Part 35.1.
Kata papa, nggak boleh ciuman di depan anak kecil. Salu. Kenapa Ante Luli sama Om Iqbal salu?
***
Nah lo, tante sama omnya melakukan pelanggaran berat ini kayaknya. Haha.
Ban meletus di tengah jalan raya
Yuk cuss, langsung dibaca!
-------
Iqbal dan Luli baru akan memejamkan mata, ketika dering ponsel Luli menyusup masuk ke gendang telinga. Dengan malas Luli mengambil benda pipih di atas nakas. Nama Nara terbaca di layarnya.
Luli langsung bangun dan duduk. Tak biasanya iparnya itu menelepon di malam buta.
"Siapa, Neng?"
"Nara."
"Sudah, cepat diangkat, siapa tahu ada kondisi darurat."
Luli menuruti kata suaminya.
"Assalamualaikum, Na. Ngapain malam-malam ganggu orang tidur?"
"Nggak gitu juga kali, Neng," tegur Iqbal pelan.
"Waalaikumussalam. Maaf kalau ganggu, Lul. Mau minta tolong. Ibuku pingsan. Aku nitip Lila."
"Astaghfirullah. Oke, Nar, gimana? Lila di mana? Aku ke sana atau gimana?"
"Lila di mana? Eh, iya. Ibu pergi. Bapak juga pergi. Bu Nani pulang kampung. Aku juga mau pulang. Kamu ke sini. Eh, aku antar aja. Eh---"
"Assalamualaikum, Luli." Suara pria terdengar menggantikan kegugupan Nara.
"Barusan kami dapat telepon dari Salatiga, ibunya Nara pingsan. Ini sudah dibawa ke rumah sakit sama Arka dan Dya. Qodarullah, Bu Nani lagi pulang, bapak ibu juga lagi ke Jakarta. Kami mau ke Salatiga sekarang. Membawa Lila rasanya nggak memungkinkan. Jadi kalau kamu nggak keberatan, kami mau minta tolong untuk bantu jaga Lila. Izin dulu sama Iqbal, atau biar aku yang bicara sama dia."
"Oke, Fik. Ini aku. Kami ke sana sekarang. Kamu siap-siap saja. Insya Allah Lila aman sama kami."
"Thanks, Iq."
"You're welcome. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Iqbal bergegas mengenakan t-shirt dan celana jeansnya. Menyisir rambut seperlunya. Luli tak beda. Ia kembali mengganti t-shirt dress dengan piyama. Menambahkan outer yang panjangnya menutup paha. Jilbab hitam lebar bertengger rapi di kepala.
"Bawa baju ganti, Neng. Siapa tahu kita harus tidur di sana."
"Kenapa nggak Lila aja yang ikut kita, Kak?"
"Buat jaga-jaga aja, Neng. Sudah, nggak perlu berdebat, kita harus cepat. Yang lain dipikir sambil jalan, ini darurat."
Iqbal keluar kamar, menyambar kontak mobil di gantungan, juga kunci cadangan sebab ia tak sempat membangunkan penghuni rumah yang lain untuk berpamitan. Luli menyusul hampir tiga menit kemudian.
Suasana malam di daerah Bukit Sari, Tembalang, hingga Mangunharjo cukup sepi. Iqbal memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tapi laju terpaksa dikurangi, sebab Luli mengomel tanpa henti. Iqbal mengalah, menggantinya dengan diskusi. Mereka sepakat, Lila akan tidur bersama mereka di Madina malam ini.
Tak sampai dua puluh menit, mereka sudah tiba di depan rumah Fikar. Setengah berlari mereka berdua menuju pintu.
"Assalamualaikum, Fik. Gimana?" Sambut Iqbal begitu pintu terbuka. Sedang Luli langsung menghambur memeluk Nara.
"Waalaikumussalam. Alhamdulillah, ibu sudah sadar, Iq. Tapi kami tetap akan ke sana, memastikan semua baik-baik saja. Nitip Lila ya, Iq. Senyamannya kalian saja mau di sini atau Lila yang ikut kalian. Anaknya masih pulas, sengaja nggak kami bangunkan."
"Oke, Fik. Santai aja. Yang penting ibunya Asya dulu. Kamu udah tidur belum?"
"Belum. Lila tadi ngajakin main sampai malam. Kangen, habis dua hari kutinggal ke luar kota."
"Perlu aku antar ke Salatiga?"
"Nggak usah, Iq. Thank you. Insya Allah everything will be fine. Maaf ya ngerepotin."
"Apa sih, Fik? Nggak penting banget." Iqbal memang paling tak suka dengan kalimat semacam itu.
Nara keluar, membawa dua diaper bag untuk Lila. Satu berisi baju, satunya lagi untuk menaruh berbagai keperluannya. Luli menyusul, menggendong sang ponakan kesayangan yang cukup berat.
"Ya Allah, Luli. Kenapa nggak panggil Mas, sih? Lila kan berat, kamu lagi hamil muda lho." Fikar tergopoh, mengambil alih Lila dari gendongan adiknya.
"Nggak apa-apa sih, Mas. Santai aja." Katanya sambil tetap menyerahkan Lila.
"Ya sudah, Zulfikar sama Asya biar berangkat sekarang. Kita juga pulang. Kamu naik dulu, Sayang. Duduklah di belakang, biar Lila bisa berbaring lebih nyaman."
Cuma alasan agar Luli tak memangku Lila. Sesungguhnya Iqbal jauh lebih panik daripada Zulfikar saat melihat Luli menggendong Lila. Ia hanya menahan diri agar tak membuat Fikar atau Nara merasa tak enak hati.
"Aku di depan aja, Kak."
"Aku nggak minta jawaban. Aku cuma mau kamu dengerin dan turutin aku."
Luli menurut. Setengah mati menahan mulut agar tak mengerucut.
Nara menaruh tas-tas untuk Lila di seat sebelah kiri depan. Lalu menyerahkan duplikat kunci rumahnya kepada dosen sekaligus iparnya.
"Pak Iqbal, saya besok izin kuliah ya. Tugasnya sudah selesai, tapi lupa, ini ketinggalan di dalam rumah. Saya ambil dulu aja ya, Pak?"
"Ya Rabbi, Asya! Ibumu lebih penting daripada tugas. Sudah sana, cepat berangkat!" Agak keras Iqbal bicara. Nara sampai kaget dan terburu lari ke mobilnya sendiri.
"Nggak usah bentak-bentak orang juga kali, Kak. Kalau Mas Fikar tahu istrinya dibentak, bisa perang dunia."
"Nggaklah. Zulfikar tahu kondisi dan situasi. Dia pasti akan melakukan hal yang sama."
"Iya iya. Emm, maaf ya, Kak."
"Buat apa lagi, Neng?"
"Karena keluargaku udah ngerepotin, Kakak."
"Neng, aku nggak suka kamu ngomong begitu. Keluargamu ya keluargaku. Lagipula, apanya yang repot. Aku malah senang kalau ada Lila. Aku merasa sudah waktunya untuk mulai belajar momong anak kecil. Aku mau jadi bapak yang baik untuk anak-anak kita yang banyak nanti, Sayang."
"Ehk, b-banyak ya?" Luli menelan ludah. Hamil muda saja banyak tantangannya. Lha ini, mau suruh ngulang sampak banyak kali? Duh.
Iqbal tertawa, "Becanda, Sayang. Semampu kamu dan senyaman kamu saja."
Luli lega.
"Tapi tetap ya, minimal lima."
Satu cubitan mendarat di lengan Iqbal. Yang dua detik berikutnya berubah menjadi elusan. Luli memang paling suka mengelus lengan suaminya. Entah kenapa, tapi menurutnya, itu bagian paling seksi dan paling menggoda dari seorang Iqbal Sya'bani.
"Udah, nggak usah elus-elus, nanti pengin. Kan ada Lila, nggak bisa." Iqbal menggoda, mereka tergelak bersama.
-----
"Neng, kamu tidur berdua sama Lila ya, biar aku di sofa," kata Iqbal setelah menaruh Lila di atas bed kamar mereka.
"Lho, kenapa, Kak?"
"Takut nanti kalau Lila bangun yang dilihat bukan papanya, terus nangis, gimana?"
"Ya tapi nggak di sofa juga kali. Kakak kan bisa tidur di sebelahku. Kakak nggak pengin meluk aku?"
"Ya pengin lah, Neng. Tapi nanti kalau Lila bangun terus lihat kita pelukan, gimana?"
"Ya asal pelukannya biasa aja ya nggak masalah, Kak. Nara sama Mas Fikar juga sering kok tidur pelukan gitu."
"Kok tahu sih? Kamu ngintip ya?"
"Dih, enak aja. Nara kan ember, suka curcol. Enak aja ngintip." Luli tak terima.
"Jadi Kakak tidur sambil meluk aku aja ya? Percaya deh, nggak apa-apa. Yang penting tangannya Kak Iiq nggak nggrathil."
"Aku? Meluk kamu tanpa tangannya nggrathil? Mustahil!"
"Dasar Kak Iiq nih ya." Luli tersipu. Sentuhan-sentuhan suaminya terlintas seketika. Eh, tapi kan ada Lila?
"Lha tapi kalau nanti Lila nggelundhung gimana? Kan nggak ada yang jagain di sisi sebelah sana."
"Yaelah, Kak. Kasih bantal aja di pinggiran. Aman. Lila tidurnya nggak banyak polah kok."
Iqbal menyetujui. Ia mengambil semua bantal yang ada di rumah itu. Juga matras, untuk ditaruh di sebelah bed. Antisipasi agar tak ada potensi bahaya bagi Lila.
Luli terkikik geli, "Astaghfirullah, Kak Iiq. Lebay banget sih. Udah ada karpet tebal juga, nggak usah pakai matras juga nggak apa-apa. Heboh amat."
"Udah sih, diem. Selama Lila sama kita, dia tanggung jawab kita, jadi kita harus jaga dengan sebaik-baiknya."
"Ya tapi nggak seheboh itu juga kali, Kak. Malah jadi kayak tanggul darurat banjir." Tawa Luli makin menjadi dan rupanya mengganggu si bocah kecil berpipi chubby.
Lila terbangun. Ia kebingungan karena tak menjumpai papa dan mamanya. Tapi Luli bisa menjelaskan dengan baik, bahwa neneknya yang di Salatiga masuk rumah sakit, dan yang namanya sakit tidak bisa diketahui kapan akan tiba. Juga menjelaskan kenapa Ante Luli dan Om Iqbal yang menemani Lila. Anak cerdas itupun bisa menerima.
"Sekarang Lila tidur lagi ya. Besok pagi kita main sama-sama," ujar Luli.
"Iya. Tapi Lila mau minum susu Ante."
"HAH?! B-bukannya Lila udah nggak minum ASI ya, Neng? Lagian, kamu kan belum keluar ASI-nya to?" Iqbal kaget. Panik lebih tepatnya. Atau ... nggak rela? Eh!
Luli bangkit hendak mengambil botol susu yang sudah disiapkan oleh Nara. Ia mendekati suaminya untuk membisikkan sesuatu.
"Maksudnya tuh, Lila minta minum susu sama tante. Dia kan belum ngerti intonasi. Kakak tuh ya, kebiasaan sih. Makanya mikirnya jangan ke situ terus. Dasar!"
"Syukurlah. Kupikir kamu mau menyu---"
"Brisik!!"
Luli kembali ke atas bed dengan botol susu Lila di tangannya. Bersiap menemani keponakannya untuk tidur lagi. Iqbal menyusul, memeluk Luli dari belakang. Menahan tangannya untuk tetap tenang dan tidak jalan-jalan.
"Kenapa Om Iqbal meluk-meluk Ante Luli? Nggak boleh. Ante Luli kan mau nemenin Lila tidul. Om Iqbal pelgi, jangan tidul di sini."
"Nggak apa-apa, Lila sayang. Om Iqbal kan laki-laki, biar tidur di sini, jagain kita berdua. Ya?"
"Iya, tapi Om Iqbal nggak boleh peluk-peluk Ante Luli. Ante Luli kan mau peluk Lila bial cepat tidul."
Iqbal mengalah, melepaskan dirinya dari sang istri. Merelakan Luli memeluk si curly. Ia menjaga jarak, tapi tangannya refleks beranjak. Menyusup ke dalam piyama dan menyusuri punggung Luli hingga membuatnya geli.
"Kak, nggak usah gitu deh. Lila biar tidur dulu," bisik Luli sambil mengedik kegelian.
"Ante kenapa?"
"Ng-nggak, Sayang, nggak apa-apa. Cuma digelitikin sama Om Iqbal, jadi ante kegelian. Lila bobo lagi ya."
"Om Iqbal nakal! Jangan tidul di situ! Om Iqbal pelgi aja! Nggak boleh gangguin Ante Luli!"
"Tapi, Lila---" Luli masih akan komplain, tapi keburu dipotong oleh Lila.
"Pokoknya Om Iqbal nggak boleh di sini. Lila nggak suka ante dinakalin Om Iqbal. Huhuhu," sahut Lila diakhiri dengan tangis.
"Iya iya, Lila. Om Iqbal minta maaf. Lila bobo sama Tante Luli ya, om pindah deh, nggak tidur di sini. Maafkan Om Iqbal ya, Sayang." Iqbal buru-buru pindah setelah minta maaf dan menepuk lembut pipi keponakannya.
Butuh waktu hampir setengah jam sampai Lila tidur kembali. Luli turun dari tempat tidur, hendak menengok suaminya yang memutuskan tidur di sofa luar yang lebih besar. Di sana, ia mendapati Iqbal yang sudah pulas, bahkan terdengar dengkur yang cukup keras.
"Kak, mau pindah ke dalam nggak?"
Luli menepuk pipi suaminya, tapi sama sekali tak ada reaksi. Rupanya Iqbal sangat kecapaian setelah seharian kemarin padat dengan aktivitas dan baru bisa tidur setelah lewat jam dua. Ia sendiri malah belum sempat tidur sama sekali.
Luli masuk kamar, hanya sebentar, lalu keluar lagi untuk menyelimuti sang suami.
"Emmh, terima kasih ya, Neng. I love you," ucap Iqbal, antara sadar dan tak sadar.
"I love you too, Kak Iiq sayang."
Malam itu, tidur
Luli menunduk, memberikan satu ciuman sayang pada kening Iqbal Sya'bani. Setelahnya ia kembali bergelung bersama si pipi chubby, dan jatuh lelap tak lama kemudian.
------
"Neng, bangun, Sayang." Iqbal menepuk lengan istrinya. Ia baru saja pulang dari subuh berjamaah di masjid.
"Hemm."
"Udah lewat subuh lho. Salat dulu, habis itu tidur lagi."
Mata Luli memicing, berusaha memindai letak jarum jam dinding.
"Udah lewat subuhnya. Mau kugendong ke kamar mandi?" Luli menggeleng, terlihat lemah.
"Kamu kecapekan, Sayang. Biar kugendong ke kamar mandinya, aku temenin salatnya, habis itu tidur lagi. Kalau Lila bangun nanti biar aku yang urus."
"Nggak, Kak. Aku nggak apa-apa, cuma kurang tidur sedikit aja kok."
"Ya udah, salat dulu ya. Tadi Zulfikar ngabarin. Alhamdulillah ibunya Nara nggak apa-apa. Cuma kecapekan habis dapat pesanan snack banyak tiga hari kemarin. Tekanan darahnya drop karena kurang tidur.
"Makanya kamu habis ini tidur lagi ya. Insya Allah pagi ini Bu Nani balik ke Semarang. Nanti biar kujemput di rumah Fikar untuk nemenin kamu dan Lila."
"Memangnya Kak Iiq mau ke mana?"
"Maaf ya, Neng, tapi aku tetap harus ke kampus. Pekan depan udah ujian, masih ada beberapa tugas yang kemarin-kemarin kuberikan dan pekan ini harus dikumpulkan. Juga memastikan lagi bahwa anak-anak sudah menguasai materi."
"Jam berapa ke kampusnya?"
"Nanti, setelah jemput Bu Nani."
"Telat nggak itu?"
"Ya udah pasti telat, Neng. Tapi nggak apa-apa sih, habis ini aku minta maaf dulu lewat ketua angkatan."
"Nggak usah, Kak. Bu Nani nanti kuorderin ojek online aja. Kakak tetap berangkat seperti biasa ya. Jangan sampai telat. Dosen kan harus jadi contoh yang baik buat mahasiswanya."
Tumben dia ngomong gini. Biasanya juga ngambek kalau ditinggal ke kampus pas kondisinya kayak gini. Alhamdulillah, semoga seterusnya.
"Alhamdulillah. Makasih ya, Sayang. Sekarang kamu salat dulu ya. Aku gendong. No debat."
Iqbal menemani Luli ke kamar mandi. Seperti biasa, ia menunggu di luar, sementara Luli menyelesaikan keperluannya sampai selesai, lalu dengan sabar Iqbal kembali menggendongya, menunggui hingga usai salat, lalu membawanya kembali ke tempat tidur.
"Pengin makan apa, Neng?"
"Belum pengin, Kak."
"Buat sarapan nanti?"
"Apa aja, Kak. Asal nggak ngerepotin Kak Iiq."
"Nggak lah. Dengan senang hati malah. Kamu tidur lagi ya, sambil kubacain surat Maryam. Mau?"
"Iya. Mau banget. Aku sayang, Kak Iiq." Luli melingkarkan tangan ke leher suaminya. Manja.
Iqbal tak tahan, ia tak bisa melewatkan begitu saja bibir Luli yang selalu manis ia rasakan. Mereka berciuman penuh kehangatan.
"Kata papa, nggak boleh ciuman di depan anak kecil. Salu. Kenapa Ante Luli sama Om Iqbal salu?" Suara Lila yang terdengar tiba-tiba memutus keasyikan keduanya.
Astaghfirullah.
Iqbal segera menjauhkan wajahnya dari sang istri. Jantungnya serasa hampir lepas. Bukan cuma karena kaget, tapi juga merasa berdosa sudah berbuat tak pantas di depan anak yang belum cukup usia. Dia sama sekali tak sadar kalau Lila sudah membuka mata. Bahkan sempat menyaksikan apa yang ia lakukan bersama tantenya.
"Eh, sayangnya ante udah bangun. Lila masih ngantuk apa udah selesai bobonya?"
"Ante nggak boleh salu."
"Iya, ante sama Om Iqbal minta maaf ya, Lila. Ante belum tahu, belum dikasih tahu sama Papa Fikar. Maaf ya, Lila. Besok nggak diulangi lagi deh."
"Janji ya, Ante Luli?"
"Iya, janji. Insya Allah."
"Sekalang Lila mau beldoa dulu, habis itu mau salat subuh, Ante."
Luli menemani Lila membaca doa bangun tidur. Lalu Iqbal menggendong Lila ke kamar mandi untuk pipis, cuci muka, dan wudhu bersama Luli. Setelah itu mereka akan salat berjamaah.
Sambil menunggu Lila dan Luli, Iqbal mengambil mukena si keponakan di diaper bag warna coklat. Menyiapkan sajadah untuk mereka bertiga. Iqbal dan Luli pun melaksanakan salat subuh kembali demi menemani Lila.
Saat sedang salat, Luli mencuri pandang pada si keponakan, yang terlihat begitu serius mendengarkan lantunan ayat suci yang meluncur dari bibir pamannya. Wajah Lila menunjukkan kekaguman, seperti melihat sesuatu yang selama ini hanya ada dalam impian.
Dan benar, begitu selesai salam Lila langsung menghambur pada Om Iqbalnya.
"Om Iqbal, Lila sayang sama, Om."
"Alhamdulillah. Salim dulu dong." Disodorkannya tangan kanan yang segera disambut dengan ciuman oleh si gadis kecil.
"Om Iqbal pintal ngaji ya. Bagus. Lebih bagus dali Papa Fikal."
Dalam hati Iqbal berteriak girang. Dia punya nilai plus di atas Zulfikar Aditya. Lebih menggembirakan lagi, ini yang menilai anaknya Zulfikar sendiri. Semangat Iqbal memulai hari auto meningkat ke level tertinggi.
"Alhamdulillah. Terima kasih, Lila sayang. Om kasih hadiah buat Lila mau nggak?"
"Hadiah apa?"
"Hadiah surat Maryam."
"Apa itu, Om?"
"Salah satu surat dalam Al Quran, seperti surat Al Fatihah, An Naas, Al Falaq,---"
"Al Lahab, An Nasel, Al Kafilun."
"Masya Allah, pintar sekali ponakannya Om Iqbal ini."
"Lila kan ponakannya Ante Luli."
"Om Iqbal juga dong. Nanti om nangis lho kalau nggak diakui jadi omnya Lila. Huhuhu."
"Dih, lebay," gumam Luli. Pelan, tapi terdengar sampai ke telinga Iqbal. Dia terkekeh.
"Tapi Om, kenapa sulat Malyam nggak ada al-nya, Om? Yang lain kan ada al-nya."
"Selain Maryam, banyak juga surat yang nggak pakai al, seperti surat Nuh, Hud, Yusuf, Yunus, Luqman, Muhammad. Kenapa nggak pakai al, karena itu nama orang.
"Kalau dalam kaidah bahasa Arab, al itu salah satunya digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang belum jelas. Misalnya fiilun artinya gajah. Gajah kan ada banyak, gajah yang mana yang dimaksud? Nah, pada surat Al Fiil diberi al karena gajah yang dimaksud sudah jelas, yaitu gajah yang digunakan sebagai tunggangan oleh Raja Abrahah. Gitu Lila."
Lila melongo, Luli cekikikan.
"Kak, Lila itu belum genap empat tahun. Ya kali ngejelasinnya kayak ngejelasin ke mahasiswa."
Iqbal diam, wajahnya berubah seketika. Antara malu, kesal, dan menyesal. Cengo.
"Ya udah, om baca surat Maryam sekarang ya. Lila sama Tante Luli dengerin sebagai hadiah."
Lalu terdengarlah alunan surat Maryam dari seorang Iqbal Sya'bani. Lila mendengarkan dengan seksama, kekaguman terlihat jelas di wajah imut nan lucu itu.
Hampir setengah jam, saat Iqbal menyelesaikan ayat ke-98.
"Om Iqbal hapal Al Qul'an?" tanya Lila antusias.
"Belum, Sayang."
"Tapi kok tadi bacanya nggak buka Al Qul'an?"
"Alhamdulillah, kalau surat Maryam om udah hapal. Tapi belum satu Al Qur'an om hapal."
"Belalti belum tiga puluh juz ya, Om?"
"Iya, belum. Baru mau sepertiganya."
"Sepeltiga itu belapa, Om?"
Luli cekikikan lagi. Iqbal menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Keseringan bergaul dengan mahasiswa dan hampir tak pernah bergaul dengan anak kecil membuat Iqbal sering lupa menempatkan diri dengan siapa dia bicara.
"Baru mau sepuluh, Sayang."
"Wah, banyak ya. Papa Fikal katanya balu mau tiga juz."
"Itu juga udah bagus, Sayang. Nanti pasti bertambah terus."
"Telus, kenapa hadiahnya sulat Malyam, Om?"
"Karena Maryam adalah salah satu perempuan istimewa yang dipilih sama Allah untuk menjadi teladan di muka bumi i---"
"Karena Lila anak perempuan, sama seperti Ibu Maryam. Lila kalau disuruh pilih barang-barang pilihnya yang bagus apa yang jelek?" Luli menyela suaminya. Mencoba menyampaikan dengan bahasa yang lebih mudah diterima Lila.
"Ya yang bagus, Ante."
"Nah, sama seperti Allah memilih Ibu Maryam. Karena ibu Maryam itu bagus. Ibu Maryam itu perempuan yang baik, pintar, dan sholihah. Makanya Om Iqbal kasih hadiah surat Maryam buat Lila dan buat ante, karena Om Iqbal pengin kita mencontoh Ibu Maryam menjadi perempuan yang sholihah.
"Lila mau jadi anak sholihah kan?"
"Mau, Ante. Bial bisa masuk sulga."
"Aamiin," jawab Luli antusias. Dipeluknya Lila dengan penuh sayang.
"Masya Allah, pinternya. Anaknya Zulfikar bener ini sih. Semoga anak kita nanti kayak gini juga ya, Neng. Pinter."
Luli langsung diam. Hatinya mendadak ciut. Insecure.
"Berarti harus nurun Kak Iiq dong. Aku kan nggak pintar," ujar Luli, lebih seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Mulai deh. Udah ah, kamu mandiin Lila sana, Neng. Aku bikin sup ikan dulu buat sarapan."
Iqbal melirik pada Lila yang sedang sibuk melipat mukena. Lalu mencuri cium pada istrinya begitu melihat Lila sedang tak melihat mereka. Luli kembali tertawa. Bahagia.
"Om Iqbal, habis mandi Lila mau main susun balok."
Sebelum menjawab Lila, Iqbal bertanya dulu pada Luli. Memastikan Nara membawakan mainan yang dimaksud oleh Lila.
"Mama nggak bawain mainan balok, Sayang. Nanti mewarnai sama Tante Luli aja ya. Om Iqbal mau masak." Luli yang menjawab.
"Kok yang masak Om Iqbal sih? Biasanya kan yang masak yang ibu-ibu. Kayak nenek gitu. Mama Nala juga masak kalau nggak ada Bu Nani."
Luli mencebik. Kalau Iqbal yang bilang begitu, sudah pasti ia akan ngambek. Tapi ini.... Ah, sudahlah.
"Tante Luli kan mau nemenin Lila mandi dan ganti baju. Makanya Om yang masak." Iqbal berusaha membesarkan hati Luli.
"Om Iqbal kok apa-apa bisa sih. Papa Fikal aja nggak bisa masak."
T-shirt Iqbal rasanya makin sesak. Ia diam, tak menjawab lagi. Hanya mengulum senyum sambil melangkah menuju dapur.
Tepat pukul 06.30 mereka bertiga duduk di meja makan. Lila makan sendiri, sesekali dibantu tantenya ketika ia terlihat kesulitan.
"Sup ikan bikinan Om Iqbal enak. Lila suka. Kenapa Om Iqbal nggak jadi tukang masak aja? Om Iqbal keljanya apa sih?" tanya Lila setelah mereka menyelesaikan sarapan bersama.
Iqbal nyaris tersedak, Luli malah ngakak.
"Om itu kerjanya sama kayak papanya Lila."
"Kan dulu kita pernah ketemu waktu Lila ikut mama dan ante ke kampus." Luli mencoba memancing ingatan Lila pada hari pertama Nara ke kampus dengan status sebagai istri kakaknya.
"Iya, Lila ingat pelnah ikut mama sekolah, tapi Lila nggak ingat Om Iqbal."
"Nggak ingat nggak apa-apa."
"Belalti Om Iqbal dosen ya? Yang keljanya ngajal mbak-mbak sama mas-mas yang udah besal. Kayak Cikgu Jasmin ngajal di Tadika Mesla?"
"Nah, iyaaa. Lila pinter banget sih." Kali ini Iqbal benar-benar gemas, dicubitnya pipi gadis kecil itu, lalu menggendongnya di atas leher.
Lila tertawa-tawa riang. Sesuatu yang nyaris tak pernah dilakukan oleh papanya. Bukan apa-apa, tingginya yang nyaris menyentuh angka 180 membuat Fikar menghindari permainan yang membawa Lila jadi terlalu tinggi.
"Holeee, Lila tinggi banget."
Iqbal makin bersemangat. Mengangkat Lila tinggi-tinggi. Menyangga Lila yang berpura-pura menjadi pesawat. Menggendong di belakang sambil melompat-lompat seperti kuda. Apa saja yang diminta keponakannya. Suara tawa berderai-derai dari keduanya, begitu ceria.
Sementara Luli memandang suami dan keponakannya dengan mata berkaca. Sungguh, ia terharu dan bahagia melihat kedekatan mereka.
"Sudah ya, Lila main dulu sama tante, Om Iqbal mau mandi, mau ke kampus."
"Yaaah, kok Om Iqbal ke kampus sih, nanti Lila main sama siapa?"
"Kan sama Tante Luli."
"Ante Luli nggak ke kampus juga?"
"Harusnya ke kampus, tapi nanti Lila nggak ada temannya, jadi Om Iqbal aja yang ke kampus. Tante di rumah sama Lila."
"Nggak mau. Lila maunya ikut Om Iqbal ke kampus. Huhuhu."
Aish. Keponakan kesayangan Luli ternyata sudah terjerat pula pada pesona Iqbal Sya'bani.
"Bener, mau ikut Om Iqbal?"
"Boleh?"
"Boleh dong."
"Holeee. Telima kasih, Om Iqbal. Lila sayang sama Om Iqbal."
Bocah keriting itu menghujani kedua pipi omnya dengan ciuman sampai basah. Iqbal geli, ia juga risih, tapi hanya bisa pasrah.
"Oke deh. Lila main dulu ya, Om Iqbal mau mandi. Tante juga mau siap-siap. Nanti kita ke kampus bertiga ya. Sekarang kita toss dulu."
"Oke, Om Iqbal kesayangan Lila."
Dua telapak tangan berbeda ukuran itu saling bertepuk. Iqbal senang, Lila riang, Luli menahan hati yang meradang.
***
Loh, Luli kenapa meradang? Bukan cemburu karena Lila cium-cium Om Iqbal kan yak? Hahaha...
Terus, itu beneran Iqbal mau momong ponakan di kampus? Lah papanya aja kagak pernah. Wkwk...
Kita tunggu part berikutnya aja yaaa.
Alhamdulillah, bisa update lebih cepat seperti yg kubilang di part kemarin. Semoga part besok bisa cepat juga.
Terima kasih banyak buat teman-teman yang sudah baca, vote, komentar, dan kasih apresiasi berupa apapun buat Mendadak Ipar ini
Mohon maaf lahir dan batin kalau ada banyak salah dan kekurangan yang bertebaran di part ini atau part-part yg lain.
Jangan lupa follow ig-ku: fitrieamaliya yaaa
Jangan lupa juga, yg belum ikut PO Mendadak Mama masih bisa sampai tanggal 20 November ajaaa
Oke deh. Pokoknya i love you all.
Sampai jumpa
❤❤❤
Semarang, 16112020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top