Part 33
Saya saja selalu percaya sama Zulfa. Sayang sekali, Bapak yang suaminya malah punya pemikiran seperti itu pada anak sepolos dia.
***
Kira-kira, itu siapa ya yang bicara?
------
Makan seblak ditaburin leunca
Kuy lah ditebak sebelum dibaca
------
Iqbal baru saja naik dari kolam renang setelah beraktivitas hampir satu jam di dalamnya. Luli menunggu di tepian, membawa bathrobe untuk suaminya. Ia pula membantu Iqbal mengenakan dan mengikatkan talinya. Duh, mesranya.
"Kakak kalau mentas dari kolam renang gitu gantengnya nggak pernah gagal deh," bisik Luli sembari menatap mata lelakinya.
"Biasanya gagal ya?" Iqbal tertawa. Seperti biasa, mencubit hidung istrinya.
"Ini tuh beda. Ah, susah ngomong sama Kakak." Luli cemberut.
"Iya, iya, becanda, Sayang." Diciumnya bibir Luli yang sudah maju beberapa centi.
Luli mendorong perut suaminya agar menjauh. Malu. Ada umi dan Bu Yus di pantry.
Garlic bread dengan lelehan keju mozarella terhidang di meja pantry. Saus cabai bikinan umi tak ketinggalan menemani. Iqbal baru menghabiskan sepotong ketika Luli membawakan smoothies mangga kesukaannya.
"Terima kasih, Sayang," ucap Iqbal. Tangannya mengelus lembut kepala Luli. Iqbal memang tak pernah bisa menyembunyikan rasa sayangnya pada sang istri.
"Dek, hari ini Neng Zulfa jadi mau belajar masak sama umi kan?" Suara abah muncul tiba-tiba, lalu duduk di kursi sebelah anak bungsunya.
"Insya Allah jadi, Bah. Biar nggak Kak Iiq terus yang masakin buat saya." Luli yang menjawab. Malu-malu menghias wajahnya. Lagi-lagi Iqbal tak bisa menyembunyikan rasa bangga atas istrinya.
"Makasih ya, Neng. I love you." Dirangkulnya pinggang Luli hingga mereka berdua saling bersentuhan.
"Iiq biar nemenin abah ya, Neng Zulfa?" kata abah lagi.
"Mau ke mana, Bah? Ke site?"
"Nggak, Dek. Abah lama nggak golf, stiknya udah kangen nyium bola. Temenin ya, Dek?"
Iqbal menatap Luli, mencari persetujuan di sana, dan ia menemukannya. Luli mengangguk. Senyum manis disertakan pula.
"Siap, Bah. Iiq temani."
"Iyalah, Dek, kamu juga udah lama nggak mukul bola, kan? Sekali-sekali lah masukin bola ke hole, jangan stiknya terus yang ---" Umi nimbrung. Seperti biasa, pernyataan yang tak jelas arah dan tujuan selalu menyertai.
"Astaghfirullah hal adzim. Umi, apaan sih?! Please deh." Iqbal menyela. Matanya memicing agak kesal. Guyonan uminya selalu nyerempet bahaya.
"Bukannya kalau golf yang dimasukkan ke lubang tuh bolanya ya, Mi?" Luli tak paham.
"Udah, udah, nggak usah didengerin lah becandaannya umi. Nggak pernah jelas."
Umi terpingkal-pingkal melihat Iqbal yang tampak begitu sebal. Didekatinya Luli, lalu pelukan dan kecupan umi berikan untuk menantu bungsunya.
"Masya Allah. Pantesan Iiq happy banget sama kamu, Neng. Nah kamu lucu gitu sih."
"Umi apaan sih cium-cium Luli? Ijin dulu kali, Mi, sama Iiq."
Dasar Iqbal, minta dikeplak!
"Udah udah, siap-siap sana, Dek," perintah Abah.
"Mau berangkat jam berapa, Bah?"
"Setengah jam lagi ya, biar nggak kesiangan, ntar keburu panas."
"Neng Zulfa jangan diajak lho, Dek. Mau nemenin umi masak." Umi tak mau acara dengan menantu kesayangannya batal.
"Iya, iya, Mi. Tenang aja. Dia juga nggak mungkin ikut kan, nanti malah capek. Kasian. Iiq nggak tega."
Iqbal lalu meminta izin untuk bersiap. Diajaknya Luli untuk menemani.
"Sendiri aja sih, Dek. Nanti abah nunggunya kelamaan kalau Neng Zulfa ikut kamu ganti baju."
Kedua mertua Luli ini memang nggak pernah tanggung-tanggung kalau menggoda anak dan menantunya.
Luli yang tak enak hati akhirnya batal mengikuti sang suami. Padahal hatinya sangat menginginkan itu. Ia ingin tahu, apa saja yang harus dia siapkan untuk suaminya saat akan melakukan olahraga yang jarang atau bahkan tak pernah akrab dengan dirinya. Golf misalnya.
"Ayolah, Neng, abah cuma godain aja. Nggak usah diambil hati." Iqbal menarik tangan Luli, seakan mengerti apa yang dipikirkan sang istri.
-----
Lapangan golf 18 hole yang kabarnya terbaik di Semarang menjadi tujuan. Bukan karena terbaiknya, tapi dekat dengan rumah menjadi alasan abah memilih ke sana.
Sebenarnya Iqbal tak begitu suka bermain golf. Menurutnya permainan itu cukup rumit, karena untuk tiap pukulan dan medan lapangan yang berbeda kondisi, diperlukan ketepatan memilih stik yang jenis dan ukurannya bermacam-macam pula. Apalagi abah tipe pemain yang cukup idealis, meskipun bukan profesional dan tidak dalam turnamen, beliau selalu membawa set stik dalam jumlah maksimum yaitu 14.
Beruntung, kali ini abah hanya mengambil 9 hole saja, sehingga tak butuh waktu lama. Dua jam lebih sedikit, mereka berdua menyelesaikan permainan.
Iqbal sedang menuju meja di resto yang menjadi bagian dari lapangan golf. Terletak di lantai dua dengan atap terbuka, di sepanjang tepinya terdapat pagar besi yang tingginya pas untuk menyangga lamunan.
Itu pula yang dilihat Iqbal. Sesosok anak muda sedang melamun. Ia cukup kenal padanya, meski hanya terlihat dari samping.
Iqbal meminta izin pada abahnya yang telah lebih dulu duduk di salah satu bangku kayu. Lalu melangkah menuju anak muda yang tampaknya sedang asyik menerawang. Bisa jadi, istrinya yang ada dalam benak pemuda harapan bangsa tersebut.
"Angkasa," sapa Iqbal hati-hati. Tak ingin mengagetkan mahasiswanya.
"Eh, Pak Iqbal. Ada acara apa, Pak, di sini?" Mata Andro seperti sedang memindai sekeliling dosennya.
"Saya sama abah saya kok. Istri saya di rumah sama ibu mertuanya." Telak!
"Pak Iqbal main golf?"
"Cuma menemani abah saya saja. Kamu?"
"Sama, Pak. Saya nemenin papa saya, beliau hobi banget main golf. Ini jauh-jauh ke Semarang nengokin saya juga yang dicari lapangan golf." Andro meringis.
"Memangnya kamu asalnya dari mana?"
"Saya dari Surabaya, Pak."
"Jadi papamu ini datang dari Surabaya?"
"Iya, Pak. Ke sini katanya kangen sama saya. Padahal cuma kangen main golf sama saya. Gitu sih kayaknya." Dia tertawa kecil, sedikit sumir.
"Kamu suka main golf juga?"
"Andro ini dulunya atlet golf junior lho. Sejak kuliah di Semarang dia berhenti. Alasannya mau fokus di kuliah saja." Seorang pria berusia akhir 40-an menyahut tiba-tiba.
"Oh ya, Anda siapa? Teman kuliahnya Andro kah? Tapi sepertinya bukan ya. Kelihatan lebih dewasa, lebih matang. Saya Antariksa, papanya Andro."
Andro menyikut papanya sambil berbisik, "Itu dosen Andro, Pa."
"Masya Allah, dosennya Andro ya? Masih muda sekali. Pasti jadi dosen idola ini di kampus. Maaf ya, Pak. Eh, saya panggilnya apa ini?"
"Apa saja, Pak, asal jangan dipanggil bapak. Kalau dibandingkan Anda ya saya jauh lebih junior, Pak, walaupun tentu saja nggak semuda Angkasa juga." Mereka bertiga tertawa.
Iqbal mengulurkan tangan, dan menyebut nama. "Iqbal Sya'bani. Biasa dipanggil Iqbal."
Menit berikutnya, Iqbal sudah terlibat obrolan akrab dengan papanya Andro, masih sambil berdiri. Abah kemudian turut bergabung. Tak lama, karena abahnya Iqbal dan papanya Andro ternyata sama-sama orang konstruksi sehingga mereka lebih cepat klik dan memutuskan untuk melanjutkan obrolan tanpa anak-anaknya.
Tinggallah Iqbal dan Andro berdua. Andro salah tingkah, canggung. Feeling-nya tak enak.
"Mau lanjutin ngelamunnya apa mau ngobrol sama saya nih?"
Iqbal menyusul mahasiswanya. Membungkuk dengan siku sebagai tumpuan, menimpakan sebagian berat tubuh pada pagar besi di sepanjang tepian. Mencoba memulai pembicaraan.
Duh, pasti sebentar lagi obrolannya tentang Zulfa nih, batin Andro.
"Nggak ngelamun, Pak, cuma melihat pemandangan saja."
"Udah move on?"
Bener kan, baru juga selesai ngebatin.
Andro menelan saliva.
"Dari Zulfa maksud Bapak?"
"Iya, dari istri saya." Iqbal memberi penekanan pada kata istri saya.
"Maaf, Pak. Belum sepenuhnya."
"Kenapa begitu?"
"Jadi, ibaratnya kita udah bertahun-tahun latihan golf. Kemudian kita mengikuti satu kejuaraan. Kita yang baru mentas dari kelas junior, tiba-tiba harus berhadapan dengan pegolf yang bahkan mungkin sudah pegang club sebelum kita lahir. Wajar sih kalau kita kalah. Dan wajar juga ketika kekalahan itu begitu membekas. Terutama karena perjuangan yang sudah kita lakukan bertahun-tahun ternyata harus kandas oleh kesenjangan status dan terutama pengalaman.
"Bapak di pihak pemenang, meminta pihak pecundang move on tentu saja mudah. Tapi tidak demikian bagi pihak yang kalah. Kalau saya seusia dengan Bapak, mungkin kita bisa berkompetisi dengan lebih seimbang. Dan bisa jadi, sayalah yang keluar sebagai pemenang."
Iqbal tersenyum kecut. Namun sejujurnya, ia makin kagum pada anak muda di depannya.
"Kamu memang anak muda yang luar biasa, Angkasa. Bahkan caramu memilih kata-kata saja bisa membuat saya berasa kena pukulan telak." Tawa Iqbal berderai.
"Boleh tahu kenapa kamu suka sama istri saya?"
"Saya nggak yakin bapak sanggup dengernya. Saya tahu kok, bapak cemburunya luar biasa kalau sama saya."
"Istri saya cerita ke kamu? Kalian masih sering ngobrol ya?"
"Ckckck, pertanyaan Bapak. Saya saja selalu percaya sama Zulfa. Sayang sekali, Bapak yang suaminya malah punya pemikiran seperti itu pada anak sepolos dia."
Jleb! Iqbal berusaha untuk tetap tenang, ia melihat Andro sepertinya belum selesai berbicara.
"Zulfa itu anaknya lugu banget, Pak. Polos. Dia itu baik banget. Hampir semua yang kenal dia pasti suka. Suka dalam arti berteman ya, Pak, bukan yang lebih dari itu.
"Dan saya bisa menilai, dia kalau sudah cinta sama sesuatu, setianya luar biasa. Dengan buku misalnya. Atau dengan Asya, yang dalam hal ini dia cintai sebagai sahabatnya. Sebagai seseorang yang boleh dibilang paling dekat dengannya. Ya apalagi dengan Bapak, suaminya.
"Saya yang pertama kali mengenalkan Zulfa dengan Asya. Waktu itu kami masih maba. Asya memang orangnya keras dan terkesan individual. Menyebalkan. Tapi dengan Zulfa, dia bisa sangat dekat. Ya mungkin karena saking polosnya Zulfa. Dia nggak pernah ada suudzon, nyinyir, dan semacamnya. Itu juga yang membuat Asya menempatkan Zulfa di posisi yang berbeda dari teman lainnya.
"Dan Zulfa yang merasa mendapatkan posisi istimewa di hati Asya, dia nggak segan-segan pasang badan kalau ada yang nyinyir atau berlaku negatif pada Asya, jika itu memang tidak sesuai keadaan sebenarnya. Tapi kalau memang Asya yang salah, dia juga nggak ragu-ragu mengingatkan dengan tegas, meskipun kadang suka asal, dan bikin Asya kesal."
"Sorry, saya cut. Sedekat apa sih kamu dengan istri saya?"
Sungguh, Iqbal mulai dikuasai cemburu. Ia tak sanggup melihat binar di mata lawan bicaranya setiap kali topik obrolan mereka tentang Luli.
"Kami dekat sebagai teman baik, Pak. Saya orang pertama yang dia kenal di kampus, kemudian saya menjadi orang yang selalu dia cari setiap kali dia butuh pertolongan atau sesuatu."
"Waktu itu kamu sudah suka sama istri saya?"
Sebut nama aja kenapa sih? Sengaja banget pakai kata istri saya.
Andro menahan sebal di dada.
"Bener? Bapak nggak keberatan dengar cerita saya? Saya nggak mau bapak jadi cemburu dan nanti kehilangan logika saat berhadapan dengan Zulfa."
"Maksud kamu apa? Kalian sering membicarakan saya, ya?"
"Kami? Membicarakan Bapak? Dia bahkan memblokir saya setelah bertengkar sama Bapak malam itu."
"Lalu curhat ke kamu dan kamu menanggapi dengan senang hati. Iya kan?"
"Nggak sama sekali. Kalau Bapak kira saya menanggapi dengan senang hati, Bapak salah. Jangan karena ke-gap modusin Zulfa sekali, lalu Pak Iqbal menganggap saya selalu modusin dia setiap ada kesempatan. Nggak, Pak. Saya menghargai Zulfa. Saya menghormati dia. Apa yang sekiranya tidak pantas dilakukan, tidak akan saya lakukan jika itu berkaitan dengan dia."
"Tapi malam itu---"
"Begitulah manusia pada umumnya, Pak. Lebih fokus pada satu keburukan daripada seratus kebaikan. Tapi saya yakin sih, Pak Iqbal bukan termasuk orang kebanyakan."
"Oke. Kita akhiri saja pembicaraan tentang istri saya." Iqbal mengembus napas dengan sedikit kasar.
Siapa juga yang mulai bicara tentang Zulfa? batin Andro sebal.
"So, kamu dulu atlet golf. Terus, kenapa berhenti? Saya rasa kamu bukan tipe orang yang nggak bisa membagi waktu dengan baik. Kalau cuma untuk latihan dua-tiga kali sepekan, ditambah tugas dan kegiatan lain, kayaknya belum jadi beban berat buat kamu."
"Saya cuma ingin melakukan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang papa saya sukai, Pak."
"Maksud kamu?"
"Saya ingin papa saya tahu rasanya dikecewakan."
Andro menoleh ke belakang, mengamati papanya yang sedang asyik berbincang dengan abahnya Iqbal. Mungkin tentang konstruksi.
"Papa saya kawin lagi. Dan itu membuat saya merasa sangat dikecewakan."
Iqbal agak terkejut menerima jawaban yang blak-blakan dari mahasiswa yang pernah menjadi rivalnya. Ia sama sekali tak menyangka, seorang Angkasa Andromeda bisa bicara seringan itu tentang sesuatu yang bagi sebagian orang adalah aib yang mati-matian disembunyikan.
"Oh." Cuma itu yang sanggup meluncur dari Iqbal.
"Saya anak bungsu dari dua bersaudara. Kakak saya satu, perempuan, empat tahun di atas saya. Waktu itu saya umur 15 tahun, hampir lulus SMP. Saya pikir keluarga saya keluarga yang sangat ideal dan bahagia. Ternyata saya salah.
"Papa saya pulang membawa seorang perempuan. Meminta maaf dan memohon-mohon pada mama untuk diizinkan menikahi perempuan itu."
"Mamamu mengizinkan?"
"Tentu saja. Gimana nggak mengizinkan kalau perempuan itu sedang mengandung anak papa saya."
Astaghfirullah hal adzim. Naudzubillahi min dzaliik.
Iqbal berusaha menjaga raut wajahnya agar tetap datar. Ia tak mau memberi kesan kaget yang berlebihan. Ia sangat tahu, reaksi seperti itu sungguh tak mengenakkan bagi lawan bicara.
"Nggak usah diteruskan kalau itu mengungkit luka lamamu, Angkasa."
"Yang lebih mengecewakan lagi, perempuan itu adalah orang yang dipercaya mama saya untuk mengurus butiknya waktu mama harus fokus mengurus eyang yang sedang sakit." Andro tetap melanjutkan ceritanya. Dia sendiri yang menginginkan itu.
"Kamu marah?"
"Tentu saja. Tapi apa sih, Pak, arti marahnya anak SMP kelas tiga bagi papa saya yang sudah dibutakan oleh nafsu dan kesalahan? Nggak ada."
"Terus kamu membalasnya dengan nggak mau menuruti papa kamu untuk jadi atlet?"
"Nggak begitu sih, Pak. Saya justru berusaha lebih keras biar saya jadi yang nomor satu di lapangan. Dan setelah papa saya bangganya luar biasa, harapannya ke saya setinggi langit, saya tinggalkan semuanya."
"Papamu?"
"Kecewa banget. Tapi saya puas. Sangat puas! Aib dan kesakitan yang ditorehkan sama papa buat keluarga jauh lebih mengecewakan buat kami. Kakak saya sih enak, waktu itu dia sudah kuliah semester dua. Tadinya di Surabaya, tapi dia terus daftar kuliah lagi, menjauh dari Surabaya. Menjauh dari papa, dari mama, dari saya, dari semuanya."
"Mama kamu?"
"Mama saya sabarnya luar biasa. Padahal mama juga punya kekuatan dan bisa berdiri sendiri. Jauh lebih baik dibandingkan perempuan yang merebut papa dari kami. Sayangnya mama nggak mau meninggalkan papa. Iya sih, secara perhatian papa masih tetap sama, cuma dua hari yang dia kasihkan untuk keluarga barunya. Tapi buat saya, sejak waktu itu papa nggak pernah lagi sama dengan sebelumnya.
"Sakit lho, Pak, ketika setiap hari saya sendirian melihat mama yang di matanya menyimpan luka. Meskipun mama selalu bilang baik-baik saja dan masih bisa bertahan, tapi saya yang sebenarnya nggak tahan. Karena saya tahu, hatinya mama nggak sekuat apa yang terlihat.
"Makanya waktu SMA saya ambil kelas akselerasi, karena saya malas berlama-lama di rumah. Dua tahun lebih, dan itu sudah cukup buat saya menahan semuanya. Saya bahagia di Semarang. Saya bahagia jauh dari keluarga saya."
"Tapi saya lihat, kamu masih baik dengan papamu?"
"Iya. Saya memang kecewa. Sangat kecewa. Tapi apa yang mama saya bilang juga benar. Bagaimana pun, dia papa saya, Pak. Darahnya mengalir di tubuh saya. Setiap tetesan keringat dari kerja kerasnya menjadi energi buat hidup saya, sampai menjadi saya yang sekarang ini.
"Mereka yang melihat saya hanya dari luar saja, pasti menganggap saya anak yang beruntung dan bahagia. Semuanya serba mudah. Kalau mau, saya bisa dapat semua fasilitas yang serba mewah. Tapi mereka nggak mengerti, ada hati yang sakit dan kecewa, sampai si pemilik hati lupa kalau ada sesuatu yang bernama cinta."
"Kenapa kamu ringan sekali menceritakan semuanya pada saya?"
Andro menarik napas panjang, melepaskannya asal saja.
"Nggak tahu. Ketika Bapak bertemu sendiri dengan papa saya, lalu ada kesempatan kita bicara berdua, saya begitu saja pengin melepaskan semua beban yang bertahun-tahun saya tanggung hingga saya merasa sendirian. Bahkan saya sampai lupa caranya menangis. Juga lupa rasanya malu, sampai berani curhat sama dosen begini, mantan rival pula.
"Mungkin juga karena saya sudah kalah. Di depan Pak Iqbal saya cuma seorang pecundang. Jadi sekalian saja."
Iqbal tergelak, singkat saja. Setelahnya gantian ia yang menghela napas, hanya saja ia mengembusnya perlahan. Penuh ketenangan. Mungkin pengaruh usia dan kedewasaan.
Iqbal menoleh, memandang laki-laki muda di sampingnya, yang matanya sedang menerawang menembus hijaunya rerumputan yang terhampar di hadapan. Iqbal mendongak menatap langit. Sekali lagi mengambil napas, kali ini terdengar berat.
"But i feel you, Angkasa. I feel you."
"Maksudnya, Pak?"
"Nggak perlu kamu tanya maksudnya. Yang jelas saya tahu apa yang kamu rasakan. Saya tahu. Sangat tahu.
"Dan bagi saya, kamu bukan pecundang. Kamu pejuang. Hanya saja kamu kurang beruntung, karena yang datang belakangan sudah lebih lama berjuang. Ini bukan hanya tentang Zulfa, tapi perjuangan hidup secara keseluruhannya.
"Jalan kamu masih panjang, Angkasa. Saya sendiri tidak pernah berubah pikiran. Jika suatu hari saya ada project penelitian atau semacamnya, kamu salah satu yang harus masuk dalam tim saya."
"Dengan Zulfa juga, Pak?"
"Heh, enak saja. Masih berani cari kesempatan kamu ya?"
"Bukan, Pak. Maksud saya, em ... maaf, Zulfa kayaknya keberatan kalau ikut penelitian dan semacamnya."
Iqbal terbahak, ia pun sepemikiran dengan Angkasa Andromeda.
"Ya. Tentang itu saya sendiri paham sekali. Istri saya biar mengurus saya di luar kampus, urusan kampus biar saya yang urus dia. Dan kamu, nggak usah mengkhawatirkan istri saya. Paham?" Iqbal meninju pelan bahu mahasiswanya.
"Saya minta maaf ya, Pak."
"Untuk?"
"Belum berhasil move on dari ... istri Bapak. Dia ... em, maaf. Dia yang membuat saya menyadari kalau hati saya masih mengenal yang namanya cinta.
"Sejujurnya, saya memang jatuh terlalu dalam pada pesona si anak kucing itu. Yang polosnya, lugunya, dan baiknya membuat saya lupa pada perempuan yang telah menyakiti hati ibu saya. Yang lucunya, lola-nya, dan ngeselinnya membuat saya jadi bisa berpikir, buat apa menggenggam sesuatu yang bikin hati saya sakit setiap kali mengingatnya, sedangkan di depan saya ada anak kucing lucu yang selalu butuh bantuan saya."
"Tunggu tunggu, siapa yang kamu maksud anak kucing lucu?!" tanya Iqbal, memdadak ngegas.
Astaghfirullah hal adzim.
"Ehk, s-saya menyebut an-anak kucing l-lucu kah, Pak?"
"Ya. Dua kali malah."
"Oh, eh, i-itu, em---"
"Ndro, sudah ngobrolnya? Ayo kita pulang." Suara papa Andro menyelamatkan kegugupan anaknya.
Wajah Andro mengguratkan kelegaan luar biasa. Betapa kali ini ia sangat ingin memeluk papanya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Perkara besok-besok ketemu lagi dengan dosennya itu dipikir belakangan.
Andro buru-buru kabur menuju sang papa. Meninggalkan dosennya yang masih berdiri dengan rasa kesal yang luar biasa. Jangan lupa, ia juga cemburu setengah mati. Hatinya langsung dipenuhi kerinduan untuk bertemu belahan hati.
Dengan gontai Iqbal melangkah menuju abah. Sama seperti Andro, ia tadi hanya memesan air mineral saja. Entahlah, sepertinya mereka berdua punya banyak kemiripan yang baru disadari olehnya.
Dua pasang bapak-anak itu pulang. Masing-masing yang duduk di sisi kiri pengemudi saling melempar lambaian tangan, sedang yang di balik kemudi menunjukkan gelagat yang sungguh berbeda. Si pembawa Range Rover Sport hitam terlihat malas untuk ikut meramaikan perpisahan dengan ramah tamah. Sedangkan di balik setir BMW X5 putih, wajah si anak muda masih belum lepas dari kelegaan yang luar biasa.
"Ngobrol apa sama mahasiswamu?" tanya abah.
"Nggak ngobrol apa-apa, Bah. Ngobrol nggak jelas dia," jawab Iqbal malas-malasan.
"Kamu kenapa sih, Dek?"
"Nggak. Nggak ada apa-apa, Bah."
"Jangan bohong deh. Kamu jadi anak abah hampir 29 tahun lho."
"Ya bukan berarti abah tahu semua tentang Iiq kan?"
"Dih, galak amat."
"Abah sih, kebanyakan nanya."
"Mukamu lho, kelihatan kesel banget."
"Iya, kesel sama Abah. Kelamaan ngajakin perginya. Iiq udah kangen sama nyonya."
"Ya Rabb, segitunya jadi pengantin baru. Perasaan abah sama umimu dulu juga nggak seheboh itu."
"Beda lah. Abah kan ada ib ... ah, sudahlah."
Hampir kelepasan bicara soal abah dan ibu, obrolan dengan Andro kembali terlintas di benak Iqbal. Mereka pernah mengalami hal yang serupa, kalau tak bisa dibilang sama persis.
Lalu kalimat itu ikut pula melintas. Iqbal mendadak geram. Makin tak ingin diingat, makin terngiang-ngiang pula itu kalimat.
Si anak kucing lucu.
Si anak kucing lucu.
Si anak kucing lucu.
Ia merasa tahu siapa yang dimaksud Angkasa Andromeda sebagai anak kucing lucu. Dan ia yakin sekali.
Sampai di halaman rumah, Iqbal menghentikan mobil sembarangan. Memanggil Pak Yus dengan teriakan, lalu menyerahkan kunci dan meminta memarkirkan mobil dengan benar. Ia sudah tak sabar ingin bertemu si anak kucing lucu.
Oh, sh*t. Namanya Luli! Bukan anak kucing lucu!
Tiba-tiba ia ingin segera bertemu Luli. Rindu dan kesal membuat emosinya meninggi. Ia ingin menunjukkan bahwa hanya dia yang boleh mencintai dan memiliki Luli. Ia cemburu. Cemburu setengah mati.
Iqbal menemukan Luli sedang duduk dan berbincang santai. Menikmati kudapan hasil karyanya bersama sang ibu mertua. Ada pula Ihsan dan istrinya yang belum lama tiba dari Jakarta tanpa memberitahu dulu sebelumnya. Maksudnya ingin memberi surprise, termasuk pada adiknya. Tapi Iqbal sedang tak ingin peduli, yang ia inginkan saat ini hanya bersama dengan Luli. Itu saja.
"Neng, ikut aku." Ditariknya tangan Luli tanpa basa basi.
"Dek, yang lembut sedikit dong. Apa-apaan sih?" tegur umi.
Iqbal masih tak peduli. Ia bahkan menarik Luli l, menggendongnya, dan tak membiarkan sang istri lolos dari dekapannya.
"Udah biarin aja lah, Mi. Pengantin baru ya suka begitu." Abah menengahi, tak tahu persis apa yang sedang dirasakan anak bungsunya.
Begitu sampai di kamar, Iqbal.mengunci pintu. Lalu mengunci istrinya di atas tempat tidur. Memeluk dan menciuminya dengan membabi buta. Rasanya ingin menunjukkan pada dunia, bahwa si anak kucing lucu itu hanya miliknya.
Huh, kenapa kalimat itu jadi mengganggu pikiranku, batin Iqbal tanpa melepaskan semua perlakuan yang membuat Luli keheranan, juga sedikit kesakitan.
"Kak, jangan begini. Kak Iiq kenapa? Ini sakit, Kak. Ingat janin yang ada di perut saya juga, Kak."
"Astaghfirullah hal adzim."
Iqbal tersentak begitu mengingat sang calon anak. Ia menghentikan perlakuannya pada Luli, menggantinya dengan pelukan yang lembut dan penuh kasih sayang. Mereka berbaring berhadapan sekarang.
"Maafkan aku ya, Neng. Aku cemburu."
"Hah? Cemburu? Maksudnya gimana, Kak?"
"Aku bertemu Angkasa di sana. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia menceritakan sesuatu yang menjadi aib bagi keluarganya. Dan apa yang kami alami ternyata hampir sama. Aku seperti melihat diriku sendiri pada sosoknya. Kami punya banyak kesamaan. Sampai mencintai seseorang pun harus perempuan yang sama."
"Saya nggak tahu, Kak. Andro nggak pernah cerita apa-apa tentang keluarganya. Malah dia kelihatan malas kalau bicara tentang keluarga."
"Sedekat apa kamu dengan dia, Neng?"
"Ya ... dekat, Kak. Nggak tahu sedekat apa, tapi memang dia teman cowok yang paling dekat dengan saya dibandingkan teman-teman cowok yang lain."
"Kamu juga tahu kalau dia mencintaimu?"
"Nggak tahu, Kak. Saya rasa dia selalu bersikap sama pada teman-teman yang lain. Tapi dia memang selalu ada buat saya. Ya mungkin karena itu tadi, dia teman cowok yang paling dekat dengan saya. Dia memang baik kok, baiknya kebangetan,---"
"Sampai kamu nggak sadar kalau dia mencintai kamu begitu dalam?"
"Saya nggak pernah tahu, Kak. Dia nggak pernah bilang apa-apa. Lagipula, apa keistimewaan saya sampai harus dicintai dengan begitu dalam? Cantik nggak, pinter nggak, aktivis juga bukan,---"
"Kamu baik dan mudah dekat dengan setiap orang, Neng. Kepolosan dan keluguanmu, nggak pernah berprasangka buruk pada orang lain, membuat kecantikanmu memancar dari dalam. Kamu istimewa, Neng. Kamu memang pantas dicintai dengan luar biasa oleh orang-orang yang juga istimewa. Angkasa misalnya."
"Kakak nggak?"
Iqbal menaruh telunjuknya pada bibir Luli, sebagai isyarat bahwa ia belum selesai bicara.
"Tapi mengetahui lebih jauh tentang itu, sejujurnya membuatku cemburu, Neng. Sangat cemburu. Dia bahkan tahu lebih banyak tentang kamu. Dia bisa menyebutkan dengan jelas apa yang membuat kamu pantas dicintai. Dia bahkan menyebutmu sebagai anak kucing lucu. Huh."
Tangan Iqbal mengepal. Ingin menganggap semuanya bukan apa-apa, tapi tetap saja gagal. Dialihkannya semua yang mengganggu pikiran dengan satu kecupan di bibir yang selalu manis ia rasakan.
"Dia pernah menyebut itu di depanmu?"
"Menyebut apa, Kak?"
"Anak kucing."
"Oh, anak kucing lucu? Iya, dia kadang suka cerita tentang anak kucing lucu. Katanya, mata si anak kucing lucu itu selalu bikin dia senang. Dia menemukan semangat dan kekuatan setiap melihat mata si anak kucing lucu yang dia bilang seperti memerlukan perlindungan.
"Tapi saya nggak pernah dikasih lihat sih, itu kucingnya jenis apa. Mungkin kucing yang bagus-bagus gitu, macam kucing Persia, atau Anggora."
"Astaghfirullah hal adzim. Anak kucing lucu yang dia maksud itu kamu, Zulfa Nurulitaaa."
"Lho, tapi saya kan bukan anak kucing, Kak?"
"Ish!"
Iqbal gemas. Seperti yang Andro bilang, Luli memang lola. Tapi itu juga yang membuatnya begitu menggemaskan dengan loadingnya yang lama.
***
Miauw...
Eh, kok miauw sih. Aku kan bukan anak kucing. Haha...
Hai, teman-teman, apa kabar? Semoga semuanya sehat dan selalu dalam lindungan Allah.
Maaf ya, lama banget nggak menyapa di sini. Kemarin memang cukup banyak terkuras buat persiapan Open PO Mendadak Mama.
Sebenernya lebih ke persiapan hati sih, karena sungguh, deg-degannya luar biasa. Haha. Semoga versi cetaknya nanti sama memuaskannya untuk teman-teman pembaca yaaa.
Yang belum ikut PO, buruan yak. Karena ada bonus tambahan untuk 50 pemesan pertama lewat saya. Dan sekarang quotanya tinggal belasan saja.
Untuk info lengkapnya silakan follow instagram saya ya fitrieamaliya
Oh iya, ide untuk part ini datang dari usulan salah satu pembaca lho. Beliau mengusulkan untuk mempertemukan Andro dan Iqbal di satu scene. Berdua saja.
Habis dapat dm itu, saya lihat-lihat instastory dan nyangkut di storynya Dian Pelangi yang lagi nemenin suaminya main golf. Langsung melintas begitu saja deh pertemuan dua pasang bapak-anak di lapangan golf.
So, tolong kembali dimaklumi kalau part ini makin ngawur yak. Hahaha...
Btw, saya terima kasih banget dengan usulannya. Ini bukan yang pertama kok, kalau ada yang usul biasanya saya tampung dan pertimbangkan. Malah seneng sih sebenarnya, karena jadi ada masukan. Kadang pas gak ada ide, yang begini-begini bisa sangat membantu. Hehe.
Baiklah. Terima kasih banyak untuk kalian yang sudah bersabar menunggu Luli-Iqbal update. Terima kasih juga utk segala apresiasi pd tulisan retjeh ini.
Maaf lahir batin kalau ada kesalahan dan kekurangan yaaa.
Jangan lupa, yang belum ikutan PO Mendadak Mama, skuy, langsung WA ke 0857-1258-3666 yaaa.
Sampai jumpa.
❤❤❤
Batang, 07112020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top