Part 25.

"Namanya Zulfa, Pak. Bukan Oneng."

- Apa lagi lah ini?!

***

Makan pakcoy dicampur beling,
Enjoy reading

------

Usia pernikahan Luli dan Iqbal telah memasuki pekan ketiga. Warga teknik sipil masih belum banyak yang tahu. Atau mungkin belum banyak yang angkat bicara saja?

Selama itu pula Luli selalu dilanda kecemasan dan kekhawatiran. Apalagi saat ia mendapatkan tatapan-tatapan aneh dari warga jurusannya. Hatinya auto menciut.

Di kelas pun tak beda. Pada Rere dan Andro ia menjadi canggung. Rere memang menjaga jarak, selain sering menghadiahinya dengan tatapan sinis. Tapi tidak demikian dengan Andro, ia masih bersikap seperti biasa pada Luli. Bahkan tak jarang perhatian-perhatian kecil masih ia berikan. Nekad memang.

Rabu pagi itu Luli masuk kelas dua menit sebelum jam kuliah dimulai. Disusul dosen pengampu yang datang tepat dua menit berikutnya.

"Assalamualaikum," sapa sang dosen begitu masuk ruangan.

"Waalaikumsalam, Pak Iqbal." Seluruh penghuni kelas menjawab lugas.

Ya, dosen yang mengampu kelas Luli pagi itu adalah Iqbal Sya'bani, suaminya. Setelah dua pekan berturut-turut tak hadir di kelas karena urusan dinas, sambutan pagi ini sungguh sangat antusias.

"Selamat pagi, teman-teman semua. Gimana kabarnya kalian?"

"Baik, Pak."

"Sehat, Pak."

Dua jawaban terbanyak yang keluar dari mayoritas penghuni kelas.

"Patah hati, Pak," teriakan Yudi yang beda sendiri menimbulkan kasak kusuk pada sebagian temannya.

"Ya, gimana, Wahyudi? Mau saya kasih izin buat menyambung hatimu dulu?" Iqbal sok-sok tak paham. Yang lain terbahak menertawakan.

"Hati saya baik-baik saja, Pak. Tapi ada beberapa hati lain yang terluka." Sebagai kawan dekat Andro, tentu dia mengerti apa yang terjadi.

Suara huuu bersahut-sahutan. Sebagian tertawa. Satu orang dilanda ketegangan luar biasa.

"Oh iya, dan ada satu hati yang diam-diam berbahagia, Pak." Lanjut Yudi lagi. Matanya menatap ke arah salah satu temannya. Siapa lagi kalau bukan Zulfa Nurulita.

"Alhamdulillah. Paling tidak ada dua hati yang berbahagia, itu sudah cukup buat saya untuk memulai kuliah pagi ini."

"Satu, Pak." Yudi meralat ucapan dosennya.

"Dua, dengan saya." Iqbal melempar senyum yang tak biasa. Istimewa. Manisnya mengalahkan gula stevia.

Kelas kembali gempar.

"Butuh klarifikasi, Pak."

"Lebih cepat lebih baik."

Kelas masih ramai. Hanya Luli yang gelisah sampai telapak tangannya basah. Keringat dingin sudah berlelehan di seputar keningnya yang tertutup jilbab merah muda. Jangan tanya jantungnya, detaknya bagai di arena pacuan kuda. Ia menunduk dalam, sama sekali tak ada nyali menatap sekelilingnya.

"Kalian pilih mana? Ketinggalan berita atau ketinggalan materi?"

"Materiii." Satu ruangan serempak menjawab. Dosennya menggeleng sambil tertawa.

"Wah, kalah pintar saya. Kalau ketinggalan materi yang disalahkan sama kampus kan saya ya, bukan kalian. So ...."

"Jangan, Pak. Kita belajar saja, nggak perlu klarifikasi." Nara menyampaikan pendapatnya.

"Iya, kamu sih iparnya. Nggak butuh klarifikasi." Satu suara membungkam pendapat Nara.

Terjawab sudah bahwa sebenarnya kabar memang sudah beredar. Sepertinya percuma saja mereka menghindar. Namun Iqbal juga tak ada niat untuk meluruskan. Ia berdiri, bersiap menyampaikan materi.

Tiba-tiba Andro ikut berdiri, "Maaf, Pak. Saya mewakili teman-teman memohon maaf kalau sudah mencampuri urusan Bapak terlalu jauh. Bapak tidak ada kewajiban untuk klarifikasi soal apapun kepada siapapun."

"Oh, begitu ya? Baik. Terima kasih untuk sarannya yang sungguh bijaksana." Iqbal menekan bicaranya, mencoba menahan agar emosi tak lolos dari dirinya. Tetap saja kesan menyindir itu tertangkap meski samar.

Luli makin tak enak hati atas apa yang dilakukan sang suami. Ia mencoba menahan diri, tapi justru perutnya tak bisa diajak kompromi. Setengah berlari ia minta izin pada suaminya. Eh, maksudnya dosennya.

"Maaf, Pak, saya izin ke belakang."

Melihat wajah Luli yang pucat pasi, Iqbal bagai hilang kendali. Ia lupa posisi mereka saat ini.

"Kamu baik-baik saja kan, Neng?" tanyanya tanpa menurunkan volume suara.

Kelas mendadak hening. Sebagian besar mencoba mencerna apa yang baru saja ditangkap oleh telinga.

"Namanya Zulfa, Pak. Bukan Oneng." Ada yang mencoba mencairkan suasana, hanya saja hampir semua menyembunyikan tawanya demi melihat Luli yang tampak payah.

Air mata Luli nyaris tumpah. Ia berlari meninggalkan kelas. Iqbal tahu ke mana istrinya pergi. Ia galau, hendak melanjutkan materi atau menuruti kemauan hati.

"Asya, tolong kamu pastikan keadaan Zulfa baik-baik saja." Iqbal melakukannya dengan terpaksa.

"Baik, Pak." Nara beranjak dengan tangkas. Kehamilannya yang telah memasuki trimester kedua tak menghalanginya beraktivitas.

Agak berbisik, Iqbal memberitahu Nara ke mana harus mencari adik iparnya. Ia menghela napas. Meminta maaf sekali lagi, kemudian melanjutkan materi. Suasana sunyi, hanya suara Iqbal yang terdengar berat, mengalun memecah sepi.

Sejujurnya hati dan pikirannya tak ada di kelas. Ia cemas akan keadaan belahan jiwanya. Apalagi Nara tak juga kembali dari mencari Luli.

Hampir lima belas menit, barulah mahasiswi yang juga iparnya itu kembali. Nara melaporkan keadaan Luli. Semua makanan yang mengisi perutnya terkuras habis. Luli lemas dan tak berhenti menangis. Keadaannya jelas tidak baik-baik saja. Nara menyarankan Iqbal untuk membawa Luli pulang sekarang juga.

"Teman-teman ... Saya mohon maaf jika kali ini saya tidak profesional. Tapi hati dan pikiran saya saat ini memang tidak ada di sini bersama kalian." Iqbal menarik napas dan melepasnya dengan perlahan.

"Zulfa. Dia istri saya."

Hening. Seisi kelas seolah menahan napas.

"Kami menikah tiga pekan lalu. Dan saat ini kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Saya mohon izin dari kalian untuk mengakhiri kelas lebih cepat. Saya harap kalian bisa memaklumi. Materi akan saya sampaikan di grup seperti biasa."

Iqbal memang biasa menyampaikan materi dengan video setiap kali ia terpaksa meninggalkan kelas, seringnya untuk melaksanakan tugas. Dan materi yang disampaikan dengan metode seperti ini justru lebih efektif. Bisa jadi karena bisa diputar setiap kali mereka merasa belum jelas mengenai materi tersebut.

"Angkasa, maaf. Nanti kita koordinasi lagi ya."

"Baik, Pak."

Usai berpamitan, Iqbal segera menuju ke toilet mahasiswa. Ia menemukan Luli sedang duduk bersandar di bangku panjang. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas. Netranya sembap dengan pipi dipenuhi sisa-sisa air mata.

"Sayang, kamu baik-baik aja kan? Kita pulang. Aku gendong ya?" Luli menggeleng lemah.

"Kamu kuat jalan?" Luli mengangguk pelan.

Iqbal mengambil handphone dari sakunya, dengan terpaksa menghubungi satu orang yang seringkali mengganggu stabilitas emosinya.

"Angkasa, maaf. Tolong kamu ke toilet sekarang juga ya, saya butuh bantuan."

Tak bertanya apapun, Andro segera melesat memenuhi panggilan. Hatinya merasa tak tega melihat keadaan Luli yang tak berdaya.

Iqbal meminta tolong untuk mengambilkan mobilnya di area parkir dosen dan membawanya ke depan lobi gedung kampus tempat mereka berada saat ini. Dengan gesit Andro melaksanakan permintaan dosen yang dulu adalah rivalnya juga. Ia yang cerdas menyempatkan diri ke kelas, mengambilkan ransel Luli, juga bawaan Iqbal yang ada di meja dosen.

Luli tak sanggup menuruni tangga. Pada akhirnya Iqbal menggendongnya. Tak satu dua mahasiswa melihat dengan pandangan penuh tanya. Iqbal tak peduli, ia hanya fokus pada istrinya.

Dari belakang kemudi, Andro yang baru tiba menatap dengan sesak. Untuk kedua kalinya ia harus melihat pemandangan yang tak enak. Dulu ia melihat mereka berdua berciuman. Dan kali ini, perempuan yang hampir dua tahun mengisi hatinya ada dalam gendongan sang dosen idola.

Kalau boleh memilih, ia ingin terkena bola tendangan David Beckham saja hingga pingsan. Rasanya itu lebih jauh baik daripada posisinya sekarang.

Tapi ia sadar, bukan itu yang harus dilakukan saat ini. Ia segera turun dan membukakan pintu depan sebelah kiri.

"Mari, Pak, biar saya bantu."

Berniat membantu saat Iqbal hendak menurunkan Luli, tapi penolakan terpaksa ia terima dengan luas hati.

"Terima kasih banyak, Angkasa. Sekali lagi saya mohon maaf. Semoga kelak kamu menemukan jodoh yang jauh lebih baik dari istri saya."

Telak! Dada Andro terasa makin sesak. Sepertinya ia butuh sansak.

Sembari menyetir, tangan Iqbal tak sedikitpun lepas dari jemari sang istri.

"Pulang ke Madina atau ke rumah ibu, Sayang?"

"Madina."

"Nanti kamu sendirian nggak apa-apa?" Air mata Luli kembali menetes mendengar pertanyaan suaminya.

"Kakak mau ke mana? Balik ke kampus lagi? Nggak mau nemenin saya di rumah aja?" Lemah, tapi masih bisa mengintimidasi lawan bicara.

"Ssstt, nggak usah mikir yang nggak-nggak dulu deh. Madina atau rumah ibu?"

"Terserah Kak Iiq aja lah."

"Oke. Kita ke rumah ibu."

"Tuh kan. Kak Iiq tuh katanya sayang, tapi tetep aja urusan kerjaan lebih diutamakan."

"Oke. Kita ke rumah ibu dulu. Soal aku nanti balik kampus lagi apa nggak, itu urusan belakangan." Iqbal sama sekali tak ingin berdebat dengan orang yang mukanya teramat pucat.

Tiba di rumah ibu, Iqbal segera membawa dan membaringkan Luli di kamarnya. Ia membuka jilbab istrinya, juga tiga kancing teratas kemeja, lalu mengganti celana panjang Luli dengan piyama berbahan ringan dan lembut. Tangannya dengan sigap membalurkan minyak kayu putih ke seluruh badan Luli. Perut, dada, punggung, leher, telapak tangan dan kaki tak ada yang lolos dari tangan Iqbal.

"Nanti sore kita ke dokter kandungan."

"Bahas itu lagi saya marah."

"Kalau kamu nggak mau nurut, aku yang marah. Ini berkaitan dengan kesehatanmu, Neng. Aku nggak mau main-main. Gimana kalau ternyata benar kamu lagi mengandung anak kita?"

"Nggak, Kak. Kita tuh nikah baru sebentar. Ini tadi cuma karena tegang. Perut jadinya mules banget. Keluar deh semua."

"Ya tapi kemungkinan hamil itu juga ada, Neng. Kamu jangan ngeyel to."

"Kak Iiq tuh yang ngeyel. Saya tuh nggak suka dipaksa-paksa. Saya juga nggak suka ke dokter. Saya tuh cuma telat karena memang haid saya nggak teratur. Bukan hamil. Kak Iiq kalau nggak mau percaya dan nggak mau ngikutin kemauan saya, mending nggak usah di sini deh. Ke Madina aja sana, biar saya sama bapak ibu saya."

"Duh, mulai lagi drama ngambekannya. Untung sayang," batin Iqbal.

"Jangan begitu lah, Neng. Aku begini karena sayang sama kamu, sama anak kita."

"Saya nggak hamil, Bapak Iqbal Sya'bani."

"Ssstt, nggak boleh ngomong gitu. Kemungkinan apapun selalu ada. Jauh lebih baik kalau kita tahu pastinya sehingga bisa mempersiapkan dengan lebih baik pula."

"Minum teh panas dulu ya, Nduk. Habis itu ibu kerokin." Ibu masuk dan memberi pengarahan pada bungsunya.

Luli menurut. Ia meminum perlahan teh manis bikinan ibunya. Tapi menolak tawaran kerokan.

"Udah, kamu nurut aja to sama suamimu. Yang dia bilang semua ada benarnya. Kalau tahu bahwa kamu lagi hamil, kondisimu bisa lebih terjaga. Kalaupun nggak hamil, ya nggak apa-apa, mungkin dokter kandungannya bisa kasih saran atau info gimana sebaiknya dengan haidmu yang nggak teratur itu." Rupanya ibu mendengar obrolan mereka.

Luli mengangguk-angguk mendukung pendapat ibunya. Tapi begitu ibu keluar, ia kembali mengancam suaminya agar tak membawanya ke dokter kandungan.

Ia memang sudah berucap siap untuk hamil, namun sejatinya ia masih ragu dan menyemangati dirinya sendiri agar benar-benar siap. Apalagi melihat suaminya yang begitu bersemangat menginginkan kehadiran bayi diantara mereka.

"Ya udah, itu dipikir nanti lagi Sekarang kamu penginnya apa? Tapi jangan minta dikerokin aku ya."

"Kenapa? Kakak udah nggak sayang ya?"

"Dih, nggak gitu lah, Neng. Ini kan lagi puasa. Takut batal." Iqbal nyengir.

"Ya udah deh. Saya mau istirahat aja, tapi peluk ya, Kak. Badan rasanya nggak enak."

"Nah, kan. Kamu itu ha---"

"Hamil kan? Iya aja lah, terserah Kak Iiq aja. Nggak usah peluk juga nggak apa-apa. Kakak balik ke kampus aja sana." Luli berbalik memunggungi suaminya.

Iqbal mendekat, duduk di tepian tempat tidur. Tangannya mengelus lembut punggung Luli.

"Jadi gini ya, Neng. Haid itu ada siklusnya, rata-rata 28 sampai 30 hari. Tapi ada juga yang seperti kamu, haidnya nggak teratur. Nggak cuma maju mundur sehari dua hari, malah bisa jadi nggak dapat haid dua bulan, setelah itu haid tapi lama dan kuantitasnya melebihi biasanya. Macam-macam lah.

"Perempuan dengan siklus haid yang normal atau teratur lebih mudah menghitung masa suburnya. Tapi nggak demikian kalau siklus haidnya nggak teratur. Hanya saja, dalam dunia medis itu yang disebut haid tidak teratur juga ada range waktunya, yaitu jika siklus haidnya kurang dari 21 hari atau lebih dari 36 hari.

"Kamu sih siklus haid nggak teratur tapi juga nggak dicatat, jadi agak susah kan memperkirakannya."

"Kak, Kakak tuh bukan dokter, bukan bidan. Mereka susah payah kuliah 4 tahun, ditambah profesi dua tahun, baru boleh kasih advis dan konsultasi secara resmi. Kakak sekali baca di google langsung sok-sokan jadi dokter kandungan gini. Apa sih? Udahlah ngurusin pondasi aja. Ngeselin. Pakai nyalah-nyalahin saya nggak nyatet siklus haid segala.

"Udah sana ah, Kakak ke kampus aja. Males lihat Kak Iiq."

Bukannya marah, Iqbal malah terkekeh menerima omelan Luli. Dan bukannya menghentikan pembahasan, Iqbal malah melanjutkan lagi. Kali ini sambil memijit kaki sang istri.

"Kan dulu aku udah bilang, kalau sampai tanggal lima kamu belum haid, kita ke dokter kandungan. Tapi kamu ngeyel terus, nggak pernah mau. Aku jlasin kayak begini aja nggak pernah sampai tuntas. Pasti udah kena omel duluan sama Nyonya Sya'bani kesayangan."

"Udah, nggak usah ngegombal. Nggak ngaruh." Luli tetap sewot. Iqbal justru makin gemas melihat wajah istrinya yang menampakkan kekesalan luar biasa.

"Bulan kemarin hari pertama kamu haid tanggal lima, ini udah tanggal---"

"Eits, Kak Iiq tahu dari mana tanggal haid saya? Waktu itu kita belum nikah lho."

"Kamu ingat waktu kamu nuduh aku om-om genit?"

"Bahas itu sekali lagi saya teriak minta ibu ngusir Kak Iiq." Iqbal tertawa lagi, lebih keras dari sebelumnya.

"Oke, nggak bahas itunya. Yang jelas aku ingat banget, waktu kamu di rumah sakit, ibu mau bantu kamu salat maghrib tapi katamu lagi nggak salat. Terus ibu bilang kalau paginya masih lihat kamu salat dhuha, kamu jawab baru 'dapat' pas habis salat dhuhur. Dan kejadian itu terjadi tanggal lima."

"Ya Rabb, Mas Fikar jilid dua ini sih."

"Ini udah tanggal lima belas, Neng. Dan kamu belum haid."

"Saya tuh telat sepuluh hari juga biasa aja. Nggak ambil pusing."

"Itu dulu. Tapi kamu sekarang udah jadi nyonya. Nyonya Iqbal Sya'bani. Kamu punya kemungkinan besar untuk hamil. Kita udah nikah dua minggu lebih lho. Dan di kamar, kita nggak cuma pandang-pandangan  terus tukeran senyum aja kan, Neng. Nggak ingat kamu suka godain aku?"

"Saya panggil ibu beneran deh." Muka Luli merah bagai kepiting rebus.

"Oke, oke, skip yang bagian itu. Sekarang kamu diam, aku mau jelasin soal siklus haid. Jadi, buat perempuan yang siklus haidnya nggak teratur, udah gitu malas nyatetin macam kamu, menghitung masa subur itu juga ada caranya, Neng. Yaitu berdasarkan range 21 dan 36 hari itu tadi.

"Ambillah siklus terpendek 21 hari, dikurangi 18, hasilnya 3. Sedangkan siklus terpanjang 36 hari, dikurangi dengan 11, hasilnya 25. Jadi masa suburmu kemungkinan ada diantara hari ke-3 sampai hari ke-25 setelah haid. Itu berarti antara tanggal 8 sampai 30. Kita sampai tanggal 30 udah melakukan empat kali lho. So ...."

"Dari mana asalnya bisa keluar angka 18 atau 11 sebagai variabel pengurang itu coba?"

"Eh, ya kalau itu aku juga nggak tahu, Neng. Kan aku cuma baca di google aja."

"Makanya ya, Bapak Iqbal Sya'bani, ST, MT yang terhormat. Jangan sok tahu kalau itu bukan bidangmu. Gak bisa jawab kan? So, nggak ada itu acara maksa-maksa ke dokter kandungan. Saya nggak mau!"

Luli tersenyum penuh arti. Matanya menyiratkan kemenangan. Sedangkan Iqbal garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Membujuk Luli soal satu ini memang bukan perkara mudah. Untung sayang.

Setelah mengirim pesan pada ketua kelas tempat ia seharusnya mengajar satu jam lagi, Iqbal membaringkan diri di samping Luli. Memulai obrolan ringan sambil membelai-belai rambut Luli, yang sudah beberapa hari terakhir ini aroma yang tercium bukan strawberry.

Luli mengganti shamponya ke wangi vanilla. Alasannya tiap mencium bau strawberry dia merasa pusing dan eneg. Iqbal tentu saja langsung memvonis bahwa Luli .... Ya! hamil! Memangnya apa lagi yang membuat Iqbal paling peka untuk saat-saat ini selain dugaan akan kehamilan sang istri?

"Neng, aku minta maaf ya."

"Kenapa lagi? Kakak habis ketemu mantan?"

"Halah, mantan lagi dibahas. Nggak lah. Bukan itu."

"Terus?"

"Teman sekelasmu sudah tahu kalau kamu istriku."

"Astaghfirullah hal adzim," pekik Luli.

"Biasa aja kali?!" ujar Iqbal dalam hati.

"Kakak tuh gimana sih? Saya kan nggak enak. Malu sama teman-teman. Huhuhu." Menangis dengan mudahnya. Begitulah seorang Zulfa Nurulita.

"Y-ya gimana. Terpaksa. Memangnya aku harus bilang apa sama mereka untuk nyusulin kamu ke toilet dan bawa kamu pulang? Tanggung jawab sebagai dosen? Huh, non sense!

"Nyatanya aku nggak tenang karena mikirin kamu, Neng. Daripada ngajar tapi fokusku nggak pada materi, kupikir jauh lebih baik kalau aku menyusulmu saja. Dan satu-satunya cara untuk mendapatkan pengertian dan pemakluman dari teman-temanmu ya dengan mengatakan yang sebenarnya.

"Kamu malu menikah sama aku?"

"Bukan malu soal itunya, Kak. Tapi saya malu dengan pandangan orang tentang saya. Saya yang cuma kayak begini, bisa dinikahi sama seorang Iqbal Sya'bani. Rasanya seakan mempermalukan diri sendiri."

"Itu lagi! Sudahlah, biarkan orang berkata apa. Kita yang menjalani. Lagipula mau disembunyikan seperti apapun tetap saja lama-lama ketahuan lah, Neng. Circle kita sama. Dan daripada ketahuan tanpa sengaja, lebih baik mereka tahu langsung dari kita."

"Terus respon mereka gimana?"

"Nggak tahu juga sih, Neng. Tadi kan aku langsung ke kamu dan gak balik kelas lagi."

"Ya udahlah. Mau gimana lagi, semua sudah terjadi." Luli pasrah

Luli meminta handphone-nya pada Iqbal. Buru-buru mengecek pesan-pesan yang masuk. Jumlahnya melebihi 100, dan hampir semua dari teman sekelasnya.

Satu grup baru mengundangnya untuk bergabung di sana. Isinya tiga orang teman baik yang sering mengerjakan tugas bersamanya. Rima, Uni, dan Yeni.

Rima.
[Asem ya. Nikah g bilang2. Dasar sahabat durhaka!]

Uni
[Sama Pak Iqbal pula. Pake pelet pasti nih]

[Pantesan lagi ngerjain tugas ditelpon dosennya. Mana tau kl udah ganti status]

[Asem lah. Asem banget pokoknya. Pen noyor bocah satu ini]

Rima
[Dosa tau noyor2 dia. Jelek2 gitu ibu dosen lho dia]

[Yen, kok diem aja? Gak pengen mencaci maki Zulfa?]

Yeni
[Aku udah tau dari kemarin2]

Rima
[Wah, pelanggaran. Gitu ya diem aja. Nggak kalah durhakanya ini sih]

Uni
[Zul, ceritain sekarang juga atau persahabatan kita bagai tali beha ketemu gunting. Putus!]

Rima
[Perumpamaan macam apa itu?!]

Luli geleng-geleng membaca whatsapp grup kecil berisi orang-orang tengil.

Luli
[Sorry, ceritanya nanti. Sayang banget kan melewatkan pelukan Bapak Iqbal Sya'bani]

Rima
[Asem!]

Uni
[Semprul]

Yeni
[*video teletubbies]

[Berpelukaaan]

Luli
[Astaghfirullah. Punya temen kok somplak semua!!!]

***

Hai, lama tak bersua. Adakah yg kangen sama kami bertiga?

Jadi ceritanya, kemarin-kemarin itu aku lagi banyak yg pengen dikerjakan, selain lagi revisi buat proses terbitnya Mendadak Mama ya. Jadi malah bingung mau ngapain dulu. Haha..

Ditambah pertengahan minggu aku pulang kampung karena bapak operasi mata. Weekendnya diajak suami urusan kerjaan di Jogja-Magelang.

Ah udahlah, nanti kl diceritain malah kalian yg pusing. Wkwk.

Ya gitulah. Yg penting sekarang udah ketemu lagi sama Luli dan Iqbal ya.

Mohon maaf kalo ceritanya rada ngawur. Dan terima kasih tetap mau membaca dan mengapresiasi tulisan ini.

Dan oh ya, yg anak kedokteran atau kebidanan, itu Iqbal ngitung masa subur bener apa ngaco sih? Haha.. Dimaklumi ya, anak sipil sok-sokan jadi dokter ya gitu.

Baiklah...

Ulat bulu makan bakpia
Udahan dulu, sampai jumpa

Love you all.
❤❤❤

Semarang, 05102020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top