Part 31.
Yes. We are Mr. and Mrs. Sya'bani
***
Cieee, ada yang bikin pengumuman.
-----
Lusa perkuliahan akan dimulai kembali. Iqbal 'bikin ulah' yang membuat Luli marah. Ia ngambek sejak pagi tadi dan Iqbal belum berhasil membujuknya untuk memaafkan. Ini adalah rekor terlama Luli marah pada suaminya.
Semua bermula dari Iqbal yang mengunggah foto berdua di statusnya dengan caption yang mengundang pertanyaan makhluk sejagad teknik sipil kampus mereka. Juga hampir semua orang yang bisa mengakses status seorang Iqbal Sya'bani.
Menurut Luli, foto berdua mereka belum waktunya untuk menjadi konsumsi publik. Dia tak mau tahu jika suaminya justru menginginkan sebaliknya. Iqbal bahkan menginginkannya sejak hari pertama pernikahan mereka.
Ini malah Iqbal menjadikan foto pernikahan mereka sebagai status whatsapp-nya. Iya sih, tampak belakang. Tapi caption 'Yes. We are Mr. and Mrs. Sya'bani' tetap saja mengundang kehebohan banyak pihak.
Luli belum marah besar. Ia baru ketar-ketir dengan segala pertanyaan yang kemudian menyerbu ponsel suaminya.
Kapan, Pak?
Siapa, Pak?
Anak mana, Pak?
Katanya anak sipil ya, Pak?
Wajahnya juga dilaunching dong, Pak.
Dan masih banyak lagi pertanyaan yang meramaikan malam mereka.
Meski hanya sebagian kecil, tetapi yang mengirim pesan bernada sinis pun ada, kebanyakan yang sudah tahu siapa si Mrs. Sya'bani. Juga mereka yang merasa patah hati.
Iqbal santai saja menghadapinya, tetapi tidak dengan Luli. Ia uring-uringan semalaman, bahkan sampai sulit memejamkan mata.
"Kak, nggak dibalas?"
"Nggak usah, ntar capek. Banyak lho. Nggak cuma anak sipil."
"Ya, tapi...."
"Udah, Sayang, nggak usah dipikirin. Santai aja. Besok lah aku bikin klarifikasi. Sekarang tidur ya, udah mau jam dua belas."
"Klarifikasi gimana?"
"Rahasia!" bisik Iqbal di telinga Luli.
"Kak, nggak gitu deh." Luli merajuk.
"Eh, Neng, kamu tahu nggak gimana dulu Armand Maulana dan Dewi Gita klarifikasi soal pernikahannya yang terpaksa disembunyikan beberapa lama?"
"Nggak tahu. Gimana emang, Kak?"
"Sama, aku juga nggak tahu---" Boneka kesayangan Luli melayang tepat ke muka suaminya. Iqbal tertawa.
"Tapi aku tahu persis bagaimana Iqbal Sya'bani akan membuat klarifikasi agar semua orang tahu siapa perempuan yang berhak menyandang status Nyonya Sya'bani."
"Halah, gombal! Kasih tau sekarang nggak?! Kalau nggak, saya marah!"
"Marahlah, Sayang. Itu nggak akan menggeser nol koma nol sekian derajat pun cintaku padamu."
"Ngeselin. Saya mau tidur aja ah." Luli melempar gawai Iqbal ke sembarang arah hingga suara dua benda keras beradu. Mungkin lantai dengan gawai itu, atau gawai itu dengan meja?
"Ehk." Luli menyesal melakukannya. Iqbal cuek saja.
"Nggak apa-apa, Neng, cuma HP yang kamu lempar ke lantai. Asalkan cintamu cuma kamu lempar ke hatiku."
"Hih, makin lebay kan gombalannya. Udah ah, Kakak diem aja. Makin kesel saya." Bukannya diam, Iqbal malah tergelak. Gemas.
Luli menarik selimut hingga menyembunyikan seluruh badannya dari ujung rambut hingga kaki. Iqbal menyusul memeluknya. Luli mencoba berontak, tapi sia-sia. Pelukan yang dia terima justru makin erat. Ia akhirnya menyerah. Nyatanya pelukan suaminya memang juara. Kekesalannya memang tak lantas mereda, tapi ia merasakan kehangatan dan kedamaian, hingga akhirnya ia tertidur dalam pelukan yang tak juga melonggar.
Ba'da subuh Luli jembali bergelung di atas ranjang. Iqbal membawakan secangkir susu ibu hamil dan dua buah pukis keju. Ia duduk di tepi tempat tidur, tangannya memegang cawan, sementara Luli menggenggam cangkir dan meneguk isinya hingga tersisa separuh. Setelahnya Iqbal menyuapi Luli secuil demi secuil hingga dua pukis tandas tak bersisa.
Topik update status Iqbal semalam kembali dibahas oleh sang istri.
"Sudah aku klarifikasi, Neng. Cek sendiri deh." Iqbal menyodorkan ponsel Luli.
"Di mana?"
"Di status whatsapp."
Dengan tergesa Luli menekan-nekan layar handphone-nya. Pesan masuk yang diterima tak seperti biasanya. Banyak pakai banget. Tapi ia skip. Ia segera mencari recent update di whatsapp-nya.
Wajah Luli yang putih mulus mendadak memerah menemukan foto dirinya terpajang di status sang suami. Memang wajahnya tertutup sebagian, tapi ia yakin itu tak cukup menolong untuk menyembunyikan siapa dirinya.
'Good morning, Love.' Begitu caption yang Iqbal tuliskan. Singkat, padat, jelas, dan sukses bikin Luli ngegas.
"Kak Iiiiiqq!! Nggak gini juga kali, Kak. Kakak mau mempermalukan saya?! Kakak jahat! Luli benci Kak Iiq! Huhuhu."
Lagi. Peristiwa handphone melayang kembali terjadi. Kali ini Luli melempar HP-nya sendiri. Tak peduli akan jatuh ke mana, ia sibuk menangis sambil tak henti berteriak menyuarakan kemarahan pada suaminya.
Sungguh, Iqbal sama sekali tak menyangka istrinya akan bereaksi seheboh itu. Luli memang unpredictable.
-----
Asar sudah lewat. Luli masih bertahan untuk tak bersuara walau hanya satu dua kata. Ia berhasil membuat Iqbal mati gaya. Entah sudah kali ke berapa suaminya meminta maaf dan memohon-mohon pada Luli untuk bicara, apa saja. Marah atsu ngomel pun ikhlas dia terima. Tapi Luli bergeming.
"Neng, aku minta maaf lagi. Jangan marah terus dong, aku nggak betah kamu diamkan begini. Mending kamu ngambek aja, marah aja, ngomel, atau apapun, tapi jangan diem. Aku mati gaya." Luli bertahan.
"Kita jalan-jalan yuk, Neng."
"Males! Paling ntar ketemu mantan!"
"Alhamdulillah, istriku mau bicara lagiii." Si bapak dosen mendadak lebay. Ia memeluk Luli erat-erat.
"Apa sih, Kak. Rese!" Dorong Luli.
"Iya aku rese."
"Nyebelin. Ngeselin. Lebay. Malu-maluin."
"Iya, semua yang kamu bilang itu aku."
"Jahat."
"Iya. Walaupun kejahatanku cuma mencuri hatimu."
"Nggak cuma hati. Kakak juga yang bikin aku nggak gadis lagi."
"Astaghfirullah. Nyonya Sya'bani kalau marah gitu amat bahasanya." Luli mencibir.
"Itu tadi bagian dari marahmu atau kamu lagi lempar kode ke aku, Neng? Kamu mau?"
"Kak Iiiiiiq!!" Luli kesal, menghujani Iqbal dengan cubitan.
Iqbal kegelian, tapi sekuat tenaga mencoba bertahan demi melihat wajah Luli yang tampak sangat puas bisa mencubiti dan membuatnya geli setengah mati.
"Neng, udah ya, Neng, aku udah nggak kuat," ujar Iqbal memelas, ia mulai lemas.
Luli menghentikan aksinya. Memeluk suaminya dengan manja.
"Saya sayang Kak Iiq. Tapi saya takut mereka membenci saya setelah tahu kalau saya istrinya Kakak."
"Kenapa harus membenci kamu?"
"Ya karena saya nggak pantas buat Kakak. Saya nggak level sama Kakak."
"Kamu tahu nggak, aku yang membenci kamu. Aku benci kalau kamu sudah mulai bicara seperti itu. Nggak ada, Sayang. Nggak ada itu yang namanya nggak pantas, nggak level, dan sebagainya untuk bersanding dengan aku. Semua terjadi atas kehendak-Nya, Neng. Begitu juga berjodohnya kita. Nggak pantas di mata manusia, tak mesti demikian di hadapan-Nya.
"Please. Mulai sekarang, aku nggak mau dengar yang seperti itu lagi. Aku sayang kamu, Nyonya Sya'bani. Aku bangga memiliki kamu. Kamu yang terbaik buat aku."
Luli mengangkat wajahnya, menatap lurus pada suaminya. Ia tak menemukan sedikit pun kebohongan di sana. Hanya ketulusan. Juga cinta yang tumpah ruah untuk dirinya.
Ditangkupnya kedua pipi sang suami. Dua detik berikutnya, mereka telah larut dalam ciuman hangat.
"I love you, Zulfa Nurulita," bisik Iqbal setelah bibir mereka saling terlepas.
"I love you too, Iqbal Sya'bani." Luli ikut-ikut berbisik, tapi di telinga Iqbal lebih terdengar seperti desah. Ia mendadak gelisah.
"Neng, udah boleh belum sih?" Kembali berbisik, menempelkan bibirnya di daun telinga Luli.
Tengkuk Luli meremang. Ia mendorong Iqbal menjauh dari sana. Dengan wajah malu-malu ia menatap suaminya.
"Asal nggak ada umi, semuanya boleh." Masih tetap berbisik.
Tak ada keinginan menunda diantara keduanya. Bisik demi bisik perlahan makin berisik. Dua makhluk itu larut semakin asyik. Lupa pada segala amarah, juga resah dan gelisah.
-----
"Kak, kenapa nekad majang foto saya? Memangnya Kak Iiq nggak mikirin efeknya?" tanya Luli malam itu.
Mereka baru saja usai makan malam. Iqbal menyalakan televisi, berhenti pada chanel yang menayangkan pertandingan basket.
"Sini deh, Sayang."
"Saya mau cuci piring dulu, Kak."
"Ini yang manggil suami lho, Neng. Masa iya aku kalah penting sama piring kotor."
"Ya nggak gitu juga kali, Bapak Iqbal Sya'bani." Luli cemberut, tapi tetap mendekat dan duduk di samping sang suami.
"Nggak pakai ST MT, Neng?"
"Emangnya Nara?" sahut Luli cepat, disambut Iqbal dengan tawa.
"Kamu tahu nggak, Neng. Aku lega setelah orang-orang tahu status kita. Juga siapa seseorang yang menyandang status Nyonya Iqbal Sya'bani. Lega, Neng. Lega banget. Ini yang kuinginkan dari hari pertama kita menikah."
"Tapi harusnya jangan sekarang, Kak. Nunggu nanti aja kalau udah masuk liburan. Ini dua hari lagi kita mulai ngampus, saya cuma punya waktu dua hari buat mempersiapkan diri."
"Yasalaaam. Dua hari kamu bilang? Kita menikah udah sebulan lebih, Sayaaang. Selama itu kamu ngapain aja?" Iqbal gemas sekaligus kesal.
"Kamu hamil, Neng. Kondisimu juga nggak tentu, nggak stabil. Fisik maupun hati. Perubahan mood-mu aja ngeri gitu. Belum kalau pas mual atau mendadak pengin muntah. Ditambah frekuensi makanmu yang seringnya minta ampun. Kalau semua itu terjadi di kampus gimana? Kalau sudah pada tahu kan mereka jadi ngerti kemana dan siapa yang harus dicari waktu kamu mengalami semua itu.
"Percayalah, aku melakukan semua ini bukan karena nggak sayang sama kamu. Apalagi mau mempermalukan kamu. Sama sekali nggak kepikiran seperti itu. Aku melakukan semuanya justru karena aku sayang sama kamu, Neng. Karena aku peduli pada keadaanmu, keadaan anak kita."
"Ini juga menghindarkan kamu dari kecemasan yang berlebihan. Deg-degan tiap kali pergi berdua karena takut ada yang lihat, dan semacamnya. Kamu harus tenang, nyaman, santai. Pokoknya kamu harus bahagia, harus gembira. Dan ini salah satu caranya."
"Iya, Kak. Luli ngerti kok. Maafin Luli ya." Disandarkannya kepala pada bahu suaminya.
"Capek lho, Neng, punya istri cantik tapi harus menyembunyikan status pernikahan."
"Saya tuh nggak cantik, Kak."
"Ngomong begitu lagi, aku marah."
"Hehe, iya. Maafkan hamba tuan muda Iqbal Sya'bani." Gemas lagi. Diacaknya rambut Luli.
"Tapi pesan yang masuk ke HP saya banyak banget, Kak. Saya sampai nggak berani buka."
"Kamu nggak harus membukanya, Sayang, apalagi membalasnya. Nggak ada kewajiban untuk itu. Kalau membuatmu nggak nyaman, tinggalkan. Cuekin aja."
Ting tong. Suara bel menginterupsi obrolan mereka. Iqbal menuju ke pintu, setelah menyuruh istrinya mengganti hot pants dan taktop-nya dengan kostum yang benar.
"Siapa, Kak?" teriak Luli begitu keluar dari kamar.
"Tamu spesial. Mau sidak pengantin baru yang udah berani launching status."
Bisa ditebak, kalau yang asal bicara begitu sudah pasti Nyonya Zulfikar Aditya.
"Asem! Kalian mah tamu apaan? Tamu tak diundang lha iya," sahut Luli sengit begitu tahu siapa yang datang.
"Dih, emangnya kita maling?!"
"Hush, udah sih. Kalian kalau ketemu udah kayak Tom and Jerry aja. Contohlah kite niii, nak macam Upin dan Ipin." Iqbal sok-sok berdialek melayu.
"Astaghfirullah. Ini tiga orang dewasa kok begini kelakuannya. Nara, ngomongnya yang baik-baik ya, Sayang. Ada Lila. Kamu harus jadi contoh yang baik juga buat Luli. Kamu kakaknya lho." Bapak Zulfikar Aditya angkat bicara.
"Rasain." Cibir Luli pada sahabatnya.
"Ante Luliii."
Lila lepas dari gandengan sang papa, melesat dan meloncat ke pelukan tante kesayangannya.
Luli menyambut tak kalah ceria. Ia memang sangat menyayangi keponakan satu-satunya itu.
"Lila, pelan-pelan, Sayang. Di perut Ante Luli lagi ada adiknya juga." Papanya mengingatkan.
"Nggak apa-apa kali, Mas. Luli baik-baik aja kok."
Mereka berlima duduk di ruang keluarga. Fikar dan Nara di sofa, sedang Luli dan Iqbal di karpet sambil memangku Lila.
"Kenapa Ante Luli mau punya adik? Kan nggak boleh. Cuma Mama Nala yang boleh mau punya adik." Protes Lila.
"Kenapa nggak boleh?" Keempat orang dewasa serempak bertanya dengan heran.
"Kalena nanti kalau Ante Luli punya adik sendili, Ante nggak sayang lagi sama Lila dan adiknya Lila. Sayangnya cuma sama adik ya sendili."
"Masya Allah. Ya nggak begitu dong, Lila sayang. Tante Luli dan Om Iqbal tetap sayang sama Lila dan adiknya Lila."
"Om Iqbal kan nggak Lila sebut, cuma Ante Luli aja."
Luli, Fikar, dan Nara menahan tawa.
"Ya begitu deh kalau emak bapaknya pintar, anaknya suka di luar dugaan kalau bicara," ujar Luli sambil mencium Lila dengan gemas.
"Ayu nggak sepintar Nara kok," sahut Fikar spontan.
"Cie yang ingat mantan." Ada kesal dalam nada bicara Nara. Fikar menyesal atas perkataannya baru saja. Tapi terlambat.
"Mas mau bilang kalau aku bukan mamanya Lila? Nggak usah diingetin, juga aku tahu banget." Pelan. Ada sesak yang ditahan.
"Nyari perkara aja," gumam Iqbal, tentu saja ditujukan untuk kakak iparnya.
"Lila mau cokelat? Atau es krim? Yuk, kita ambil di kulkas. Tante Luli punya banyak lho."
Iqbal berdiri dan menggendong Lila dengan segera. Lalu melempar kode pada Luli untuk menjauh dari kedua orangtua Lila.
Fikar benar-benar merasa bersalah. Ia menarik Nara ke pelukan. Dibelai dan diciuminya kepala sang istri sambil berulang membisikkan kata maaf. Nara terisak kecil. Ia tahu suaminya tak berniat seperti itu.
"I love you, Na. Tolong maafkan aku. Please."
Dilepasnya pelukan, lantas menatap dalam-dalam pada mata perempuan yang begitu dia cintai.
"I love you too. Dan aku juga sayang sama Lila. Dia anakku."
Dua bulir bening menggantung di pelupuk Fikar. Dibawanya wajah Nara mendekat, mencium bibirnya dengan hangat.
"Alhamdulillah. Ternyata cuma modus yang tadi itu."
Ternyata ada yang tetap memantau dari area dapur. Lalu kembali berkumpul di ruang keluarga.
Fikar menghentikan ciumannya. Melempar senyum pada iparnya dengan sedikit malu.
Lila menghambur pada mama papanya. Menguap, lalu merajuk tentang satu hal, "Mama, Lila ngantuk. Mau tidul di lumah Ante Luli aja."
Mama dan papanya tak setuju. Ditunggu kakek dan nenek mereka pilih sebagai alasan untuk Lila. Tapi Luli dan Iqbal tak sedikit pun merasa keberatan. Luli bahkan mengajak Lila ke kamarnya.
"Iya, Lila bobok sini aja ya. Kita gosok gigi dulu, yuk. Ante punya lho sikat gigi anak-anak. Memang sengaja ante simpan buat Lila. Ponakan kesayangan ante mau yang warna biru apa pink, nih?"
Lagi-lagi Luli menyerobot Lila dari kakak-kakaknya. Semringah menghiasi wajah ngantuk si bocah kecil.
"Lila mau yang bilu, Ante. Lila juga mau tidul sama Ante Luli."
Fikar tak enak hati, "Eh, tapi---"
"Santai aja, Fik. Nggak apa-apa kalau Lila maunya begitu. Biar kami sekalian latihan, gimana tidur sama bocah. Lagian besok libur, tidur sini aja lah, sekali-sekali." Iqbal justru tak berkeberatan sama sekali.
"Nanti ganggu malam mingguannya Pak Iqbal sama Luli dong."
"Nggak apa-apa, Sya. Kalau soal itu tadi sore udah kok."
"Ya nggak usah jujur gitu juga kali, Bapak Iqbal Sya'bani," teriak Luli sebelum membuka pintu kamar. Fikar, Nara, dan Iqbal serempak tertawa.
"Sana, Sya, temani Lila dulu. Nanti kalau sudah tidur biar sama aku dan Luli. Kalau perlu bapak ibu kita jemput biar sekalian menginap di sini. Besok pagi jalan-jalan ramai-ramai."
Fikar menerima usul Iqbal. Ia mengajak adik ipar sekaligus sahabatnya itu untuk menjemput bapak ibu saat itu juga, sementara para istri ditinggal di Madina bersama Lila.
Lila tidur tak lama sesudah menggosok giginya. Setelah terlebih dahulu melemparkan pendapat dan pujian untuk kamar tantenya, khususnya untuk bed yang luasnya tak seperti pada umumnya.
Tentu saja hal itu menjadi bahan pembicaraan selanjutnya oleh Nyonya Zulfikar. Apa lagi kalau bukan menggoda Luli dengan pertanyaan-pertanyaan nggak penting seputar kasur dan aktivitas di atasnya. Duh, Nara memang ngawur.
"By the way, Nar, kamu masih sering bahas Mbak Ayu ya?" tanya Luli. Nara mengangguk.
"Kalau udah tahu bakal kesel kenapa masih dibahas juga?"
"Itu beda, Lul. Kalau biasanya kami membahasnya lebih ke bagaimana dulu Mbak Ayu mendidik Lila. Karena aku kadang butuh masukan atau role model. Dan apa yang sudah dilakukan Mbak Ayu untuk Lila memang jadi contoh terbaik, kayak udah tinggal melanjutkan aja, gitu."
"Tapi kamu tadi kelihatan kesel dan sedih lho waktu masku habis bilang tentang Mbak Ayu."
"Iya sih, Lul. Jujur aja kalau yang dibahas hal kayak tadi aku rasanya nggak terima. Aku paling nggak suka kalau ada yang bicara apapun yang intinya Lila bukan anakku, gitu. Jadi tadi tuh kayak yang Mas Fikar mau bilang kalau aku ini bukan mamanya Lila, gitu, Lul.
"Ya memang aku bukan yang melahirkan Lila, tapi kan sekarang ini aku mamanya. Nggak perlulah bahas sesuatu yang seolah mengingatkan soal status hubungan darah antara Lila dan aku. Sakit banget tahu, Lul."
"Masya Allah, Na. Eh, tapi Mas Fikar tadi cuma spontan deh, Nar."
"Iya sih, Lul. Aku tahu itu. Makanya aku juga nggak marah berlarut-larut. Begitu dia minta maaf ya aku terima. Mas Fikar orangnya selalu jujur kok, kan kelihatan tuh dari mata dan wajahnya. Dan aku nggak mau meragukan kejujurannya. Karena laki-laki kalau udah jujur tapi kitanya masih nggak mau percaya, yang ada malah dia kesal sama kita. Nanti ujung-ujungnya jadi berpotensi untuk mengundang hal-hal yang kurang baik.
"Wong mereka nggak jujur dan kita tahu, tapi kita tetap menunjukkan kepercayaan sama mereka, pada akhirnya mereka akan terbuka sendiri kok. Kalaupun nggak, Allah yang akan membukakannya buat kita. So far sih begitu.
"Ingat nggak waktu Mas Fikar di rumah sendiri, terus ada Mbak Dini datang, dan main peluk aja sama dia. Sebenerny waktu Mas Fikar pulang aku sudah tahu ada yang dia sembunyikan, tapi aku nggak mempermasalahkan, apalagi waktu itu Lila lagi sakit. Kami lebih butuh kekompakan untuk ngadepin Lila. Akhirnya besoknya kebuka sendiri kan. Mbak Dini bilang ke kita kalau Mas Fikar pelukable apalah itu.
"Sumpah, kesel kalau ingat soal itu. Nggak rela banget Mas Fikar dipeluk-peluk perempuan lain."
"Emang beda ya, Nar, kalau ngebahas topik mantan istri sama mantan pacar atau fansnya suami gitu?"
"Mas Fikar kan nggak punya mantan pacar, Lul. Sama kayak adiknya, lugu banget." Nara mengerling meledek iparnya.
"Halah, sendirinya juga jomlo sepanjang masa, sampai datang pangeran berkuda putih bergelar Lord Zulfikar Aditya." Luli tak mau kalah, mereka kompak terbahak.
"Kamu masih kesel kah kalau Pak Iqbal bahas mantan?"
"Dia sih sebenernya nggak pernah bahas mantan, Nar. Nggak suka malah. Buat dia mantan cuma masa lalu. Udah selesai. Dan benar-benar selesai. Tapi mantannya banyak banget, Nar. Dia sih udah selesai, tapi kami nggak dua tiga kali ketemu mantannya kalau pas lagi jalan. Dan itu nggak selesai-selesai saking panjangnya daftar mantan dia. Kan kesel, Nar."
"Kamu masih nyolot kalau bahas mantannya Pak Iqbal?"
"Pengennya sih nggak, Nar. Tapi masih susah. Rasanya tuh kesel aja gitu."
"Tapi kamu yakin kalau Pak Iqbal beneran udah selesai dengan mereka?"
"Yakin banget sih, Nar. Jujur, aku nggak pernah menemukan kebohongan di mata Kak Iiq. Dia tuh sayangnya sama aku jujur dan tulus banget. Padahal berkali-kali kubuat kesel, tapi stok sabarnya juga kayak nggak habis-habis."
"Nah, kamu harus lebih peka lagi, Lul. Sayang banget kalau kepercayaan dan ketulusan Pak Iqbal kamu balas dengan ngambekan dan dikit-dikit kesel cuma karena mantan. Apalagi kamu sendiri juga yakin kalau Pak Iqbal memang udah nggak ada apa-apa lagi dengan mereka.
"Cobalah untuk lebih menahan emosimu. Jangan dituruti, apalagi hamil dijadiin alasan. Percaya deh, Allah nggak suka itu. Kehamilan itu anugerah. Rezeki. Happiness. Kalau kamu ngadepinnya dengan dikit-dikit kesel, ngambek, manja, dan semacamnya, yang ada ya begitu juga. Nanti emosimu beneran terpengaruh, terus staminamu jadi nggak bagus.
"Pengaruh hormon iya. Tapi cobalah untuk lebih rileks. Nggak usah memperpanjang apa yang sekiranya nggak bikin kamu happy. Pak Iqbal tuh sayangnya sama kamu besar banget lho, Lul. Kalau aku bilang sih, nggak pantas kamu meragukan beliau. Eman-eman."
"Iya sih, Nar. Kamu bener. Dia pernah lho kesel banget sama aku sampai banting pintu dan pergi. Katanya mau menenangkan diri, daripada lihat aku malah makin kesel."
"Iya kah? Kapan tuh?"
"Kemarin waktu di Bandung."
"Terus?"
"Untungnya sama tetehnya ditemenin keluar tuh. Malah akhirnya dia curhat. Setelah sampai di rumah lagi, malah dia yang minta maaf sama aku."
"Masya Allah. Susah lho, Lul, menemukan laki-laki yang mudah dan mau meminta maaf duluan pada istrinya. Yang harus kamu lakukan itu cuma bersyukur, Lul. Orang kayak Pak Iqbal itu langka, Lul. Ditambah lagi punya keluarga yang baik, punya kakak yang baik. Coba kalau dia keluar sendirian, kalau digodain perempuan di luaran sana gimana? Terus karena lagi kesel, dia gelap mata, gimana? Kamu nggak mikir sampai ke situ?"
"Nah tadi katanya suruh nggak usah memperpanjang sesuatu yang bikin nggak happy?"
"Ya bukan begitu juga kali, Dodol!" Nara gemas, ia sampai tak tahu harus menjawab apa lagi.
"By the way, Lul. Memangnya mantannya Pak Iqbal ada berapa sih?"
"Selusin!"
"Eh, emm, maksudmu d-dua belas, gitu?!" Nara tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Selusin ya pasti dua belas lah, Dodooooll!"
***
Bikin tape pakai ragi,
Hai, akhirnya kita ketemu lagi.
Hahaha. Lama yaaa.
Jadi ceritanya, anak-anak nih lagi memulai hidup baru dengan no gawai dan no away, alias nggak pegang HP sama sekali dan nggak main di luar. Sebagai konsekuensinya, emaknya nggak main HP juga dong. Kecuali cek WA sesekali (karena aku korlas di kelas kakaknya, jadi harus melanjutkan tugas-tugas harian dari asaatidz ke wali murid) dan buka pinterest buat nyari contekan gambar.
Iya, salah satu yang bikin mereka nggak ingat HP itu mewarnai, dan mereka lebih suka kalau yg bikin gambar mamanya sendiri. Jadi deh sehari entah bikin berapa gambar.
Begitulah. Sempat ngetik ya cuma malam hari aja kalau mereka udah pada tidur. Itu juga kalau nggak ngantuk.
Makanya part ini rada ngaco gitu, karena ngetiknya putus-putus. Jadi idenya juga putus nyambung. Wkwkwk.
Pokoknya terima kasih banyak buat kalian yang masih tetap setia membaca dan mengapresiasi. Dan mohon maaf kalau ada salah-salah kata, curhat yang disengaja, juga update yang penuh dengan kekurangan ini.
Sampai jumpa
❤❤❤
Semarang, 28102020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top