Part 32.

Kamu kan cuma boleh dandan cantik buat aku. Kalau kamu ke kampus dandan cantik-cantik, nanti Angkasa susah move on dari kamu, gimana?

***

Cieee, ada yang jealous, cieee...

-----

Perkuliahan kembali dimulai pasca libur lebaran. Ini menjadi hari pertama Luli berangkat ke kampus bersama Iqbal. Sebenarnya dia sudah menolak, tapi kali ini Iqbal tak mau tahu. Toh sejak dua hari lalu hubungan mereka sudah menjadi rahasia umum. Ngambeknya pun tak lagi mempan. Iqbal bertahan. Ia bahkan menggunakan privilegenya sebagai suami, meminta sang istri untuk mematuhi kemauannya.

Hati Luli bergemuruh tak keruan begitu HRV putih memasuki area departemen teknik sipil. Luli ingin mencoba menolak sekali lagi, siapa tahu kali ini berhasil.

"Kak, saya turun sini aja."

"Nggak. Pokoknya mulai hari ini kita berangkat ke kampus bareng."

"Ya kan jadwal kita nggak tiap hari sama, Kak."

"Tapi pas jadwal kita bareng, ya kita berangkat bareng. Aku nggak mau tahu."

"Kak Iiq kenapa suka maksa-maksa sih? Ngeselin. Kalau nggak diturunin sini saya mau lompat aja deh."

Iqbal diam. Sesungguhnya ia merasa geram. Tinggal dua belokan dan istrinya justru berulah lagi. Diinjaknya rem hingga laju mobil berhenti, lalu menekan central lock.

"Silakan. Katanya mau turun," ujar Iqbal datar. Sama sekali tak menoleh pada istrinya.

"Kok Kakak gitu, sih?"

"Gitu gimana?"

"Kok saya disuruh turun? Kakak udah nggak sayang lagi ya sama saya? Huh!"

"Kalau sayang itu selalu menuruti semua maumu, ini aku sedang menunjukkan rasa sayangku. Kamu mau turun di sini kan?" Iqbal sok polos. Dalam hati menahan kesal yang menebal.

"Sudah. Silakan kalau mau turun. Kamu kan malu kalau ada yang lihat kamu jalan sama aku. Cuma aku sendiri kan yang bangga dan ingin menunjukkan pada semua orang tentang status hubungan kita? So ...."

"Kakak marah?"

"Nggak. Biasa aja."

"Kakak kesal?"

"Nggak juga."

"Terus kenapa?"

"Aku cuma menuruti mau kamu. Sudah kan? Jadi mau turun apa nggak?"

Luli menunduk. Tetes demi tetes mengaliri pipinya. Iqbal membuang muka. Menghindar sekuat tenaga agar tak jatuh iba dan memeluk secepatnya. Sesekali ia ingin memberi pelajaran pada Luli.

"Oke. Selesaikan dulu nangisnya. Setelah itu silakan kalau mau turun di sini."

"Kak Iiq jangan gitu. Jangan hukum saya kayak gini. Huhuhu." Tangis Luli pecah sudah.

Iqbal masih bertahan. Hanya menyodorkan kotak tisu untuk istrinya yang manja.

"Kak Iiq nggak pengin peluk saya?"

"Nggak. Aku nggak mau bikin kamu malu kalau nanti ada yang lihat aku memelukmu."

"Huhuhu ... Kak Iiq jangan begitu. Saya sayang sama Kakak. Saya cuma belum siap kalau harus membuka status pernikahan kita."

"Semuanya sudah terbuka. Siap atau nggak siap, status kita sudah menjadi rahasia banyak pihak. Tapi nggak masalah, sih. Kalau kamu memang belum siap, kamu boleh turun sini. Kamu---"

Luli memeluk Iqbal begitu saja. Erat. Sangat erat. Menumpahkan tangis di bahu suaminya sambil menyampaikan kata maaf berulang kali.

"Jadi, ini kamu maunya gimana?" tanya Iqbal setelah tangis Luli mereda. Pelukan pun sudah terlepas. Tinggal sisa isakan yang masih terdengar.

"Luli mau pulang aja."

"Oke. Kita ke gedung satu dulu. Aku turun di sana, nanti kamu pulanglah. Bawa mobilnya."

"Nggak mau. Maunya pulang sama Kakak."

"Nggak bisa, Zulfa Nurulita. Aku ada tanggung jawab mengajar."

"Jadi pekerjaan lebih---"

"Ya. Saat ini pekerjaan memang lebih penting daripada menuruti emosi yang nggak jelas. Tanggung jawabku bukan cuma pada kamu. Ada waktu-waktu di mana kamu menjadi bukan nomor satu. Kamu sendiri yang minta turun sini. Kamu sendiri yang belum siap ke kampus dengan aku. Kamu sendiri yang belum mau orang lain tahu. It's okey, aku kabulkan.

"Kalau di matamu aku masih salah, buatku itu nggak masalah. Tapi kalau kamu pikir aku akan memenuhi permintaanmu untuk pulang, sorry, aku nggak bisa."

Mobil masih berhenti. Iqbal pun masih berusaha untuk tak luluh dengan kemauan Luli, juga air matanya.

"Atau biar aku saja yang turun di sini. Kamu pulanglah sendiri, mumpung belum ada yang melihat kamu bersamaku."

"Iya iya. Saya mau ke kampus sama kakak."

Alhamdulillah

Iqbal menarik satu lembar tisu basah, kemudian memegang dagu Luli. Mendongakkan sedikit untuk memudahkannya membersihkan sisa tangis di mata dan pipi istrinya.

"Saya sayang Kak Iiq."

Satu senyum Iqbal berikan.

"Make up saya hilang nggak?"

"Hilang malah lebih bagus. Kamu kan cuma boleh dandan cantik buat aku. Kalau kamu ke kampus dandan cantik-cantik, nanti Angkasa susah move on dari kamu, gimana?"

Luli kesal. Satu cubitan kecil ia hadiahkan di pinggang lelakinya.

"Saya kan kalau dandan memang cuma tipis-tipis, Kak."

"Justru itu yang bikin kamu terlihat cantik. Kalau tebal-tebal nanti malah kayak ondel-ondel."

Cubitan Luli mendarat lagi. Kali ini pada lengan sang suami. Iqbal membalasnya, bukan dengan cubitan, melainkan dengan rengkuhan sayang. Tak lupa satu kecup ia berikan pada bibir Luli, yang baginya selalu terasa manis. Lalu otaknya mengirimkan perintah untuk menyesap manisnya lebih lama. Iqbal tak sanggup menolak, apalagi Luli memberi respon yang menunjukkan kalau dia suka.

Tok tok tok. Kaca mobil diketuk dari sebelah kanan. Iqbal dan Luli kompak tersentak. Ia menurunkan kaca begitu sadar ada yang sedang berdiri di luar sana.

"Ini kampus. Kalau kalian nggak tahan mau beginian, pulang saja. Sekalipun kalian suami istri, tetap saja nggak pantas seorang dosen dan mahasiswinya bermesraan di dalam mobil di area kampus. Mobil kalian berhenti terlalu lama di sini. Aku bahkan sudah selesai mengantar Nara, dan kalian masih betah bermesraan di sini. Ckckck."

Tertangkap basah oleh Zulfikar Aditya memang tak ada dalam benak mereka. Iqbal malu setengah mati. Luli menyesal sepenuh hati.

"Kami nggak seperti yang kamu pikirkan, Fik." Iqbal membela diri.

"Tapi yang kalian lakukan memang mengundang orang untuk berpikiran seperti yang kupikirkan. Jangan diulangi lagi! Semoga cuma aku saja yang melihat kalian begini. Itu juga karena aku merasa kalian terlalu lama berhenti. Dan jujur, aku yang malu.

"Kamu, Iq. Jangan selalu menuruti apa kata Luli. Kamu suami, dia istri. Kamu dosen, dia mahasiswi. Kamu punya hak untuk memaksanya patuh padamu selama itu untuk kebaikan."

Zulfikar memang tak pernah gagal dalam mengintimidasi orang lain. Apalagi pada mereka yang jelas-jelas melakukan kesalahan, setidaknya menurut pandangannya. Tak ada toleransi. Meskipun untuk seorang Iqbal Sya'bani.

"Baiklah. Aku duluan. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," jawab Iqbal pelan. Sedang Luli hanya menjawab dalam hati sambil menunduk dalam-dalam.

Zulfikar berlalu. Satu dua tetes kembali jatuh dari kedua mata Luli. Iqbal menggenggam tangan istrinya, mengalirkan ketenangan.

"Maafkan aku, Sayang. Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang salah, tak tahu tempat dan waktu. Alhamdulillah ada kakakmu, yang Allah kirim untuk menegur kita. Dan Alhamdulillah, cuma dia yang melihat kita seperti tadi. Ambil hikmahnya saja."

Box tisu ia sodorkan pada istrinya. Tanpa Iqbal bicara, Luli tahu apa yang harus ia lakukan. Ditariknya satu lembar yang kering dan menepukkan pada kedua netra. Lalu menarik satu lembar yang basah dan mengusapkannya ke wajah.

HRV putih kembali melaju. Hanya butuh kurang dari dua menit untuk sampai area parkir dosen di gedung satu departemen teknik sipil. Hati Luli kembali bergemuruh tak keruan. Tubuhnya seolah membeku. Pada seat tempatnya duduk, ia terpaku.

Iqbal mengambil ransel dan bawaan lainnya di seat belakang. Setelahnya menuju pintu tempat Luli berada. Ia membukanya dan mempersilakan Luli untuk turun.

"Yuk, Neng, mumpung masih sepi."

Luli turun dengan gegas. Lalu berjalan secepat kilat meninggalkan suaminya.

Iqbal tertawa. Istrinya bahkan lupa berpamitan dan cium tangan padanya.

Segenap mata memandang saat Luli masuk ke ruangan. Nafasnya tersengal. Hampir semua bangku telah diduduki oleh mahasiswa yang akan mengikuti kuliah Analisa Struktur II. Walaupun teman-teman sekelasnya sudah tahu, tetap saja status whatsapp dosen kesayangan mereka tempo hari membuat mereka lagi-lagi memperhatikan Luli.

Luli mencoba untuk cuek dan tetap santai. Sok-sok tak paham atas tatapan yang tertuju padanya. Ia melihat satu bangku kosong di dekat Nara. Tampaknya si kakak ipar memang sengaja mencarikan bangku untuknya.

"Cieee yang udah berani berangkat berdua," goda Nara ketika Luli baru saja menaruh ranselnya.

"Deg-degan ngerti nggak sih!"

"Terus, tadi ada yang lihat nggak?"

"Nggak tahu. Kayaknya sih nggak ada. Parkiran dosen masih sepi. Begitu turun aku langsung kabur. Sampai lupa pamit." Luli meringis, Nara cekikikan.

"Tadi ngapain berhenti dulu?"

"Berhenti apa?"

"Tadi lho, aku sama masmu lihat mobil Pak Iqbal berhenti di dekat plang."

"Oh, nggak ngapa-ngapain kok." Luli menyembunyikan kejadian sebenarnya.

Halah, paling nanti juga Mas Fikar cerita ke Nara. Dia kan sekarang udah jadi bapak-bapak hosyip.

Bu Santi, dosen Analisa Struktur II memasuki ruang kelas. Seisi kelas langsung diam dan tenang. Mereka menyambut sapaan dan basa basi beliau dengan semangat. Dosen satu ini memang salah satu favorit di teknik sipil. Kedekatan dan keramahannya dengan mahasiswa menjadi penyebab utama.

"Dua pekan lagi kita ujian akhir. Materi saya sudah selesai. Jika ada yang mau ditanyakan, saya beri kesempatan pada pertemuan kali ini. Jika tidak ada yang ditanyakan, saya beri kuis dadakan."

Kelas seketika gaduh.

"Kalian tenang saja. Kalaupun saya adakan kuis hari ini, tujuannya hanya untuk melihat sejauh mana kalian sudah menguasai materi. Jika hasilnya kurang memuaskan, pekan depan saya adakan kuis lagi atau kita bahas materi kuis kali ini yang kalian paling banyak salahnya di situ.

"Jika hasilnya memuaskan, mungkin bisa saya pertimbangkan untuk membantu seandainya ada yang kurang di penilaian akhir nanti."

Wajah-wajah gusar mendadak bersinar. Mereka serempak mengiyakan kuis dadakan dari dosennya.

Tiga soal diberikan oleh Bu Santi. Penghuni kelas mulai larut menekuni kertas masing-masing. Deformasi balok dan portal, metode Clapeyron, dan metode Slope Deflection menjadi fokus mereka saat ini hingga beberapa puluh menit ke depan.

Tak seperti yang dulu-dulu, Luli yang sekarang jauh lebih siap menghadapi kuis dadakan. Meski belum sepintar Nara, Andro, atau Yeni, minimal ia tak lagi berkeringat dingin menyelesaikan soal-soal di kertasnya. Tak sia-sia ia meluangkan sedikit waktu setiap harinya untuk les privat dengan dosen kesayangan jurusan.

"Lima menit lagi, yang sudah selesai boleh dikumpulkan di sini." Bu Santi memberitahu batas waktu, menunjuk mejanya untuk mahasiswa yang sudah menyelesaikan pekerjaannya.

Sebagian kecil penghuni ruangan menuju ke meja. Nara, Andro, dan Yeni tentu ada diantaranya.

"Baik. Waktu habis. Silakan kumpulkan kertas jawaban kalian," perintah Bu Santi sambil membereskan bawaannya, kemudian mengakhiri sesi perkuliahan pagi itu.

"Zulfa, tolong hasil kuisnya kamu bawakan ke ruangan saya ya."

Hah, kok aku sih?

Feeling Luli seketika tak enak.

"Ketuanya Andro, Bu." Beberapa temannya memberi informasi, siapa tahu dosen mereka lupa.

"Apa mahasiswa saya cuma Angkasa Andromeda?" balas Bu Santi sambil tertawa kecil. Anak-anak pun membalas dengan tawa.

Luli hendak mengemasi alat tulisnya. Tapi Nara menyuruhnya segera menyusul Bu Santi. Dia yang akan membereskan bawaan adik iparnya.

Baru akan tiba di pintu ruang dosen, dari arah berlawanan Luli melihat sang dosen idola. Siapa lagi kalau bukan Iqbal Sya'bani. Tujuan keduanya tentu saja sama.

Gugup melanda Luli. Sebaliknya dengan Iqbal, senyum lebar langsung tersungging di wajahnya. Kentara sekali ia gembira.

"Mau ngapain?" tanya Iqbal sambil mendorong pintu dan melempar kode untuk mempersilakan Luli masuk lebih dahulu.

"Eh, itu, m-mau ke ruang d-dosen,Kak. Eh, m-maksudnya, Pak."

Iqbal tertawa geli. Ia spontan mengelus kepala Luli.

"Kalau ke sini ya pasti ke ruang dosen, Neng. Maksudnya mau ngapain? Mau ketemu siapa? Bukan nyariin aku kan?"

"Eh, b-bukan. Diminta Bu Santi ngumpulin kuisnya teman-teman, Kak. Eh, Pak." Lagi, Iqbal tergelak.

"Kok bisa bareng? Janjian yaaa?" celetuk Bu Santi melihat Iqbal dan  Luli datang bersamaan.

"Eh, ng-nggak, Bu. Benar, s-saya nggak bohong. C-cuma kebetulan saja, Bu." Luli gugup, wajahnya beranjak pucat.

"Kebetulan yang kamu sengaja deh, Mbak," sahut Iqbal seperti bisa membaca maksud Santi.

"Tahu aja deh Bapak Iqbal ini," balas Santi, lalu bersama Iqbal tertawa penuh keakraban.

Sahut menyahut dua dosen yang mejanya agak berjauhan itu mengundang perhatian rekan dosen lainnya yang berada di ruangan yang sama.

"Ada apa ini, Bu Santi? Pak Iqbal kelihatan happy ya?" Salah satu rekan seprofesi Iqbal dan Santi melempar tanya.

"Udah tau istrinya Pak Iqbal belum sih, Pak?"

"Belum. Kemarin kasih bocoran foto kan, tapi saya nggak nemu clue itu siapa."

"Tapi tahu kan kalau Pak Iqbal nikah sama mahasiswi sipil?"

"Tahu lah, Bu. Pak Kaprodi kan waktu itu pernah kasih tahu."

Iqbal kembali berdiri, ia menghampiri Luli yang sudah pucat dan berkeringat. Diulurkannya tangan melingkari pinggang sang istri.

"Ini istri saya, Pak. Namanya Zulfa Nurulita, mahasiswi semester empat. Mohon bantuannya kalau  ketemu di mata kuliah njenengan ya, Pak. Dia ini adiknya Pak Zulfikar Aditya, dosen arsitektur. Bapaknya juga dosen di FISIP, Pak. Namanya Pak Rofiq Hidayat."

Ucapan selamat mengalir untuk Iqbal dan Luli. Iqbal senang dan bahagia, akhirnya ia bisa mengumumkan pernikahannya. Luli diam saja, malah terlihat makin payah.

"Lho, berarti Pak Iqbal ini mantunya Pak Dekan FISIP?" Ternyata rekan Iqbal tersebut kenal dengan bapaknya Luli.

"Betul, Pak. Bapak kenal dengan bapak mertua saya?"

"Ya kenal to, beliau dan saya kan sama-sama aktif tenis. Masya Allah, jadi Pak Iqbal ini diam-diam ngasih kejutan ya sama kami."

"Iya, Pak, Bu. Jadi Zulfa ini istri saya. Mohon maaf karena kami belum mengumumkan secara resmi soal status hubungan kami. Dia ini belum nyaman, terutama di lingkungan keluarga besar teknik sipil. Tapi kemarin itu saya paksakan untuk mau, karena nggak ada pilihan.

"Kami sudah sekitar satu setengah bulanan menikah. Alhamdulillah, Zulfa sekarang sedang hamil muda. Baru beberapa minggu tapi sudah mulai kadang mual, lemas, muntah, dan semacamnya. Saya khawatir dia seperti ini saat di kampus, makanya saya paksa dia untuk mau mengumumkan status hubungan kami, biar kalau ada apa-apa di lingkungan kampus, ada yang menghubungi saya."

"Masya Allah. Udah hamil, Bal? Selamat yaaa. Ngebut nih, takut keburu tua pasti kamunya."

Komentar Santi mengundang gelak tawa. Tapi tidak dengan Luli. Meski suaminya terlihat begitu bangga dan tak segan menunjukkan rasa sayang di hadapan rekan seprofesi, ia tetap saja hanya seorang mahasiswi, yang merasa kikuk berdiri dikelilingi orang-orang yang ia hormati dan segani sebagai para ahli ilmu.

Luli sama sekali tak berani mengangkat wajah. Ia gemetaran. Perutnya bergolak hebat bagai menyampaikan protesnya pada calon bapak dari anak yang dikandungnya.

"Terima kasih atas bantuannya ya, Zulfa," kata Bu Santi ramah.

Luli mengangguk. Gerak mulutnya menunjukkan bahwa ia berkata 'Sama-sama, Bu Santi', tapi suaranya tak keluar sama sekali. Ia kadang begitu saat panik datang menghampiri.

Tiba-tiba Luli berlari. Ia merasa ada yang mendesak minta keluar dari perutnya yang mendadak mual.

Iqbal tak kalah cepat. Ia menghentikan Luli dan menggendongnya menuju kamar mandi dosen.

Sebagai sesama perempuan sekaligus seorang ibu, Santi tahu apa yang sedang terjadi. Ia menyusul Iqbal dan Luli. Dari celah pintu kamar mandi, Santi melihat betapa sayang dan penuh perhatiannya Iqbal pada sang istri. Dengan sabar Iqbal membantu Luli memuntahkan isi perutnya.

Santi kembali ke mejanya, mengambil termos air hangat dan minyak segar peduli yang selalu ada di dalam tasnya. Lalu kembali pada Iqbal dan Luli.

"Bal," panggilnya dari depan pintu.

"Eh, Mbak, mau pakai toilet?"

"Nggak, kok. Cuma mau kasih ini. Kasih ke Zulfa ya, biar agak hangat dan enakan. Ini ada air hangat juga, kutaruh di meja ya, nanti buat minum Zulfa."

"Oh, iya. Makasih banyak ya, Mbak."

Santi dan beberapa rekan Iqbal menyarankan untuk membawa Luli pulang saja. Iqbal menyetujui, ia pun berpikiran sama. Apalagi masih ada waktu hampir dua jam sebelum jadwal perkuliahan Luli berikutnya.

Usai menitipkan pesan pada rekan-rekannya untuk memberitahu mahasiswa yang akan menghadap agar menunggunya sebentar, Iqbal mengajak Luli pulang. Ia membawa Luli ke rumah bapak ibu, kemudian segera kembali ke kampus setelah menjelaskan dan memasrahkan kondisi Luli pada ibu.

"Sering muntah-muntah gitu, Bal?" Santi menarik kursi yang baru saja ditinggalkan oleh mahasiswa Iqbal yang baru rampung konsultasi skripsi.

"Iya, Mbak. Apalagi kalau lagi tegang gitu. Tadi dia pasti panik banget karena aku kenalin di depan dosen-dosen."

"Tapi kamu kelihatan sayang banget lho, Bal, sama dia."

"Ya kenyataannya aku memang sayang banget sama dia, Mbak. Dia istriku. Dia mau kunikahi secepat ini aja udah Alhamdulillah. Apalagi dia sudah ikhlas mengandung anakku, padahal masih harus kuliah, dan semester depan lagi banyak-banyaknya tugas."

"Iqbal Sya'bani yang kukenal memang nggak pernah berubah dari dulu. Baiknya, pintarnya, sabarnya, semua. Kecuali satu hal."

"Apa itu, Mbak?"

"Playboy-nya! Sekarang udah insaf."

"Asem banget sih, Mbak. Habis disanjung setinggi langit, dihempasin kayak walang sangit."

***

Ada yang tau walang sangit?
Walang itu belalang. Sangit itu bau yg berhubungan dengan asap, pokoknya baunya nggak enak.
Jadi walang sangit itu belalang yg kalo dipegang bikin tangan jadi bau nggak enak. Kesel pokoknya kalau kena si walang sangit ini.

Lah, kok jadi bahas walang sangit sih. Hehe.

Aku lagi di Wonosobo, habis ada acara di Dieng. Masya Allah, tempatnya memang bagus. Apalagi udaranya sejuk banget. Dan telaganya juga keren.

Aku sempatkan juga untuk tetap menulis walaupun sedikit-sedikit. Kalau hasilnya agak nggak jelas, mohon dimaafkan yaaa. Haha.

Oh ya, jangan lupa follow IG-ku juga yaaa fitrieamaliya

Baiklah,

Beli benih di penjual kaca,
Terima kasih sudah membaca.
Buah ketimun dimakan rusa,
Bikin pantun kok selalu maksa
Hahaha...

Sampai jumpa.
❤❤❤

Wonosobo, 01112020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top