Part 35.2.

Mas Fikar memang level cemburunya lebih tinggi lagi, Kak. Kalau udah namanya cemburu atau merasa dikalahkan, jangankan empati, logika yang selalu dia junjung tinggi aja udah kayak mati.

***

Yess, betul. Ada Zulfikar di part ini. Ya walaupun nggak banyak juga sih.

Enjoy reading, Gaes.

-------

Iqbal masuk ke kamar, Luli menyusul dan menutup pintu. Tak lupa memutar kunci hingga dua kali.

"Lila di luar sendiri lho, Neng. Jangan ditutup pintunya, apalagi dikunci."

"Biar. Aku mau marah dulu sama Kakak."

"Lho, kenapa lagi? Aku salah ya?"

"Salah banget! Kenapa juga ngajakin Lila ke kampus? Kayak gini kan aku harus ikut, harus tampil pula sebagai istri bapak dosen kita yang terhormat. Nambah-nambahin pikiranku aja sih. Udah bagus-bagus ditinggal di sini, nanti juga ada Bu Nani."

"Lho, kamu nggak suka Lila ikut ke kampus? Kan kamu jadi nggak perlu bolos."

"Kakak nih nggak peka banget sih. Apa nanti kata orang-orang di kampus? Udah kayak keluarga kecil bahagia sejahtera aja. Malu. Kakak ngerti nggak sih?!"

"Ya Allah ya Rabb, jadi dari tadi mukamu mendadak asem tuh karena nggak mau Lila ikut ke kampus? Ya Allah, Neng, maaf. Ya gimana? Lilanya kayak pengin banget ikut aku ke kampus, Neng. Kesempatan juga kan, Neng, biar Lila bisa dekat dan sayang sama omnya. Nggak dimusuhin terus."

"Jadi Kak Iiq lebih sayang sama Lila, gitu? Lebih ngebelain keinginannya Lila daripada aku? Yang istrinya Kak Iiq kan aku, bukan Lila."

Iqbal tertawa, diraihnya Luli ke dalam dekapannya. Menjadikan kepala sang istri sebagai sasaran menjatuhkan banyak kecupan.

"Kamu kalau melakukan sesuatu yang nggak bermutu tuh selalu total ya, Neng? Nggak tanggung-tanggung. Udah jelaslah istriku itu Luli, masa iya Lila. Masih di bawah umur, Neng. Bisa kena pidana aku."

Dilepasnya pelukan, berganti menangkup dua pipi Luli. Mulutnya yang cemberut membuat Bapak Sya'bani makin gemas.

"Kamu kalau nggak ngelucu gitu bisa nggak sih, Neng? Biar nggak bikin aku sibuk memunguti cintaku ke kamu yang tumpah ruah sampai berjatuhan ke mana-mana. Luber."

"Terus yang pada berjatuhan diambilin sama Mbak Pipit, gitu?"

"Cieee, Nyonya Sya'bani cemburu ni yeee. Nggak lah, Sayang. Pipit bisa dapat yang jauh lebih baik dari sekadar sisa-sisa cintaku yang berjatuhan. Tapi satu yang pasti, orang itu bukan Iqbal Sya'bani, karena yang satu ini cuma buat Luli, nggak ada yang lain lagi."

Luli teramat bahagia. Ia berjinjit dan menjatuhkan cium di bibir sang suami.

"Om Iqbaaall, udah apa belum? Kenapa lama?"

Kaget! Iqbal mendorong Luli begitu saja. Untung tak sampai jatuh.

Ia melangkah tergesa menuju pintu. Sementara Luli menatap dengan kesal sambil menggerutu.

------

"Assalamualaikum," sapa Iqbal begitu melewati pintu kelas.

Ia dari ruang dosen, sedangkan Luli sudah sejak tadi duduk manis bersama Lila, menanti kuliah yang akan diampu suaminya.

"Waalaikumsalam." Hampir semua yang di ruangan menyambut bersamaan.

Suasana beranjak lengang. Luli menelan saliva. Jantungnya berdegup, menatap Lila yang masih asyik mewarnai gambar pinguin hasil coretan Om Iqbalnya. Tinggal sayap sebelah kiri, dan Luli tahu itu tak butuh waktu lama lagi. Lila pasti akan segera menyadari bahwa omnya sudah berada di ruangan yang sama.

"Selamat pagi, Teman-teman. Gimana kabar kalian pagi ini? Kelihatannya sehat dan happy semua ya?"

Iqbal melempar kalimat pembuka sembari menyalakan laptopnya. Tak lupa menghubungkan dengan proyektor agar dapat dilihat pula oleh semua yang di sana.

Satu dua mahasiswa menjawab. Ada yang serius, ada yang hanya berupa celetukan.

"Materi sudah selesai semua ya, pekan depan kita sudah ujian semester. Tugas silakan nanti dikumpulkan pada ketua angkatan. Dan seperti biasa, hari ini kita pemantapan materi ya.

"Angkasa sudah menyampaikan pesan saya bukan?"

Iqbal melihat ke arah Andro, yang bersangkutan mengangguk.

"Sudah saya kirim ke email Bapak."

"Oke, terima kasih."

Sang dosen idola sejenak sibuk dengan macbook pro yang menampilkan pertanyaan dari sebagian kecil peserta didiknya.

Sudah menjadi kebiasaan Iqbal, pekan terakhir perkuliahan dimanfaatkan untuk mengumpulkan tugas-tugas. Dari yang terbaru, sampai yang masih punya hutang dari zaman dulu.

Ia juga meminta mahasiswanya yang masih merasa menemukan kesulitan pada materi ujian untuk menyampaikan poin-poin yang dirasa sulit pada ketua angkatan.

Dan Angkasa Andromeda memang istimewa. Ia dengan penuh tanggung jawab meng-collect pertanyaan dari beberapa peserta kuliah Mekanika Tanah, mengetiknya rapi, lalu mengirimkan filenya melalui email.

"Oke, kita mulai---"

"Om Iqbaaal, Lila sudah selesai mewarnainya."

Gadis kecil berjilbab biru muda berteriak dan menghambur ke arahnya, kemudian dengan bangga menunjukkan hasil karyanya pada om yang baru pagi tadi menjadi kesayangan baginya.

Iqbal tersenyum. Berhenti sejenak untuk memeluk dan memperhatikan si keponakan. Dalam hati timbul kekaguman. Hasil pewarnaan Lila sungguh istimewa bagi anak seusianya. Tapi ia juga mafhum, sebab darah seni Zulfikar Aditya mengalir di tubuhnya.

Iqbal menaruh hasil karya Lila di atas meja. Digendongnya si pipi chubby, lantas berbicara di depan mahasiswanya.

"Saya minta maaf, karena hari ini saya bawa peserta istimewa. Namanya Lila. Dia anak sahabat sekaligus kakak ipar saya. Mamanya Lila ini teman kalian juga, Asya---"

"Bukan, Om Iqbal. Mamaku namanya Mama Nala, bukan Asya." Protes Lila.

"Iya, maksudnya Asya ... Asya ... Sayonara? Eh, apa sih?"

Kelas heboh. Luli setengah mati menahan tawa. Ah, Iqbal pasti sedang bercanda.

"Ya itulah pokoknya. Semalam ibunya Asya pingsan, lalu dibawa ke rumah sakit. Asya anak paling tua, maka dia dan suaminya memutuskan untuk ke Salatiga saat itu juga. Qodarullah, ibu yang biasa momong Lila sedang pulang kampung. Bapak dan ibu mertua saya, sekaligus mertuanya Asya, juga sedang ke Jakarta. Satu-satunya yang bisa diminta tolong untuk menjaga Lila cuma tantenya, yang Alhamdulillah adalah istri saya." Iqbal menjelaskan keadaan sebenarnya. Empat kata terakhir sengaja diberi penekanan, entah apa tujuannya.

"Jadilah Lila dititipkan pada kami. Saya dan ... Zulfa."

Celetukan macam cie cie dan ihiiirrr  pun menghiasi kelas.

"Namanya Ante Luli, Om Iqbal. Katanya Om pintel, tapi kok namanya salah semua."

Lagi, satu kelas tertawa mendengar kepolosan Lila. Iqbal turut pula tertawa. Sungguh, ia tak pernah segembira itu berada di depan kelas.

"Sekali lagi saya minta maaf kalau saya mengajarnya sambil momong. Insya Allah tidak mengganggu esensi belajar kita hari ini. Soalnya baru tadi pagi anak lucu ini mau dekat sama saya. Dari pertama kenal, saya dimusuhi terus."

Untuk ketiga kalinya Iqbal membuat kelas menjadi ramai. Keberadaan Lila rupanya membawa keriangan bagi kelas Iqbal, yang biasanya pun selalu berlangsung menyenangkan.

Hanya Luli yang berkata dalam hati,
Dih, ya nggak curhat juga kali, Bapak Iqbal Sya'bani.

Namun sejujurnya, Luli merasa sangat bahagia. Kekaguman dan rasa cintanya pada sang suami makin dan makin membubung tinggi.

"Saya sudah tekankan berkali-kali, sebenarnya tidak ada yang sulit asalkan kalian paham konsepnya. Setelah itu tahu urutan mengerjakannya. Kalau soal hukum, metode, rumus, dan sebagainya, ya itu nggak ada tawar menawar, kalian harus hapal."

Iqbal memulai membahas satu bagian materi yang menjadi pertanyaan pertama hingga semua penghuni ruangan merasa telah cukup paham dan mengerti. Iqbal lalu meminta jeda, ia menaruh Lila di kursi, membuat satu gambar agar Lila punya kesibukan sendiri.

Tak sampai tiga menit Iqbal menyelesaikan coretan sesuai request si keponakan. Gambar yang sederhana tapi bisa dipahami dalam sekali pandang saja. Kastil Rapunzel.

Sebelum melanjutkan pembahasan, Iqbal mendekati Luli untuk mengambil krayon dan pensil warna Lila. Mata mereka sempat beradu, Luli menemukan cinta yang hangat dan menyejukkan di situ.

Iqbal kembali melanjutkan pada bagian materi kedua yang dirasa sulit oleh sebagian mahasiswa. Ia masih sibuk menjelaskan sambil menulis di papan, ketika kasak-kusuk terdengar dari barisan di belakangnya.

"Kalian memperhatikan saya apa nggak sih?" Ia membalikkan badan, terdengar agak kesal.

Semua yang di hadapannya diam, tapi setiap netra mereka tak lepas menatap ke depan.

Pandangan Iqbal terantuk pada Luli yang tampak tegang. Dengan dagu Luli melempar kode menunjuk-nunjuk ke arah dinding tempat fokus proyektor tertuju.

Iqbal menoleh ke arah yang sama dengan setiap mata yang ada di sana. Slide koleksi fotonya saat jalan-jalan berdua dengan Luli tampil berganti-ganti.

Begitu sadar apa yang terjadi ia segera menghampiri Lila. Rupanya Lila tak sengaja berulah. Ia bosan dengan mewarnai, lalu iseng bermain dengan laptop omnya. Dan terjadilah hal yang tak pernah diduga oleh semuanya.

"Saya minta maaf. Saya yang salah. Semoga tidak mengganggu perkuliahan kalian hari ini. Oke, kita lanjutkan yang tadi ya."

"Nggak mengganggu sih, Pak. Cuma pedih," sahut Wahyudi cengengesan. Matanya menatap pada sahabatnya seolah berkata, "Yang sabar ya, Ndro."

Iqbal mengembalikan tampilan layarnya seperti semula. Digendongnya Lila, kemudian melanjutkan penjelasan seolah tak terjadi apa-apa.

Tak apalah pegal sedikit, yang penting aman dari segala potensi Lila berulah lagi.

Dua jam berlalu, kelas pertama Iqbal untuk hari itu pun selesai. Masih ada dua jam lagi, lalu menyelesaikan urusan lab, baru ia bisa pulang.

Luli pun tak jauh berbeda. Ia masih ada satu kelas lagi. Namun sudah berniat akan segera membawa Lila pulang begitu kelas yang kedua usai.

Sebaliknya dengan Lila, ia justru tak mau ikut tantenya. Luli kesal sekaligus tak tega pada Iqbal. Kalau Lila ikut dia, tentunya bisa lebih terkondisikan untuk duduk diam di bangku sebelahnya. Tapi kalau ikut Iqbal, yang ada malah seperti tadi. Duh.

"Udah, Sayang, nggak usah bete. Lihat aku! Aku aja yang digondelin Lila santai. Nggak apa-apa kok. Aku nggak repot dan tetap enjoy. Oke?"

Luli cuma bisa pasrah, hingga menjelang zuhur urusan Iqbal di kampus hari itu tuntas sudah. Mereka mampir di masjid kampus untuk salat berjamaah, lalu pulang ke Madina.

Di Madina, Luli terpaksa memasak untuk makan siang mereka karena keadaan berbalik 180°. Lila hanya mau dengan omnya.

Sop sayuran dengan potongan sosis dan ayam hendak Luli buat. Yang gampang tentu saja. Tapi baru mencium bau sosis, sisa-sisa isi perutnya langsung minta dikeluarkan. Ia muntah-muntah, lalu lemas setelahnya.

Acara masak batal, Iqbal memaksa Luli untuk mau istirahat dan tidur siang saja bersama Lila. Deal. Tapi Iqbal harus menemani mereka berdua hingga lelap, dan ia melakukannya tanpa sedikit pun merasa berat.

Selepas itu ia mengambil alih pekerjaan sang istri. Sosis dan ayam disingkirkan, Iqbal menggantinya dengan sayuran. Wortel, bayam, kecambah, serta kacang panjang. Hendak membuat makanan kesukaan Luli. Urap sayuran dengan sambal kelapa yang lekat dengan rasa dan aroma kencur.

Baru saja selesai menata meja makan, dering ponsel Iqbal terdengar. Satu panggilan dari Zulfikar.

"Assalamualaikum, Bro. Gimana keadaan ibunya Asya?"

"Waalaikumussalam. Alhamdulillah udah boleh pulang sore ini, Iq. Tapi kami masih akan di sini untuk dua-tiga hari ke depan. Oh iya, Lila gimana? Aman kan? Nggak menyusahkan kalian kan?"

"Tenang, Fik. Lila aman. Tadi udah makan siang dan minum susu juga. Ini lagi tidur sama tantenya."

"Luli gimana?"

"Luli juga aman, kok."

"Bu Nani jadi ke sana jam berapa?"

"Belum jadi ke sini, Fik."

"Eh, berarti Luli dari tadi jagain Lila sendiri?"

"Nggak. Tadi kami ke kampus, dia kuliah seperti biasa. Aku juga ngajar sesuai rencana."

"Lha Lila?"

"Lila minta ikut aku ke kampus, jadi ya kuajak aja."

"Wih, gila kamu! Ke kampus bawa Lila? Gimana ngajarnya, Bro? Aku aja yang papanya nggak pernah ajak dia ke kampus."

"Hahaha, kita beda, Bro. Iqbal Sya'bani gitu lho."

"Ceritakan nanti ya, sekalian kujemput Lila."

"Beres, Fik. Eh, nanti kapan maksudnya?"

"Insya Allah sore atau malam ini aku ke Semarang, Iq, mau mengambil tambahan baju untuk Nara, sekalian menjemput Lila. Bu Nani akan kuajak juga, karena adik-adiknya Nara masih harus sekolah, sementara kalau siangnya Nara di sini dan mengurus ibu sendirian, aku nggak sampai hati."

"Kan ada kamu, Fik?"

"Aku hari ini sudah izin, Iq, jadi besok dan seterusnya aku tetap akan ke kampus. Sementara pulang pergi dulu Salatiga-Semarang."

"Kaku amat, Fik? Ini udah pekan lima belas lho, dan materimu pasti udah selesai. Santai dikit napa sih? Mahasiswa dan pihak kampus juga pasti bisa memahami keadaanmu."

"Santai? Lah kamu aja bela-belain bawa Lila ke kampus, demi apa kalau bukan demi tetap mengajar mahasiswamu?"

"Hahaha, Zulfikar Aditya kok dilawan? Iyo wis lah, sak karepmu, Bro (Ya sudahlah, terserah kamu, Bro). Bebasss." Iqbal terbahak.

"Tapi kamu nggak usah ke Semarang sore ini, Fik. Lila sama Bu Nani biar kami yang antar ke Salatiga, sekalian jenguk ibunya Asya. Kamu hubungi Bu Nani aja, minta tolong siapin apa-apa yang mau dibawa. Ba'da asar kami jemput dan antar ke Salatiga."

"Tapi, Iq, nanti---"

"Sorry, Bro. Aku lagi nggak berminat buat menerima sanggahan atau bantahan tipe apapun. Udahlah Bapak Zulfikar Aditya, sekali-sekali kamu yang nurut adik ipar gitu kenapa sih?"

"Iya deh. Kalau Bapak Iqbal Sya'bani sudah mengambil keputusan, aku bisa apa?"

Dua sahabat yang telah meningkat status menjadi ipar itu tertawa bersama, kemudian mengakhiri panggilan mereka.

-----

HRV putih berhenti di depan rumah Nara, keempat penumpangnya memasuki halaman yang tak seberapa luas namun rindang dan sejuk. Lila tak mau lepas dari gendongan Iqbal, bahkan ketika papanya sudah berada di hadapan.

"Lila ikut papa, yuk. Papa kangen banget nih sama Lila."

Fikar hendak mengambil alih Lila dari gendongan omnya. Bukannya berpindah pada sang papa, Lila malah melingkarkan lengannya erat-erat pada leher Iqbal.

"Lila masih mau sama Om Iqbal."

"Lila sama papa dulu dong, kan papanya kangen. Ya?" Luli ikut membujuk.

"Nggak mau. Ante Luli aja yang sama papa. Lila mau sama Om Iqbal."

"Iya, udah sih, Fik, biar aja. Tadi di mobil juga dia sama Bu Nani kok." Iqbal duduk, masih dengan Lila yang erat memeluk.

Fikar salah tingkah, ia hampir tak pernah mendapat penolakan dari Lila. Apalagi karena laki-laki dewasa selain dia. Mau cemburu kok malu sama tinggi badan dan sifatnya yang penuh kekakuan. Akhirnya yang Fikar bisa hanya pasrah dan menyerah, menyaksikan sang putri kesayangan lebih memilih bermanjaria pada Om Iqbalnya.

"Kak, udah sih, Lila kasih ke papanya. Mas Fikar cemburu itu lho." Luli berbisik pada sang suami.

Sebenarnya Iqbal tak begitu memperhatikan. Ia langsung memandang pada kakak iparnya begitu Luli selesai berbisik. Raut Zulfikar memang terlihat beda. Iqbal sekuat tenaga menahan tawa.

"Lila sama papa dulu ya, Om Iqbal mau ke kamar mandi, terus nengokin nenek sama tante Luli."

Tak menunggu persetujuan, Iqbal segera memindahkan Lila pada pangkuan papanya. Lila cuma bisa patuh dan menerima, tapi sekejap kemudian ia sudah kembali tertawa-tawa dengan sang papa.

Luli dan Iqbal menemui ibu Nara. Mereka berbincang penuh keakraban. Lagi-lagi Luli merasa kagum melihat interaksi suaminya dengan ibunya Nara. Iqbal memang luwes dan pandai membawa diri. Kemampuannya soal ini jelas lebih baik daripada Zulfikar.

Ba'da maghrib Iqbal dan luli memohon diri untuk pulang. Nara berusaha menahan mereka agar mau makan malam dulu bersama-sama, tapi keduanya menolak dengan halus.

"Om Iqbal nggak boleh pulang. Kalau Om Iqbal pulang, Lila mau ikut aja. Lila mau tidul di lumah Om Iqbal sama Ante Luli lagi."

"Kan papa sama mama di sini, Bu Nani juga, kenapa Lila malah mintanya sama Om Iqbal dan Ante Luli?" Fikar tak bisa menyembunyikan cemburunya.

"Soalnya Om Iqbal masaknya enak, Papa. Om Iqbal juga pintal ngaji. Tadi Lila dikasih hadiah sulat Malyam. Kata Ante Luli bial Lila jadi sepelti ibu Malyam. Ibu Malyam itu olangnya baik, pintal, solihah, Papa.

"Om Iqbal juga pintal gambal. Tadi Lila dibikinin gambal pinguin sama kastil Lapunzel. Papa tahu nggak, hapalannya Om Iqbal udah dapat sepuluh juz, Papa. Papa kalah.

"Tadi Lila juga diajakin ke sekolah kampus. Om Iqbal mulidnya banyak. Lebih banyak dali Cikgu Jasmin. Mulidnya juga baik-baik, semuanya sayang sama Lila. Papa kan nggak pelnah ngajakin Lila ke sekolah kampus."

"Masya Allah, pinter amat sih, Lila. Dia ingat semua dengan detail. Bener-bener anaknya Zulfikar nih. Pantesan papanya cemburu banget Lila deket sama omnya," seru Iqbal takjub.

"Kamu bicara apa sih, Iq? Bangga banget, ya? Kamu cuma belum tahu saja rasanya punya anak, jadi bisa ngomong begitu." Fikar tak terima.

"Apa sih, Fik? Cuma becanda juga. Nggak usah baper lah, Bro."

"Udah ah, Kak, kita pulang aja. Malesin banget. Bukannya terima kasih kek. Dari dulu kok nggak pernah terima kalau ada yang lebih dari dia." Luli tak bisa menahan kesal. Entah kenapa, tapi menurutnya kali ini kakaknya agak berlebihan.

Luli balik kanan maju jalan. Rasanya ingin segera berlalu dari hadapan sang kakak semata wayang. Iqbal dengan cekatan mencekal pergelangan tangan istrinya, melempar isyarat melalui mata supaya Luli bersabar sebentar.

"Maafkan kalau kami ada salah ya, Fik, Sya. Kami pamit pulang dulu. Assalamualaikum."

"Om Iqbal, Lila ikut."

Iqbal menghentikan langkah, siap berbalik arah. Sebaliknya dengan Luli, ia menarik kasar tangan suaminya, mencegah agar pikirannya tak berubah.

"Udahlah, Kak. Nggak usah manjang-manjangin masalah."

Berdua baru akan masuk ke mobil, saat suara Nara memanggil. Ia segera memeluk Luli, kedua matanya terlihat basah.

"Maafin masmu ya, Lul. Mungkin dia capek, dari semalam memang kurang istirahat."

"Kenapa kamu yang minta maaf? Kan Mas Fikar yang---"

"Sudah, Neng. Nggak usah gitu lah." Diacaknya puncak kepala Luli.

"Maaf ya, Sya. Tahu sendiri lah ya, kakak adik ini kalau lagi nggak akur kayak apa. Kamu yang sabar ya ngadepin Zulfikar. Semoga ibu lekas sembuh. Kamu juga jaga kesehatan, jaga diri baik-baik, pekan depan sudah ujian."

"Terima kasih, Pak. Maafkan Mas Fikar ya, Pak. Kalau udah cemburu suka gitu. Kadang logikanya menguap entah ke mana."

Iqbal tertawa. Ia memaklumi semuanya, sebab bukan setahun dua tahun ia kenal dan dekat dengan Zulfikar Aditya.

Sekali lagi mereka berpamitan pada Nara. Fikar benar-benar tak menyusul keluar. Kalau egonya sudah meninggi, gengsinya turut pula mengikuti.

------

"Neng, pengin makan di mana?"

Mobil bergerak menjauh dari pintu keluar tol Jatingaleh.

"Kita mau pulang ke mana ini, Kak?"

"Ke Bukit Sari."

"Ya udah, makan di rumah aja deh. Males makan di luar, takut ntar ketemu mantannya Kak Iiq yang persebaran dan kemunculannya nggak bisa diduga."

"Dih, jelangkung kali, Neng, datang tak diundang."

Luli cemberut, Iqbal gemas dan buru-buru menarik itu mulut.

"By the way, Neng, Zulfikar kalau jealous tuh nggak banget ya. Bisa sampai segitunya. Lah masa iya Lila deket sama aku dia cemburu. Ckckck."

"Itu karena Lila muji-muji Kak Iiqnya setinggi langit. Mas Fikar dari kecil terbiasa jadi juara, jadi nomor satu. Makanya kalau merasa ada yang lebih dari dia, dia suka kesel nggak jelas gitu. Mana kalau udah gitu susah banget suruh minta maaf."

"Ya namanya manusia kan pasti ada plus minusnya, Neng. Kekurangannya Zulfikar mungkin di bagian situ. Walaupun sependek pengetahuanku, dia itu empatinya juga tinggi."

"Iya sih, tapi Mas Fikar memang level cemburunya lebih tinggi lagi, Kak. Kalau udah namanya cemburu atau merasa dikalahkan, jangankan empati, logika yang selalu dia junjung tinggi aja udah kayak mati. Denger sendiri kan gimana ceritanya waktu hampir pisah sama Nara."

"Iya sih. Dan aku jadi sangat paham kenapa mereka sampai hampir pisah. Untungnya Asya sabarnya dan nrimonya luar biasa ya."

"Terus, Kak Iiq kagum sama Nara gitu? Mau bandingin aku sama Nara? Nyesel karena punya istri yang manja dan ngambekan, bodoh pula. Nggak kayak Nara yang sabar, baik, mandiri, dewasa, pintar. Iyaaa, nggak usah dikasih tahu, aku tuh udah tahu banget dan sadar diri kalau---"

"Astaghfirullah hal adzim. Baru aja ngrasani masmu, lah kamu sendiri juga nggak jelas gitu kalau udah cemburu. Nggak pakai prolog pula." Iqbal terkekeh, mendorong pelan pelipis kanan sang istri.

"Kalau nggak lagi nyetir, udah habislah bibir Nyonya Sya'bani. Kamu tuh memang ya, kalau nggak dibungkam pakai cium ya merepet terus kayak petasan, Neng."

Luli membebaskan dirinya dari safety belt. Mendekatkan mukanya pada wajah Iqbal. Lalu satu kecupan dia berikan.

"Begini?"

"Hih, nakalnya anak Pak Rofiq nih." Tawa Iqbal berderai. Luli memang tak pernah gagal membuatnya happy.

"Aku sayang Kak Iiq."

"Aku lebih dari itu."

"Kakak mah mana pernah mau ngalah."

Lagi-lagi Iqbal terkekeh. Tangannya yang nggrathil mencubit pipi Luli, berlanjut menggenggam tangan Nyonya Sya'bani seolah tak rela untuk melepasnya lagi.

Mobil yang membawa mereka mulai memasuki daerah Bukit Sari. Terdengar nada panggil dari handphone Luli. Mas Fikar, begitu nama yang tampil pada layar.

"Siapa, Neng?"

"Mas Fikar."

"Mungkin dia mau minta maaf sama kamu."

"Mas Fikar? Minta maaf sama aku? Secepat ini? Huh, mimpi!"

"Hush, nggak boleh gitu, Neng. Sini biar aku yang angkat."

Ditekannya lingkaran yang berwarna hijau, disusul loudspeaker, kemudian menyerahkan pada laki-laki kesayangannya.

"Assalamualaikum, Fik. Gimana?"

"Heh, kalian tadi berbuat apa di depan Lila? Dia bilang kalian saru. Benar kalian berciuman di depan dia? Lila itu masih kecil, kalian kalau mau berbuat seper---"

Luli merebut handphone dari tangan Iqbal.

"Sorry, Mas. Kami sudah sampai rumah. Assalamualaikum."

Tut tut tut.

***

Asli, si Luli kesel banget sama Zulfikar.nih. Wkwk.

Btw, gimana part ini?
Part ini sebagian aku tulis di perjalanan Semarang-Jogja. Semoga berkenan dan tetap menghibur teman-teman semua ya.

Hoaahemmm... Ngantuk nih. Kalau gitu udahan dulu deh.

Jangan lupa follow ig-ku: fitrieamaliya

Beli kebab di warung Teh Ninih
Mohon maap dan terima kasih

Sampai jumpa...
❤❤❤

Semarang, 18112020

*Nih, buat intermezzo :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top