Part 26.
Sejak menikah, duniaku rasanya menyempit, tapi wawasanku meluas.
- Quotenya Teh Acha -
---------
Teh Acha siapa hayooo? Masih ingat nggak? Coba sebutkan nama lengkapnya!
* belum juga baca, udah dikasih kuis aja. Hahaha...
Okey, enjoy reading.
***
Bulan puasa hampir berakhir. Iqbal dan Luli memilih untuk berada di rumah bapak ibu hingga mendekati hari raya. Bukan apa-apa, Iqbal berusaha untuk istiqomah pada kebiasaannya sebelum menikah. Beri'tikaf untuk mengisi sepuluh hari terakhir ramadhannya.
Sebenarnya Luli keberatan. Jelas saja, sejak isya sampai menjelang sahur, ia harus sendirian di tempat tidur. Itu juga yang menjadi alasan mereka untuk tinggal di rumah bapak ibu. Selain sebab Luli akan berlebaran jauh dari kedua orang tua untuk pertama kalinya. Ya, mereka akan berhari raya di Bandung.
Luli sendiri masih tetap berpuasa. Ia merasa baik-baik saja, meski telah lebih dua puluh hari ia tak juga mendapat menstruasi. Cuma telat, hiburnya pada diri sendiri. Denial.
Sedangkan Iqbal tetap kukuh meyakini bahwa Luli hamil. Walau sampai detik ini, ia tak pernah lagi memaksakan keyakinan apapun pada Luli. Hanya berpesan agar Luli menjaga dirinya dan kondisinya. Ia tak mau menambah beban bagi istrinya yang --dia yakini-- tengah mengandung anaknya.
[Kak, kangen. Pulang jam brp?]
Luli mengirim pesan setelah sejak pagi mencoba menahan. Nyatanya ia merasa rindu yang sangat pada suaminya.
[Sebentar lagi ya, Sayang. Insya Allah habis asar udah di rumah]
[Tp kak iiq kangen Luli nggak?]
[BANGET!!]
[Sabar sebentar ya, Sayang. I love you]
Ba'da asar Iqbal datang. Ia sengaja mampir Madina untuk mandi dulu, supaya tak perlu menunda lagi untuk berdekat-dekatan dengan sang istri begitu tiba di rumah mertuanya.
"Assalamualaikum, Neng Luli sayang," sapanya sambil membuka pintu kamar.
Luli langsung menghambur memeluk suaminya. Menumpahkan tangis kecil di dada yang selalu menjadi tempat ternyaman untuknya bersandar.
"Dih, bukan jawab salam dulu malah nangis. Kenapa?" kata Iqbal balas memeluk.
"Waalaikumussalam. Luli kangen sama Kak Iiq. Lama banget sih perginya."
"Masya Allah, senangnya aku dikangenin sama ibu hamil kesayangan." Ditangkupnya kedua pipi Luli. Lalu mencium keningnya dengan mesra. Mau mencium yang lain-lain, takut mengganggu stabilitas puasanya yang tinggal hitungan jam saja.
Ceklek. Ibu membantu menutup pintu. Mengatakan permisi dengan pelan hingga tak perlu membuat anak-anaknya malu.
Iqbal menggendong Luli, menaruhnya di atas bed bersprei abu-abu, kemudian memijit tangan istrinya sebagai penawar rindu.
"Tangan yang selalu terangkat untuk mendoakan aku ini dipakai untuk masak apa hari ini?" tanya Iqbal. Dikecupnya jari-jari Luli hingga si pemilik merasa geli.
"Cuma ngupas mangga aja kok. Nanti kalau udah mau buka baru bikin smoothiesnya."
"Masya Allah. Terima kasih ya, Sayang. Kamu pengin apa malam ini?"
"Pengin ikut Kak Iiq i'tikaf. Atau kalau nggak boleh, Kak Iiq yang i'tikafnya di rumah aja. Bisa?"
"Kamu beneran kangen ya?"
"Iya. Kangen banget. Sayang banget sama Kakak." Manjanya Luli membuat Iqbal gemas. Dicubitnya hidung sang istri.
"Oke. Aku di rumah. Kebetulan ini malam genap. Lagipula, membahagiakan istri juga pasti dapat hitungan pahala tersendiri kan?"
Luli senang. Sebuah senyum termanis ia berikan. Bagi Iqbal itulah yang dinamakan kebahagiaan.
"Kak."
"Ya?"
"Kak Iiq udah pengen banget punya baby ya?"
"Ini pertanyaan retoris kan, Neng?"
"Kalau saya belum siap?"
"Nggak apa-apa. Kalau kamu sudah hamil, kamu akan siap sendiri seiring berjalannya waktu. Aku janji akan selalu menemani sehingga kamu bisa lebih cepat mendapatkan kesiapan diri. Kamu harus nyaman. Kamu harus bahagia. Anakku juga harus nyaman dan bahagia." Iqbal mengelus perut Luli.
"Anak kita, Kak."
"Eh, k-kamu bilang apa?"
"Kalaupun saya hamil, ini anak kita. Bukan anak Kak Iiq aja. Kan saya ibunya." Luli cemberut.
Keharuan menyeruak di dada Iqbal. Ia memeluk Luli. Matanya sarat akan bening yang siap ditumpahkan. Tapi tidak.
"Terima kasih ya, Sayang. I love you. I love you more and more and more each day."
"Ya nggak usah lebay juga kali, Pak Iqbal."
"Panggil Pak Iqbal sekali lagi aku cium lho." Luli terkekeh. Menjatuhkan kembali wajahnya ke dada sang suami.
"Coba aja kalau berani. Batal nggak tanggungjawab."
"Kalau batal ya berarti berdua dong, Neng."
"Saya kan memang udah batal dari tadi siang."
"Ehk, h-haid?"
"Emm, nggak. Saya muntah-muntah lagi. Banyak banget."
"Ya Allah. Kok nggak ngabarin sih? Terus tadi gimana? Muntah di mana? Siapa yang bantu bersihin? Ibu? Duh, Neng."
"Muntah di kamar mandi. Nggak apa-apa, kok. Jadi tadi lagi di dapur pengin bantuin ibu. Ibu lagi bersihin cumi-cumi, baunya amis banget. Nggak kuat."
"Itu tuh karena kamu hamil, Neng. Besok kita ke dokter kandungan ya? Please."
"Ehk, ya nggak gitu juga, Kak. Saya kan cuma bilang 'kalaupun saya hamil', bukan 'saya hamil'. Jadi bukan berarti saya mau diajak ke dokter kandungan. Muntah-muntah juga bisa jadi cuma karena nggak kuat bau cumi-cumi yang menyengat.
"Pokoknya nggak mau ke dokter. Maunya dipeluk Kak Iiq ajah."
Iqbal menahan hasrat untuk menepuk jidat, meskipun itu jidatnya sendiri. Memang harus lebih sabar menghadapi Luli.
"Oke." Singkat, padat, jelas.
Iqbal menyusupkan tangannya ke bawah badan Luli. Memeluknya dari belakang sembari menghidu aroma vanila rambut ikal sang istri. Sejujurnya dia lebih suka wangi stroberi, tapi akhir-akhir ini Luli yang tak tahan dengan bau buah merah berbiji tersebar di luar itu. Meski demikian, ia tetap kukuh tak mau dibilang hamil.
"Nggak apa-apa, Neng. Selama itu tidak membahayakan dan kamu bisa mengukur sendiri sejauh mana kemampuan badanmu, aku nggak akan maksa kamu ke dokter. Tapi kalau sekiranya udah membahayakan, aku nggak akan minta pendapat kamu lagi. Kalau perlu aku seret paksa ke dokternya."
"Jahat banget sih."
"Demi kebaikan kita semua. Aku, kamu, dan anak-anak kita."
Iqbal mempererat pelukannya. Berdua hanyut dalam diam yang penuh bahagia. Hingga tak lama kemudian Luli mendengar dengkur halus tepat di belakang telinganya.
Iqbal tertidur. Dan kalau sudah sampai mendengkur, biasanya akan susah dibangunkan.
"Hu-uh, katanya sayang, tapi ditinggal tidur." Luli kesal.
***
Luli baru saja membuka mata ketika pintu kamarnya terbuka, disusul sosok kesayangan yang terlihat begitu tampan sepulang dari masjid. Pesona Iqbal memang tak pernah gagal kalau sudah mengenakan koko, sarung, dan kopiah putihnya.
Seuntai senyum dilemparkan Luli pada sang suami. Manja dan kekanakan.
"Neng, aku baru pulang. Jangan pasang muka begitu lah. Nggak tahan."
"Kan memang sengaja." Sengaja pula ia buat-buat intonasinya agar terdengar menggemaskan.
"Udah isya?"
"Udah."
"Udah makan?"
"Belum."
"Mau disuapin?"
"Mau banget."
Iqbal mendekat, "Boleh cium dulu ya? Sekali aja."
"Nggak boleh. Bolehnya tiga kali."
Iqbal tertawa. Mengacak rambut Luli dengan kegemasan luar biasa. Setelah tiga kali membuat sesak napas istrinya, ia keluar kamar untuk mengambil makan. Sayur asem, jambal roti, dan sedikit sambal tomat. Hmm, nikmat.
Dengan sabar ia menyuapi Luli, yang makan dengan lahap dan semangat. Ia bahkan minta tambah lagi hingga piring kedua tandas tak bersisa.
Iqbal keluar lagi, di depan kulkas ia menuangkan susu UHT plain ke dalam mug kesukaan istrinya. Mug putih dengan coretan warna kuning muda bertuliskan Zulfa Nurulita. Sederhana, tapi memang enak dilihatnya. Eye catching.
"Kak, memangnya kalau orang udah menikah tuh ke mana-mana harus sama suaminya ya?" tanya Luli tiba-tiba.
Iqbal terlihat berpikir sejenak, "Aku jadi ingat kata Teh Acha. Waktu awal-awal nikah sama Bang Erik, dia pernah bilang bahwa 'sejak menikah, duniaku rasanya menyempit, tapi wawasanku meluas.' Kutanya maksudnya apa, kata teteh, sejak dia menikah dunianya jadi seperti berputar pada Bang Erik saja. Jarang ke mana-mana kecuali sama Bang Erik. Jarang ketemu banyak orang kecuali Bang Erik. Dan sebagainya.
"Tapi wawasannya meluas, karena dari yang tadinya hanya dia sendiri, kemudian berdua. Di mana bidang yang digeluti Bang Erik memang berbeda jauh dengan basic keilmuan Teh Acha. Sedangkan Bang Erik apa-apa selalu berbagi dan diskusi sama dia, jadi bertambah pula pengalaman dan wawasan si teteh. Juga makin terbuka pandangan dan pemikiran tentang hal-hal yang sebelumnya tak pernah mengisi hari-harinya. Kurang lebih demikian, Neng.
"By the way, kenapa tanya begitu? Kamu merasa kehilangan kebebasan kah sejak menikah denganku?"
"Nggak gitu sih, Kak, tapi jujur aja saya kangen pengen ngumpul sama teman-teman juga. Hampir sebulan ini dunia saya muter di sini-sini aja."
"Oke. Kamu kangen teman-teman apa?"
"Teman-teman pencinta buku. Teman-teman karate. Teman-teman nongkrong di kafe buku."
"Kalau ada aku kamu terganggu kah?"
"Emm, nggak tahu sih. Bisa ya, bisa nggak. Kan belum pernah. Tapi kayaknya memang lebih enak sendiri kayak biasanya. Karena kalaupun saya nggak terganggu, belum tentu teman-teman saya merasakan yang sama kan?"
"Iya, nggak apa-apa. Aku nggak pernah melarang kamu kan? Asal kegiatan itu bikin kamu senang dan juga bermanfaat, silakan aja. Kalau aku luang, harus aku yang antar. Nanti aku tunggu di dekat-dekat situ, biar nggak ada yang merasa terganggu."
"Kalau Kak Iiq sibuk?"
"Kamu bisa pergi sendiri, tapi harus bawa mobil, dan ada temannya. Perempuan."
"Kalau besok pagi, boleh? Sama Yeni, seperti biasa kalau saya pergi Sabtu pagi. Dulu, sebelum kita menikah."
"Boleh. Tapi aku antar ya. Aku nggak ada kesibukan."
"Beneran?" tanya Luli. Netranya berbinar-binar.
Iqbal mengangguk, Luli memeluk. Terima kasih ia ungkapkan berkali-kali untuk sang suami.
[Yen, bsk aku ikut ngumpul. Berangkat bareng ya]
Luli segera mengirim pesan pada Yeni. Yang dibalas tak lama kemudian oleh salah seorang teman baiknya itu.
[Alhamdulillah. Udah lama banget kamu absen. Besok ngumpul terakhir sebelum lebaran. Jam 7 dari kostku ya]
[Sip. CU tomorrow morning, Yeni suyeniyeni]
[Udah jd ibu dosen msh nggak jelas aja orang satu ini]
[Bodo amat!]
L
uli berhenti berbalas pesan.
"Tapi nggak ada Angkasa, kan?" Sebuah pertanyaan susulan mendadak hadir. Aroma konflik pun mendadak tercium tajam.
"Ya nggak tahu, Kak. Kan saya nggak pernah lagi ngobrol sama Andro."
"Tapi dia ikut komunitas itu juga?"
"Iya. Dia ikut juga."
"Kalau gitu aku nggak jadi kasih izin."
"Ya Allah. Kak Iiq gimana sih, saya kan udah janjian sama Yeni."
"Batalkan! Janjian juga baru aja kan? Masih bisa banget direvisi. Kamu tentukan aja destinasi yang lain buat besok. Aku akan anter kemanapun kamu mau, kecuali ke kegiatan yang ada Angkasanya."
"Ya tapi kan saya juga pengen ngumpulnya sama teman-teman, Kak. Bukan cuma pengen perginya aja."
"Udah, kamu itu istri, sudah seharusnya nurut suami."
"Nggak mau. Kakak tuh memaksakan kehendak. Dan semuanya cuma gara-gara cemburu sama Andro. Dia tuh nggak ngerti apa-apa, Kak. Udah cukup dia sakit hati karena tahu saya nikah sama Kakak. Tapi nggak usah dicemburuin sampai segitunya juga kali.
"Kakak sendiri selalu bilang, yang penting saya senang, saya nyaman. Ini saya baru mau senang udah main cut aja." Nada suara Luli mulai meninggi.
"Kamu juga, kenapa segitunya ngebelain Andro Andro itu? Udah tahu aku cemburu malah bela-belain dia di depanku!" Iqbal tak mau kalah.
"Kak Iiq tuh kenapa sih? Ini tuh lagi bulan puasa. Katanya malam ini mau nyari pahala dengan nyenengin saya. Ini malah ngajakin berantem. Jangan mentang-mentang Kak Iiq tuh lebih segalanya dari saya, terus merasa berhak marah-marah sama saya, cemburu sampai gitu sama saya.
"Saya aja nggak boleh cemburu sama mantan-mantannya Kak Iiq. Lha Kak Iiq malah cemburu sama Andro yang bukan apa-apa saya. Egois banget!" Suara Luli masih stabil. Stabil nyolotnya.
"Tapi dia ada hati sama kamu, Neng. Bisa jadi dia join di komunitas yang sama karena pengen deket sama kamu aja. Modus! Ingat kan dia pernah modusin kamu malam-malam waktu---"
"Dibahas lagi! Apa setiap yang pernah dia lakukan akan dapat cap modus dari Kakak? Saya yakin kok Kakak tahu banget kalau Andro itu baik, cuma gara-gara cemburu aja Kak Iiq jadi ngecap kayak begitu."
"Kurasa kamu nggak perlu jawab panjang lebar dan emosi begitu, Zulfa. Kamu cuma perlu bilang ya padaku. Memenuhi permintaanku. Nurut sama apa yang kubilang. Kalau aku nggak mengizinkan, ya sudah tinggal iya aja." Iqbal menurunkan nada suaranya.
"Ya tapi alasan Kakak nggak jadi ngasih izin kan karena cemburu sama Andro. Padahal dia juga belum tentu datang." Luli masih konsisten dengan nada tingginya.
"Kamu istriku, Neng. Kenapa malah belain Angkasa terus?"
"Saya bukan belain Andro, Kak. Saya nggak ada apa-apa sama dia. Apa yang mau Kakak cemburuin dari dia? Saya aja udah jarang banget bersinggungan sama dia. Ngobrol nggak pernah, whatsapp juga nggak pernah selain urusan tugas dan kampus. Dia sendiri udah menjaga jarak, menghormati status saya sebagai istri dosennya.
"Jadi kalau ini tentang saya, salah banget kalau Kakak cemburu terus sama Andro. Kak Iiq kan udah dapatkan saya. Full! Body and soul. Heart and mind. Hati saya semua buat Kakak. Diri saya, cinta saya, pelayanan saya, semua buat Kakak. Tapi jadi kayak nggak ada artinya kalau Kak Iiq nggak percaya sama saya. Jauh lebih tua bukan berarti Kakak tuh selalu benar. Saya ---"
"Ini tentang mengizinkan dan tidak mengizinkan, Neng. Aku nggak pernah bilang kalau aku nggak percaya sama kamu."
"Jangan suka nyela pembicaraan orang! Kakak juga kalau disela nggak suka kan? Ya udah terserah Kak Iiq aja. Saya kan cuma harus nurut, nggak boleh punya keinginan sendiri. Nggak boleh cemburu juga, yang boleh kayak gitu cuma Kak Iiq.
"Kukira Kakak tuh beda sama Mas Fikar. Ternyata sama aja. Egois. Merasa superior. Maunya benar sendiri. Saya nggak suka!
"Nanti kalau tahu mug ini dari Andro, apa mau dibanting juga biar pecah?" Luli mengangkat mug yang Iqbal tahu menjadi kesukaannya.
Sejak tadi ia mencoba mengerti dan menahan diri. Marahnya Luli bisa jadi karena pengaruh hormon. Ia juga bersabar, meski merasa dikuliti oleh sang istri. Mood dan kondisi emosi Luli memang makin sering naik turun belakangan ini. Itu pula yang membuatnya makin yakin kalau Luli hamil. Dan itulah sebabnya ia memilih mengalah dan menekan emosinya sendiri.
Tapi ketika tahu bahwa salah satu benda kesayangan Luli adalah pemberian dari laki-laki yang setiap kali mendengar namanya saja sudah membuatnya cemburu, emosi Iqbal langsung naik ke ubun-ubun.
Direbutnya mug kuning muda dari tangan Luli. Dan ....
Prang!!
Iqbal melemparnya begitu saja ke lantai. Tak peduli masih ada sisa susu di dalamnya.
Mata Luli terbelalak. Mulutnya menganga, yang segera ia tutup dengan tangan kirinya. Tak percaya suaminya bisa melakukan hal itu. Iqbal yang ia kenal selama ini adalah sosok yang sabar, manis, dan selalu mengalah. Tidak seperti yang ada di hadapannya sekarang.
Iqbal sendiri langsung diam. Penyesalan menyusup perlahan ke hatinya. Cemburu memang seringkali menutup mata hati dan logika. Ia pasti sudah menyakiti hati istrinya.
"Maafkan aku. Izinkan aku untuk ambil wudhu sebentar. Nanti aku yang akan bereskan semuanya. Kamu istirahat saja," kata Iqbal pelan. Ingin memeluk Luli, tapi sisa emosi masih menguasai hati.
Luli masih shock. Ia diam saja. Merebahkan badan dan menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuh, termasuk wajahnya.
Iqbal makin menyesal. Mug kesukaan istrinya boleh saja pecah berkeping-keping, tapi bagaimana dengan perasaan Luli yang sedang labil? Pasti lebih hancur lagi.
"Astaghfirullah hal adzim."
Berubah pikiran, Iqbal tak jadi wudu, ia lebih dulu mendekati Luli.
"Neng, maafkan aku. Maaf kalau---"
"Kakak keluar aja. Saya males lihat Kakak. Wudhu aja sana, biar setannya yang pada nempel pergi jauh-jauh. Kakak juga pergi jauh-jauh aja sana. Daripada di sini cuma nyalahin saya terus," ujar Luli tanpa membuka selimutnya.
Iqbal menarik napas, mengembuskannya dengan malas. Ia melangkah ke pintu dengan gontai.
"Kalian berantem?" Ibu menyambut dengan pertanyaan saat mereka berpapasan di area dapur.
"Iya, Bu. Maaf. Terdengar sampai di luar ya, Bu?"
"Nggak apa-apa. Kamu yang sabar saja ya, Iq. Maaf, ibu nggak ada maksud ikut campur apapun. Cuma tadi memang sempat dengar Luli marah-marah, lalu kamu juga ikut bicara dengan nada tinggi.
"Maafkan Luli ya, anak itu emosinya memang masih labil. Apalagi sama kamu, akhir-akhir ini kelihatan makin menjadi."
"Nggih, Bu. Saya yang minta maaf. Saya yang salah. Saya cemburu sama dia."
Ibu tersenyum, mengangguk pada menantunya. Iqbal lantas meminta izin untuk mengambil wudu dan kembali pada sang istri.
Di kamar, ia membersihkan pecahan mug yang ia banting belum lama. Mengelap sisa susu yang memercik kemana-mana.
Setelah beres semua, ia menyusul berbaring di samping Luli. Ia tahu, istrinya belum memejamkan mata.
"Neng, maafkan aku belum bisa memperlakukanmu dengan baik. Belum bisa memuliakanmu dengan sempurna. Belum bisa mencintaimu dengan sederhana. Masih ada bisikan setan yang hadir di tengah-tengah kita."
"Maksudnya?" Dari dalam selimut Luli mengajukan tanya.
"Sama seperti aku, kamu itu hanyalah seorang hamba. Maka tak seharusnya aku mencintaimu melebihi cintaku kepada penciptamu. Itu perbuatan setan. Dia membutakan mataku, hatiku, hingga bagiku kamu menjelma menjadi segalanya.
"Aku tak rela ketika ada yang lain mendekatimu. Tak sadar, bahwa saat itulah aku telah masuk perangkap yang dihadirkan iblis dan antek-anteknya. Aku tak rela jika di hadapanmu ada yang lain selain aku, tapi aku sendiri melebihkan yang lain dari-Nya. Melebihkan cintaku buatmu daripada cintaku untuk-Nya."
"Apa indikasinya?"
"Cemburu buta. Kalau aku mencintai-Nya di atas segalanya, tentu tak ada lagi ketakutan dan kekhawatiran yang sifatnya fana. Tapi aku takut kehilangan kamu, aku khawatir pada keberadaan orang lain di dekatmu. Itu sudah cukup menjawab pertanyaanmu, Neng.
"Maafkan aku. Belum bisa membawa hubungan kita menjadi thoyyib apalagi barokah. Ini baru sebatas halal saja. Sedangkan cita-cita kita berkeluarga tak hanya dunia, tapi juga akhirat, jannah-Nya."
"Tapi cemburu pada pasangan kan boleh, Kak? Harus malah."
"Iya, pada batas yang wajar dan semestinya. Bukan pada level yang membutakan."
"Kak Iiq cemburu banget ya sama Andro?"
"Ya! Entah kenapa setiap kali mendengar nama Angkasa, aku selalu merasa berbeda. Aku cemburu. Karena ada seseorang yang begitu baiknya, yang sama-sama mencintaimu.
"Sejujurnya, aku merasa dia jauh lebih baik dari aku, Neng. Dia baru menjelang 21 tahun, tapi kedewasaannya jauh melebihi kawan-kawan sebayanya. Aku tahu, nggak mudah menjadi Angkasa. Ketika cintanya bertepuk sebelah tangan dan tiap hari masih harus ketemu kamu, bahkan aku, tapi dia tetap bisa bersikap baik.
"Aku minta bantuan apa saja, sekalipun itu berhubungan dengan kamu, dia tetap melakukannya dengan tulus. Dia juga selalu menjaga wibawa dan nama baikku, meski beberapa kali dia menangkap basah aibku, dengan kamu. Dia selalu menghormati aku, tak hanya sebagai dosennya, tapi juga sebagai suamimu.
"Berat memang membuat pengakuan. Tapi begitulah kenyataannya. Aku cemburu. Dia yang diam-diam mencintai kamu, jauh lebih baik daripada aku, suamimu. Perasaannya pada kamu begitu dalam, hingga mampu bersabar dan mengikhlaskan.
"Maka, mendengar namanya saja rasanya aku ciut. Aku ingin marah, hanya untuk menyangkal bahwa aku merasa kalah. Aku memenangkan hatimu, tapi masih tak bisa mengalahkan egoku. Kamu benar, Neng. Tak seharusnya aku cemburu sampai segitunya pada seseorang sebaik Angkasa Andromeda.
"Maafkan aku, Neng. Pergilah besok pagi. Aku akan tetap mengantarmu. Tak apa jika ada Angkasa di sana. Aku percaya, kamu bisa menjaga hati dan sikapmu. Begitupun Angkasa. Lagipula kamu nggak sendirian. Ada Yeni dan teman-teman yang lain di sana."
Luli membalikkan badan. Menatap suaminya seakan tak percaya.
"Jadi beneran Kak Iiq bisa insecure juga?" Fokusnya berbeda ternyata.
"Itulah bisikan setan, Neng. Melenakan. Membuat aku tak sadar telah melebihkanmu di atas-Nya. Hingga apapun yang berhubungan dengan kamu, bisa membuatku menjadi apa saja. Termasuk insecure itu tadi."
"Cieee, dosen idola bisa insecure juga yaaa. Sampai lempar-lempar mug segala. Ckckck." Luli mengejek suaminya dengan riang. Hatinya girang, punya bahan untuk mem-bully sang suami. Perubahan mood-nya memang agak aneh bin ajaib.
Astaghfirullah, diajak bicara serius malah aku dibecandain gini. Paringi sabar ingkang jembar, Ya Allah.
(Berikan kesabaran yang luas, Ya Allah)
***
Ngakak lah sama batinnya Iqbal yang terakhir. Udah serius-serius, malah tanggapannya di luar dugaan. Luli nih memang susah ditebak. Mesti siap stok sabar yang banyak.
Terima kasih ya udah baca part ini. Maafkan kalau masih rada ngawur-ngawur bergembira. Hahaha...
Otak dan hati lagi banyak banget maunya, tapi badan lagi tinggi banget level magernya. Bener-bener nggak sinkron. Wkwk... Tapi tetap enjoy aja dong. Hidup sekali sebisa mungkin dibawa happy, sebab bahagia adalah pilihan kita sendiri.
Baiklah, sampai di sini dulu yaaa.
Bendungan Katulampa ditinjau Pak Camat
Sampai jumpa dan i love you somat
❤❤❤
Semarang, 09102020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top