Part 27.

Pulang sana. Minta maaf sama istrimu. Nggak harus siapa yang salah dia yang minta maaf. Minta maaf duluan insya Allah lebih mulia.

- kata Acha (lagi) -

***

Sudah menjadi kebiasaan keluarga Sudjana untuk berhari raya di rumah orang tua abah di Bandung. Setelahnya baru ke rumah abah kakung di Pemalang. Menginap beberapa malam, sebelum kemudian pulang ke Semarang.

Lebaran kali ini menjadi istimewa bagi Iqbal. Untuk pertama kalinya ia menggandeng pasangan halal di hadapan saudara-saudaranya. Cara Iqbal menunjukkan sayang dan perhatiannya pada Luli sampai membuat baper sepupu-sepupu, bahkan ua, mamang dan bibi-bibinya.

Nyatanya ia memang bahagia. Ngambekan iya, manjanya pun luar biasa. Tapi pelayanan Luli selama bulan puasa sungguh membuat Iqbal tak bisa untuk tak jatuh cinta setiap hari padanya.

Luli sendiri tetap berpuasa, walau beberapa kali terpaksa harus membatalkan karena kondisi. Tapi dasar Luli, ia tetap menolak untuk dicek kondisinya. Sedangkan Iqbal, ia berkeras bahwa Luli hamil meski tanpa pemeriksaan apapun yang memberinya kepastian.

Iqbal sudah berhenti memaksa Luli. Ia hanya meminta sang istri menjaga kondisi. Ia sendiri makin sayang dan sangat berhati-hati memperlakukan Luli.

Mereka sudah bicara banyak dari hati ke hati. Iqbal tahu, sesungguhnya Luli belum siap. Benaknya dipenuhi imajinasi akan kesulitan dan hal-hal berat yang mesti ia lalui jika hamil dalam kondisi masih kuliah. Iqbal bisa memaklumi.

Seperti biasa, setiap H+2 lebaran, keluarga besar abahnya Iqbal selalu mengadakan acara kumpul keluarga. Aki dan anak, cucu, mantu dari eninnya semua berkumpul di cafe & resto milik salah satu adik abahnya. Iqbal dan Luli tentu saja tak ketinggalan. Acara ini pula menjadi ajang untuk memperkenalkan lebih dekat anggota keluarga baru, yang sudah halal tentu.

Iqbal dan Luli pastilah menjadi pusat perhatian. Karena di mana pun Iqbal berada, ia hampir selalu menjadi kesayangan dan idola. Pun di tengah-tengah keluarga abahnya.

Menjelang maghrib acara baru selesai. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Iqbal tak langsung pulang, ia memilih untuk salat maghrib di sana dan menikmati suasana. Bedanya, kali ini ia tak lagi sendiri. Ada Luli yang menemani.

Entah mengapa ia sangat suka dengan suasana kafe milik mamangnya itu. Terutama di area balkon yang semi terbuka. Semilir angin yang menembus pori-pori kulitnya menguarkan aroma Bandung yang kental, begitu kata Iqbal.

"Kak, dingin. Kita pindah ke dalam aja yuk," keluh Luli.

Iqbal tak membiarkan sang istri mengeluh dua kali. Ia memanggil salah satu kru kafe dan meminta tolong untuk memindahkan makanan dan minuman ke salah satu meja di area dalam.

"Udah nggak dingin kan, Neng?" Luli mengangguk. Iqbal menggenggam jemari istrinya dan mengelus lembut dengan satu tangan lainnya.

Kopi hitam panas di hadapannya masih tersisa separuh, ketika pandangannya bertumbukan dengan satu sorot mata yang masih begitu lekat dalam ingatan.

Pipit.

Iqbal terkejut. Ia serta merta membuang pandang. Begitu pula perempuan yang baru saja bersitatap dengannya, dia menundukkan wajah dalam-dalam.

Semua terjadi dalam hitungan detik. Tapi bertepatan pula dengan mata Luli yang sedang tak lepas memandang kagum pada wajah suaminya. Maka tak bisa dihindarkan, ia melihat perubahan raut wajah pria tampan di depannya.

Luli mengarahkan kedua netra pada apa yang baru saja membuat suaminya berubah seketika. Pandangannya tertuju pada seorang gadis dengan penampilan yang anggun. Mata mereka sempat beradu, Luli menemukan kelembutan pada kedua mata yang baru saja menatapnya. Kelembutan sekaligus ... luka.

"Neng, kita pulang sekarang."

Iqbal sudah berdiri, itu berarti tak ada kesempatan lagi untuk merengek atau semacamnya bagi Luli. Ia sudah hafal, jika Iqbal berdiri, maka satu yang ingin ditunjukkannya adalah dominasi. Apalagi meninggalkan makanan atau minuman yang belum pula tandas itu bukan kebiasaan suaminya. Sudah jelas, Iqbal tak menerima bantahan.

Luli terpaksa berdiri. Dengan kewalahan mengikuti langkah lebar suaminya. Ia tersengal. Dan setelah mobil meninggalkan area parkir, semua baru disadari oleh Iqbal.

"Eh, k-kamu nggak apa-apa kan, Neng? Baik-baik aja kan?"

Kesempatan bagi Luli untuk ngegas.

"Baik-baik saja gimana?! Kak Iiq jalan cepet banget, saya sampai rasanya pengen pingsan. Kenapa sih sampai segitunya? Sampai lupa kalau kondisi fisik saya lagi nggak baik-baik saja. Memangnya perempuan tadi siapa? Sampai bikin Kak Iiq berubah gitu aja."

"P-perempuan yang mana?"

"Udah deh nggak usah bohong. Sampai gugup segala. Mantan ya? Mantan terindah?"

"B-bukan, Neng. Eh, i-iya. Mantan."

"Terindah kan?!"

"Nggak. Nggak ada itu mantan terindah atau apa. Sudah, nggak usah dibahas."

"Nggak bisa. Justru ini kudu dibahas. Biasanya Kakak yang bilang kalau saya harus kuat ketemu mantannya Kakak. Saya juaranya lah, saya yang memenangkan hati Kakak lah, apalah. Kenapa sekarang malah Kak Iiq sendiri yang nggak kuat ketemu mantan?"

Jleb! Pertanyaan yang begitu menohok bagi seorang Iqbal.

"Oke. Namanya Pipit. Aku sudah pernah ceritakan tentang dia ke kamu. Dia yang sekarang di Balikpapan."

"Nah, bener kan. Mantan terindah kan. Kakak masih suka ya, sampai ketemu mata aja nggak kuat. Ckckck. Luar biasa."

"Nggak usah nyindir gitu kenapa sih, Neng? Aku cuma nggak ingin membuat hatinya makin sakit dengan melihat kita lebih lama lagi. Aku milikmu, Neng. Cuma milikmu. Hanya saja, kadang ada hati yang harus kita jaga."

"Kakak nggak ingat waktu saya mau ngejar Andro di lab waktu itu. Terus Kak Iiq bilang, 'Ada hatiku yang lebih wajib kamu jaga.' Kakak lupa? Sekarang ini juga ada hati saya yang seharusnya lebih Kakak jaga. Kak Iiq tuh egois. Cuma mikirin diri sendiri."

"Oke. Aku salah. Aku minta maaf. Nggak usah bawa-bawa Angkasa."

"Gitu ya, gampang banget minta maaf. Kakak nggak ngerti apa kalau saya juga sakit hati." Luli menangis, ia kesal. Teramat kesal.

"Bukan begitu, Neng. Tolonglah mengerti. Aku cuma---"

"Oke, saya udah ngerti. Dia masih punya tempat Istimewa di hati Kak Iiq."

"Neng, dengar dulu penjelasanku."

"Penjelasan apa lagi?! Udah jelas semuanya!"

"Neng, please. Dengarkan aku, sekali ini saja."

"Memang selama ini saya nggak pernah dengerin Kakak? Gitu lho bilang udah nggak ada sesuatu yang istimewa. Cuma ketemu pandang sedetik sama mantan terindah langsung semua yang udah saya lakuin ilang di mata Kak Iiq."

"Terserah kamu sajalah, Neng."

"Ya Allah, Kak, sakit banget. Baru kali ini lho kakak ngomong gitu ke saya."

"Ya aku harus bilang apa? Semua salah di matamu. Kamu bahkan nggak mau dengerin dulu penjelasanku."

"Ya memang nggak ada yang perlu dijelasin. Semua udah jelas. Buktinya kalau biasanya kakak selalu nyuruh saya kuat setiap ketemu mantannya Kak Iiq, tapi sekarang, apa? Kak Iiq kan yang nggak kuat ketemu mantan. Apa namanya kalau bukan dia masih punya tempat istimewa?!" Luli mengulang lagi pendapatnya.

"Jadi aku harus gimana biar kamu percaya kalau aku nggak seperti itu?"

"Kita balik ke kafe, kenalin saya sama mantannya kakak yang itu tadi."

Tak bicara apapun, Iqbal langsung putar balik. Sepanjang perjalanan ia hanya diam. Begitu pun Luli. Ia bungkam, hanya berkali menyeka matanya yang berkali pula kembali basah.

Sampai di kafe, mereka sudah tak menemukan sang mantan bernama Pipit tadi. Luli marah-marah lagi. Iqbal diam saja, tapi sebenarnya merasa lega. Dia memang hanya tak tega Pipit terlalu lama melihatnya bersama Luli. Kasihan. Pipit terlalu baik untuk merasakan sakit hati lebih lama lagi.

"Kakak seneng kan saya nggak jadi ketemu sama mbaknya?"

"Terserah penilaianmu saja."

"Kakak udah dua kali lho bilang begitu ke saya."

"Tidurlah. Kamu butuh istirahat. Terutama hatimu."

"Ngomong gitu jangan sama saya, tapi sama diri Kakak sendiri. Hati Kak Iiq yang nggak bisa move on itu yang butuh istirahat. Saya benci sama kak Iiq!"

Iqbal bergeming. Tak sedikit pun berusaha membujuk luli. Luli diam. Dia marah. Menangis.

Sampai di rumah, mereka berdua masuk ke kamar. Iqbal hanya di dalam sebentar, lalu keluar lagi untuk ikut ngobrol bersama abah dan kakak-kakaknya.

Luli mengeluarkan gawainya, hendak melarikan diri dari segala kekesalan yang melanda. Ia menggulir layar, melihat pesan-pesan yang belum sempat dibaca. Satu nama ia temukan, ia memilih untuk membuka pesan itu paling dahulu.

[Selamat Idul Fitri, Zulfa. Maaf lahir batin. -Andro-]

Sayangnya Luli tak cuma membalas pesan itu. Ia dengan sengaja dan dengan kesadaran penuh malah curhat pada seseorang, yang kepadanya Iqbal begitu cemburu.

Mereka berbalas pesan cukup lama, hingga Luli tertidur dengan ponsel yang masih terbuka pada obrolannya dengan seorang Angkasa Andromeda.

Hampir jam sembilan Iqbal masuk ke kamar. Melihat Luli tertidur dengan HP di tangan, ia yang sudah sedikit tenang bermaksud memindahkan gawai itu ke meja. Hatinya panas seketika begitu menemukan obrolan Luli dengan Andro.

[Zulfa sudah tidur]

Balas Iqbal pada Andro. Tak ada balasan lagi meski tulisan online tampak di bawah nama Angkasa Andromeda. Sepertinya yang di seberang sana tahu, siapa yang baru saja membalas pesannya.

Iqbal duduk di dekat kaki Luli. Menahan emosi yang mendadak menanjak tinggi. Luli terbangun sebab merasa ada yang memberati bednya.

"Eh, HP saya mana?"

Kalimat pertama yang keluar dari bibir Luli bagai ujian kesabaran untuk sang suami. Iqbal menghela napas panjang, tangannya mengepal menahan amarah. Beruntung, ia ingat untuk bersabar. Lalu memilih memperbanyak istighfar.

"Kamu perempuan bersuami, Neng. Nggak seharusnya curhat sama laki-laki lain. Apalagi dia menyimpan perasaan sama kamu. Dan kamu sedang dalam kondisi marah, kesal, emosi. Kamu bisa kehilangan kendali, lalu membuka setiap aibku sebagai suami.

"Kita pulang ke Semarang. Sekarang!"

"Nggak mau! Udah malem. Ntar Kak Iiq ngantuk di jalan malah bahaya." Luli menolak.

"Kita bisa istirahat di mana saja."

"Nggak! Saya nggak mau!" Luli masih bertahan pada maunya.

"Kamu nggak ada niat minta maaf sama aku?"

"Kenapa yang salah mesti saya?" Luli tak terima.

"Oke. Yg harus kamu tahu, saya nggak ridho sama kamu malam ini, Zulfa. Sampai kamu mau saya ajak pulang ke Semarang."

Iqbal keluar. Ia melipir melalui pintu samping. Meninggalkan rumah abah dan pergi ke rumah kakaknya, Acha. Tanpa Luli.

Abah punya rumah di Bandung. Rumah yang dulu ditinggali oleh ibu. Di sanalah mereka tidur setiap kali berkunjung ke Bandung. Rumah Acha tak jauh dari sana, masih di wilayah yang sama, hanya berbeda gang saja.

"Assalamualaikum," sapa Iqbal begitu kakaknya membukakan pintu.

"Waalaikumussalam. Kamu kenapa, Dek? Mukamu kusut gitu. Zulfa mana?"

"Nggak apa-apa, Teh. Iiq izin tidur sini ya."

"Kalian berantem?"

Iqbal tak menjawab. Tapi Acha tahu, ada sesuatu yang tidak baik-baik saja diantara mereka berdua. Sejauh pengetahuannya, Iqbal tak pernah ikut marah setiap kali Luli marah. Yang ada ya Luli ngambek atau marah, sedang Iqbal menghadapi dengan sabar, tenang dan penuh kasih sayang.

Adiknya itu juga hampir tak pernah meninggalkan Luli, ia bahkan tak mau jauh-jauh dari sang istri. Tapi tidak kali ini. Bahkan sampai dibelain pisah tidur segala.

Acha tak bertanya lagi. Dia cuma menawarkan kopi hitam, itupun ditolak oleh Iqbal. Adik bungsunya itu hanya minta izin ke lantai dua.

Acha menyusul tak lama kemudian. Membawakan selimut dan termos kecil berisi susu cokelat hangat untuk Iqbal yang sudah terlihat pulas di sofa ruang baca.

Dinyalakannya pendingin udara, menyelimuti Iqbal dengan selimut lembut warna hijau tua. Ia lalu mengetik pesan untuk adik iparnya.

[Dek Zulfa, ini Dek Iiq tidur di rumah teteh. Kamu istirahat ya. Mungkin kalian berdua sama2 capek shg emosi yg lebih mendominasi]

[Apa kak iiq cerita sm teh acha?]

[Nggak. Tapi mukanya dek iiq menunjukkan kl lg ada yg nggak beres diantara kalian berdua. Teteh nggak mau ikut campur, cm bisa menyarankan kalian utk istirahat. Pikiran yg longgar akan lebih baik untuk bicara sesuatu yg serius. Kamu tidur ya, Dek]

Luli tak enak hati. Ia pun tak berani keluar dari kamar, padahal perutnya sudah berteriak-teriak minta diisi.

Acha hendak turun lagi. Dipandanginya wajah sang adik yang selalu ia sayangi, yang malam itu terlihat begitu lelah. Acha membelai rambut Iqbal, lantas mengecup keningnya.

Iqbal terbangun. Ia tersenyum pada kakaknya.

"Makasih, Teh."

"Maaf, jadi bangunin kamu, Dek."

"Nggak apa-apa, Teh. Iiq memang baru tidur-tidur ayam. Udah dimerem-meremin tapi nggak pules-pules juga."

"Kalian berantem?" tanya Acha lagi. Iqbal mengangkat bahu.

Acha duduk di sofa yang sama, meraih kaki adiknya hendak memijat telapak serta jari-jari kakinya. Iqbal menolak, ia menarik kakinya dari tangan sang kakak.

"Nggak usah, Teh. Makasih. Bang Erik ke mana?"

"Tidur. Kalau anak-anak minta tidur sama ayahnya, ya udah ayahnya ikut bablas. Kadang malah dia yang pules duluan." Mereka tertawa.

"Nih, diminum susu cokelatnya." Iqbal menyambut termos kecil dari tangan kakaknya. Meneguk isinya hingga tersisa sepertiga.

"Aku ketemu mantan. Heran. Udah jauh sampai Bandung juga masih aja ketemu mantan." Iqbal bercerita tanpa diminta.

"Memang mantan yang ini beda. Aku putusin dia gara-gara keluarganya nggak sesuai kriteria yang kutetapkan. Aku nggak mau kejadian seperti abah dengan ibu dulu. Sakit, setiap kali lihat umi cuma jadi bayang-bayangnya ibu."

Diam sejenak. Iqbal menghela napas. Acha pun sama. Keempat kakak Iqbal sudah mendengar sendiri ceritanya dari abah dan umi. Baru dua hari lalu, sore setelah salat id dan mengunjungi makam ibu. Iqbal tak hadir waktu itu, ia sengaja menghindar karena tak mau dianggap sebagai pahlawan dan semacamnya.

"Sayangnya, dari banyak mantan memang cuma dia yang sempat masuk ke hatiku. Dan kami masih sering bertemu setelahnya. Dia yang ngajakin Iiq ikut ngajar di rumah singgah, Teh.

"Sampai Iiq melamar Luli, kami kadang masih ketemu di rumah singgah. Dia pamit seminggu sebelum Iiq nikah. Pindah kerja ke Balikpapan. Sengaja menjauh dari Iiq karena nggak siap menahan sakit yang lebih lagi kalau lihat Iiq dan istri. Kalau tetap di Semarang, kemungkinan untuk bertemu tentu lebih besar. Dia pergi. Semua kontak dia ganti. Tapi ada satu kebiasaan yang belum dia ganti."

"Yaitu?"

"Ini lebaran ketiga setelah kami saling kenal. Iiq memang pernah cerita tentang kebiasaan kumpul keluarga aki, kapan dan di mananya dia tahu. Dan tiga kali lebaran pula dia nungguin Iiq di kafenya mamang setiap tanggal 3 Syawal."

"Sampai segitunya?"

"Iya, Teh. Dan Iiq nggak nyangka kalau hari ini dia melakukan hal yang sama. Aku aja nggak kepikiran sama sekali dia akan ke sini. Apalagi aku sudah punya istri. Kalau tahu dia ada di sana, pasti aku nggak akan tinggal di kafe mamang lebih lama. Mending langsung pulang seperti lainnya."

"Kenapa Dek Zulfa marah?"

"Karena aku langsung berubah, Teh. Aku kaget. Dan panik. Bukan apa-apa, aku bener-bener cuma merasa iba. Iiq tuh nggak tega kalau dia menahan sakit lebih banyak lagi melihat kami berdua, meski itu resiko dia sendiri.

"Qodarullah, Luli pas lihatin aku. Jadi dia lihat dengan jelas perubahan mukaku, Teh. Ya gimana? Nyatanya aku nggak bisa berkelit kan.

"Yang lebih ngeselin lagi, Luli marah dan minta dikenalin sama si Pipit ini. Kan konyol. Terus kalau udah kenal juga mau apa coba? Nggak ada kan. Malah jadi nyakitin hati masing-masing."

"Dia yang cemburu, kamu yang pergi ninggalin dia ke sini? Yang bener aja, Dek? Nggak biasanya kamu mengedepankan emosi gitu. Mana Iqbal Sya'bani yang selalu sabar ngadepin istri?"

"Dia curhat sama temannya, Teh. Tadi sampai rumah aku tinggal keluar, ngobrol sama abah dan A Ican. Jam sembilanan aku masuk, dia ketiduran pegang HP. Pas mau Iiq taruh ke meja, chatnya kebuka. Ternyata dia lagi curhat sama temennya. Mahasiswanya Iiq juga."

"Cewek?"

"Kalau cewek Iiq nggak akan semarah ini, Teh. Cowok! Dan dia ada hati sama Luli. Dua tahun. Mana Luli pakai bilang kalau Iiq mantannya banyak lah, jalan ke mana-mana ketemu mantan lah, apa lah. Kan kesel, Teh. Tapi mau marah ya gimana, dia kan memang masih muda banget, masih labil. Ditambah lagi Iiq yakin kalau dia lagi hamil."

"Cieee, anak bungsu abah kalau cemburu gini ya ternyataaa."

Bukan membesarkan hati adiknya, Acha malah menggoda. Iqbal cemberut, yang malah ditarik mulutnya oleh sang kakak.

"Hih, gini ya. Kalau curhat sama Teh Acha mah dapetnya bully. Nyesel Iiq."

"Ya kamu kalau curhat disayang-sayang yang ada makin manja dan ngerasa bener sendiri sih. Apal banget! Teteh kan yang paling lama ngadepin kamu. Wuuu." Sekali lagi Acha membuat dongkol adiknya. Mendorong jidat Iqbal dengan telunjuknya sambil tergelak.

Iqbal memang kesal, tapi amarahnya justru menguap entah ke mana. Ia merasa hatinya jauh lebih baik dari sebelumnya.

"Kamu cuma harus percaya sama Dek Zulfa. Dia anaknya polos gitu. Teteh yakin hatinya cuma buat kamu. Kalaupun dia curhat sama teman cowoknya, itu karena dia belum mahir mengelola emosi, dalam hal ini emosi sebagai seorang istri.

"Itu tugas kamu sebagai suami. Istri itu bagaimana suaminya kok, Dek. Soal itu, teteh yakin kamu sudah dapat banyak masukan ilmu. Tinggal praktekinnya aja. Dan malam ini, sorry, aku bilang kamu gagal mempraktikkan ilmu sabar.

"Atau jangan-jangan ...."

"Apaaa?!"

"Dih, ngegas. Jangan-jangan kamu memang masih ada rasa sama si Pipit Pipit itu? Hayooo ngakuuu!"

"Astaghfirullah hal adzim. Teteh kok nggak percaya sih sama Iiq. Teteh kenal baik kan sama aku. Aku nggak seperti itu, Teh."

"Oke. Kamu pengin Dek Zulfa percaya sama kamu?"

"Iya pasti lah, Teh."

"Ya sudah. Kamu harus percaya dulu sama dia. Pulang sana. Minta maaf sama istrimu. Nggak harus siapa yang salah dia yang minta maaf. Minta maaf duluan insya Allah lebih mulia."

"Iya, Teh. Padahal aku tadi udah jengkel banget. Aku ajak dia pulang ke Semarang malam ini juga. Tapi dia ngebantah, alasannya aku belum istirahat seharian, kalau nyetir ngantuk malah bahaya."

"Iya bener dong. Lagian ngapain juga tiba-tiba ngajakin pulang. Labil banget sih. Di depan teteh atau kakak yang lain sih kamu boleh-boleh aja labil dan kekanakan. Tapi nggak gitu dong di depan istri. Harus tau situasi dan kondisi.

"Pulang dulu sana gih. Kalau mau tidur sini, ajak Dek Zulfa. Kayak betah aja tidur sendiri. Itu tadi nggak bisa-bisa tidur kan karena nggak ada yang dipeluk. Mbok kira aku nggak ngerti apa. Huuu, dasar Iqbal sya'karepe dewe!!" Lagi, Acha menoyor kepala adiknya. Iqbal kesal, ia balas dengan melempar bantal.

Jam sebelas malam Iqbal pulang ke rumah abah. Ia masuk kamar dan menemukan Luli yang masih terjaga.

"Kamu belum tidur?"

"Nggak bisa tidur, Kak."

"Kenapa?"

"Kakak nggak ridho sama saya, gimana saya bisa tidur. Saya ingat Nara, waktu lagi berantem sama Mas Fikar, terus Mas Fikar kecelakaan. Pas dia sampai depan ruang operasi, ada jenazah yang didorong, dia kira Mas Fikar yang meninggal. Dia histeris banget. Ternyata dia takut kalau Mas Fikar meninggal, sedangkan mereka lagi dalam keadaan berantem. Dia kuatir Mas Fikar dalam keadaan nggak ridho atas dia." Luli nyerocos bagai tukang obat. Padahal nggak ada yang nanya.

"Saya kepikiran. Apalagi Kak Iiq jelas-jelas bilang kalau nggak ridho sama saya." Luli menghapus air mata yang menetes begitu saja.

Iqbal luluh. Ia mendekat dan memeluk Luli erat.

"Maafin aku ya, Neng."

"Maafin saya juga ya, Kak. Saya nggak ngobrol apa-apa lagi kok sama Andro. Udah saya hapus semua. Saya blokir juga nomor HPnya."

"Ssstt. Udah, nggak usah bahas dia dulu. Kamu masih belum mau pulang ke Semarang sekarang?"

"Terserah Kak Iiq aja."

"Oke. Aku salat dulu, setelah itu kita pulang."

"Tapi saya lapar, Kak."

"Astaghfirullah. Aku lupa kamu belum makan. Tunggu, biar aku ambilkan."

Iqbal keluar, lalu kembali membawa nasi dan udang goreng tepung. Semangkuk sup tampak bersisian dengan teh yang masih mengepulkan asap. Kemudian dengan telaten ia menyuapi Luli. Dan seperti beberapa hari terakhir ini, Luli minta tambah satu piring lagi. Memang hamil kayaknya ini.

Setelahnya salat delapan rakaat ditambah tiga witirnya. Iqbal menyambung dengan untaian doa. Cukup lama.

"Kamu kuat nggak pulang ke Semarang sekarang?"

"Nggak tahu. Tapi saya masih suka di sini sih. Enak suasananya. Adem. Saya seneng di sini."

"Ya udah, nggak usah pulang aja kalau gitu. Kita tidur yuk."

Iqbal naik ke pembaringan. Merebahkan diri di samping istrinya. Ia menoleh, memandang dalam-dalam pada mata Luli.

"Maafkan aku ya, Neng. I love you."

Luli tak menjawab. Ia justru meringis sambil memegangi perutnya. Iqbal bergegas bangun dari rebahnya, mencari minyak kayu putih untuk membalur perut sang istri.

"Kamu kenapa, Neng? Masih kekenyangan kah? Apa kepedesan? Tapi tadi nggak ada sambelnya kok."

"Aduh, Kak. Perut Luli sakit banget. Aduh. Sakit, Kak."

Luli diam, merasa ada cairan yang membasahi pakaian dalamnya.

"Kok kayak haid ya?"

Aduh, jangan, ya Allah. Saya mohon. Biar Luli hamil aja.

Luli hendak berlari ke kamar mandi, tapi sakit di perutnya membuatnya tak sanggup berdiri.

Iqbal buru-buru menopang istrinya. Mengembalikan Luli pada posisi berbaring. Ia lalu mengambil gawai dan menghubungi Acha.

"Teh, Luli sakit perut. Ada darah, katanya kerasa seperti haid, tapi dia sampai nggak kuat berdiri. Teteh ke sini ya, antar Iiq bawa Luli ke rumah sakit."

"Oke, pakai mobil teteh. Kamu langsung keluar.."

Iqbal bergegas memakaikan outer dan jilbab untuk Luli. Lalu menggendongnya keluar. Mereka sampai di teras tepat saat Acha menghentikan mobilnya di depan rumah. Acha turun dan membuka pagar.

Luli tak berhenti mengaduh. Keringat dingin keluar dengan deras. Mukanya pun memucat.

Iqbal mendudukkan Luli di baris belakang CRV hitam milik Acha. Ia berlari secepat kilat untuk menutup pintu dan pagar.

"Dek, mau ke mana? Kayak maling aja." Suara umi terdengar dari dalam.

"Maaf, Mi. Mau ke rumah sakit. Darurat." Iqbal tak jadi menutup pintu. Ia langsung melesat keluar dan menutup pagar.

"Astaghfirullah hal adzim, jawab dulu yang bener pertanyaan umi, Deeek. Mau ke manaaa?!" Umi ngegas. Menyusul ke pagar, diikuti abah dan Ihsan yang terbangun karena teriakan umi.

"Nanti Acha kabarin, Mi. Zulfa darurat," teriak Acha melalui jendela mobil yang terbuka, lalu menginjak pedal gas tanpa permisi.

"Ya Rabbi. Laa hawla wa laa quwwata illa billah. Icaaan, keluarin mobil!! Kita kejar mereka!!"

***

Duh, Luli kenapa nih? Huhuhu...
Tapi kehebohan umi bikin huhuhu jadi hahaha deh yaaa.

Ada yg penasaran si mantannya Iiq yg namanya Pipit nggak? InsyaAllah besok kita bahas deh.

Btw, nama Pipit tuh terlintas begitu saja. Pas nyari nama trus kepikiran, "Kenapa nggak pake namaku aja, kan mayan, ngerasain jadi mantan (terindah) si Iqbal."
*fyi, Pipit itu salah satu nama panggilanku yg paling banyak dipakai.
Pas ngebayangin jadi si Pipit Pipit ini, terus ngelihat Iqbal mesra-mesraan sama Luli, aku sedih sendiri lhooo. Mungkin karena pernah berada di posisi yg sama. Eaaak.
*curhat maning lah kiyeee

Trus jadi ada soundtracknya dong yesss. Lagunya Armand Maulana dari album solonya di tahun 1993 (ada di media ya, yg paling atas, di atasnya judul). Dari jaman dulu sampai sekarang aku tetep suka. Judulnya Julia. Relate banget lah sama apa yg dialami si Pipit Pipit ini.

Jiahaha, halunya nggak tanggung-tanggung mba'eee, sampai pakai soundtrack segala :D

Okelah kalau begitu.

Eh iya, yg udah baca Mendadak Mama bolehlah ikut meramaikan seru-seruan di instastory-ku. Follow juga ig-ku yaaa fitrieamaliya

Makan kebab dicampur selasih,
Mohon maap dan terima kasih.

Sampai jumpa
❤❤❤

Semarang, 12102020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top