Part 36.
Saat kamu marah pada seseorang, ingatlah kebaikan-kebaikan yang ada padanya. Insya Allah itu bisa bikin marahmu mereda.
- Iqbal Sya'bani -
***
Notes:
- hampir 4K words. Sabar yaaa :)
Enjoy reading.
-------
Malam beranjak pergi, berganti hari yang dini. Luli terbangun oleh alarm yang dia set di angka satu. Ditolehkannya kepala ke kanan kiri, tapi ia tak menemukan sosok sang suami. Pandangannya beralih ke meja kerja, tak ada pula Iqbal Sya'bani di sana. Hanya saja mejanya masih terlihat berantakan, menandakan ia belum selesai dengan urusan pekerjaan.
Luli bangkit dan menggeliat. Saat itulah matanya tertumbuk pada laki-laki yang ia cintai. Tertidur di kursi baca sambil memangku buku tebal yang terbuka lebar.
"Ya Allah, sampai ketiduran begitu," gumamnya.
Dihampirinya sang suami mengambil buku di pangkuannya dengan hati-hati, lalu menaruh di meja setelah terlebih dahulu memberi pembatas pada halaman yang terbuka. Ditutupinya tubuh Iqbal dengan selimut, kemudian mengecup keningnya lembut.
"I love you, Kak Iiq."
Tak ada balasan. Ia pun beranjak menuju kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi hingga merasa segar dan wangi. Digantinya piyama dengan basic pants hitam dipadu t-shirt lengan panjang putih bertuliskan Nyonya Sya'bani. Iqbal yang iseng membuatnya, rasa kepemilikannya terhadap Luli memang agak berlebihan.
Setelahnya, ia siapkan segala keperluan lainnya, seperti slingbag dan segala isinya, kaus kaki, juga pashmina hitam yang akan ia kenakan. Tak lupa menyiapkan pula baju ganti untuk Iqbal.
"Kak Sayang, bangun. Udah mau jam setengah dua. Kita mau jemput bapak ibu."
Luli dengan santainya naik ke atas pangkuan suaminya. Melingkarkan lengan ke leher Iqbal, dan menjatuhkan banyak ciuman ke wajahnya.
Aroma segar menusuk hidung Iqbal. Ia tersenyum menyadari apa yang sedang terjadi. Lalu mendekap istrinya penuh cinta. Dibenamkannya wajah ke dada Luli, menghirup dalam-dalam wangi yang selalu ia sukai.
"Terima kasih, Sayang, udah selalu bikin aku nyaman. I love you."
Iqbal mengakhiri adegan bahagia itu dengan mengecup sekilas bibir Luli.
-------
02.08. Stasiun Tawang yang barusan lengang sejenak ramai oleh beberapa puluh penumpang Argo Bromo Anggrek yang sedang melewati pintu keluar. Beberapa sopir taksi, menyambut dan menawarkan jasa pada mereka.
Iqbal bergegas menghampiri saat matanya menemukan dua orang yang begitu ia hormati. Ia dan Luli bergantian menyalami dan memeluk keduanya yang baru tiba dari ibukota.
"Sehat, Pak, Bu?" tanya Iqbal sembari mengambil alih koper kecil dan barang bawaan yang lain.
"Alhamdulillah. Kalian sehat to?" jawab bapak.
"Nggih, Pak. Alhamdulillah."
"Luli piye (gimana)?"
"Sae, Pak (Baik, Pak). Sekarang ini lagi nggak kuat sama bau-bau olahan daging sapi. Tiap cium bau sosis, bakso, steak, dan semacamnya langsung isi perut keluar semua saat itu juga."
"Persis ibunya waktu mengandung dia."
Bapak terkekeh. Ingatannya melayang pada masa ibu mengandung Luli. Tak hanya daging sapi, segala jenis daging bahkan tak bisa ibu konsumsi sebab tak kuat dengan aromanya.
Berempat memasuki mobil dan segera meluncur meninggalkan area parkir. Obrolan hangat mengalir. Bapak bercerita tentang kegiatannya di Jakarta. Sesekali ibu menimpali.
"Sudah ke Salatiga, Iq?" Ibu bertanya. Iqbal tahu itu hanya pembuka saja, sebab Luli kemarin sudah banyak ngobrol dengan beliau.
"Sampun, Bu (Sudah, Bu). Bapak ibu mau ke Salatiga kapan? Biar kami antar." Tawarnya pada sang mertua.
"Kami? Kak Iiq aja kali. Aku males."
"Ono opo to? (Ada apa sih?)" Ganti bapak yang bertanya. Ini pun Iqbal tahu hanya pura-pura.
"Jengkel sama Zulfikar, Pak, Bu."
"Ya habis, Mas Fikar tuh gitu. Kayak nggak suka banget kalau Lila dekat sama Kak Iiq. Bukannya terima kasih udah dibantu jagain Lila, dibelain bawa dia ke kampus, eh malah sinis banget ngomongnya. Kak Iiq juga, digituin masih sabar aja. Mbok ya sekali-sekali dibalas gitu lho, biar dia tuh ngerti kalau orang hidup nggak harus selalu jadi nomor satu." Luli merepet.
"Ini tentang apa?" tanya bapak lagi.
Iqbal tak mau banyak basa-basi. Ia ceritakan semua kejadian dua hari lalu saat mereka mengantar Lila dan menjenguk ibu Nara di Salatiga. Seperti biasa, lengkap, tanpa ada yang ditambah atau dikurangi.
"Iq, kami minta maaf ya. Fikar dari kecil memang begitu. Kami yang lalai, mungkin nggak menganggap itu sebagai sesuatu yang mengganggu, karena sifatnya yang seperti itu hanya keluar di depan kami, orang-orang dekatnya. Kami sama sekali tak mempertimbangkan, bahwa kelak dia juga memiliki keluarga sendiri, demikian pula dengan Luli.
"Sekarang orang-orang yang dekat dengan dia tentu tak hanya kami. Ada Nara, ada pula kamu. Mungkin seharusnya ipar bukan masuk daftar orang yang boleh kena imbas dari sifatnya Fikar yang satu itu. Cuma mungkin bagi dia kamu bukan sekadar ipar, karena jauh sebelum kalian mendadak iparan, kalian sudah lebih dulu dekat sebagai sahabat."
"Ya tapi nggak mentang-mentang lama bersahabat terus Mas Fikar jadi boleh semaunya ke Kak Iiq juga kan, Pak? Apa karena dia merasa lebih dituakan? Merasa selalu lebih baik dari Kak Iiq secara akademis. Merasa dia lebih segalanya dari Luli.
"Luli udah biasa diginiin sama Mas Fikar. Tapi Luli kan sekarang punya suami. Kalau suami Luli digituin juga sama dia, Luli nggak rela, Pak. Luli nggak ikhlas." Luli sesenggukan, ibu meraihnya dalam pelukan.
Ada yang bergemuruh di dada Iqbal. Ia merasakan cinta Luli yang begitu dalam padanya. Hatinya mengharu biru. Rasanya ingin memeluk belahan jiwanya detik itu juga.
"Kak Iiq juga terlalu sabar. Digituin diem aja, malah ngebaik-baikin Mas Fikar. Makin ngelunjak lah dia. Sekali-sekali tuh dibalas kek, jangan dieeem aja. Bukan sekali ini lho Kakak diginiin sama Mas Fikar. Kak Iiq tuh manusia, bukan malaikat. Nggak perlu harus baik-baik terus. Sekali-sekali ya harus dilawan juga itu Lord Zulfikar Aditya."
Luli lanjut mengungkapkan uneg-unegnya. Ia begitu kesal, sampai tersengal-sengal.
Sebaliknya dengan Iqbal. Rentetan kalimat yang terakhir Luli sampaikan membuat keharuan Iqbal berubah menjadi tawa. Tentunya cuma dalam hati saja. Apalagi sebutan terakhir yang Luli sematkan pada kakak semata wayangnya.
Lord Zulfikar Aditya. Duh, Iqbal mati-matian menahan tawa.
"Neng, kalau Zulfikar marah, kamu marah, terus aku ikut marah, apa jadinya? Kalian berdua kalaupun marahan sampai heboh, tetap saja hubungan darah akan mengembalikan keadaan menjadi seperti semula. Tapi kalau aku ikut marah, belum tentu hubungan yang sudah baik ini akan bisa bertahan lebih lama.
"Saat kamu marah pada seseorang, ingatlah kebaikan-kebaikan yang ada padanya. Insya Allah itu bisa bikin marahmu mereda. Paling tidak kita nggak ikut-ikutan kebawa emosi dan kehilangan kendali. Makanya, semarah apapun kita, usahakan nggak kehilangan logika. Begitu, Neng. Leres nggih (Betul ya), Pak, Bu?"
Bapak dan ibu sepakat mengiyakan. Nyatanya yang dikatakan menantunya memang benar.
"Buatku ya, Neng, apalah artinya kemarahan Zulfikar, toh kebaikannya juga menjadi salah satu yang membuat aku bisa memiliki hal terbaik dalam hidupku, yaitu kamu. Iya kamu. Zulfa Nurulita."
Luli tersipu, melepaskan diri dari pelukan sang ibu. Dikalungkannya kedua tangan untuk memeluk suaminya dari belakang, sekaligus memeluk driver seat tentu saja.
"Terima kasih, Kak. Luli sayang banget sama Kakak," bisik Luli, disambut uluran Iqbal Sya'bani mengelus kedua pipi sang istri.
"Terima kasih ya, Iq. Bapak bangga sekaligus lega punya menantu kamu." Bapak menepuk tangan kiri si menantu.
"Ibu juga, bahagia punya menantu seperti kamu. Juga Nara."
"Alhamdulillah. Maturnuwun, Pak, Bu. Mohon dimaafkan kalau Iqbal masih banyak kekurangan."
Sampai di lampu merah Sukun, Iqbal membawa mobil berbelok ke kiri. Rumah bapak ibu tak jauh lagi. Obrolan pun akan segera terhenti.
"Jadi nanti mau ke Salatiga jam berapa, Pak?"
"Benar kamu mau ngantar?"
"Insya Allah. Nanti saya sama Luli ikut ke sana lagi."
"Kamu ada kelas atau urusan di kampus?"
"Ada, Pak. Insya Allah sebelum Jum'atan sudah rampung."
"Ya sudah. Kalian tidur sini kan? Besok bapak ke kampus bareng kamu saja. Pulangnya ikut kamu lagi. Ba'da salat Jum'at kita berangkat ke Salatiga."
"Nggih. Siap, Pak."
Mobil telah terparkir rapi. Iqbal kembali mengambil bagian membawa koper dan barang bawaan. Sesudah semua beres, termasuk membersihkan diri, ia menyusul Luli masuk ke kamar. Mendirikan dua rakaat, lalu mengambil tempat di sisi istrinya.
"Beneran Kakak nggak apa-apa tidur sini? Kayaknya kerjaan Kakak tadi belum selesai."
"Iya, memang belum selesai. Tapi nggak apa-apa, aku nggak tega kalau nolak bapak atau ibu. Pokoknya kalau sama orangtua sebisa mungkin kita bilang iya, jangan sampai bikin beliau berdua kecewa."
"Gitu ya? Padahal kalau sama aku kerjaan tetap nomor satu kan? Kak Iiq tuh memang nggak adil kalau sama aku. Aku nggak suka sama Kak Iiq. Kakak tidur di bawah aja sana."
Lah, marah dia.
Iqbal tak menjawab apa-apa, hanya menerima bantal dan selimut yang dilemparkan Luli padanya. Lalu berpindah dengan pasrah. Senyap. Tak ada suara.
"Kak." Malah Luli yang bingung sendiri.
Ia melongokkan kepala, melihat pada Iqbal yang asal saja memposisikan dirinya di atas karpet. Matanya terpejam rapat, memeluk selimut sebagai guling. Dengkur halus terdengar timbul tenggelam. Rupanya Iqbal sudah dikuasai kantuk yang teramat dalam.
Luli menyesal, tak seharusnya ia berbuat begitu. Maka sebagai penebus rasa bersalah, ia turut pula berpindah tidur di bawah. Menyelipkan kepala di ketiak sang suami, lalu menyusupkan jari-jarinya ke dalam kaus Iqbal Sya'bani. Memeluknya erat, seperti yang selalu ia lakukan setiap hari.
------
Tengah hari sudah lewat. Usai salat zuhur berjamaah, Luli dan ibu yang sudah siap pergi menunggu para suami pulang dari salat Jum'at.
Hari itu Luli banyak menghabiskan waktu bersama ibu. Ia pula telah mencurahkan banyak cerita. Tentang kehamilannya, tentang keluarga suaminya, tentang betapa cintanya Iqbal pada dia, tentang kekesalannya pada kakak satu-satunya, dan yang menjadi topik utama adalah tentang dirinya, yang hingga detik itu sejatinya masih merasa insecure bersanding dengan Iqbal.
Bagaimana pun, pelukan ibu tetap menjadi tempat yang nyaman untuk mencurahkan segala yang dia rasakan.
"Nduk, memangnya apa lagi yang membuatmu merasa tak pantas mendampingi Iqbal? Sedangkan semua tahu, dia begitu cintanya sama kamu. Dia bahkan nggak pernah malu-malu menunjukkan itu di depan orang lain.
"Fikar dengan Ayu, cinta banget. Dengan Nara pun begitu. Tapi dia hampir nggak pernah menunjukkan itu di depan orang. Bapakmu pun begitu. Cuma Iqbal yang berbeda. Bukan cuma sikap dan bahasanya yang menunjukkan itu semua, tapi juga gesture-nya, bahkan matanya. Cara dia menatapmu saja sudah bikin ibu pengin nangis melihatnya.
"Nduk, laki-laki itu nggak suka kalau perempuannya rendah diri. Apalagi laki-laki seistimewa Iqbal Sya'bani. Masa depannya masih panjang. Kalau melihat profil dan karirnya dari sekarang, yang dia butuhkan adalah perempuan yang bisa mendampingi dan menguatkan. Juga membuatnya nyaman. Siapa orang itu? Ya kamu! Yang sudah dipilih Allah untuk mendampinginya.
"Manjamu sudah dia terima, bahkan menjadi sesuatu yang buat dia justru menyenangkan. Tapi kalau cuma itu saja, suatu hari nanti akan terasa juga adanya kekurangan.
"Kamu nggak harus jadi perempuan tangguh dan istimewa secara keseluruhan. Nggak harus juga menjadi perempuan multitalenta yang bisa menguasai banyak hal. Cukuplah menjadi istri yang bisa menenangkan di saat dia resah, menjadi tempatnya berbagi di saat dia butuh berkeluh kesah, menjadi sosok istri yang percaya diri ketika dia harus terlihat berwibawa dan gagah. Semacam itu lah.
"Intinya kamu harus bisa menempatkan diri sebagai seorang istri. Juga selalu berusaha menjaga nama baik suami, kapanpun, di manapun, dan dalam keadaan apapun. Mungkin belum sekarang, tapi kalau nggak mulai belajar dari sekarang ya jangan harap kamu bisa tiba-tiba menjadi pendamping yang ideal, dalam hal ini untuk Iqbal.
"Sekarang ibu tanya, perasaan insecure-mu memberi keuntungan apa buat dirimu? Ada?"
"Emm, ng-nggak ada sih, Bu. Yang ada malah berantem mulu sama Kak Iiq kalau itu udah mulai muncul. Mengganggu kata dia."
"Ya sudah. Terus apa yang membuatmu mempertahankan perasaan yang semacam itu?"
"I-iya sih, Bu. Luli masih kayak nggak percaya aja kalau Luli bisa jadi istrinya Kak Iiq."
"Ya nyatanya kamu sudah jadi istrinya. Jadi rasa nggak percaya dirimu itu tuh cuma buang-buang waktu saja. Ibu nih ya, kalau jadi kamu, yang ada malah percaya dirinya meningkat berkali-kali lipat. Iqbal Sya'bani lho. Yang ngantri pengen jadi istrinya aja sepanjang jalan kenangan."
"Mantannya juga sepanjang jalan kenangan kali, Bu." Mulai deh si Luli ini.
"Ya kalau itu ibu sebenernya nggak kaget sih, Nduk. Lha memange piro to mantane bojomu ki? (Lha memangnya berapa sih mantannya suamimu tuh?)"
"Selusin, Bu."
"HEH?! Selusin ki lak rolas to, Nduk?! (Selusin itu kan dua belas to, Nduk?)" Kecerdasan ibu mendadak terdegradasi.
"Iya, Ibu Rofiq Hidayat. Kalau sekodi dua puluh, sejinah sepuluh, sekilo sepuluh ons, se-ons---"
"Assalamualaikum."
Teriakan salam dari dua laki-laki kesayangan memotong bicara Luli yang tak penting. Sedang ibu, wajahnya belum bergeser dari kekagetan mendengar yang selusin tadi.
"Waalaikumussalam," jawab Luli sambil berlari menyambut keduanya.
Cium tangan ia berikan pada bapak. Minta cium ia sampaikan pada Iqbal. Manjanya lho!
"Udah siap berangkat, Bu?" tanya bapak.
"Eh, oh, iya, sudah siap."
"Ada kabar apa to, Bu, kok wajahnya kayak kaget gitu?" Bapak bertanya lagi.
"Nggak. Nggak ada kabar apa-apa," ujar ibu tergesa.
"Ibu shock habis Luli kasih tahu kalau mantannya Kak Iiq ada selusin."
"Astaghfirullah, Neng. Itu aib suami, kenapa kamu buka di depan ibu sih?" Iqbal berbisik geram. Menarik Luli untuk segera masuk ke kamar.
"Kenapa bilang sama ibu tentang hal itu, Neng? Itu aibku. Aku aja nggak suka ngebahas soal itu. Aku kan malu kalau ibu tahu. Malah kamu bilang pula di depan bapak. Ya Allah, Neng."
"Ya tapi kan memang kenyataannya begitu. Lagian kata Kakak kan kalau di depan orangtua sebisa mungkin kita selalu bilang 'iya'. Nah aku udah bener dong."
"Hih, pinter amat kalau suruh ngeles."
Iqbal tak jadi marah. Ditariknya Luli ke dalam pelukan.
"Jangan diulangi lagi ya, Neng. Istri itu pakaian bagi suaminya, berlaku pula sebaliknya. Salah satu fungsi pakaian adalah menutup aurat, begitu pun istri bagi suaminya. Dalam konteks rumah tangga, salah satu bentuk aurat adalah aib pasangan, yang harus ditutupi, bukan malah diumbar, sekalipun pada orangtua sendiri.
"Aku suamimu, Neng. Dan buat aku, soal mantan itu adalah aib. Namanya aib ya tentunya harus disembunyikan rapat-rapat. Tutup buku. Umi aja sampai sekarang nggak pernah tahu berapa banyak mantanku." Iqbal mencoba memberi tahu Luli dengan hati-hati.
"Kakak marah?"
"Nggak, Sayang. Sempat kesal iya, tapi kalau marah nggak. Mungkin kamu tadi spontan aja, atau mungkin memang ibu yang bertanya dan kamu nggak terbiasa berdusta, atau mungkin juga kamu memang belum tahu apa yang menjadi aib bagiku. Maka sudah menjadi kewajibanku untuk ngasih tahu, bukan mendahulukan marahku.
"Ya udah, kita siap-siap ke Salatiga ya. Aku ganti baju dulu. Udah kamu siapin kan?"
"Iya, Kak. Udah. Maafin Luli ya, Kak."
"Iya, nggak apa-apa. Kamu mau minta maaf duluan kayak gini aja aku udah berasa di surga."
"Ya nggak terus ngegombal juga kaliii, Bapak Iqbal Sya'bani. Memang ya, kalau udah kebiasaan tuh sulit ditinggalkan. Huh."
Iqbal tergelak. Mencubit hidung Luli, lalu memeluknya sekali lagi.
Dari luar kamar tersengar suara ibu memanggil, menyuruh anak dan mantunya untuk makan siang dulu. Iqbal mengiyakan. Menyusul ke ruang makan dengan penampilan yang sudah siap untuk pergi.
------
"Nanti mampir beli oleh-oleh dulu ya, Iq," pinta ibu saat mobil mulai meninggalkan rumah.
"Sampun (Sudah) siap, Bu. Kecuali ibu mau beli sesuatu yang khusus, Iqbal siap ngantar ke mana saja ibu mau."
"Alhamdulillah. Seneng ya, Pak, punya mantu yang pinter dan ngertiin orangtua." Ibu berkata pada bapak, yang membalas dengan anggukan. Kedua netranya melirik ke arah mantunya, sedang yang dilirik malah melirik perempuan yang duduk tepat di seat belakangnya, lalu mengedipkan mata begitu pandangan mereka bersua. Luli tersipu.
"Genit," ucap Luli tanpa suara. Iqbal membaca gerak bibir istrinya dari spion tengah, dan dia tertawa, juga tanpa suara.
Separuh perjalanan terlalui. Iqbal meminta Luli mengambilkan handphone-nya, hendak menghubungi Zulfikar dan mengabarkan bahwa ia ke Salatiga bersama bapak ibu.
Agak lama tak diangkat. Baru pada panggilan keempat Fikar menjawab.
"Assalamualaikum, Bro. Di mana ini? Aku on the way ke Salatiga."
"Waalaikumussalam. Aku lagi ada kerjaan di proyek. Mau ngapain lagi ke Salatiga?" Datar. Agak tak bersahabat. Mungkin kakak ipar masih kesal pada kejadian tempo hari.
Astaghfirullah.
"Oh, it's okey, Bro. Aku ngantar bapak ibu. Siapa tahu kamu ingin bertemu dengan beliau berdua." Nada suara Iqbal sedikit berubah. Luli menyadari itu.
Yang di seberang sana diam saja. Mungkin tak enak hati sebab tak tahu bahwa adik ipar datang bersama kedua orangtuanya.
"Kenapa, Kak? Mas Fikar ngeselin ya? Masih sinis sama Kakak? Emang dasar dia tuh---"
"Ssstt, jangan suuzon, Sayang. Nggak ada apa-apa. Dia lagi kerja."
Bapak meminta izin pada Iqbal untuk berbicara pada Fikar. Iqbal menyetujui, handphone pun berpindah tangan.
"Assalamualaikum, Fik. Bapak sama ibu mau nengokin besan. Kalau kamu masih sibuk di lapangan, ya nggak usah buru-buru pulang. Insya Allah besok-besok masih bisa ketemu. Yang kami cari ibu mertuamu kok, juga Nara, dan Lila. Ini masih jam kerja, kami tahu kesibukanmu."
"Waalaikumussalam. Iya, Pak. Fikar minta maaf. Insya Allah Fikar segera pulang ke Salatiga. Bisa ditinggal kok."
"Nggak usah dipaksakan, Fik. Nggak apa-apa. Ya sudah, ya. Assalamualaikum." Bapak mengakhiri telepon tanpa menunggu jawaban dari si anak sulung.
Mereka sampai di Salatiga bertepatan waktu asar. Iqbal memutuskan untuk salat dulu, baru menuju rumah Nara.
Lila menyambut kakek neneknya dengan sukacita. Begitu pula dengan Nara, yang sejak hamil merasakan kasih sayang dari kedua mertuanya makin besar kepadanya. Ia sungguh merasa beruntung menjadi bagian dari keluarga Rofiq Hidayat.
Bapak dan ibu ngobrol dengan ibunya Nara cukup lama. Lalu mempersilakan besannya untuk kembali beristirahat, sedangkan beliau berdua berbincang dengan anak, menantu, dan cucunya sembari menunggu Zulfikar pulang.
Hingga maghrib tiba, Fikar tak juga tampak hilalnya. Bapak memutuskan untuk pulang begitu selesai salat maghrib di mushola. Iqbal sudah mencoba membujuk bapak untuk menunggu sebentar lagi, tapi rupanya bapak tak bersedia. Justru Iqbal yang dijadikan alasan, "Kamu yang kurang istirahatnya."
Iqbal akhirnya ikut saja apa kata mertua. Tak mengiyakan, ia hanya mengajak Nara dan Lila untuk ikut keluar. Makan malam bersama menjadi pilihan yang tepat sebagai alasan. Yang sebenarnya, Iqbal ingin kedua mertuanya bisa bertemu dulu dengan anak pertamanya. Ia tak ingin keduanya turut merasa marah pada Zulfikar.
Restoran bergaya taman menjadi tujuan Iqbal. Ia menugaskan Luli untuk masuk dulu menemani bapak, ibu, Nara, dan Lila. Sementara ia memarkirkan mobilnya, lalu mengirimkan satu pesan pada Zulfikar agar langsung menyusul jika sudah sampai di Salatiga.
Dari kejauhan, tampak di netra Iqbal kedua mertuanya sedang berbincang dengan pasangan paruh baya lainnya. Mungkin teman bapak, atau teman ibu. Nara dan Luli turut pula memberi senyum, setidaknya untuk basa basi.
Ia mendekat, begitu sadar siapa mereka, ia hendak menghindar tapi terlambat.
"Lho, Bal. Kowe ngopo nang kene? Karo sopo? (Kamu ngapain di sini? Sama siapa?)" tanya si ibu teman mertuanya. Sedangkan suami si ibu sudah sibuk menyambut dan memeluk Iqbal dengan penuh keakraban. Iqbal jadi salah tingkah dan terlihat kikuk.
"Emm, saya ngantar Pak Rofiq dan ibu, Pak, Bu."
"Lho, Njenengan kenal Iqbal to, Jeng? (Lho, Anda kenal Iqbal to, Jeng?)" Gantian ibu yang bertanya.
"Yo kenal to, dulu pernah pacaran sama anakku. Malah sampai sekarang bapaknya yang nggak move on. Anaknya udah gonta ganti pacar, bapake karepe tetep kudu Iqbal (bapaknya maunya tetap harus Iqbal). Lha njenengan kok kenal sama Iqbal, Mbakyu? Ponakan kah?"
Iqbal menahan napas, melirik Luli yang berdiri di sebelahnya. Wajah Luli sempat terlihat marah, tapi dua detik berikutnya berubah. Ia menatap suaminya, memberikan senyum sambil menganggukkan kepala.
Iqbal lega, meski beribu pertanyaan tentang sikap Luli memenuhi kepalanya.
"Saya mantunya Pak Rofiq, Bu. Suaminya Luli, putri bungsunya bapak dan ibu Rofiq."
Dengan mantap Iqbal menjawab pertanyaan mantan calon mertua. Diraihnya pinggang Luli dan membawanya mendekat.
Senyum termanis Luli berikan. Tangannya menarik tangan Iqbal dan memposisikan di depan perutnya. Show up.
Entah kenapa hati Iqbal berdesir-desir tak keruan. Dadanya terasa penuh oleh gemuruh. Ia teramat bangga pada istrinya. Tak sabar ingin segera memeluk dan menghujani dengan pujian.
"Ya wajar to kalau Pak Arif susah move on. Iqbal ini memang istimewa kok. Limited edition." Ibu menimpali. Sorot bangga tertangkap jelas pada kedua netra. Sebaliknya dengan Pak dan Bu Arif, yang harus memupus harapan detik itu juga.
Dua pasangan sesepuh berpisah. Keluarga Rofiq Hidayat duduk di area belakang yang terbuka, beratap langit cerah dengan taburan bintang nan indah. Tak kalah cerah dengan wajah Iqbal yang semringah.
Fikar datang lima menit setelah makan malam terhidang. Mencium tangan dan kedua pipi ibunya menjadi hal pertama yang ia lakukan. Lalu menarik kursi tepat di samping Nara, mencium sekilas bibir istrinya sebelum duduk dan memangku Lila.
Usai makan, Fikar meninggalkan meja dan berjalan tergesa. Iqbal tahu ke mana tujuan kakak iparnya. Ia pamit dan mengejar segera.
"Fik, aku yang traktir."
"Nggak, Bro. Biar aku saja. Anggap saja sebagai permintaan maafku padamu."
"Memangnya kamu salah apa sama aku?"
"Kamu mungkin nggak ambil hati, tapi aku tahu, aku menyakiti hati adikku. Maafkan aku ya, Iq. Kadang masih suka cemburu yang nggak pada tempatnya."
"It's okey, Bro. Aku justru salut sama kamu."
"Hei? Salut untuk apa?"
"Salut pada cintamu yang begitu besar. Untuk Lila, untuk Luli, juga untuk semua. Aku memaklumi sikapmu. Tapi memang tak semua orang bisa menerima itu. Maafkan istriku juga ya, Fik."
"Istrimu? Sebut nama saja kenapa sih? Aku kakak ipar lho, Iq, bukan rival. Posesifmu luar biasa ya."
"Iya, itu karena kakak iparku yang kujadikan panutan. Jadi kalau aku posesif, kamu tahu dong aku niru siapa."
"Asem kowe, yo! Sing elek-elek diuncalke aku."
(Asem kamu, ya! Yang jelek-jelek dilemparin ke aku.)
"Lha piye meneh? Sing apik-apik wis dipek Om Iqbal lho yo."
(Ya gimana lagi? Yang bagus-bagus udah diambil Om Iqbal lho ya.)
Fikar meninju keras lengan iparnya. Mereka berdua tertawa bersama.
------
Meja kerja masih berantakan, Iqbal belum berniat membereskan. Ia duduk di tepi tempat tidur, menunggu Luli yang belum keluar dari kamar mandi. Mereka pulang ke Madina malam itu, setelah dengan susah payah menolak kemauan ibu untuk kembali menginap di sana. Selain pekerjaan, memangnya apa lagi yang bisa dijadikan alasan?
"Neng, aku bangga banget sama kamu. Aku tahu, kamu kesel banget waktu ketemu temannya bapak ibu tadi. Tapi kamu bisa bersikap sabar dan dewasa."
"Bukan temannya bapak ibu, Kak. Tapi mantan calon mertuanya Kak Iiq."
"Iya, itulah pokoknya. Terima kasih ya, Sayang. Itu yang selama ini aku harapkan. Kamu yang selalu percaya dan bangga pada dirimu sendiri. Karena memang kamu pantas untuk mendampingi aku, dan aku beruntung banget punya kamu."
"Sebenernya kesel banget, Kak. Tapi aku ingat kata ibu, kalau aku harus bisa menempatkan diri sebagai istri. Juga menjaga nama baik Kakak dalam keadaan apapun."
"Masya Allah. Memang harus ibu ya yang kasih nasehat sama anak manjanya ini. Kalau aku yang bilang diambekin melulu." Iqbal mengacak rambut Luli. Gemas.
"By the way, Kak, itu tadi orangtuanya Riyu kan ya? Mantannya Kak Iiq yang pertama kali ketemu aku waktu di toko roti."
Ya Rabb, kenapa yang begini-begini dia hapal di luar kepala ya?
"Udah ah, nggak usah dibahas. Aku nggak suka. Malam ini aku sepenuhnya milikmu, Sayang."
"Heh, berarti kemarin-kemarin nggak sepenuhnya?"
"Ya bukan gitu maksudku, Neng Luli. Kemarin-kemarin kan fokusku terbagi juga ke pekerjaan. Khusus malam ini, aku cuma buat kamu."
"Halah. Terbagi sama pekerjaan apa Mbak Pipit?"
"Suuzon amat sih, Neng. Udahlah nggak usah bahas dia atau siapapun lagi. Aku nggak suka."
"Nggak suka apa takut inget lagi sama bayangan mantan terindah?"
"Apa sih, Neng? Tadi udah bagus gitu, bisa menjaga diri dari kesal gara-gara mantan. Kenapa sekarang malah balik lagi?"
"Tadi kan di depan orang, aku harus menjaga nama baik Kakak, harus bisa menempatkan diri, harus jaim. Sekarang kan di depan suami, aku nggak harus jaim. Katanya Kakak nerima aku apa adanya. Aku tuh memang gini, jadi terserah aku dong. Kenapa?! Kakak nggak suka?! Terus Kakak mau ap---"
Iqbal mendorong Luli hingga jatuh rebah ke belakang. Menguncinya di bawah badannya yang tinggi besar. Membungkam rentetan kalimatnya dengan ciuman. Luli yang tadinya kesal sekarang tersengal.
Iqbal menghentikan aksinya. Menatap dalam pada mata Luli yang tampaknya belum ingin berhenti.
"Sayang, kamu itu istri, bukan senjata otomatis. Kalau ngomel udah kayak peluru yang nggak habis-habis."
Luli diam, hanya menarik Iqbal agar kembali pada posisi seperti beberapa detik sebelumnya. Ia tak peduli. Mau itu petasan, senjata otomatis, atau apa pun. Ia cuma mau Iqbal menciumnya lagi seperti tadi.
***
Kali ini si Luli yang nggak mau rugi. Wkwk...
By the way, gimana part ini? Mohon maaf kalau agak kurang dapat feel-nya yaaa... Fokusku agak terbagi untuk nulis yg lain. Ssstt, soalnya yg itu ada deadlinenya, kalau nggak terpenuhi aku bisa tereliminasi. Padahal di sana banyak ilmu yg sayang kalau utk dilewatkan.
Mungkin besok atau lusa aku post cerita (fiksi) baru lagi. Please, jangan protes, "cerita yg lain belum kelar kok malah nulis lagi sih?!" hehe.
Soalnya itu bagian dari tugas yg sudah kusebutkan di atas. Doakan lancar yaaa.
Baiklah. Terima kasih sudah meramaikan part ini.
I love you all.
Sampai jumpa.
❤❤❤
Semarang, 22112020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top