang diajak bicara. Sibuk meracik coklat panas, yang selalu menemani malamnya.

"Dan Zulfikar Aditya bisa sebegitu resenya mengomentari."

Iqbal terkekeh. Lantas membawa cangkirnya menuju teras belakang, duduk menghadap taman yang menjadi tempat ibu mertuanya menyalurkan kecintaan pada tanaman. Zulfikar menyusul tak sampai dua menit kemudian.

"Apa sih istimewanya adikku? Dari sejak kamu bilang mau melamar Luli, aku sudah khawatir dia akan banyak makan hati dan cemburu. Tapi kelihatannya aku salah. Yang terjadi malah sebaliknya. Kamu yang tergila-gila sama dia."

"Bahasamu lho, Fik, lebay banget." Diseruputnya kopi pahit hingga tersisa sedikit.

"Apanya yang salah? Bahasaku sudah pas sih. Lebaynya selevel sama lawan bicara." Iqbal tertawa mendengar jawaban kakak iparnya.

"Bukankah setiap manusia terlahir dengan kekurangan dan kelebihan, Fik. Begitupun adikmu. Kita cuma beda fokus saja. Padanya, kamu lebih fokus pada kekurangan. Sedangkan aku, lebih fokus pada kelebihannya, minimal kelebihan dia sebagai istriku. Bahkan kalau boleh aku bilang, bukan cuma kelebihan, tapi keistimewaan.

"Luli itu istimewa. Dia itu pas banget, sesuai dengan yang kuharapkan selama ini. Ya memang seperti Luli itu yang paling cocok buat seorang Iqbal Sya'bani. Seperti halnya seorang Asya untuk Bapak Zulfikar Aditya, ST, MT.

"Kamu memang jago dalam mengukur sesuatu, Fik, biarpun itu cuma bermodalkan feeling dan kebiasaan. Tapi sepintar-pintarnya kamu mengukur sesuatu, ukuran yang Allah tetapkan jelas lebih presisi dan pas daripada prediksimu, Bro. Nah, seperti itulah aku dengan adikmu. Ukuran kami bukan berdasarkan kemampuanmu, tapi jauh lebih dari itu. Dalam hal ini, kemampuanmu bahkan tak ada seujung kuku. Sorry to say."

"Oke, Iq. Kali ini aku setuju. No debate, just thank you."

"What for?"

"Untuk mencintai adikku sedalam itu."

Zulfikar bangkit dari duduknya. Menepuk bahu adik ipar, dan berlalu kembali ke kamar.

Iqbal menyungging senyum. Menandaskan isi cangkir hingga tak bersisa, menyempatkan pula untuk mencucinya. Setelahnya ia membersihkan diri, lalu kembali ke kamar, dan memandangi sang istri.

Pekerjaannya mendadak tak penting. Ia tinggalkan semua, dan memilih untuk memeluk calon ibu dari anak-anaknya.

"I love you, Sayang."

***

Aish, kayaknya baru kali ini deh ditutup dengan kalimat begini.

By the way, maaf yaaa agak lama updatenya. Lagi musim UAS nih. Ditambah bocils pada batuk pilek gara-gara kebanyakan main air dan minum es di rumah mbahnya. Nularin pula ke bapaknya. Alhamdulillah, emaknya masih kokoh berdiri kek patung kuda di Ngesrep sana.
*kokoh tapi curhat :D

Udah ah gitu aja. Pokoknya terima kasih banyak untuk semuanya. Juga mohon maaf kalau ada kekurangan dan salah-salah kata.

Jangan lupa follow instagramku ya fitrieamaliya aku mulai aktif lagi di feed. InsyaAllah sometimes pengen sharing juga, tentang menulis mungkin, atau apalah nanti sambil jalan. Hehe.

Oh iya, satu lagi. Udah lama kan ya nggak kasih lagu. Ini aja deh, kukasih lagu jadul yang (lumayan) Iqbal banget. Halah, padahal mau bilang gue banget. Haha...

Sampai jumpa
❤❤❤

Semarang, 061212

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top