Part 28.2.
Ketika sesuatu terasa tak mungkin lagi diperjuangkan, maka melepaskan adalah hal terbaik yg bisa dilakukan.
***
Notes:
- Siapin tisu. Karena setelah part kemarin yg banyak ketawanya, part ini banyak sedihnya. Setidaknya buatku
Gak apa-apa yaaa :)
Enjoy reading.
***
Iqbal telah menyampaikan pada Luli tentang Pipit yang bersedia menemuinya, dan wajah Luli menampakkan rasa senang yang luar biasa. Iqbal benar-benar tak habis pikir. Ia hanya berkali-kali mengatakan pada dirinya sendiri, ini mungkin bagian dari pengaruh hormonal. Tekadnya makin besar, untuk tetap bersabar menghadapi Luli dengan segala keajaibannya, yang sayangnya tidak diakui dunia.
Seharian itu Iqbal lebih banyak diam. Berkebalikan dengan Luli yang terlihat menjalani hari dengan penuh keriangan. Luli tak tahu, suaminya setengah mati menahan kekhawatiran dan berbagai dugaan. Apa sebenarnya yang direncanakan Luli? Benarkah hanya bertemu tanpa ada maksud tertentu?
Di sisi lain, Iqbal merasa Luli bukan orang yang suka menyimpan maksud tertentu. Apalagi maksud yang tidak baik.
Astaghfirullah hal adziim.
Untuk kesekian kali ia melantunkan istighfar dalam hati. Sulit sekali menghilangkan prasangka buruk pada sang istri.
"Kak."
"Iya?"
"Dari tadi kok banyakan diem sih? Tumben banget."
"Kamu nggak ada niat untuk berubah pikiran, Neng?"
"Soal apa nih?"
"Soal ketemuan itu."
"Sama Pipit?"
"Dia jauh lebih tua dari kamu, Neng. Panggillah Kak, Mbak, atau semacamnya."
"Cieee, nggak terima."
"Kamu kenapa sih, Neng?"
"Harusnya saya yang nanya, Kakak tuh kenapa sih? Mau ketemu mantan terindah bukannya seneng malah gelisah."
"Aku nggak gelisah, Neng. Dan dia bukan mantan terindah. Nggak ada lah kayak gitu. Aku cuma nggak paham, apa sebenarnya yang kamu inginkan dari pertemuanmu dengan dia."
"Dia? Dia siapa? Dia kan punya nama."
"Sudahlah, Neng. Nggak usah kekanakan begitu."
"Kakak masih ada rasa kan sama dia?"
"Nggak ada. Kamu boleh lihat mataku kalau tak percaya." Iqbal mendekat, mengangkat dagu Luli agar menatap tepat ke matanya.
"Aku sayang kamu, Neng. Aku cinta kamu. Apa masih ada keraguan di hatimu? Aku harus apa biar kamu percaya?"
Luli berusaha mengalihkan pandangannya. Ia tak kuat. Nyatanya ia tak menemukan sedikit pun kebohongan di mata suaminya.
"Aku belum menyuruhmu berpaling dari mataku, Neng." Iqbal meraih kedua pipi Luli, membawa kembali mata itu agar menatap pada matanya.
"Apa yang kamu inginkan dari pertemuan itu? Apa kurang penjelasanku padamu? Please, jangan melakukan sesuatu yang itu berpotensi menyakiti hatimu sendiri."
"Hati saya atau hati Pipit?"
"Kalian berdua. Tapi yang penting untuk kujaga adalah hatimu. Perasaanmu."
"Pipit?"
"Dia punya hati yang kuat. Dia tahu aku tak lagi punya kewajiban menjaga hatinya sejak hari aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Dia bukan seorang yang cengeng."
"Jadi Kakak menjaga hati saya karena saya cengeng? Nggak kayak Pipit?"
"Bukan! Aku menjaga hatimu karena kamu istriku. Kamu calon ibu dari anak-anakku, penerus nasabku. Kamu yang akan selalu ada buat aku. Kamu yang wajib untuk menerima kebahagiaan dariku. Bukan karena yang lain."
"Pipit?"
"Dia memang punya hati yang kuat, tapi bukan berarti aku boleh membiarkan dia terluka lagi karena aku kan, Neng?"
"Kakak masih sayang sama dia?"
Iqbal menggeleng.
"Kakak nggak pengen menjadikan dia yang kedua?"
"Zulfa! Maumu apa sih?! Jangan egois lah! Jangan memaksakan kehendakmu! Jangan memaksakan pendapatmu! Jangan ... Ah, sudahlah. Maafkan aku." Tak jadi melanjutkan ucapan. Ia memilih menekan emosi dan meminta maaf pada sang istri.
"Sudah sore. Kamu seharian belum istirahat. Tidurlah. Aku peluk dan temani. Nanti ba'da maghrib kita berangkat."
Direngkuhnya Luli ke dalam pelukan. Mengecup rambut istrinya dengan beribu pemakluman.
Ia lalu membopong Luli dan membaringkannya di atas tempat tidur. Menyorongkan lengannya untuk menjadi bantalan bagi kepala Luli.
"Saya sayang, Kak Iiq."
"Hemm."
"Kakak sayang sama saya?"
"Sangat."
"Cinta?"
"Banget."
"Kesal?"
"Sedikit."
"Gemes?"
"Banyak."
"Ceritain dong tentang Pipit."
"Kenapa ke situ lagi?"
"Kan katanya Kak Iiq sayang, cinta, gemes sama saya. Berarti kalau saya minta sesuatu ---"
"Oke. Aku cerita," sahut Iqbal dengan wajah dan suara yang sama-sama datar. Matanya menatap ke atas, ke langit-langit kamar.
"Pipit seumuran denganku. Kami kenal karena sama-sama anak magister geotek. Dia masuk saat aku sudah lulus. Dulu saat kuliah aku suka menulis tentang bidang yang aku tekuni, lalu aku share di blog. Termasuk saat kuliah S2. Pipit salah satu yang mengikuti tulisanku. Ketika dia kuliah magister di kampus yang sama denganku, dia mulai suka tanya-tanya lewat komentar di blog atau email.
"Anaknya pintar. Asik juga. Jadi suatu hari kuajak ketemuan. Kami diskusi tentang bidang yang sama. Lalu dia mengenalkanku pada kegiatannya mengajar anak-anak yang kurang beruntung. Kepribadiannya memang baik dan menarik. Karena aku lagi nggak jalan sama siapa-siapa, bulan kedua sejak kami ketemuan, aku menawarkan komitmen dengan dia. Kami jalan bareng.
"Seminggu sekali aku mengajaknya keluar untuk ngobrol. Aku selalu datang ke rumahnya, tapi tak pernah sekalipun ketemu bapaknya. Cuma ibunya. Sampai di bulan yang kelima, waktu aku mengantarnya pulang, aku ketemu bapaknya sekaligus kakaknya. Bukan dalam keadaan yang baik. Keluarganya sedang bertengkar hebat.
"Aku galau. Aku sudah merasa klik dengan Pipit, tapi keadaan keluarganya ternyata tak seperti idealisme dan prinsipku. Pada akhirnya, aku memilih bertahan dengan itu. Kami berpisah. Dia menerima dengan tabah.
"Cuma dia yang tahu alasan aku gonta ganti pacar. Aku ceritakan semua, karena memang kami masih sering ketemu meski sudah nggak bareng lagi. Ya, kami masih sering ketemu di rumah singgah.
"Aku jalan sama dia sudah empat tahun yang lalu. Selama itu pula kami masih sering ketemu, paling nggak sebulan sekali lah. Sampai akhirnya aku bertemu seseorang seperti yang selama ini aku cari, aku nanti. Kamu.
"Lagi-lagi aku ceritakan semua sama dia, bahwa aku sudah melamarmu, meminta izin pada orangtuamu untuk menikahi kamu. Dia memberikan doa buat aku, buat kita. Dia baik-baik saja, tapi aku tahu, tidak demikian dengan hatinya.
"Ternyata setelah itu dia mencari pekerjaan baru. Berusaha menjauh dariku, dari kita, juga dari keluarganya. Kemampuannya memang bagus, pun pengalamannya. Tak sulit buat dia mendapatkan tempat berkarir yang baru. Hanya saja aku sendiri tak menyangka akan sejauh itu.
"Seminggu sebelum kita menikah, dia pamit sekaligus minta izin menutup semua akses untuk kami berkomunikasi. Sampai kemarin kita tak sengaja melihatnya di kafe mamang. Dia tahu kebiasaan lebaran di keluarga abah, karena tentang itu aku memang pernah juga cerita. Kemarin adalah ketiga kalinya dia berada di sana saat aku sedang acara.
"Sama sekali tak terpikir olehku, bahwa lebaran kali ini dia masih akan datang ke tempat itu."
Iqbal diam, masih tak beranjak arah pandangnya dari plafon berwarna putih bersih dengan pendar lampu yang sama putihnya.
"Begitulah. Kamu yang minta aku untuk cerita. Kuharap kamu nggak ngambek, marah, atau hal-hal kekanakan lain setelahnya."
"Terus, Kak Iiq ---"
"Tidurlah. Aku tak akan menjawab apapun lagi."
Iqbal memejamkan mata. Masih tetap dengan Luli berbantalkan lengannya. Ia tidur. Melepaskan sejenak rasa lelah yang seharian ini melanda hatinya.
Luli menoleh, air matanya meleleh. Ia merasa bersalah, tapi hatinya tak mau mengalah. Pertemuannya dengan Pipit harus tetap terjadi. Walau ia sendiri tak tahu apa yang akan ia lakukan setelah berhadapan nanti.
Duh, Luli. Senang betul menyakiti diri sendiri.
***
Maghrib sudah setengah jam berlalu. Iqbal memacu mobilnya menuju stasiun Bandung. Musik yang biasa menemani kali ini sepi. Ia lebih banyak diam dan menghela napas berulang kali.
"Kak Iiq tegang ya?"
"Ya."
"Masih sayang?"
"Nggak."
"Nyesel putusin Pipit?"
"Dia jauh lebih tua darimu, Neng. Panggillah dengan panggilan yang semestinya. Aku tahu kamu bisa menempatkan diri dengan baik."
"Kakak marah sama saya?"
"Nggak."
"Kecewa?"
"Untuk hal ini, ya. Sedikit."
"Kak Iiq nanti mau ngomong apa sama dia?"
"Nggak ada. Aku nggak akan ikut obrolan kalian. Silakan kalian bicara berdua saja."
"Kok gitu?"
"Kan kamu yang menginginkan ketemuan sama dia. Bukan aku."
"Tapi kan saya mau ditemani ---"
"Nggak! Aku nggak akan menemani. Aku nggak pernah bilang akan menemani."
"Bilang aja kalau Kak Iiq grogi."
"Apapun pendapatmu, Neng. Insya Allah nggak akan merubah perasaan dan pandanganku terhadapmu."
"Tapi, Kak ---"
"Sudahlah, Neng. Jangan kayak anak kecil. Aku sudah mengusahakan kemauanmu sesuai kemampuanku. Dan kemampuanku cuma sampai di sini. Aku akan mengantarmu bertemu dengannya, tapi tidak menemani kalian bicara."
"Tapi ---"
"Silakan kamu bicara apa saja sekarang, aku dengarkan. Tapi satu hal, aku tak akan berubah pikiran."
Dasar Luli, ia tetap bicara. Mengatakan banyak hal tentang suaminya dan sang mantan. Sedang Iqbal tetap diam. Mati-matian menghalau ingatan saat-saat bersama Pipit yang tiba-tiba berkelebat begitu rupa.
Handphone Iqbal berdering, nama Pipit terbaca di layarnya. Ia angkat dan terlibat pembicaraan singkat. Seseorang di seberang memberitahu di mana mereka akan bertemu.
Mereka berdua tiba di parkiran stasiun. Tak banyak bicara, Iqbal menggandeng Luli seakan ingin menunjukkan padanya, juga setiap orang, bahwa ia begitu menyayangi sang istri.
Memasuki sebuah kafe, ia menemukan sosok yang dicari di pojok yang cukup tersembunyi. Ia membawa Luli ke sana, masih dengan jemari yang saling bertautan erat. Bahkan ketika telah sampai di hadapan seseorang dari masa lalunya.
"Assalamualaikum," sapa Iqbal. Satu senyum tersungging di wajahnya. Agak canggung, meski telah mencoba disembunyikan.
"Waalaikumussalam," jawab gadis bernama Pipit itu dengan pembawaan yang tenang.
"Hai, Pit. Ini istriku, Luli. Sebelumnya kami minta maaf. Dia ingin bertemu dan bicara denganmu. Aku sendiri tak tahu apa yang hendak dia bicarakan. Tapi aku tak akan turut dalam pembicaraan kalian. Aku menunggu di sana." Iqbal menunjuk meja yang kosong, asal saja.
"Oke. Dia aman bersamaku." Pipit mencoba mengikis canggung yang sama-sama terbaca.
Iqbal menjauh. Luli dan Pipit duduk berhadapan.
"Hai, Luli. Selamat ya. Kulihat Iqbal sayang sekali sama kamu. Kamu yang dia tunggu-tunggu selama hampir tiga puluh tahun hidupnya. Jaga baik-baik ya." Pipit memulai obrolan melihat Luli yang terlihat bingung hendak bicara apa atau dari mana.
"M-maaf. M-Mbak kok yakin sekali?"
"Iqbal cerita banyak hal kepadaku. Dulu, waktu dia baru saja melamarmu."
"Mbak nggak sakit hati? S-sedih mungkin?"
"Sedih mungkin iya. Sedikit. Tapi sakit hati nggak. Nggak ada hak dan kewajiban." Pipit tertawa kecil.
"Mbak nggak berharap balikan sama Kak Iiq?"
"Nggak. Kalau Iqbal mau, kami bisa saja balikan sejak dulu. Tapi aku memang bukan yang dia cari. Bukan yang dia tunggu. Aku tahu itu. Sangat tahu."
"Kak Iiq tahu?"
"Tentang apa?"
"Kalau Mbak masih mencintai dia."
"Apa ada kalimatku yang menyatakan kalau aku masih mencintai dia?"
"Eh, ng-nggak ada sih. Tapi dengan Mbak datang ke kafe waktu itu, rasanya sudah menunjukkan itu semua. Kata Kak Iiq itu kali yang ketiga Mbak berada di sana."
"Ah, ya ya. Kamu benar. Maaf, aku memang masih menyimpan itu semua. Walaupun aku tahu harapan itu sudah nggak ada, bahkan jauh sebelum dia jatuh cinta padamu."
"Menyimpan apa?"
Pipit tertawa mendengar pertanyaan Luli, "Masa iya harus aku jelaskan apa yang kusimpan. Mestinya kamu sudah tahu apa itu."
"M-maksud Mbak, menyimpan cinta kah? Menyimpan perasaan? Sama Kak Iiq?"
Pipit tertawa lagi, "Kamu lucu banget sih. Polos. Pasti juga manja. Persis seperti yang dia impikan selama ini."
"Dia siapa, Mbak?"
"Iqbal. Iqbal Sya'bani. Dia sering mengatakan padaku tentang perempuan seperti apa yang ia inginkan untuk menjadi istrinya. Dan aku lihat, semua yang dia sebutkan ada padamu."
"Bukan malah yang seperti Mbak ya?"
"Entah. Mungkin dulu dia sempat berpikir begitu. Tapi sejak kami tak lagi ada komitmen apapun, dia sering mengatakan tentang seperti apa perempuan yang ia idamkan untuk mendampingi hidupnya. Dan itu bukan aku.
"Dia selalu mengatakan dengan bercanda. Tapi aku tahu, itu salah satu caranya untuk mengatakan padaku agar aku tak lagi menyimpan harapan atau perasaan apapun padanya.
"Harapan memang aku sudah nggak ada. Tapi perasaan, rasanya masih sulit untuk kukeluarkan dari kotak penyimpanan di hatiku. Kamu tenang saja, aku tak akan mengganggu kebahagiaan kalian. Kuakui aku salah sudah datang di kafe itu kemarin. Setelah ini, aku akan menghilang dari kehidupan kalian."
"Nggak perlu begitu, Mbak."
"Iqbal bercerita banyak hal padaku setelah kami berpisah dulu. Tentang apa tujuannya punya pacar. Salah satunya untuk mengetahui kondisi keluarga seseorang, yang bersamanya dia hendak menghabiskan sisa hidup.
"Aku tak pernah bisa memilih siapa orangtuaku, atau di keluarga mana aku akan dilahirkan dan dibesarkan. Aku juga tak bisa apa-apa, ketika keluargaku harus dihantam masalah besar yang membuat semuanya hancur berantakan. Pun aku tak bisa memaksa, jika ternyata itu menjadi satu pertimbangan yang paling dia pegang kuat-kuat keharusannya.
"Dia pernah bilang, bahwa sesuatu yang mati-matian kita hindari, seringkali menjadi sesuatu yang oleh Allah justru didekatkan. Seperti peringatan, supaya kita tak berlebihan dalam menyikapi sesuatu hal.
"Iqbal kalau sudah punya prinsip susah dibelokkan. So, meskipun dia pernah bilang kalau dia senang bersamaku, itu tetap tak berarti apa-apa. Baginya, aku bukan perempuan yang layak untuk dia perjuangkan."
"Mbak nggak komplain waktu Kak Iiq mutusin Mbak?"
"Nggak."
"Terus, gimana perasaan Mbak waktu lihat Kak Iiq gonta ganti pacar?"
"Perasaanku bukan sesuatu yang penting untuk kamu ketahui. Lagipula, dia mau pacaran dengan siapa saja, itu hak dia."
"Mbak mau jadi yang kedua?"
"Maksudmu?" Kali ini Pipit benar-benar tak paham maksud pembicaraan Luli.
"Maksud saya, emm, jadi istrinya Kak Iiq yang kedua."
"Astaghfirullah hal adzim. Kamu jangan bodoh, Luli. Tak ada perempuan yang tanpa sebab apapun meminta perempuan lain menjadi istri bagi suaminya. Jangan sampai Iqbal tahu kamu bicara seperti ini. Aku tak tahu sebabnya, tapi Iqbal paling tak suka bicara tentang ketidaksetiaan atau pun hati yang terbagi. Dan menurutku, menjadi sesuatu yang mustahil ia melakukan itu bagi dirinya sendiri."
Cerita tentang abah, umi, dan ibu lantas menari-nari di benak Luli.
"Tapi seandainya Kak Iiq mau begitu. Apakah Mbak mau menerimanya?"
"Luli, kamu istrinya. Sudah semestinya kamu mengerti dan memahami apa yang menjadi keinginannya. Dan yang kamu tawarkan padaku ini sama sekali tak ada dalam kamus hidupnya, juga hidupku.
"Iqbal Sya'bani cuma bagian dari masa laluku. Sejak kejadian kemarin malam, aku tahu bahwa sudah tiba waktuku untuk melepaskan. Bagiku, ketika sesuatu terasa tak mungkin lagi diperjuangkan, maka melepaskan adalah hal terbaik yg bisa dilakukan.
"Aku minta maaf kalau keberadaanku mengganggu hubungan kalian. Aku minta maaf jika masa lalu menjadi sesuatu yang membuatmu tak nyaman, sedangkan aku menjadi bagian dari hal itu. Aku minta maaf untuk setiap hal yang mungkin ada peranku di dalamnya, dan itu menjadi sesuatu yang memicu ketegangan diantara kalian berdua. Aku minta maaf untuk semuanya.
"Jangan pernah melakukan itu lagi ya, Luli. Kamu juaranya, bahkan jawaranya. Karena tak cuma satu dua orang yang berharap menjadi pilihan bagi seorang Iqbal Sya'bani. Dan kamulah yang terpilih. Maka jadilah yang terbaik untuk dia."
"Apa memang sebanyak itu yang berharap menjadi pendamping Kak Iiq?"
"Mau bilang apa lagi? Kenyataannya memang begitu. Tanyalah setiap mantannya, pasti mau saja kalau diajak balikan sama seorang Iqbal Sya'bani. Iqbal itu kalau dengan perempuan sangat menghargai.
"Kami hampir enam bulan jalan, tak sekalipun dia pernah mencoba menyentuhku, meskipun kami hanya berduaan di mobil. Nggak juga bicara buruk apalagi kasar. Ya tentu saja asal kita juga baik dan menghargai prinsipnya. Tapi begitu ada yang mencederai prinsipnya, ya sudah, selesai."
"Mbak juga tahu kenapa Kak Iiq putus dengan mantan-mantan yang lainnya?"
"Hanya beberapa, tapi kurasa itu sudah mewakili semuanya. Kamu juga pasti sudah tahu lebih detail daripada aku."
Luli mengangguk.
"So, jadilah yang terbaik untuk dia. Karena Allah sudah memilih kamu untuk Iqbal, diantara sekian banyak lainnya."
Luli diam. Seseorang yang ia sangka diam-diam membencinya, justru menyadarkan dia akan posisinya di sisi Iqbal Sya'bani. Ia malu pada perempuan di hadapannya. Lebih dari itu, ia malu pada dirinya sendiri.
"Baiklah. Sudah jam sembilan, aku akan masuk ke peron. Jaga dirimu baik-baik, jaga Iqbal baik-baik, jaga anak-anak kalian baik-baik, jaga keluarga kalian baik-baik. Terima kasih sudah mau bertemu denganku. Dan sekali lagi aku minta maaf untuk banyak hal yang ---"
"Nggak, Mbak. Mbak nggak salah apa-apa. Saya yang kekanakan. Seharusnya saya tidak memaksa untuk ketemu sama Mbak, karena pasti akan menambah kesakitan dalam diri Mbak. Dalam hati Mbak."
"Siapa bilang? Aku sudah mengikhlaskan semua. Karena aku tak mau menyiksa diri, dengan menahan sesuatu yang sudah jelas-jelas bukan milikku lagi. Aku sudah memutuskan untuk melepaskannya. Melepaskan semua rasa.
"Bagiku, yang paling penting dia bahagia. Dan aku akan menemukan kebahagiaan lain. Kebahagiaan yang mungkin sedang menungguku, tapi tak terlihat olehku sebab tertutup oleh sesuatu. Sesuatu yang baru saja kulepaskan."
Dari tempatnya duduk, Iqbal memandang pada mereka. Dua perempuan yang menjadi masa lalu dan masa depan baginya.
Pipit mengangguk. Memberi kode pada Iqbal agar kembali membersamai Luli. Kode tersampaikan. Iqbal menuju meja tempat dua perempuan itu baru saja berbincang.
"Mbak, kita bisa berteman?" kata Luli pada Pipit, matanya melirik pada sang suami.
"Nggak perlu, Luli. Belum tentu kebaikan yang akan kita dapatkan dari pertemanan yang kamu tawarkan. Begini saja lebih baik. Aku akan pergi dari kehidupan kalian," ujar Pipit. Satu senyum ia berikan untuk meyakinkan Luli bahwa ia benar-benar tak berkenan.
Pipit berdiri, Luli mengikuti. Mereka berjabat tangan erat. Luli mencondongkan badan pada perempuan di hadapan. Ia memeluk Pipit, terisak-isak di pundak gadis itu. Di belakangnya, Iqbal melihat dengan kelu.
Pipit berpamitan, menggendong ranselnya dan siap melangkah pergi dengan hati yang lebih ringan.
"Pit," panggil Iqbal.
Pipit menghentikan ayunan kakinya dan menoleh. Kedua pasang netra beradu pandang. Pipit mencoba tetap tersenyum, tapi nyatanya di depan Iqbal ia tak bisa. Ia membuang muka, begitu pun laki-laki di hadapannya.
"Di manapun kamu berada, kamu harus bahagia," pesan Iqbal padanya.
Gadis itu diam. Air mata yang sedari tadi tak ada meluruh seketika, tetap tanpa suara. Ia tak berusaha menyembunyikan, hanya mengangguk, lalu membalikkan badan. Bersiap melanjutkan langkahnya.
"Assalamualaikum," pamitnya. Ia belum beranjak, menunggu seseorang dari masa lalu menjawab salamnya.
"Waalaikumussalam."
Pipit menggenggam erat tali sling bag-nya. Ada yang nyeri. Bisa jadi ini terakhir kalinya ia mendengar suara seorang Iqbal Sya'bani.
Tanpa menoleh lagi, gadis itupun melangkah pergi.
Luli mengambil dan menggenggam erat tangan suaminya. Iqbal diam,memandangi dari belakang hingga seseorang dari masa lalu itu menghilang. Mungkin untuk selamanya.
Luli melingkarkan lengan ke pinggang suaminya, "Saya bisa memaklumi kalau Kakak masih punya rasa sayang sama Mbak Pipit. Dia pantas mendapatkannya."
Bukan sayang, hanya empati dan respek pada gadis sebaik dia.
Hanya berucap dalam hati. Merasa tak perlu untuk Luli ketahuizkarena sudah ia katakan berulang kali.
Iqbal merangkul Luli untuk meninggalkan tempat itu.
"Sekarang saya tahu kenapa Kak Iiq bisa klik dengan Mbak Pipit."
Mobil meninggalkan parkiran, Luli memulai obrolan.
"Itu sudah nggak penting, Neng."
"Karena Mbak Pipit punya kepribadian yang kuat."
Iqbal hanya diam.
"Saya juga tahu kenapa Kakak seperti susah move on dari Mbak Pipit."
"Aku sudah move on, Neng."
"Karena Mbak Pipit melepas Kak Iiq dengan baik. Orang kalau dibaikin gitu kan malah jadi susah lupa." Luli tetap menjawab tanpa diminta.
"Sudahlah, Neng. Kita hanya harus bersyukur, bahwa kita ini sama-sama orang baik, sehingga kita dicintai oleh orang-orang yang juga baik. Kamu, ada Angkasa, sosok baik yang juga mencintaimu dengan baik. Aku pun sama."
"Hah? Sama? Maksudnya Andro mencintai Kak Iiq juga gitu?"
"Astaghfirullah hal adzim. Luliiii...."
-------
Di peron stasiun Bandung, seorang gadis 28 tahun melangkah menaiki gerbong kereta api. Ia mendudukkan dirinya di sisi dekat jendela. Dirogohnya sling bag, mengambil gawai dan earphone. Lalu satu lagu mengalun mengisi gendang telinga, juga relung hatinya.
Kereta mulai bergerak meninggalkan kota kembang. Pada gelapnya malam netranya memandang. Pipit menghapus air mata yang menggenang.
Biar aku melangkah
Menemani bintang menerangi malam
Jangan resahkan aku
Yang penting bahagia
Untukmu selalu kasihku
***
Duh, lagunya sedih banget yaaa. Setidaknya buat aku. Ini lagunya Lingua tahun 1998, dibawain ulang sama Kahitna tahun 2010. Tapi aku lebih suka versi Lingua, soalnya lebih dapet sedihnya. Hehe...
Lagu ini yang sering aku dengerin waktu aku memutuskan berhenti dan melepaskan setelah delapan tahun penantian. Itu sekitar lima belas tahun lalu. Sampai sekarang kalau dengar lagu ini aku masih suka tiba-tiba netes air mata.
Bukan, aku bukan sedih. Sebaliknya aku justru bersyukur. Bersyukur karena dikasih kesempatan untuk memiliki kisah yang memberiku banyak pelajaran. Karena memang dari situ aku belajar banyak hal tentang melepaskan. Mengikhlaskan. Seperti Pipit.
Karena, ketika sesuatu terasa tak mungkin lagi diperjuangkan, maka melepaskan adalah hal terbaik yg bisa dilakukan.
Duh, kok jadi melow. Udah dulu lah ya. Maafkan kalau part ini sungguh menguras air mata(ku). Terima kasih sudah membaca dan menerima curhatku. Hehe...
Sampai jumpa.
Semarang, 16102020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top