Part 37.
"Oh iya, Zulfa. Saya juga mau minta tolong sama kamu ya."
"Eh, i-iya, Pak. Silakan."
"Tolong jaga hati kamu buat saya."
***
Eaaakk...
Bakul jamu piknik ke Jogja
Lama gak ketemu,
kuy lah langsung baca aja.
-------
Jadwal UAS untuk pekan ini telah selesai. Masih ada dua mata kuliah lagi pekan depan. Sebelum pulang, Luli harus ke ruang dosen dulu. Bu Santi meminta bantuannya untuk menaruh lembar jawaban UAS ke mejanya.
Ruang dosen sepi, hanya dua dosen yang ada di sana. Seorang duduk di ujung dekat pintu. Satunya lagi Iqbal Sya'bani, yang sedang berhadapan dengan salah satu mahasiswa untuk memberi konsultasi.
Luli menelan ludah. Bukan baru kali ini ia bertemu suaminya di kampus, tapi rasa dag dig dug tetap saja menyapa.
Dari sejak Luli melewati pintu, pandangan Iqbal tak bergeser satu mili pun darinya. Mahasiswanya diam saja, sebab sang dosen sudah meminta izin untuk jeda beberapa detik saja. Untuk apa lagi kalau bukan memandangi sang istri. Dasar bucin!
"Mari, Pak," sapa Luli. Mau tak mau harus begitu, masa iya mau diam saja, sedangkan meja suaminya terletak persis di sebelah meja Bu Santi.
"Dimintain tolong sama Bu Santi, Zulfa?"
"Iya, Pak." Luli mengangguk, satu senyum nan santun terulas di wajahnya.
"Bu Santinya ke mana?"
"Langsung ngawas di kelas berikutnya, Pak." Iqbal tersenyum, mahasiswa yang duduk di hadapannya masih diam mengamati lembar skripsi.
"Mari, Pak." Luli berpamitan.
"Oh iya, Zulfa. Saya juga mau minta tolong sama kamu ya."
"Eh, i-iya, Pak. Silakan."
"Tolong jaga hati kamu buat saya."
Luli tersipu, juga tak enak hati. Memang sudah sering dia alami. Tapi di depan mahasiswa, baru kali ini Iqbal melakukannya.
Mahasiswa bimbingan Iqbal pun tak kuat menahan tawa.
"Astaghfirullah, paringana sabar (berikanlah kesabaran), Ya Allah." Dia menoleh pada Luli, yang wajahnya entah sudah semerah apa.
"Mas Alif? Pantesan Kak Iiq berani. Coba kalau bukan sama Mas Alif, paling malu mau nyapa-nyapa saya. Huh." Luli melengos, berlalu pergi tanpa basa basi lagi.
"Wait ya, Lif."
Iqbal mengejar Luli sampai depan ruang dosen. Meminta maaf dan membujuknya sedikit, lalu menyerahkan kunci mobil dan menyuruh istrinya menunggu sebentar di sana. Setelahnya ia kembali ke mejanya dengan cengiran lebar.
"Lhais ke, Mas, nyonyah nesu (nyonya marah)."
"Nggak apa-apa. Udah biasa. Aku suka lihat dia gitu. Makanya sering kugodain biar ngambek. Menurutku, dekne nek nesu ki tambah ayu, Lif (Menurutku, dia kalau marah tuh tambah cantik, Lif). Mungkin setiap istri begitu ya di mata suaminya?"
"Ya Allah, Mas. Please. Mbok ya rasa perikejomloanmu tolong diaktifkan lah. Gak mesakke karo aku (Nggak kasihan sama aku). Pedih ngerti nggak sih."
"Halah lebay. Udah yuk ah, lanjut yang tadi. Udah ditunggu nyonya di mobil."
Mereka berdua kembali larut dalam urusan konsultasi skripsi dan baru selesai setelah hampir setengah jam bicara dalam mode serius.
"Maaf ya, Neng. Nggak bete kan nunggunya?" Iqbal sampai di mobil, kata maaf menjadi pembuka kalimatnya.
"Nggak, Kak. Aku sambil baca kok."
Luli menutup buku di tangannya, memasukkan dalam penyimpanan di depan seat-nya.
"Udah nggak marah kan gara-gara tadi?"
"Dari Kakak minta maaf tadi juga aku udah nggak marah kali, Kak. Malah nyesel."
"Kenapa nyesel?"
"Kan Mas Alif jadi mikirnya aku ngambekan."
"Nggak lah. Udah kubilang kalau aku memang suka bikin kamu ngambek, soalnya kamu kalau ngambek tambah ayu. Bikin aku tambah cinta."
"Iya deh, terus-terusin aja ngegombalnya. Asal jangan ngegombalin cewek lain."
"Apa sih, Neng? Suka banget bahas cewek lain. Aku aja nggak suka. Mending bahas pondasi daripada bahas cewek lain."
"Kok pondasi sih? Bukan mending bahas aku gitu?"
"Lha kamu kan pondasi, Neng. Yang menopang hatiku biar nggak ambruk atau jatuh ke hati yang lain."
"Iiih, Kakak nih ngeselin yaaa."
Kedua tangan Luli mendaratkan cubitan di badan Iqbal. Mobil jadi heboh oleh gelak tawa mereka berdua.
"Kita ke Bukit Sari ya."
Adegan cubit-cubitan usai. Iqbal meminta persetujuan.
"Kenapa ke sana, Kak?"
"Aku kangen umi."
Lah, padahal baru dua hari nggak ketemu umi sama sekali.
"Dua hari nggak ketemu umi sama sekali itu buatku lama, Neng." Iqbal seolah tahu apa yang ada di pikiran sang istri.
"Eh." Luli kaget, berasa ke-gap sedang ngrasani Iqbal dan umi.
"Aku nggak bisa jauh dari umi, seperti aku nggak bisa jauh dari kamu, Nyonya Sya'bani. I love you."
Tuas persneling bergeser ke D, lalu tangan yang menggesernya beralih menggenggam jari-jari sang istri, mengecup sekilas, dan mobil pun meninggalkan area parkir gedung dua departemen teknik sipil.
Iqbal mengucapkan terima kasih pada Pak Yus yang sudah membukakan pagar. Pak Yus membalas ramah, lantas kembali mengurus taman. Iqbal memarkir mobil di luar garasi, matanya mengitari sekeliling. Semua mobil terparkir rapi, berarti abah dan umi di rumah. Alhamdulillah.
"Assalamualaikum," teriak Iqbal. Namun hingga salam yang ketiga, tak ada jawaban yang didapatkan.
"Abah sama umi ke mana ya, Neng? Sepi banget. Apa di kamar ya? Tumben banget. Biasanya jam segini umi lagi sibuk di dapur."
"Tapi umi sehat kan, Kak?"
"Terakhir telepon kemarin sore, suaranya sehat-sehat aja deh, Neng."
"Siapa tahu suaranya dibikin-bikin biar Kak Iiq nggak kuatir."
"Dih, jangan suuzon gitu ah, Sayang." Padahal hati Iqbal ikut ketar ketir. Dia nggak akan memaafkan dirinya kalau benar umi sakit sedangkan dia nggak tahu apa-apa.
"Aku ke kamar umi ya, Neng."
"Aku ikut boleh, Kak?"
Iqbal tak menjawab, hanya menggandeng tangan Luli untuk bersamanya ke sana.
Baru akan mengetuk, pintu lebih dulu terbuka. Uminya keluar dari kamar dengan rambut tergerai. Basah. Dan hanya memakai bathrobe saja.
"Astaghfirullah hal adzim, ya Allah ya Rabbi, Gustiii." Umi memekik kaget. Langsung masuk kamar lagi dan membanting pintu.
Iqbal paham apa yang baru saja terjadi. Ia terpingkal-pingkal, mengajak Luli segera berlalu dari depan kamar sang ibu.
"Sini deh, paling sebentar lagi abah umi ke sini."
Iqbal berhenti di ruang keluarga. Ia duduk bersandar pada sofa besar, lalu menarik Luli ke pelukannya.
"Ada apa sih, Kak?" Seperti biasa, Luli dengan segala keluguannya.
"Itu, umi baru habis keramas."
"Ya terus?"
"Ya kamu biasanya kalau keramas habis ngapain, Sayang?"
"Eh, tapi kan, abah sama umi udah tua, Kak? Masa iya sih nganu gitu."
Tawa Iqbal pecah makin keras. Sungguh, level kepolosan istrinya yang cukup parah selalu berhasil membuatnya gemas sekaligus bahagia.
"I love you, Neng. Terima kasih banyak, sudah menjaga dirimu dengan sebaik-baiknya. Aku beruntung memiliki kamu. Jangan tinggalin aku ya."
"Apaan sih? Kok jadi nggak nyambung."
"Kamu lho, polosnya. Menunjukkan kalau kamu bener-bener terjaga. Jangan tinggalin aku ya, Neng." Iqbal mengulang kembali permintaannya tadi.
"Kakak kali yang ninggalin aku."
"Nggak lah. Aku nggak akan ninggalin kamu. Insya Allah."
"Berarti kalau kakak dinas ke luar kota, aku boleh ikut?"
"Luliii. Ya bukan begitu juga, kaliii." Iqbal memekik. Gemes-gemes kezel.
"Apa sih, Dek, teriak-teriak gitu?" Abah mendadak muncul di ruang keluarga.
"Hehe, udah selesai, Bah? Udah lega?" Luli mencubit perut suaminya. Pelukan tak sedikit pun lepas dari keduanya.
"Alhamdulillah. Memangnya cuma kalian yang bisa begitu?"
"Dih, nggak usah sensi juga kali, Bah." Iqbal tertawa. Puas bisa meledek abahnya tanpa banyak kata.
"Kebetulan kamu ke sini. Ikut abah ya, Dek."
"Ke mana, Bah?"
"Kamu udah berapa lama nggak ke proyek?"
"Baru juga minggu kemarin sama Abah, kan? Udah makin sepuh kayaknya Bapak Sudjana ini."
"Bukan makin sepuh sih, anaknya aja yang disindir nggak peka." Smash balik!
"Hahaha, iya deh, Bah. Siap. Iiq ganti baju dulu ya, Bah."
Ia mengajak Luli ke kamar. Memohon izin dan keihkhlasannya untuk ditinggal sebentar.
Luli cemberut, tapi tetap mengiyakan. Ia turut keluar, melepas sang suami untuk menemani abahnya. Setelahnya umi mengajaknya memasak, tapi Luli menolak halus ajakan umi. Terpaksa. Ia memang merasa capek. Lagipula, hidung dan perutnya sedang tak bersahabat dengan aroma apapun yang menguar dari area sekeliling kompor.
Luli kembali ke kamar. Kedua netranya memindai buku-buku di rak yang memenuhi satu sisi kamar Iqbal. Pandangannya berhenti pada buku berjudul Para Priyayi. Ia pernah membacanya, dan tokoh Lantip masih terngiang di kepala. Maka tangannya terulur begitu saja mengambil buah tulisan Umar Kayam.
Suara benda jatuh terdengar saat Luli menarik buku dari deretnya. Sebuah amplop berwarna kuning muda. Luli merabanya, terasa tebal. Mungkin isinya kartu, atau surat yang cukup panjang. Ia lalu membolak-balik, mencari tulisan untuk siapa dan dari siapa, tapi tak menemukan apa-apa. Sebenarnya surat itu terbuka, tapi ia merasa tak berhak untuk mengetahui isinya.
Gelisah. Ia dilanda gundah. Satu sisi hati melarang karena itu bukan haknya. Sisi yang lain menyuruhnya untuk membuka, sebab Iqbal sekarang suaminya. Dia dan Iqbal itu satu, maka milik Iqbal boleh dikatakan miliknya juga.
Merasa menemukan pembenaran, Luli nekad mengeluarkan isi dari amplop kuning tadi.
Dear, Bapak Sya'bani.
Ada ngilu menembus hati. Itu sebutan yang disukai suaminya.
Hai.
Duh, canggung sekali.
Baiklah.
Aku pamit.
Sudah waktunya untuk aku pergi.
Selama ini aku tahu, jauh di hati seseorang, namaku belum tergantikan.
Tapi rupanya waktunya tiba juga.
Manakala kulihat mata yang berbinar setiap kali menyebut namanya.
Juga senyum yang mengembang setiap kali bercerita tentangnya.
Dan harapan yang benderang, setiap kali mengurai rencana yang akan dibuat ke depan.
Bersama dia tentu, bukan aku.
Aku tak tahu, seperti apa gadis beruntung itu.
Aku hanya tahu, seseorang mencintainya teramat dalam.
Jika cintanya berwarna hitam, maka hitamnya lebih pekat dari warna malam.
Jika cintanya berwarna putih, maka putihnya lebih suci dari embun pagi.
Jika cintanya adalah palung, maka Mariana pun bertekuk lutut di hadapannya.
Jika cintanya adalah sungai, maka Nil dan Amazone pun ingin menyatu demi mengalahkannya.
Begitulah...
Mungkin terkesan berlebihan aku menggambarkan, tetapi itulah kenyataan.
Luli berhenti membaca. Mengusap pipi yang telah penuh oleh air mata. Ia melipat kembali surat di tangannya. Tak berusaha menyelesaikan, sebab ia telah tahu. Pertama, Iqbal begitu mencintainya. Kedua, siapa yang menulis surat untuk suaminya.
Para Priyayi kembali pada barisan semula. Amplop beserta isinya pun terselip seperti sediakala. Luli tak jadi membaca. Tak sabar menunggu Iqbal pulang ke pelukannya. Akan ia sampaikan bahwa ia mencintai, juga percaya padanya sepenuh hati.
-------
"Neng Zulfa, tidur kah?" Suara umi beradu dengan ketukan pintu.
"Nggak, Umi. Baru selesai salat isya. Maaf ya, Umi, Luli nggak bantuin apa-apa. Malah tiduran terus dari tadi," jawab Luli setelah membuka pintu untuk umi.
Sejak Iqbal pergi, Luli memang hanya sempat turun dua kali. Waktu makan siang yang hanya berdua dengan umi. Lalu sorenya sekira jam lima sampai menjelang maghrib, saat Bu Yus mengantarkan bubur kacang hijau bikinan umi ke kamarnya. Luli tak mau makan di sana, ia meminta Bu Yus membawa turun lagi, dan ia ikut. Berbincang sebentar dengan umi, yang dengan antusias menunjukkan album foto suaminya dari sejak kecil sampai SMA.
"Udah, nggak apa-apa. Santai aja. Cucunya umi lebih penting," kata umi sambil menyentuh perut menantunya.
"Turun yuk, Neng, sebentar lagi Iiq sama abah datang."
Luli turun bersama umi, yang menggandengnya dengan rasa sayang bagai anaknya sendiri.
Duh, Luli jadi merasa bersalah.
"Assalamualaikum." Suara abah terdengar. Disusul suara yang Luli rindukan sejak tadi siang. Rasa bersalahnya pada umi menguap perlahan.
"Waalaikumussalam," jawab umi dan Luli bersamaan.
Umi menyambut abah, mencium tangannya dengan takzim. Abah mengecup kening umi sayang.
Sebaliknya, bukan dia yang menghampiri Iqbal. Untuk hal satu itu, Iqbal selalu selangkah lebih cepat darinya. Ia ada di pelukan suaminya sekarang, merasai segarnya aroma keringat yang menempel di baju Iqbal. Kemudian ia geli sendiri, ingat Nara yang sejak hamil muda hingga sekarang suka banget dengan bau keringat kakaknya.
"Kenapa hayo, senyum-senyum sendiri?" bisik Iqbal padanya.
Luli menggeleng sambil terkikik, membuat Iqbal makin penasaran. Dicubitnya hidung Luli, lalu berpamitan pada abah umi hendak ke kamar dan mandi.
"Habis mandi turun lagi ya, Dek. Kita makan malam bareng."
"Siap, Mi."
Tanpa basa basi Iqbal lantas menggendong Luli, yang refleks meronta sebab malu pada kedua mertuanya. Abah dan umi tertawa.
"Kalau itu abah memang udah nggak bisa, Dek. Nggak kuat. Umimu berat."
Iqbal ngakak. Uminya cemberut, berpura-pura marah pada abah. Sejak umi menjadi satu-satunya di mata abah, romantisme pasangan sepuh itu memang seperti tak ada habisnya.
Sampai di tangga, Iqbal berhenti dan menurunkan Luli.
"Ternyata kamu juga udah berat, Neng. Aku angkat tangan kalau disuruh gendong sampai atas."
Luli diam, tak ada tanggapan. Ia terus naik sampai ke kamar, tak peduli Iqbal menggodanya. Gantian Iqbal yang bingung. Ia lebih senang Luli ngambek daripada mendiamkannya.
"Neng, kenapa sih? Aku minta maaf kalau becandaku tadi kelewatan."
"Iya, aku tahu kok kalau aku sekarang mulai gendut. Tapi kan karena aku hamil anak Kak Iiq juga. Harusnya Kakak tuh menghibur aku, menguatkan aku, jangan malah ngebahas aku yang sekarang gendut." Luli menunduk, memilin-milin ujung jilbab yang ia kenakan. Mulutnya mengerucut, matanya panas meski masih bisa ditahan.
"Aku nggak bilang kamu gendut, Sayang. Aku cuma bilang kalau kamu berat." Masih sempat menggoda.
"Iya itu sama aja kali, Kak. Laki-laki kan nggak suka kalau istrinya jadi gendut. Terus nanti---"
"Siapa bilang? Suuzon banget sih sama kaumku. Kan nggak semua begitu. Lagian, ibu hamil jadi gendut itu biasa, Sayang. Aku justru senang lihat kamu lebih berisi, lebih seksi. Gendut juga nggak berarti jelek kan? Yang penting kamu happy, insyaAllah aura kecantikanmu tetap memancar. Kamu kan cantiknya dari hati, Sayang. Bukan dari body. Udah ya, nggak usah dipikirin yang begitu-begitu."
"Kakak nggak ngerti sih gimana deg-degannya aku setiap kali naik ke timbangan. Jarumnya tuh nganannya makin ekstrim, Kak. Nanti kalau aku gendut, terus kayak mbok-mbok gitu, Kakak pasti nggak suka.
"Terus kalau udah lahiran, pasti aku tetep gendut karena menyusui. Belum kelar, udah hamil lagi, menyusui lagi, hamil lagi, gitu terus sampai anaknya lima belas. Kapan berat badanku balik lagi coba? Yang ada malah tambah bulet kayak balon udara."
Drama ibu hamil dimulai.
Luli memang sering muntah, tapi kalau makan kadang tak memperhitungkan jumlah. Makanya berar badannya bukannya berkurang malah nambah. Iqbal mengira semua baik-baik saja, tapi ternyata istrinya merasa resah. Semua gara-gara jarum timbangan yang bergerak ke kanan dengan istiqomah.
"Udah, nggak usah mikirin jarum timbangan. Besok aku belikan yang digital aja, jadi kamu nggak perlu deg-degan lihat jarumnya. Udah cukup deg-degannya pas lihat aku aja. Oke?"
"Nggak lucu."
"Aku bukan pelawak, Sayang. Aku ini perawat, yang selalu berusaha merawat cintaku agar selalu tertuju cuma buat kamu."
"Iiih, nggak pernah serius deh." Luli merajuk.
Dipeluknya Luli sekali lagi. Mengecup bibirnya yang terlihat basah karena efek lipgloss. Lalu izin untuk pergi mandi.
"Habis ini kita langsung turun ya, Sayang. Ada yang mau abah omongin sama kita."
"Tentang apa, Kak?"
"Nggak tahu. Tadi pas turun dari mobil cuma pesan begitu."
Duh, Luli jadi deg-degan lagi. Untung Iqbal tak lama di kamar mandi. Mereka segera turun untuk makan malam.
"Banyak amat makannya, Kak?" tegur Luli melihat Iqbal seperti tak bertemu makanan berhari-hari.
"Kangen, Neng, dua hari nggak makan masakan umi. Nggak delivery juga. Hehe."
Masakan umi memang juara. Pantas saja kalau Iqbal selalu merindukannya. Ditambah lagi, istrinya yang belum pintar masak keburu teler kalau berhubungan dengan dapur. Untung rumah orangtuanya dekat, jadi Iqbal hampir tak pernah absen menikmati masakan umi. Malah kadang kalau Luli tak masak dan dia sendiri malas masak, delivery order-nya ke Bukit Sari. Duh, dasar anak umi!
Abah meneguk habis sisa air putihnya. Ia bangkit lebih dulu.
"Dek, kita lanjut ngobrol di sana ya." Abah menunjuk ke arah ruang keluarga.
"Iya, Bah." Iqbal menyusul bersama Luli dan umi.
Berempat duduk di sofa yang berbeda. Abah dan umi di sofa yang menghadap ke timur. Luli dan Iqbal menghadap ke utara.
"Gimana, Neng Zulfa, katanya status udah go public ya di kampus?" Abah membuka percakapan tanpa basa-basi.
"Eh, i-iya, Abah. Alhamdulillah."
"Kekhawatiranmu terjadi nggak?"
"Emm, ya ada sih, Bah, tapi nggak sengeri yang Luli bayangkan. Paling cuma dua-tiga orang gitu. Ada yang kalau papasan suka kasih tatapan sinis, nggak enak gitu. Atau pas kebetulan bareng di tempat yang sama kayak misalnya di kantin, atau di depan ruang dosen, dan semacamnya gitu suka nyindir-nyindir atau ngebully. Kayak misalnya, 'Cieee, mulai semester ini nilai bagus bukan impian semata.' atau 'Pakai dukun nih pasti, makanya bisa dapetin suami yang model begitu.' Yaaa, gitu-gitu deh, Bah.
"Nara yang sering kesel karena dia hampir selalu ada di sana pas saya digituin, Bah. Soalnya dia ngerti sendiri gimana saya dulu udah berusaha nolak Kak Iiq, gimana Kak Iiq yang ngejar-ngejar saya, modusin saya, ngegombalin saya."
Abah dan umi terbahak. Senang dengan keluguan dan kejujuran Luli.
"Yang bagian itunya nggak usah diulang-ulang bisa kali, Neng." Iqbal mengacak rambut Luli.
"Lah, kan ini Nara yang bilang, Kak. Aku cuma cerita aja."
"Tapi yang lain baik semua kan tanggapannya?" Umi ganti bertanya.
"Alhamdulillah, iya, Umi. Yang lain baik semua. Malah mendukung dan menguatkan. Pada kasih selamat, terus pada becandain minta traktir, minta diundang ke resepsian nanti, dan semacamnya gitu. Terus ada juga yang minta diceritain gimana bisa nikah sama Kak Iiq, kapan pacarannya kok nggak ketahuan anak sipil, dan sebagainya.
"Paling parah ada yang nanya, gimana Kak Iiq kalau di ranjang, hot apa nggak?" Lagi. Luli bercerita dengan lugunya.
"Astaghfirullah. Serius, ada yang nanya gitu, Neng? Kok kamu nggak pernah cerita." Iqbal kaget.
"Iya, Kak. Ada. Kakak kan nggak pernah tanya. Lagian Luli juga ngerasa agak gimana gitu. Malu kan punya temen yang pengen tahu banget urusan kasur orang."
Malu, tapi malah cerita di depan mertua. Luli memang nggak jelas.
Abah dan umi terlihat agak terkejut, tapi setelahnya tersenyum. Menyembunyikan keterkejutan, sekaligus menghadapi keluguan menantunya.
"Terus kamu jawab?" Umi kepo.
"Ya iya, Umi. Saya bilang ke dia kalau itu rahasia. Terus saya bilang lagi, 'Aku nggak tega bilangnya, kalau kamu tahu gimana Pak Iqbal di ranjang, nanti kamu bisa meriang.' Gitu sih, Umi. Dia langsung diem. Nggak tahu sih, semoga diemnya nggak lagi jalan-jalan itu pikiran."
Tawa umi meledak. Dia bangun dari duduknya dan pindah ke sebelah Luli. Memeluk menantu bungsunya dan menciumi rambutnya dengan sayang. Kedua netra umi bahkan telah tergenang.
"Ya Allah, Neng. Umi bersyukur banget punya mantu kayak kamu," ujar umi setelah melepas pelukannya.
"Entah untuk ke berapa kalinya umi bilang begini. Tapi memang ini yang umi rasakan. Kamu itu lucu, Neng. Keberadaan kamu selalu bikin happy. Nggak cuma buat Iiq, tapi juga buat kami. Makanya, Iiq cinta banget sama kamu.
"Umi kasih tahu ya, Neng. Iiq itu setiap hari selalu telepon umi buat laporan tentang perasaannya ke kamu. Katanya, setiap hari ada aja kejadian yang bikin dia itu berdesir-desir hebat kayak baru pertama kali jatuh cinta. Dan setiap kali dia merasakan itu, setelahnya dia langsung telepon umi. Katanya, 'Mi, Iiq jatuh cinta lagi sama Luli.'
"Itu tiap hari begitu lho, Neng. Umi sendiri heran. Dari lima orang anak umi, cuma dia nih yang kayak begini. Abah aja nggak pernah lho begini. Ya cuma Iiq aja. Dan setiap kali Iiq habis telepon, umi tuh nangis, Neng, terharu. Anak bungsu umi bisa mencintai sedalam itu. Umi cuma bisa berdoa, semoga nggak cuma pas pengantin baru aja. Tapi seterusnya, selamanya."
"Aamiin," sahut abah dan Iqbal.
Sekali lagi umi memeluk Luli, yang sesenggukan mendengar cerita umi. Ia makin yakin, cinta Iqbal padanya memang nggak pantas untuk diragukan lagi. Dan nggak ada alasan untuknya tidak percaya diri.
"Neng, harusnya yang kamu peluk tuh aku, bukan umi."
Tangis Luli pecah sudah. Ia memeluk Iqbal erat. Sangat erat. Menumpahkan air mata yang menganak sungai di dada suaminya. Tempat ternyaman, di mana ada samudra luas di dalamnya. Di hati suaminya.
"Aku sayang sama Kakak. Aku cinta banget sama Kakak. Aku i love you banget sama Kakak," ucap Luli di sela tangisnya.
"Iya iya, udah ah. Nanti abah sama umi pengin, gimana? Nanti dilanjutin di kamar aja ya. Di ranjang yang bisa bikin meriang."
Luli melepas peluknya, ganti menghujani Iqbal dengan cubitan sayang. Iqbal kegelian. Abah dan umi tertawa melihat anak-anaknya.
"Ya sudah, berarti Neng Zulfa sudah siap untuk diresepsiin ya?" tanya abah usai kemesraan kedua anaknya mereda.
"Eh, di-diresepsiin gimana, Bah?" Luli mendadak ogeb.
"Ya merayakan pernikahan kalian. Syukuran. Walimahan."
"Eh, itu k-kapan ya, Bah?"
"Secepatnya. Setelah kamu selesai ujian semester."
"Eh, t-tapi saya UAS-nya tinggal dua hari, Bah. Senin sama Selasa. Apa nggak terlalu mepet, Bah?"
Luli mendadak gugup. Sejujurnya dia belum siap diresepsikan. Apalagi kalau harus dipajang di depan banyak orang. Kali ini alasannya berbeda lagi. Dia merasa sedang gendut-gendutnya, padahal berat badan baru naik lima kilo.
"Ya kita adakannya minggu depan, atau kalau terlalu mepet ya dua minggu dari sekarang."
"T-tapi, Bah."
"Oke. Sekarang kita istirahat dulu. Nanti abah telepon besan. Besok pagi jam delapan kita ke Banyumanik buat bahas ini."
"Ehk, ke Banyumanik mau ngapain, Bah?" Luli mendadak blank. Lupa pula kalau di Banyumanik ada rumah bapak ibunya.
"Mau belanja, Neng, ke Ada."
(Ada: nama pasar swalayan di daerah Banyumanik)
"Oh, umi mau diantar belanja bulanan? Atau mau beli apa?"
Maksud Iqbal tadi bercanda. Apalah daya istrinya yang sedang blank menelan mentah-mentah candaannya.
"Astaghfirullah hal adzim. Luliiiii."
***
Hai, yang udah kangen sama Luli-Iqbal mana suaranyaaa?!
Alhamdulillah, pagi-pagi udah bisa menyapa lagi. Sebenarnya mau up semalam, tapi nemenin bocils tidur malah ikut ketiduran. Emak-emak banget kan yak?! Hehe.
By the way, terima kasih banyak untuk yg masih setia menyimak. Dan mohon maaf kalau kemarin agak kelamaan updatenya. Yang penting sekarang Iqbal-Luli udah kembali.
Insya Allah part besok kita ikut abah umi ke rumah bapak ibunya Luli ya. Tinggal dikit lagi nih kelar. Hehe...
Baiklah, sampai sini dulu ya. Semoga mengobati kerinduan teman-teman pada Iqbal-Luli.
Sampai jumpa.
❤❤❤
Semarang, 02122020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top