Part 29.
Dia cuma butuh menjauh sebentar. Dia nggak bisa marah sama orang yang dia sayang. Apalagi sama kamu, calon ibu dari anak-anaknya. Makanya dia mengambil jarak dulu, sampai hatinya tenang kembali.
***
Sorry, part ini masih agak melow-melow. Silakan skip dulu kalau kalian kurang suka. Lagi nggak ada ide buat nulis yang lucu-lucu nih. Wkwk...
Enjoy reading.
***
Luli membuka mata. Seperti yang sudah-sudah, ia tak menemukan sang suami di sampingnya. Tak jauh dari tempat tidur, Iqbal baru saja mengakhiri doa panjang sebagai penutup qiyamul lailnya.
"Kak." Belum apa-apa Luli sudah merengek manja.
Iqbal buru-buru menghampiri sang istri. Menyorongkan punggung tangannya untuk dicium Luli. Ia lalu berlutut di samping tempat tidur, mengecupi setiap bagian wajah istrinya dengan penuh cinta. Selalu begitu.
"Kak Iiq tuh nggak pernah nggak wangi ya."
"Ya dong. Makanya jangan keseringan begadang. Biar bisa bangun duluan. Jadi aku bangun kamu udah wangi, gak bau iler gini."
"Tuh kaaan, ngejek." Luli merajuk.
"Hehe, iya iya. Nanti lama-lama bisa kok. Ini aja udah kemajuan kan. Kata Zulfikar, kamu rajin salat malam, tapi hampir selalu mepet-mepet subuh, jadi paling dapat dua rakaat. Belum sempet berdoa udah adzan subuh pula." Iqbal mengacak rambut istrinya.
"Mau ke toilet?"
"Iya."
"Sekalian wudhu ya, Sayang. Aku gendong deh ke kamar mandinya." Luli mengangguk, mengalungkan tangan ke leher suaminya.
Hanya empat rakaat, lalu adzan subuh terdengar. Iqbal mendirikan salat fajar, lalu bersiap ke masjid bersama Erik. Ya, mereka masih di rumah Acha.
Sepulang dari masjid, Iqbal menemukan Luli gegoleran lagi di atas tempat tidur. Wajahnya terlihat lesu.
"Kenapa, Neng? Mukamu kok kusut gitu."
"Tadi laper, nyoba makan sereal. Tapi habis itu mual, terus muntah-muntah. Kayaknya susunya yang bikin eneg. Mana Kak Iiq nggak pulang-pulang. Kan kesel."
"Ya Allah, maaf ya, Neng. Tadi tuh ada kultum dulu. Tapi kultum di sini tuh kayaknya kuliah tujuh belas menit. Lumayan tuh lamanya. Mana Pak Haji yang ngisi kultum ternyata temennya aki. Bang Erik sih, pakai bilang segala, jadilah aku diajakin ngobrol dulu. Feelingku udah nggak enak, rasanya pengin cepet-cepet pulang. Ternyata nyonya lagi bete."
"Nggak bete, Kak. Cuma muntah-muntah aja kok. Serius. Saya kan sekarang nggak mau jadi orang yang dikit-dikit bete. Saya mau jadi orang yang dewasa, yang nggak gampang emosi, yang ---"
"Udah udah, kamu nggak perlu memaksakan diri jadi kayak gitu, Neng. Sambil jalan aja, nanti kalau udah makin dewasa kan lama-lama bisa menyesuaikan. Nggak usah dipaksakan. Aku sayang kamu apa adanya."
"Kalau gitu, saya minta nomor HP-nya Mbak Pipit boleh ya, Kak?"
Wajah Iqbal mendadak gusar. Pikirnya semalam adalah yang terakhir. Ternyata ia salah.
"Nggak punya."
"Jangan bohong deh, Kak."
Nyatanya Iqbal memang sudah menghapus kontak Pipit di handphone-nya. Pesan instan, history call, bahkan pesan-pesannya dengan Kinan, semua sudah dia hapus. Ia sendiri memang ingin menutup buku atas segala kisah masa lalunya itu.
"Ya Rabb. Buat apa lagi sih, Neng? Apa masih belum cukup yang semalam? Kamu dengar sendiri kan dia sudah menolak permintaan pertemananmu? Sudahlah, nggak usah menambah beban untuk orang yang sudah menahan banyak kesakitan."
"Saya kan cuma mau bilang terima kasih. Masa nggak boleh sih?" ujar Luli lirih.
"Nggak. Semalam kamu juga sudah bilang terima kasih. Pokoknya sudah cukup, Neng, kita tutup buku soal Pipit."
"Kakak sama Mbak Pipit tuh sama-sama tahu banyak tentang satu sama lain ya?"
Astaghfirullah, ngeyel banget sih bocah satu ini. Sabar, Iq!
"Kakak nggak pengin tahu obrolan kami semalam?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Kalau pengin tahu, udah dari semalam aku nimbrung dengan kalian. Sudahlah, nggak usah dibahas."
Bukan Luli kalau tak mengikuti keinginan hati. Ia malah menceritakan semua obrolannya bersama Pipit pada sang suami.
Iqbal menahan diri, menahan emosi, juga tensi yang meninggi. Ia bahkan tak ingin menyimak apa pun yang dikatakan oleh Luli. Mencoba menulikan telinga, meski tak berhasil ia lakukan.
Sampai akhirnya, "Kakak nggak pengin jadikan Mbak Pipit yang kedua?"
"Apa lagi nih maksudnya?!"
"Emm, semalam saya tanya gitu ke Mbak Pipit. Kalau Kak Iiq mau jadiin yang kedua, dia mau nggak? Gitu."
"Astaghfirullah hal adzim. Mau kamu apa sih, Zulfa? Kamu mau mempermalukan aku? Dewasa sedikit lah. Aku turuti semua mau kamu bukan berarti kamu boleh semaumu begitu. Aku ... Ah, sudahlah. Aku capek." Iqbal hendak pergi meninggalkan Luli.
"Kenapa sih, Kakak selalu marah-marah kalau bahas Mbak Pipit. Kalau Kak Iiq masih suka, tinggal bilang aja apa susahnya?"
"Kalau aku marah, kamu diam aja bisa nggak?!"
"Dan kalau udah bahas Mbak Pipit, Kak Iiq pasti mengalahkan saya."
"Begitu ya?"
"Iya kan?"
"Oke. Hari ini kita pulang ke Semarang. Besok kita ke rumah Pipit, biar aku lamar, dan jadikan yang kedua."
"Tuh, kan. Kak Iiq aslinya memang begitu maunya."
Ya Rabbi, semoga masih bisa menahan emosi.
"Katanya mau tutup buku, tapi ujung-ujungnya ya tetep aja mau."
"Bukannya itu tadi yang kamu inginkan?"
"Memangnya ada perempuan yang mau diduakan?" jawab Luli, membuat Iqbal makin serba salah.
"Terserah kamu sajalah, Zulfa." Kekesalannya memuncak.
Iqbal keluar, membanting pintu dengan kasar. Ditinggalkannya kamar dengan gusar. Masih mengenakan sarung dan baju koko lengan pendeknya, ia menyambar kunci mobil dari gantungan.
Di ruang tamu, ia bertemu Acha yang baru selesai belanja. Kakak kandung tepat di atasnya itu memandangnya dengan penuh tanda tanya.
"Kamu kenapa lagi sih, Dek?"
"Tauk ah. Kesel. Adik iparmu tuh dikasih tahu! Bahas mantan mulu. Udah mulai ngawur pula. Aku kan ya ada capeknya juga."
"Oh, berantem lagi? Terus kamu mau ke mana, Dek?"
"Nggak tahu, pokoknya pengen keluar dulu lah. Nanti kalau udah agak adem, aku pulang."
"Nggak gitu lah, Dek. Nggak baik keluar rumah sendiri saat sedang emosi. Sini, ngobrol dulu sama teteh."
"Oke. Tapi nggak di sini. Teteh aja ikut Iiq keluar."
"Ke mana?"
"Muter-muter aja lah. Nggak ada ide juga mau ke mana."
"Tunggu deh, teteh bilang dulu sama Bi Min."
"Iiq tunggu di mobil."
Iqbal mengeluarkan mobilnya. Acha menuju ke ruang laundry, berpamitan pada Bi Min, asisten di rumahnya. Berpesan untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan Luli jika ada.
Setelahnya, Acha menyempatkan diri sebentar untuk menengok dan memberitahu Luli di kamarnya.
Luli masih sesenggukan ketika Acha masuk. Ia pula terlambat menyembunyikan hingga kakak iparnya terlanjur tahu apa yang sedang dilakukannya.
"Dek Iiq lagi capek kayaknya, Dek. Jadi kesenggol dikit langsung error. Kamu sabar dulu ya, ini teteh mau nemenin Dek Iiq keluar. Kalau butuh apa-apa bilang Bi Min aja ya. Bang Erik nemenin anak-anak ke rumah abah, jadi Dek Zulfa cuma berdua sama Bi Min."
"Iya, Teh."
Acha baru akan melewati pintu, ketika suara panggilan Luli terdengar kembali.
"Teh, tolong bilang Kak Iiq kalau saya sayang sama dia."
Sesungging senyum terulas di bibir Acha. Ia mengangguk pada istri adiknya.
"Nanti teteh sampaikan sama Dek Iiq."
Luli mendekat ke pintu.
"Saya ... emm, s-saya cuma mau meyakinkan diri kalau Kak Iiq beneran cuma sayang sama saya, Teh. Soalnya mantannya istimewa semua. Saya nggak ada apa-apanya. Hiks."
Acha meraih Luli, mendekap dan membiarkan si adik ipar menangis di pelukannya.
"Iya, nggak apa-apa. Dek Iiq juga mungkin lagi capek. Dia biasa jadi anak bungsu, yang kalau di keluarga selalu dimanja. Kali ini sudah berbeda. Namanya juga manusia, ada kalanya lemah juga.
"Dek Zulfa istirahat dulu ya. Makannya jangan telat. Kalau ada apa-apa panggil Bi Min aja. Teteh pergi dulu."
"Ke mana?"
"Belum tahu."
"Kak Iiq marah sama saya kan, Teh?"
Acha kembali tersenyum, "Bukan marah. Dia cuma butuh menjauh sebentar. Dia nggak bisa marah sama orang yang dia sayang. Apalagi sama kamu, calon ibu dari anak-anaknya. Makanya dia mengambil jarak dulu, sampai hatinya tenang kembali.
"Kalau dibiarkan sendiri, teteh khawatir malah jadi nggak baik. Jadi biar teteh temani. Insya Allah nggak lama. Setengah jam ke depan, kamu merajuk sedikit juga dia lemah.
"Dek Iiq itu sayang sama kamu, Dek. Sayang banget. Kamu sabar dulu ya."
"Iya teh. Maaf ya, Teh. Jangan lupa bilangin Kak Iiq yang tadi."
"Yang mana?"
"Yang tadi lho, Teh."
"Iya, yang mana?" Acha pura-pura tak tahu, mana yang dimaksud Luli dengan 'yang tadi'.
"Emm, saya ... s-sayang sama sama Kak Iiq." Acha terkekeh, diacaknya rambut Luli seperti Iqbal selalu melakukannya.
Dari luar, Iqbal mulai menekan klakson, memanggil kakaknya yang bilang sebentar tapi tak juga muncul dari dalam rumahnya.
"Udah dulu ya, Dek Zulfa. Itu tuan muda Iqbal Sya'bani udah gak sabaran. Assalamualaikum." Acha beranjak tergesa.
"Waalaikumussalam."
Mobil langsung melaju begitu Acha masuk dan menutup pintu. Wajah adik satu-satunya masih kusut bagai baju belum diseterika.
"Udahan sih, Dek, betenya. Kan keselnya sama istri, kenapa teteh juga kudu ngelihat muka jelekmu itu? Dibiasain lah untuk jaga ekspresi dan reaksi. Kamu itu nikah sama mahasiswimu, kalau bete dikit terus begitu, gimana nanti di kampus."
"Beda lah, Teh. Kalau soal itu Iiq udah mahir, gak usah diajarin. Lagian ini tuh betenya nggak sedikit. Banyak. Rasanya kaya mau meledak."
"Dih, bapak dosen lebay. Oh ya, tadi Dek Zulfa nitip pesan buat kamu. Katanya dia sayang banget sama kamu."
"Iya sih. Tapi polahnya tuh kaya anak kecil banget, Teh. Mau marah kok ya nggak tega, apalagi dia lagi hamil anakku. Bisa jadi itu bawaan hamil juga. Tapi mau sabar kok ya keselnya luar biasa."
"Kenapa sih memangnya?"
"Semalam dia maksa ketemuan sama mantanku. Udah ketemu kan, lah kok ternyata dia bilang, gimana kalau aku mau jadiin dia yang kedua, dia mau nggak? Kan edan, Teh." Iqbal menggelengkan kepala. Masih tak habis pikir pada apa yang diperbuat istrinya.
"Siapa mantanmu? Pipit?"
"Emm---"
"Teteh udah tahu dari lama. Zaman kamu jalan sama dia, kamu memang kelihatan beda. Walaupun dulu teteh cuma sempat lihat dan dengar ceritamu tentang temanmu itu satu dua kali, tapi itu sudah cukup buat teteh mengambil kesimpulan."
Acha sengaja menekankan kata temanmu, sebab waktu itu Iqbal memang tak pernah bercerita tentang pacar ataupun mantan. Semua dia sebut sebagai teman. Hanya saja dengan Pipit, Acha menangkap sesuatu yang berbeda saat Iqbal bercerita.
"Eh, emm, iya. Dia."
Iqbal sok sibuk memilih lagu di playlist, padahal ia memencet asal saja. Kemudian ikut menyanyi dengan penghayatan. Tak sadar, lagunya terdengar pas di telinga Acha. Pas dengan kisah yang pernah dialami Iqbal maksudnya.
Entah kenapa, saat ini Iqbal memang sedang tak nyaman bicara tentang mantan, khususnya Pipit. Padanya ia memang merasa bersalah. Bukan soal masa lalu mereka berdua, itu sudah lama lewat. Ini tentang apa yang dilakukan Luli pada mantannya itu.
"Cieee lagunya. Kayaknya dalem nih. Penghayatannya lho," goda Acha.
"Apa sih, Teh. Ini juga asal milih."
"Perasaan tadi serius pas milih lagu. Sekarang jadi asal milih. Kamu kenapa sih, Dek?"
"Nggak ada apa-apa, Teh."
"Sekarang teteh tanya deh, ini serius. Benar kamu sudah nggak ada rasa sama Pipit?"
"Ya Rabb. Demi Allah, Teh. Apa Teh Acha juga nggak percaya sama aku? Tadi istri nggak percaya, sekarang Teteh pula nggak percaya. Terus siapa yang mau percaya sama Iiq?"
"Lalu kenapa reaksi kamu segitu hebohnya sama istrimu? Nggak biasanya kamu begitu."
"Aku nggak masalah dia manja, dia ngambekan, dia kekanakan, dan semacamnya. Tapi kalau sudah meragukan aku, nggak percaya padaku, selalu mengulang-ulang topik yang sama yang itu adalah kelemahanku menurut aku sendiri, itu yang aku sulit menerima, Teh.
"Laki-laki itu nggak suka diungkit kelemahannya, Teh. Kekurangannya. Apalagi terang-terangan begitu. Teteh nggak ngeh apa, kalau Bang Erik lagi nyetir terus ngantuk dan Teteh bahas saat itu juga, dia pasti kesel kan? Tinggal bilang, 'Sini aku gantiin', atau 'Biar Iiq yang gantiin nyetir', selesai. Tapi teteh selalu pakai ngebahas itu, yang 'nyetir kok ngantuk, begadang mulu sih' dan apalah yang semacamnya itu.
"Sama, Teh. Nyatanya sesuatu yang menurutku adalah kekuranganku ya itu, Teh, soal mantan. Mantanku memang banyak. Tapi ya gimana lagi, aku sendiri nggak bisa menghapus sejarah kan? Tapi kan aku udah tutup buku semuanya, termasuk Pipit.
"Khusus Pipit, memang aku nggak sanggup kalau harus menyakiti dia. Dia orang baik, baik banget malah. Aku yang jahat. Tapi kan aku juga punya hak atas masa depanku. Aku boleh punya pemikiran dan harapan akan rumah tangga yang akan aku bina. Aku bisa menetapkan prinsip dan memegangnya kuat-kuat. Dan aku memang memilih itu semua.
"Kalau aku mau, aku bisa saja balikan sama Pipit. Nyatanya aku senang saat bareng dia. Aku happy. Tapi sekali lagi, ada hal dari dirinya yang nggak sesuai dengan prinsip yang aku pegang. Harapan, impian, pemikiran akan masa depan.
"Dia memang nggak bisa memilih di keluarga mana dia dilahirkan dan dibesarkan. Tapi kan aku juga boleh memilih dan menentukan siapa, yang bersamanya akan aku rajut masa depan. Dan itu bukan Pipit. Aku nggak bisa, meskipun aku sudah memikirkan itu berulang kali. Bukan cuma sebulan dua bulan, karena kedekatan kami setelah putus bahkan masih berjalan bertahun-tahun sampai kemarin, sepekan sebelum aku menikahi Luli.
"Bukan hal yang mudah, Teh. Tapi ketika aku sudah memilih dan menjatuhkan pilihan, bahwa cuma dia yang sekarang dan Insya Allah selamanya menjadi bagian dari hidupku, menjadi istriku, rasanya kesel banget merasa dia nggak percaya sama aku. Bahkan boleh dibilang ... sakit. Rasanya sakit banget, Teh.
"Sampai kadang aku tuh mikir, aku kurang apa sama dia? Apa aku kurang sayang? Kurang perhatian? Kurang sabar? Apa aku kurang ---"
"Kamu kurang bersyukur, Dek."
Iqbal terhenyak. Sama sekali tak menyangka jawaban kakaknya akan semenohok itu.
"M-maksud Teteh?"
"Maaf, Dek. Bukan aku jahat sama kamu, tapi itulah yang ada di pikiranku. Kamu kurang bersyukur. Selama bertahun-tahun kamu bilang gonta ganti pacar karena mencari yang sesuai keinginanmu, impianmu, harapanmu. Ketika Allah kasih, ya tentunya nggak mungkin semuanya sempurna.
"Apa sih yang selama ini menjadi pertimbanganmu untuk memilih seseorang sebagai teman hidupmu? Sampai dibelain gonta ganti pacar segala. Dia yang menjaga diri dan berasal dari keluarga yang ideal, begitu kan?" Iqbal mengangguk.
"Kamu sudah dapatkan semuanya pada Dek Zulfa. Apa kamu pernah minta untuk dikasih istri yang dewasa, yang nggak suka bahas mantan, yang nggak kekanakan, yang bisa menerima masa lalumu dengan gampang? Pernah minta begitu?"
Iqbal menggeleng.
"Dek Zulfa itu istrimu. Dia yang terbaik buat kamu. Terlepas apapun atau bagaimanapun sifatnya, itu menjadi tugas dan tanggung jawabmu untuk mengarahkan agar dia menjadi lebih baik. Bukan harus berubah seperti maumu, tapi lebih bisa menempatkan diri. Dan terutama, bisa mempercayai kamu.
"Tadi dia bilang kalau dia sayang banget sama kamu. Kalaupun suka membahas mantan, itu karena dia nggak yakin kamu benar-benar memilih dia, sedangkan mantan-mantanmu semuanya istimewa."
"Luli bilang gitu?"
"Ya. Dan menurut teteh, sebenarnya dia bukan nggak yakin atau nggak percaya sama kamu sih, Dek. Tapi lebih kepada dia nggak percaya pada dirinya sendiri. Mungkin sampai sekarang Iqbal Sya'bani itu masih seseorang yang wow banget baginya. Bisa jadi sampai detik ini dia masih berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia benar-benar istrinya Iqbal Sya'bani. Bukan cuma mimpi.
"Itu juga berat lho, Dek. Dari yang masih main ke sana ke sini sama teman-temannya, tiba-tiba jadi istri. Mana suaminya high quality macam kamu gini, dosen, di kampus dan jurusan yang sama pula. Makin beratlah bebannya.
"Jangan egois ya, Dek. Kamu jauh lebih tua, sudah semestinya jauh lebih dewasa. Sudah seharusnya kamu yang lebih banyak sabarnya. Dan yang pasti, harus banyak-banyak bersyukurnya.
"Kalian sama-sama saling sayang. Teteh tahu dan yakin banget soal itu. Cuma masih butuh banyak belajar dan penyesuaian, terutama soal komunikasi. Nggak apa-apa, namanya juga pengantin baru. Nanti teteh ngobrol sama Dek Zulfa deh, insya Allah teteh bantu menyampaikan soal ini. Siapa tahu kalau orang lain yang menyampaikan, dia bisa menerima dengan lebih objektif."
Iqbal mengangguk lagi. Membenarkan setiap kata yang keluar dari mulut kakaknya. Ia bersiap memutar balik arah mobilnya.
"Kita pulang ya, Teh. Aku kangen sama Luli."
Acha tertawa. Dilepaskannya sabuk pengaman, lalu mendekatkan wajahnya pada wajah adiknya. Diciumnya pipi Iqbal dengan rasa sayang yang tak ada batasnya.
"Teteh sayang sama kamu, Dek. Tetaplah jadi adik terbaiknya teteh dan kakak-kakak kita ya. Terima kasih sudah selalu ada buat umi. I love you. We love you."
Iqbal tak membalas. Dua bening mengalir di pipinya. Ia biarkan sang kakak yang menghapus, setelah Acha lebih dulu menghapus pipinya sendiri yang juga basah.
------
Luli sudah menunggu dengan gelisah. Berbagai kemungkinan buruk berkelebat di benaknya. Maka begitu terdengar deru mobil suaminya, ia bersiap menyambut dengan caranya.
"Assalamualaikum, Neng. Abang pulang." Iqbal sok-sok bercanda.
"Waalaikumussalam," jawab Luli takut-takut. Khawatir Iqbal masih marah.
"Kakak masih marah?" tanyanya dari balik selimut yang menutup hingga lehernya.
"Maafkan aku ya, Neng. Harusnya aku nggak marah ke kamu." Iqbal menghambur, memeluk dan menciumi Luli dengan perasaan bersalah.
"Aku sayang kamu, Neng. Maafkan aku ya. Kamu sehat kan? Apa kedinginan? Kenapa kerubutan gitu? Aku peluk ya?"
"Kakak nggak marah sama saya?"
"Nggak. Kita bahas nanti. Sekarang aku peluk dulu ya biar kamu nggak kedinginan."
"Beneran mau peluk?"
"Iya."
Iqbal naik ke tempat tidur. Merebahkan tubuhnya menghadap Luli. Menyelipkan lengannya ke bawah kepala Luli. Lalu ia menarik selimut, hendak menyelusup memeluk perempuannya.
"Ehk."
Iqbal menelan saliva. Kulitnya bersentuhan langsung dengan kulit sang istri.
"Kamu?"
Luli tersenyum. Malu-malu manja. Membuat Iqbal tak mau lagi menunda. Ia baru akan melakukan hal yang sama dengan Luli. Tapi ....
"Iiiiiq, buka pintunya, Dek! Belum boleh berduaan lama-lama lho ya. Bahaya!"
Kekuatan sinyal umi memang tak diragukan lagi.
***
Udah ya, segini dulu. Mau jalan pulang. Hehe.
Masih agak melow-melow nih. Mohon maaf buat yang kurang suka melow. Dan terima kasih tetap mengikuti, membaca, dan mengapresiasi. Semoga tetap terhibur yaaa.
Tentang Pipit, banyak yang request buat dibikinin lapak sendiri. Tapi aku belum sanggup. Selain masih ada tugas menulis yang sebisa mungkin berusaha untuk kuselesaikan, juga aku rada sedih kalau harus bikin cerita tentang si Pipit Pipit ini. Wkwk.
Oh iya, ini lagu yang dinyanyiin Iiq di mobil, yang kata Acha 'pas' dan penuh penghayatan.
Baiklah. Sampai di sini dulu yaaa.
Juragan jahe nithili wijen
Goodbye and see you again
❤❤❤
Batu, 19102020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top