Part 30.
Satu yang kamu harus tahu. Tidak semua pasangan bisa menerima bayang-bayang mantan.
- kata Umi pada Iqbal -
***
Warning:
So sorry, ada jokes dewasa. Semoga nggak mengganggu yang belum cukup umur atau pemahaman yaaa.
Buah tomat menggelinding
Selamat hari Jum'at & enjoy reading
***
Terlalu lama di Bandung sepertinya membuat Luli menjadi malas untuk pulang. Apalagi masih harus mampir dan menginap beberapa hari lagi di Pemalang. Tetapi mau tetap tinggal pun tak memungkinkan. Ya gimana? Selain abah umi, keluarga Ican dan Acha pun semua turut serta.
Luli baru selesai mengemasi barang bawaan ketika terdengar pintu diketuk disusul umi masuk.
"Kok kamu yang packing, Neng. Jangan capek-capek lho."
Ya Rabb, cuma packing gini doang masa capek sih?
"Nggak apa-apa, Umi. Masa ada saya tapi Kak Iiq yang suruh packing. Nanti saya nggak ada manfaatnya dong buat Kak Iiq."
"Masya Allah, senangnya umi punya mantu kayak kamu, Neng. Kamu kalau sama Iiq tuh eman banget. Mengabdi dan melayani banget. Sabar. Makasih ya, Neng, sudah mendampingi anak kesayangan umi dengan baik. Umi sayang sama kamu."
"Belum, Mi. Saya belum sebaik itu. Masih suka bikin Kak Iiq kesel. Masih sering bikin Kak Iiq bingung ngadepin saya. Masih ---"
"Nggak apa-apa. Iiq itu, kamu mau dinikahi secepat ini aja dia sudah happy banget, Neng. Kalau ada yang kelihatannya agak mengganggu, ya itu biasa. Namanya rumah tangga, apalagi masih baru, ya wajar sekali kalau masih sering ketemu hal-hal baru yang bikin kaget, kadang bikin bingung, ngeselin, nyebelin, dan sebagainya. Yang penting tetap ikhlas dan bersyukur, karena yang indah-indahnya sudah pasti jauh lebih banyak."
"Kecuali yang indah-indah tapi digagalkan sama Umi. Nggak jadi indah deh."
Eh, ternyata ada yang menguping, lalu menyahut dengan sewot, sekaligus nyolot.
"Cieee ada yang nguping!" kata umi tak kalah sewot.
"Kamu itu memang minta dijewer kok, Dek. Udah dibilangin sabar sebentar, semua buat kebaikan. Malah tetep aja tutup mata. Untung umi datang dan mengingatkan. Kalau nggak apa nggak bablas coba? Kasian Neng Zulfa, kasian calon baby kalian. Nurut lah."
"Iya iya, Umi. Cuma becanda juga."
"Bercandamu umi nggak suka. Itu sesuatu yang serius, Dek. Ini tuh bukan sekadar umi nggak bolehin kalian gituan."
"Kita berangkat jam berapa nanti, Umi?" Luli berbasa-basi, menengahi ketegangan umi dengan sang suami. Sebenarnya dia sudah tahu kesepakatan keluarga ini.
"Jam delapan. Ya sudah, umi keluar dulu, takut ganggu kalian. Siapa tahu mau ada acara." Kalimat umi terdengar tak enak di telinga anak-anaknya.
Umi beranjak. Luli mengejar dan menghentikan ketika umi hampir mencapai pintu.
"Umi," panggil Luli pelan.
Umi berhenti dan membalikkan badan. Luli meraih salah satu tangan sang mertua dan menggenggamnya.
"Maafkan Kak Iiq ya, Umi. Dia cuma bercanda. Maafkan saya juga. Emm, k-kemarin saya yang meng-menggoda Kak Iiq. Maafkan kami, Umi," pinta Luli tulus.
Umi menarik Luli dalam pelukannya. Menangis terharu atas hal sepele yang dilakukan sang menantu.
"Nggak apa-apa, Neng. Nggak tahu kenapa, umi cuma lagi agak emosi saja sama suamimu."
"PMS, Umi?"
"Bukan. PSIS."
(PSIS: Persatuan Sepak Bola Indonesia Semarang)
"Dih, Umi." Luli tertawa. Lalu menghapus air mata umi dengan tangannya.
Melihat yang terjadi di depan matanya, Iqbal mendekat.
"Maafin Iiq, Mi. Iiq beneran cuma becanda. Umi kenapa? Ada apa, Mi? Ada sesuatu sama abah? Ini tentang ibu lagi?"
"Nggak. Kepo banget sih, Dek. Udah ah, Umi mau masukin barang-barang ke mobil." Umi keluar dari kamar anak-anaknya.
"Biar Iiq bantu, Mi."
Iqbal mengejar uminya, setelah lebih dulu melempar kode pada Luli untuk tak mengikuti mereka. Ia ingin tahu ada apa dengan umi. Dan ia yakin, umi tak akan membuka itu di depan Luli.
"Umi kenapa?" tanya Iqbal begitu masuk ke kamar orang tuanya.
"Acha cerita banyak sama umi tentang curhatanmu dengan dia."
Lah, ternyata ini tentang dirinya sendiri. Juga Luli.
"Terus?"
"Dengar ya, Dek! Sebaik apapun mantanmu, jangan pernah membuat kamu manjatuhkan istrimu. Seburuk apapun istrimu, jangan pernah kamu bandingkan dengan kebaikan mantanmu. Mereka dua orang yang berbeda. Istrimu bukan cuma masa sekarangmu, tapi dia masa depanmu, dunia dan akhirat. Sedangkan mantanmu, sebaik apapun, dia cuma masa lalu.
"Kita memang nggak tahu masa yang akan datang akan seperti apa. Tapi menutup setiap kemungkinan yang sekiranya akan menyakiti hati ibu dari anak-anakmu, itu jauh lebih baik, Iqbal Sya'bani."
"Mi, Iiq tuh sudah menutup masa lalu sama mantan Iiq yang manapun. Luli yang kemarin membuka semuanya."
"Umi baru selesai bicara, sudah kamu lakukan apa yang umi bilang jangan. Oke, umi tahu. Umi percaya sama kamu. Tapi membahas mantan sampai marah sama istrimu, itu jelas menyakiti dia, Dek. Sekalipun dia yang memulai duluan."
"Iiq cuma nggak suka karena merasa nggak dipercaya, Mi. Iiq tuh beneran sayang dan cinta cuma sama dia. Nggak ada yang lain. Tapi dia malah ngungkit-ungkit soal itu terus. Iiq kan emosi, Mi."
"Sejak kapan kamu jadi orang yang gampang terpancing emosinya? Umi tahu, ada kalanya kesabaran itu habis terkikis. Tapi menghadapi pasangan yang basically baik, jangan sampai itu terjadi. Ingat baik-baik ya, Dek.
"Zulfa memang masih sangat muda. Lah dia aja mahasiswimu. Semester empat pula. Dibesarkan di keluarga dengan kasih sayang dan perhatian yang nggak pernah kurang. Dia juga nggak pernah yang namanya pacaran. Tiba-tiba harus setiap hari ngadepin orang seperti kamu, yang fansnya banyak, mantannya apalagi.
"Topiknya seputar mantan mungkin cuma mencari perhatian. Kata Acha, dia cuma ingin meyakinkan diri kalau bagi kamu mantan memang sudah nggak ada arti apa-apa lagi. Yang kamu lakukan ya seharusnya meyakinkan dia bahwa begitulah adanya. Bukan sebaliknya."
"Sebaliknya gimana nih, Mi?"
"Ya bukan malah memberi kesan kalau kamu belain mantan."
"Tapi Pipit memang---"
"Siapapun namanya dan apapun kebaikannya, nggak seharusnya kamu lakukan itu di depan istrimu. Umi aja dengar kamu mau belain mantanmu juga nggak suka."
"Tapi Umi dulu begitu dengan ibu."
"Justru karena umi tahu rasanya, maka umi nggak mau anak atau mantu umi merasakan atau melakukan hal yang sama. Satu yang kamu harus tahu, Dek. Tidak semua pasangan bisa menerima bayang-bayang mantan.
"Sudah! Kamu cuma harus bersyukur punya Neng Zulfa. Dia itu sayang banget sama kamu. Jaga dia baik-baik. Kemarin Acha udah ngobrol sama dia. Sebenernya dia nggak mau kamu tahu, tapi nggak apa-apa umi sampaikan, biar kamu lebih bisa menghargai usaha istrimu."
"Ini tentang apa, Mi?"
"Tentang istrimu. Acha sudah kasih tahu kenapa waktu itu kamu marah dan nggak suka dengan apa yang dia bahas. Bahwa kamu nggak suka kalau merasa nggak dipercaya. Kamu nggak suka kelemahan kamu yang selalu dibahas sama dia. Dan Zulfa mau berusaha agar nggak melakukan itu lagi.
"Dia nggak mau kamu tahu kalau dia ngerti semuanya dari Acha. Sebab dia melakukannya bukan karena Acha, tapi karena mengharap ridhomu. Karena bagi Zulfa, istrimu, ridhomu adalah juga ridho-Nya."
Iqbal diam. Kedua netranya terasa memanas. Ia mencintai istrinya. Hanya istrinya.
"Sudah, nggak usah nangis."
"Hehe, iya, Mi." Iqbal meringis, menyusut kedua sudut matanya yang basah.
"Satu lagi."
"Apa itu, Mi?"
"Ditahan dulu itunya. Kamu sendiri kan yang ngebet punya baby. Jadi kamu juga harus mau menjaga ibunya, termasuk menjaga dia dari kamu sendiri."
"Eh, emm, kemarin dia yang menggoda Iiq, Mi. Ya masak Iiq pulang dia kerubutan selimut, Iiq kira dia kedinginan. Pas mau Iiq peluk, ternyata dia nggak pakai apa-apa, Mi. Gimana nggak tergoda coba, Mi?"
"Ssstt, dia suka godain kamu gitu ya?"
"Ya nggak mesti sih, Mi. Tapi dia tuh kalau lagi berdua suka malu-malu genit gitu, Mi. Kan Iiq gemes, Mi. Pokoknya kalau lagi berduaan gitu, yang tadinya nggak mau ngapa-ngapain juga jadi tergoda, Mi. Kecuali Iiq lagi serius sama kerjaan."
"Kalau lagi serius sama kerjaan terus digodain kayak kemarin itu, yakin tetep bisa serius sama kerjaan?"
"Yakin dong, Mi, Iiq tetep serius. Serius kerjaannya kutinggal." Iqbal dan Umi kompak terbahak.
"Iya iya, boleh aja tergoda, asal nggak kebablasan untuk yang satu itu. Sementara ini aja, Dek. Ya satu dua minggu lah."
"Hah?! Lama amat, Miii?!"
"Kamu kan nggak harus masuk untuk bisa keluar, Dek."
"Dih, Umiii, ya Allah, bahasanya difilter kek."
"Halah, ngobrol sama kamu ini. Kalau sama Mayya ya umi pakai filter." Umi meninju pelan pundak bungsunya.
"Udah sana, kopernya masukin mobil. Jam delapan kita berangkat."
"Siap, Bos!"
***
Dari Bandung, rombongan empat mobil keluarga Sudjana memilih jalur Lembang, Subang, lalu masuk tol Subang, dan nantinya keluar di pintu tol Pemalang.
Iqbal tertinggal cukup jauh di belakang. Bukan apa-apa, kalau soal memacu mobil dengan kecepatan tinggi, ia tak kalah dengan abah ataupun kakak-kakaknya. Hanya saja kondisi Luli tak memungkinkan untuk itu. Tak hanya dua-tiga kali Iqbal menghentikan mobilnya di bahu jalan tol. Lalu buru-buru turun untuk memijat-mijat tengkuk istrinya yang sedang mengeluarkan isi perut.
Ini sudah keempat kali Iqbal berhenti. Luli menunduk-nunduk, suara huek berkali terdengar, tapi tak sedikit pun isi perut Luli yang keluar. Mungkin sudah habis di tiga perhentian sebelumnya.
"Gimana, Neng? Ada yang mau dikeluarkan nggak?" Luli menggeleng. Dengan lemah ia kembali ke pintu. Iqbal sedari tadi sabar dan telaten, setia mendampingi sampai Luli kembali duduk nyaman di sisi kiri seat pengemudi.
Baru akan duduk, tiba-tiba Luli kembali berdiri dan membalikkan badan.
"Huek ...."
Dan bagian depan t-shirt Iqbal pun basah oleh muntahan istrinya.
Luli lega. Iqbal bergeming. Kaget iya, tapi tak tampak sedikit pun rasa jijik atau risih di wajahnya. Ia tetap tenang, membantu istrinya menuntaskan ketidaknyamanan.
Luli menghapus matanya yang berair. Iqbal menghapus sekeliling bibir Luli, juga menyusut ingusnya dengan tisu basah. Wajah Luli terlihat sangat payah, membuat Iqbal jatuh iba.
Setelah Luli kembali duduk, Iqbal menyodorkan air mineral. Ia memegangi botolnya, sementara Luli meneguk isinya dengan sedotan.
"Kamu tiduran di jok belakang aja ya, Neng? Lemes banget gitu. Atau kita berhenti dulu di rest area terdekat?"
"Nggak usah, Kak. Maaf ya, Kakak jadi kena muntahan saya. Hiks." Luli menangis, merasa berdosa.
"Kamu udah lemes gitu, jangan ditambah dengan nangis. Aku nggak apa-apa kok. Malah senang bisa sama-sama merasakan repotnya mau punya baby. Kamu tiduran di belakang ya? Aku siapin matras sama bantal gulingnya. Mau ya?" Luli menggeleng.
"Ya sudah, kalau begitu seatnya diturunin ya." Luli mengangguk.
Iqbal memundurkan bangku Luli, lalu menurunkan sandarannya ke belakang. Setelah Luli merasa nyaman, ia membuka bagasi untuk berganti pakaian.
Dengan segera Iqbal membuka t-shirtnya, menampakkan body atlet yang dia punya. Kaus yang kotor ia masukkan ke dalam kantong plastik, kemudian membuka koper untuk mengambil baju ganti.
Luli menunggu suara pintu bagasi dibanting, tapi tak juga terdengar. Ia bangkit, menoleh ke belakang. Mulutnya langsung maju beberapa centi menemukan suaminya yang bertelanjang dada di tempat yang demikian terbuka.
"Kak." Iqbal setengah berlari mendengar panggilan sang istri.
"Iya, gimana, Neng? Mau muntah lagi?"
"Kakak jangan buka baju di situ dong." Luli ngegas dengan sisa-sisa tenaga.
"Ya gimana, kalau kulepas di dalam mobil nanti malah kotor semua di mobil."
"Ya tapi kan dilihatin orang."
"Nggak lah, Neng. Mana ada yang peduli. Ini jalan tol, nggak ada mobil yang jalan lambat."
"Tapi, Kak."
"Iya, maaf. Udah ambil bajunya kok, tinggal pakainya. Aku ganti celananya di mobil aja deh."
"Memangnya tadi mau ganti di belakang mobil juga?"
"Hish, ya nggaklah, Neng. Gila apa? Tadinya mau ganti di rest area gitu. Tapi nggak nyaman juga kalau masih kotor gini, jadi sekalian ganti di sini. Aman kok, kacanya gelap semua."
"Awas ya kalau sampai kelihatan orang."
Ya Rabb, orang macam apa juga yang mau lihat aku ganti baju di dalam mobil, di jalan tol pula? Posesif banget ini nyonya.
"Memangnya kenapa kalau ada yang lihat, Neng? Bukannya malah bangga ya punya suami ber-body model gini." Iqbal menggoda istrinya.
"Nggak bolehlah! Enak aja! Cuma saya yang boleh lihat Kakak nggak pakai baju."
"Kenapa memangnya?"
"Emm, soalnya badan Kakak bisa bikin khilaf kalau ada perempuan yang lihat. Cukup saya aja yang dibikin khilaf."
Iqbal tertawa senang. Mencubit hidung Luli dengan gemas. Lalu kembali ke belakang, mengambil celana bermuda coklat tua untuk mengganti celana cargonya yang kotor oleh bercak muntahan istrinya.
"Kak," kata Luli lagi. Tangannya terulur menimpa tangan Iqbal yang sedang bersiap melepas celananya.
"Jangan di sini deh, Kak. Kita berhenti di rest area terdekat aja ya. Sekalian saya pengin beli cokelat." Cuma alasan. Ia masih khawatir ada yang melihat Iqbal berganti celana di dalam mobil.
Berlebihan memang. Tapi demi cinta, Iqbal menuruti apa kata perempuannya.
"Kak, yang lain udah sampai mana?" tanya Luli selepas mobil mereka meninggalkan rest area.
Iqbal menyodorkan handphone-nya, meminta Luli mengecek sendiri pesan-pesan dari abah, umi, atau kakak-kakaknya di grup keluarga. Luli menaruh gawai itu kembali tanpa membukanya.
"Kenapa ditaruh lagi?"
"Kalau di grup keluarga mah HP saya juga ada kali, Kak. Kan saya ada di grup juga."
"Ya terus kenapa nanya?"
"Emm, kalau kita, emm, langsung ke itu, emm, ke Semarang aja gimana, Kak?"
"Kamu kangen bapak ibu?"
"Iya. Kangen banget. Sama Lila dan Mas Fikar juga. Hiks."
"Jangan nangis ah."
Bukannya berhenti, tangis Luli justru makin menjadi. Bahunya berguncang makin kencang.
"Pasti Kak Iiq nggak mau langsung ke Semarang kan? Kakak sih enak, dikelilingi saudara-saudaranya. Nggak peduli saya kangen sama keluarga saya. Ini tuh pertama kali saya lebaran nggak sama bapak ibu, udah gitu lama banget lagi. Masih harus ke Pemalang juga, saya kan---"
"Kamu minta dicium ya, Neng? Merepet kayak mercon renteng."
Iqbal terkekeh geli. Digenggamnya tangan Luli.
"Kak Iiq pasti nggak mau kan?"
"Kata siapa?"
"Berarti mau?" Wajah Luli mendadak segar. Matanya berbinar. Iqbal jadi tak tega untuk mengerjai istrinya.
"Biar aku telepon bapak atau ibu dulu, ya. Kalau beliau berdua di rumah, kita pulang ke Semarang. Kalau nggak, berarti kita tetap ke Pemalang dulu."
Iqbal menghubungi bapak mertuanya. Beliau sedang tidak di rumah, tapi nanti sore sudah kembali. Begitu jawaban bapak.
"Jadi kita pulang ke Semarang, Kak?"
"Iya. Kita pulang ke Semarang. Tapi besok atau lusa kita ke Pemalang ya. Yang penting ketemu bapak ibu dulu. Kan setelah itu kita tetap tinggal di Semarang, bisa sewaktu-waktu ketemu bapak ibu. Oke?"
"Alhamdulillah. Makasih ya, Kak. Luli sayang banget sama Kak Iiq. Sayaaaang banget banget banget."
Luli memeluk dan menciumi pipi kiri suaminya. Ia senang bukan kepalang. Iqbal tertawa, ia begitu bahagia bisa membuat Luli merasa gembira.
"Tapi ada satu syarat," ucap Iqbal lagi.
"Loh kok?!" Binar di mata Luli meredup dengan segera.
"Kamu harus istirahat dulu sekarang. Pasti kalau udah sampai Semarang, udah ketemu bapak ibu, kamu lupa waktu. Ingat ya, Sayang, kamu lagi mengandung anakku. Anak kita. Kamu harus sehat. Harus cukup istirahat Oke?"
"Tapi istirahatnya di sini aja ya?" Luli merajuk, tak ingin jauh dari Iqbal.
"Lebih bagus lagi sih kalau kamu mau di belakang."
"Nggak mau, ah. Saya maunya di sini aja nemenin Kak Iiq."
"Oke, tapi tidur ya. Kalau nggak, aku batalin rencana ke Semarangnya."
"Tuh kan, katanya sayang, tapi sukanya ngancam-ngancam. Saya nggak suka sama Kak Iiq."
Duh Gusti, anjloknya ekstrim banget ini moodnya.
"Iya, nggak suka nggak apa-apa. Aku tetap sayang dan cinta kok sama kamu. Tidur ya, Neng."
"Huh." Luli melengos, lantas memunggungi suaminya. Iqbal hanya tersenyum, mengelus kepala Luli.
"Nggak usah elus-elus deh, sok perhatian." Tepis Luli.
"Iya deh, nggak usah tidur nggak apa-apa. Aku cuma mikirnya, nanti kalau di Semarang ngantuk, kamu jadi nggak bisa lama-lama ngobrol sama bapak ibu. Kan sayang."
"Kalau saya ngantuk, kan ada Pak Iqbal yang ngobrol sama bapak ibu."
"Panggil Pak Iqbal lagi awas ya. Aku suamimu, bukan dosenmu."
"Ya tapi kan masih dosen saya juga."
"Itu kalau di kampus."
"Ya tetap aja."
Iqbal melirik istrinya. Merasa geli sendiri dengan obrolan mereka yang nggak penting. Ia memilih untuk diam. Melanjutkan perdebatan tidak akan menghasilkan apa-apa. Bagaimana pun, ia tetap menyayangi Luli dengan sepenuh hatinya.
Diraihnya satu tangan Luli. Menggenggamnya dan meletakkan jari-jari mereka yang saling tersemat di atas pahanya. Ibu jarinya tak henti mengusap jemari sang istri, hingga Luli pulas dengan sendirinya.
***
"Neng, udah sampai." Iqbal membangunkan Luli yang sepanjang sisa perjalanan hampir seluruhnya dihabiskan dengan mata terpejam.
Mobil sudah terparkir rapi di depan rumah bapak ibu. Ibu bahkan sudah menunggu Luli di sisi luar kaca mobil yang terbuka. Sorot matanya menunjukkan rasa rindu yang tak lagi bisa ditahan.
Luli membuka dan mengucek mata. Mengumpulkan segenap nyawa dan kesadarannya.
"Ehem." Ibu berdeham. Luli menoleh, baru menyadari bahwa ibu sedang membungkuk di hadapannya.
"Ibuuu." Luli refleks mendorong pintu hingga mengenai badan ibu. Ibu terhuyung, hampir jatuh. Untung segera berpegangan pada pintu.
Iqbal buru-buru berlari untuk membantu ibu.
"Astaghfirullah, Neng! Hati-hati dong! Untung ibu nggak jatuh!"
Terlalu keras Iqbal bicara. Refleks saja. Sayangnya hati istri yang emosinya sedang tak stabil terlanjur terluka. Luli menatap mata Iqbal penuh kebencian.
"Luli terus yang salah! Luli benci sama Kak Iiq!" Dibantingnya pintu mobil, lalu berlari masuk ke rumah, bablas menuju ke kamar. Tak lupa ia mengunci pintu dari dalam. Tenggelam dalam isak yang teredam oleh bantal.
"Astaghfirullah hal adzim. Udah hamil kok ya nggak berubah to, Nduk." Ibu mengelus dada.
"Yang sabar ya, Iq. Maafkan bapak sama ibu, mungkin selama ini terlalu memanjakan Luli. Perasaan ya nggak pernah diajarin kayak begitu lho." Ibu tak enak hati.
"Nggak apa-apa, Bu. Luli istri yang baik kok, Bu. Iiq beruntung punya dia. Ini cuma bagian dari hamil muda saja. Insya Allah demikian, Bu." Diciumnya punggung tangan ibu, lalu mengajak sang ibu mertua masuk ke rumah.
Bapak yang baru selesai mandi, bergabung dengan Iqbal dan ibu di ruang keluarga. Iqbal bangkit dan segera mencium tangan bapak mertuanya. Memohon maaf atas segala kesalahan. Lalu melakukan hal yang sama pada ibu.
"Lha Luli endi?"
(Lha Luli di mana?)
"Ngambek. Gara-gara buka pintu mobil terlalu keras, kena ibu. Iqbal spontan menegur, tapi agak keras. Bocahnya nggak terima. Nangis, marah, masuk kamar, dikunci pula," terang ibu.
"Ya Rabbi. Kamu masih sabar to, Iq?"
"Alhamdulillah, masih sabar, Pak. Insya Allah selalu sabar, karena sabarnya saya masih nggak sebanding dengan repot dan beratnya Luli mengandung anak kami."
Bapak memeluk menantunya erat. Dua bulir hangat lolos dari kedua netra yang mulai menua.
"Terima kasih ya, Nak. Bapak dan ibu lega, melepas Luli pada tangan yang tepat. Nitip Luli ya, Nak. Terimalah dengan segala kelebihan dan kekurangannya."
Iqbal diam. Hanya menepuk dan mengusap pundak bapak dengan hangat.
"Sudah, kamu turunkan bawaanmu dulu saja. Luli biar bapak yang urus. Ibu bantu Iqbal ya, Bu."
"Mboten usah, Pak. Biar Iiq saja. Siapa tahu ibu mau ikut bujukin Luli." Ibu mengikuti saran si menantu bungsu.
Iqbal selesai menurunkan koper dan tentengan yang lain, termasuk oleh-oleh dari keluarga di Bandung untuk keluarga besan. Sebagian ia taruh di dapur, sebagian lagi ia taruh di depan pintu kamar Luli. Ia bahkan sudah sempat merendam t-shirt dan celana yang terkena muntahan Luli.
Setelahnya, Iqbal menuju kamar mereka. Dari pintu yang sedikit terbuka, ia menangkap pemandangan yang sungguh membahagiakan. Luli sedang berbincang hangat dan akrab dengan kedua orangtuanya. Menyandarkan kepala pada ibu, yang merangkul dan menciuminya dengan rasa sayang luar biasa. Di samping kakinya, bapak duduk sembari memijat kaki anak bungsu yang sedang mengandung cucunya.
Hati Iqbal menghangat. Berjuta rasa syukur memenuhi aliran darahnya. Sungguh, keluarga seperti inilah yang selalu menjadi impiannya. Terlahir di keluarga bahagia, meski ada goresan luka. Lalu masuk ke dalam keluarga dengan kebahagiaan yang sempurna. Ia lega. Satu harapan besar membuncah di dada, bahwa kelak anak-anaknya tumbuh besar dikelilingi oleh cinta dan kasih sayang yang luar biasa.
Luli memang tak seperti mantan-mantannya, tetapi dia teristimewa, sebab dialah jawaban atas segala doa-doa panjang yang tak bosan-bosan Iqbal pinta pada Sang Pemilik Semesta.
Satu doa terlantun lirih dari bibir Iqbal Sya'bani. Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a'yun waj'alna lil muttaqiina imaama.
Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri (pasangan) kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
(QS. Al Furqan : 74)
"Cieee, bapak dosen idola ngintip ni yeee. Sampai ada orang salam nggak dikasih jawaban. Hati-hati, ntar bintitan lhooo."
Suara istri kakak ipar terdengar membahana di telinga Iqbal. Wajahnya seketika mengguratkan kesal. Bukannya merasa bersalah, Nara justru terpingkal-pingkal.
"Awas ya, laporan praktikummu nggak ku ACC!"
"Mas Fikaaarr, adik iparmu main ancam-ancam niiih!"
Dasar Nara. Kalau sudah kumat usilnya, ngeselinnya memang luar biasa.
***
Yang kangen Nara mana suaranyaaa?
Hehe...
Kadang suka ditanyain, kok Fikar-Nara jarang keluar di Mendadak Ipar sih?
Eh, ya habis gimanaaa. Kalau mereka keluar, fokusnya langsung geser ke mereka. Iqbal-Luli jadi dicuekin. Nanti gantian mereka ngambek ke sayaaa, "Kita yang punya lapak, kenapa kakak ipar yang lebih diperhatikan?!" haha..
Cukup Iqbal ajalah yang diambekin si Luli. Aku jangan. Pusing ntar.
Baiklah. Terima kasih banyak untuk teman-teman semua. Dan mohon maaf lahir batin kalau ada salah-salah kata.
Dari Nagoya terbang ke Praha
Udah dulu yaaa, sampai jumpa
❤❤❤
Semarang, 23102020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top