Part 24.
Apalagi sejak ada dia, Mi. Ngopi sambil ngeliatin dia tuh udah pas banget manisnya.
***
Gombalmu lho, Iq, gak habis-habis :D
------
- Rada panjang, tapi ya gitu deh. Seperti biasa, banyak ngalor ngidul nggak jelasnya. Hehe.
- Masih lanjut cerita tentang abah dan umi, kali ini dari versi umi.
Ke sekolah bawa odading
Yuk lah, enjoy reading :D
-------
Iqbal keluar dari kamar dengan bersarung dan baju koko yang rapi. Sebuah songkok berukirkan namanya bertengger di kepala, menaikkan level kegantengan yang memang sudah nyaris maksimal. Menenteng sajadah beludru hitam polos, ia siap mengambil peran muadzin untuk memanggil para pejuang subuh.
"Mau ke langgar (surau), Dek?" tanya umi.
"Iya, Mi. Gimana?"
Umi mendekat, lalu berbisik, "Acaranya sama Neng Zulfa udah jadi?"
"Acara apa, Mi?" Iqbal mengerenyit bingung.
"Itu, acara talkshow." Umi masih berbisik.
"Talkshow?" Si anak bungsu makin bingung.
"Iya. Mulutnya talk, tangannya show."
Iqbal terpingkal-pingkal. Ia paham maksud uminya.
"Astaghfirullah. Ya Allah, Mi. Bahasanya lho gitu amat. Mulutnya meracau tangannya mengacau ya, Mi?"
Ganti uminya yang terbahak. Mengeplak muka Iqbal pelan.
"Pancen ngawur bocah iki, malah dicethak-cethakke."
(Memang ngawur anak ini, malah dijelas-jelasin.)
"Umi yang mulai."
"Iya deh iya. Neng Zulfa udah bangun?"
"Udah, Mi. Itu lagi keramas. Eh, maksud Iiq lagi mandi." Umi tertawa lagi.
"Udah ah, Mi, ketawa terus. Umi tadi mau ada perlu apa sama Iiq?"
"Oh, itu. Nanti habis subuh umi mau bicara, bisa?"
"Bisa banget, Mi. Apapun buat Umi yang paling Iiq sayangi dunia wal akhirat."
"Masya Allah. Makasih ya, Dek." Umi meraih pipi anaknya, Iqbal menunduk mendekatkan wajah pada umi agar umi mudah menciumnya.
"Iiq yang terima kasih sama Umi. Iiq sayang sama Umi. Iiq ke langgar dulu ya, Mi. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Nanti di kamar kamu saja ya, Dek. Neng Zulfa biar sekalian dengar. Kamu izin sama abah kakung kalau habis subuh mau ngobrol sama umi, gitu ya."
"Siap, Mi."
Selepas subuh umi mengetuk pintu kamar yang ditempati Iqbal. Luli yang membuka pintu. Masih mengenakan mukenanya.
"Udah selesai solat, Neng?"
"Udah, Umi."
"Lagi baca Qur'an ya?" tanya umi lagi. Ia melihat sebuah mushaf terbuka di atas kasur.
"Iya, Umi."
"Ya udah dilanjutin aja. Umi temenin."
"Eh, malu, Umi. Saya ngajinya nggak sebagus Kak Iiq."
"Umi juga nggak sebagus Iiq kok. Ayolah, umi simak."
Mau tak mau Luli membaca Qur'annya di hadapan umi. Pujian meluncur dari sang ibu mertua. Dari komentar tentang suara dan cengkok Luli, sampai ungkapan rasa beruntung karena memiliki Luli sebagai menantunya. Jangan tanya bagaimana hati Luli. Berbunga-bunga dan bahagia.
"Assalamualaikum." Iqbal datang.
"Waalaikumussalam," jawab dua perempuan kesayangannya. Luli bersegera menyambut dengan mencium tangan, yang dibalas Iqbal dengan mencium kening sang kekasih.
"Neng, tolong kopinya bikinin sekarang ya." Luli mengangguk. Tak menunggu perintah dua kali, ia bergegas ke dapur.
Di kamar, umi tak henti memuji Luli, membuat cinta Iqbal makin menjadi.
"Suamimu masih suka yang pahit, Neng?" tanya umi begitu Luli menyerahkan secangkir kopi untuk suaminya. Secangkir teh panas ia berikan pula untuk ibu mertua. Pujian kembali mengalir dari bibir umi.
"Iya, Umi."
"Apalagi sejak ada dia, Mi. Ngopi sambil ngeliatin dia tuh udah pas banget manisnya."
"Nggak ngegombal juga kali, Kak. Malu, ada Umi."
"Apa dia suka gombalin kamu, Neng?"
"Banget, Umi. Udah expert kayanya. Makanya mantannya banyak ya, Umi."
"Bahas itu sekali lagi aku cium di depan Umi deh." Ancam Iqbal. Umi tertawa.
"Kakak kenapa suka kopi pahit sih? Dari sejak kapan?" Wajah Luli menunjukkan rasa heran. Dia lho, kopi saja tak terlalu suka, apalagi yang pahit.
"Iya, Neng. Dari enam tahun yang lalu. Kopi pahit selalu mengingatkanku bahwa ada yang lebih pahit dari luka hati. Akhirnya keterusan suka. Seperti halnya luka hati yang tak kunjung terobati, pada akhirnya menjadi terbiasa. Tetap pahit sih, tapi sudah tak asing lagi." Dasar Iqbal, ditanya kopi malah curcol.
Luli diam. Tak enak hati. Ia menunduk, tak berani menatap Iqbal maupun umi.
"Tapi keberadaanmu serasa gula yang takarannya selalu pas dengan jumlah kopinya, Neng. Terima kasih ya." Satu kecup kembali mendarat di kening Luli.
"Takaran kopi dan gula yang pas itu udah spiritual sekali lho, Neng." Lanjut Iqbal.
"Maksudnya?" kata Luli dan umi bersamaan.
"Kopi itu ibarat pahitnya hidup, sedangkan gula sebaliknya. Ia yang membuat hidup menjadi manis."
"Terus spiritualnya di mana?" Umi dan Luli masih tetap kompak.
"Di keseimbangannya dan menyeimbangkannya."
"Nggak paham, Kak."
Diraihnya tangan sang istri sebelum melanjutkan bicara, "Dalam hidup, kepahitan itu akan selalu ada. Kesulitan, kesakitan, sesuatu yang tak sesuai harapan, dan semacamnya. Sedangkan gula adalah pilihan. Mau ditambahkan atau tidak, juga seberapa banyak, itu semua pilihan.
"Saat kepahitan hidup menghampiri, sejatinya ada banyak hal manis yang bisa kita tambahkan untuk di-blend bersama sehingga pahitnya hilang atau minimal berkurang. Dan pemanis yang paling baik adalah kepasrahan dan husnuzon, Neng. Kalau kita bisa selalu menempatkan itu dengan takaran yang pas, Insya Allah kepahitan hidup itu menjadi tak ada."
"Kalau takaran yang pas yang bagaimana?" Luli kembali bertanya.
"Ya yang sesuai dengan jumlah kopinya. Kalau kamu bikin kopi dengan menuang tiga sendok, tentu gula yang dibutuhkan berbeda ketika takaran kopimu hanya satu sendok.
"Begitupun ketika tingkat kesulitan hidup yang menimpamu lebih berat, maka level husnuzon dan kepasrahanmu harus lebih tinggi. Kalau masih ada kata 'tapi', percayalah, pahitnya masalah hidupmu masih akan terasa memberatkan."
Luli takjub pada pemikiran suaminya yang menurutnya agak berat. Sebaliknya dengan umi, ia mengungkapkan kebahagiaan dan kebanggaan luar biasa atas pernyataan anak bungsunya.
"Begitu pula dengan umi, Nak. Yang bertahan hingga hari ini untuk abahmu. Seperti yang kamu katakan tentang kopi dan gula yang pas takaran keduanya, umi pun selalu mencoba untuk menjaga takaran yang pas itu. Biar nggak terasa pahit. Setidaknya bagi umi. Karena tingkat kemanisan yang pas itu sesuatu yang relatif. Bagi umi sudah manis, bisa jadi bagi yang lain masih terasa pahitnya.
"Terima kasih ya, Dek. Umi bahagia." Dipeluknya Iqbal dengan berlinangan air mata.
"Jangan nangis, Mi. Iiq nggak kuat kalau lihat Umi nangis."
Umi melepas pelukannya. Menatap mata bungsunya dalam-dalam.
"Lihat mata umi, Dek. Ini tangisan bahagia. Hari ini untuk pertama kalinya, umi nggak menemukan bayangan Kak Rini di mata abahmu. Cuma ada umi saja, Dek.
"Terima kasih ya, Sayang. Untuk selalu ada buat umi. Untuk selalu menahan lukamu demi umi. Untuk setiap ketegaran yang kamu tunjukkan agar umi tetap bisa berdiri dan bertahan di samping abahmu.
"Terima kasih, Dek. Semoga Allah selalu melindungi kamu, melimpahkan kebahagiaan untuk kamu, dan mencurahkan segala kebaikan untuk hidupmu."
Tangis Iqbal pecah saat itu juga. Baginya, umi adalah perwakilan yang dikirim Allah untuknya. Maka ridho uminya adalah juga ridho dari yang diwakilinya. Pun doa umi, menjadi segalanya bagi hidupnya. Iqbal merosot, mencium kaki uminya.
Luli terkejut, hanya bisa diam melihat pemandangan di hadapannya. Sedang umi buru-buru menarik Iqbal untuk berdiri dan kembali memeluknya.
Ibu dan anak lelakinya itu sama-sama larut dalam bahagia. Luli mendekat, turut memeluk suaminya dari belakang. Lalu umi melepaskan pelukan pada si anak kesayangan, berganti memeluk menantu bungsunya.
"Terima kasih ya, Neng. Abah sudah cerita semuanya. Bahwa kepadamu Iiq mencurahkan segenap lukanya, hingga akhirnya bisa tersampaikan pada abah, dan mengubah semuanya. Umi sayang kamu, Zulfa. Titip anak kesayangan umi ya, Nak."
"Iya, Umi. Insya Allah. Saya juga sayang sama Umi."
"Sama aku sayang nggak?" sahut Iqbal merusak suasana.
"Sayang banget. Pak Iqbal kan dosen kesayangan semua anak sipil. Sebagai anak sipil, saya juga sayang dong."
"Oh, gitu ya. Jadi sayangnya cuma sebatas itu aja nih? Awas ya." Iqbal melingkarkan lengannya ke pinggang Luli, mengelus perutnya lembut.
"Dek, enaknya Ibu Sya'bani ini diapain ya?" Sok-sok bertanya pada Sya'bani junior, yang entah benar sudah ada atau hanya dalam keyakinan bapaknya saja.
"Kak, jangan mulai lagi deh."
"Kalian tuh ya, pada suka bikin umi baper deh."
"Hehe, maaf, Umi." Luli menyikut suaminya agar menjauh darinya.
"Oh iya, Umi. Maaf, kalau boleh tahu, kok Umi bisa bertahan untuk abah sampai sekian lama itu gimana? Saya aja ngadepin mantan-mantannya Kak Iiq rasanya udah yang pengin marah dan nangis." Iqbal tertawa. Mengusap kepala Luli yang masih terbalut mukena.
Umi tersenyum, "Dari sebelum menikah dengan abah, umi sudah tahu kalau abah itu duda cerai. Umi juga tahu sebab apa abah dan Kak Rini bercerai."
"Kak Rini itu ibu kah?"
"Iya. Namanya Arini."
"Umi sami'na waatho'na sama abah kakung, juga pakdenya Iiq. Keduanya sama-sama walinya umi, dan keduanya menyarankan umi untuk menerima abah. Tiga, dengan umi ibu. Maka menikahlah umi dengan abah.
"Dari sejak awal umi sudah siap dengan resiko apapun. Menikah dengan duda yang bercerai bukan atas kemauan keduanya. Dari sejak awal pula umi sudah bertekad, apapun kesusahan yang akan menimpa, umi akan bertahan di samping abah.
"Dan begitulah. Semua yang umi pikirkan benar terjadi. Abah bertemu lagi dengan Kak Rini, lalu umi bergeser menjadi bayang-bayangnya."
Umi berhenti sejenak, mengambil nafas panjang.
"Lalu, apa yang Umi lakukan? Apakah Umi terus menerima begitu saja?" Luli kembali bertanya.
"Umi meminta abah menikahinya lagi dan mengajaknya tinggal bersama kami."
Luli menyembunyikan kekagetannya. Iqbal pernah bercerita tentang ini, tapi mendengar sendiri dari pelakunya, tetap saja membuat Luli tercengang.
"K-kenapa b-begitu, Umi?"
"Karena abah selalu gelisah setiap kali ingat Kak Rini. Itu lebih mengganggu buat umi. Umi pikir dengan Kak Rini berada di dekat kami, abah tak lagi sering merasa gelisah. Karena sumber kegelisahannya ada di situ, tinggal datang, lalu gelisahnya hilang. Begitu kan?
"Sayangnya abah nggak mau. Kak Rini sama saja. Alasannya pun sama, tak mau menyakiti umi. Padahal yang abah lakukan itu sesungguhnya sudah menorehkan luka di hati umi." Umi tertawa getir.
"Sudah, Mi. Kalau Umi merasa berat menceritakan ini, nggak usah dilanjutkan saja. Luli pasti bisa mengerti."
"Nggak apa-apa, Dek. Umi baik,-baik saja kok. Ini untuk pelajaran juga buat Neng Zulfa. Juga buat kamu, anak umi yang playboy," ujar umi sambil tertawa. Iqbal sebaliknya, ia pasang muka masam sebagai bentuk ketidaksukaannya pada cap satu itu. Playboy!
"Lalu ibu pergi, Umi?"
"Kak Rini sempat hampir pergi lagi dari kehidupan kami. Dia sendiri yang meminta untuk pergi. Abah merelakan itu, hanya memohon kepada umi untuk tetap boleh menafkahi Kak Rini. Tapi umi yang nggak mau. Umi nggak mau Kak Rini pergi."
Lagi, Luli tak habis pikir pada sikap ibu mertuanya.
"Kak Rini sakit kanker, Neng. Dia pun sudah dijauhi keluarganya karena nggak mau menikah lagi dan selalu menolak setiap calon suami yang diajukan keluarganya. Di sisi lain, dia mencintai orang yang kami, umi dan anak-anak umi, cintai. Yaitu abah. Kak Rini itu orangnya baik, tulus. Kalau dia bilang mau pergi dan menjauh dari kami, itu bukan cuma basa-basi.
"Tapi umi nggak tega, Neng. Umi juga sayang sama Kak Rini. Kenyataannya saat itu kebahagiaan abah adalah dia. Sedang bagi umi, apa yang menjadi kebahagiaan abah, sudah seharusnya menjadi kebahagiaan umi juga.
"Maka umi memutuskan untuk mencarikan rumah buat Kak Rini. Juga seseorang yang akan menemaninya. Agar kami tetap bisa sewaktu-waktu bersilaturahim. Anak-anak semua hormat padanya. Menganggap Kak Rini adalah ibu mereka juga."
"Kok bisa begitu ya, Umi? Saya yang dengar ceritanya aja rasanya sakit hati. Maaf ya, Umi."
"Nggak apa-apa, Neng. Waktu itu umi hanya kepikiran abah. Umi istrinya, setiap ketidakikhlasan umi bisa jadi menjadi penghambat bagi rizki atau kebaikan-kebaikan untuk abah. Sedangkan semua itu nyatanya dibutuhkan oleh anak-anak. Umi juga nggak mau abah menanggung dosa karena perasaan yang mungkin bisa dibilang terlarang. Abah sendiri disuruh menikahi lagi nggak mau.
"Umi serba salah. Cuma satu yang umi harapkan, ialah ridho dari suami, dari abah. Itu saja, Nak.
"Ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa, Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya, dan menaati suaminya. Niscaya akan dikatakan padanya, 'Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau'."
(HR. Ahmad)
"Itu yang menjadi gula dalam kehidupan pernikahan umi, Nak. Menjaga kehormatan diri sendiri, juga suami. Menjaga kehormatan abah, juga taat kepadanya. Surga yang dijanjikan itu menjadikan kepahitan umi tak ada artinya.
"Lagipula, berbuat baik pada orang lain kan bukan sesuatu yang salah. Umi ikhlas. Itu pilihan umi sendiri, juga sebagai bagian dari takdir yang harus umi jalani."
"Sudah, Mi. Maaf. Tapi Iiq capek. Kalau Umi mau melanjutkan ini agar Luli bisa mengambil pelajaran, Umi ngobrol sama Luli saja ya. Iiq keluar dulu."
"Umi bisa memahami, Dek. Maafkan umi ya. Kita sarapan yuk, umi ibu bikin nasi grombyang lho. Itu menu wajib kalau Iiq nginap di sini, Neng. Iiq itu dimanapun jadi kesayangan. Kamu kudu banyak sabar, jangan cemburuan. Ya?"
"Tuuuh, dengeriiin." Iqbal serasa mendapat angin. Luli mencibir, mencubit pinggang suaminya.
"Kopinya nggak dihabisin, Kak?"
"Udah ah. Udah nggak panas."
"Buat saya ya?"
"Buat kamu? Kamu kan nggak doyan kopi pahit?"
"Ya nanti saya kasih susu sama gula."
"Eh, susunya jangan dikasihkan ke kopi dong. Enak aja. Kasihkan aku aja, itu kan hak milikku."
"Kak Iiiiiq!!"
"Iqbal Sya'bani!!"
Umi dan Luli memekik bersamaan. Iqbal kalau bercanda memang suka nggak lihat keadaan.
-----
Keluarga Sudjana beserta anak bungsu dan menantu berpamitan pada abah kakung, umi ibu, dan keluarga di Pemalang. Waktu menunjukkan pukul 12.30 saat Range Rover Sport hitam mengkilat meninggalkan kediaman sekaligus pondok pesantren abah kakung. Pak dan Bu Yus masih di Pemalang, mereka berdua yang akan membawa pulang mobil umi.
"Dek, abah terima kasih lagi ya," kata abah saat mobil memasuki jalur tol.
"Sudahlah, Bah, nggak usah dibahas terus."
"Oke. Sorry. Abah cuma ingin kamu tahu kalau abah seperti Innova, juga seperti grup band Padi."
"Maksudnya?"
"Abah reborn, Dek. Terlahir kembali."
"Astaghfirullah, Bah. Becanda mulu deh." Iqbal terlihat kesal. Sedangkan Luli sekuat tenaga menahan tawa melihat wajah suaminya yang hampir tak pernah ia jumpai raut serupa itu.
"Kak, cerita tentang kakak-kakaknya Kak Iiq dong. Saya kan belum ngerti? Tahunya cuma nama panggilan aja."
Luli mencoba membelokkan topik. Ia seakan mengerti jika suaminya sedang malas membahas lagi tentang abah dan umi. Dan ia cukup tahu, topik keluarga selalu membuat Iqbal bersemangat dan merasa gembira.
"Wah, iya. Aku belum pernah cerita tentang kakak-kakakku ke kamu ya, Neng." Luli benar, Iqbal begitu bersemangat.
"Jadi anaknya Abah itu lima dan semuanya punya pattern nama yang sama, Neng. Nama plus bulan lahirnya dalam hijriyah. Kayak aku nih, Iqbal Sya'bani. Jelas kan lahirnya bulan apa?
"Kalau Mbak Nana anak nomor satu, namanya Hasna Safria. Lahir bulan Safar. Yang kedua A Ican. Namanya Ihsan Muharram, lahirnya ya bulan Muharram. Yang ketiga Bang Ir, yang di Inggris. Namanya Irham Ramadhan. Terus Teh Acha, namanya Hafsha Rajbia, lahir bulan Rajab. Terus yang terakhir yang paling ganteng, baik, pintar, kesayangan semua orang---"
"Termasuk mantan yang banyak itu kan?" sahut Luli secepat kilat.
"Udah deh, Neng, hobi banget bahas itu." Iqbal melirik sengit istrinya dari spion tengah.
Umi ngakak, "Makanya jangan 'ujub. Kena deh. Rasain. Menantu kesayangan umi memang paling top." Ditepuknya pipi Luli dengan lembut, membuat menantunya merasa begitu disayang.
Topik obrolan selanjutnya tentang anak. Iqbal, abah, dan umi bergantian bicara tentang anak dan cucu abah umi. Anak Mbak Nana ada empat, A Ican tiga, Bang Ir tiga, Teh Acha juga tiga. Dibandingkan anak-anaknya, abah dan umi masih lebih unggul dalam jumlah anak.
"Kita nanti anaknya yang banyak ya, Neng. Paling enggak sekuatnya kamu lah. Kamu kuat sepuluh ya sepuluh. Delapan ya delapan. Enam atau lima, pokoknya sekuat dan senyamannya kamu."
"Kok berhenti di lima kak?"
"Ya kan minimal lima? Katanya anak harus lebih dari orang tuanya. Kalau Abah Umi anaknya lima, kita harus lebih dong, Sayang. Minimal sama lah."
Sungguh, Luli rasanya ingin tepuk jidat. Ia sama sekali tak pernah membayangkan punya anak lima. Tiga saja menurutnya sudah banyak.
"Alhamdulillah Allah kasih jodoh yang umurnya masih muda. Kalau tiap dua tahun sekali kita punya anak, sampai kamu umur tiga lima kita bisa punya anak tujuh, Neng." Nyaris sama sifatnya dengan sang kakak ipar, Iqbal pun selalu menghitung segala sesuatu dengan kecepatan super.
"Astaghfirullah. Tujuh?!"
"Udah sih, Iq, nggak usah bahas itu dulu. Kasian Neng Zulfa shock terus dengan pemikiran dan cita-cita kamu. Nikmati dulu lah masa-masa kalian berduaan. Nanti kalau udah punya anak, fokusnya Zulfa udah nggak cuma kamu lho, malah lebih banyak ke anak-anak kalian." Umi mengingatkan anaknya, melihat wajah Luli yang tidak nyaman.
"Kan Kak Iiq mau nyariin temen buat saya, Umi. Mungkin ntar saya yang bagian disuruh punya anak banyak, dia nyari lagi yang baru buat---"
Iqbal membanting setir ke kiri, lalu mobil direm mendadak. Abah, umi, dan Luli terkejut. Melihat sekeliling, tak ada apa-apa.
"Ada apa, Dek?"
"Aku nggak suka kamu ngomong seperti itu, Zulfa Nurulita! Aku kan udah bilang kalau yang kukatakan kemarin cuma bercanda! Nggak usah dibahas terus!" Tak menjawab uminya, Iqbal justru menatap Luli tajam.
"M-maaf, K-Kak. S-saya cuma becanda." Luli hampir menangis.
"Turun! Minta maaf sama istrimu!" sentak abah tak kalah galak.
"Kalian duduk belakang, biar abah yang bawa mobil. Neng, pindah ke depan." Perintah abah lagi, pada Iqbal, juga uminya.
Umi pindah ke depan. Iqbal mundur, duduk berdampingan dengan Luli. Suasana mobil berubah mencekam. Tak ada satu pun yang berniat mencairkan suasana. Umi berkali memandang wajah abah. Lalu mengulurkan tangannya dan dengan lembut menggenggam jari-jari suaminya.
Abah mengucap maaf. Untuk umi tentu, bukan untuk anaknya. Beberapa kali ia menatap Iqbal dari spion, beberapa kali pula pandangan mereka saling beradu. Tegang. Abah tetap menatap, sedang Iqbal membuang pandang. Kalah kuat.
Sesekali Iqbal mencuri pandang ke arah Luli, yang sejak datangnya sepi sunyi telah menangis meski tanpa suara. Hanya berulang mengusap pipi dan matanya. Sungguh, Iqbal merasa teramat berdosa.
Luli masih menunduk, tapi diam-diam mengamati sekelilingnya. Melihat umi yang menggenggam erat tangan abah, disusul permintaan maaf dari sang bapak mertua, Luli diam-diam melirik pada tangan suaminya. Ia menghela napas, membiarkan setiap gengsi terlepas.
Perlahan dan penuh keraguan, ia menggeser jemarinya, menaruh di atas jemari kokoh suaminya. Canggung. Kemudian ia menoleh, melihat ke dalam mata Iqbal Sya'bani yang terlihat berkaca-kaca.
"M-maaf," ucap Luli lirih.
Di luar dugaan, Iqbal langsung meraihnya ke dalam pelukan. Menumpahkan tangis di kepala sang istri. Kata maaf berkali ia lafalkan. Tak ada malu pada kedua orang tuanya. Ia hanya merasa lelah, juga merasa bersalah. Tak seharusnya Luli yang menjadi pelampiasan atas segala resah hatinya.
Sampai di rumah abah, Iqbal tak lagi keluar dari kamarnya. Usai melaksanakan salat asar berjamaah dengan Luli, ia merebahkan tubuhnya di atas bed berukuran 2x2 meter persegi. Luli tak boleh pergi, hanya boleh memeluknya. Ia ingin bermanja seperti bayi.
"Maafkan aku ya, Sayang. Nggak seharusnya aku bicara keras sama kamu. Aku kelepasan. Jujur, aku nggak suka dengan candaanmu tadi. Aku capek dengan segala sesuatu yang semacam itu."
"Saya yang minta maaf, Kak. Seharusnya saya mengerti dan memahami keadaan Kak Iiq. Kakak pasti capek, terutama hati. Kadang setelah bertahun kita menyimpan sesuatu sendiri, saat sesuatu itu akhirnya bisa kita lepaskan, saat itulah kita justru baru merasakan capek yang luar biasa.
"Istirahat dulu, Kak. Fisik mungkin lelah, tapi saya yakin, hati Kakak jauh lebih lelah. Saya janji nggak akan ke mana-mana. Saya di sini buat nemenin Kak Iiq. Apapun yang Kakak minta, apapun yang Kak Iiq perlukan. Saya yang akan memenuhi semuanya."
"Terima kasih ya, Sayang. Maafkan aku kalau membuatmu kecewa."
"Kecewa? Maksudnya?"
"Karena aku nggak sebaik yang kamu kira. Juga keluargaku. Kami nggak seideal yang kamu sangka, nggak sesempurna yang selama ini kamu tahu. Aku cuma manusia biasa."
"Ssstt, nggak usah mikir yang begitu-begitu ah, Kak. Saya janji, mulai sekarang saya akan menjadi seperti umi. Yang tangguh, yang sabar, yang---"
"Siapa yang suruh kamu jadi seperti umi, Zulfa?" Iqbal bangkit tiba-tiba. Menatap tajam mata Luli seakan menunjukkan ketidaksukaannya.
"Ehk, b-bukannya Kak Iiq lebih suka kalau saya jadi perempuan dewasa yang tangguh, sabar---"
"Nggak! Aku nggak suka." Lagi-lagi Iqbal menyela Luli bicara. Coba kalau dia yang disela, pasti bete.
"Kamu bukan umi, umi bukan kamu. Kalau kamu jadi perempuan yang tangguh, dan semacam itu, lalu siapa yang akan manja-manja sama aku, ngambekin aku, bikin aku bingung sekaligus gemes ngadepin kamu? Nggak nggak nggak. Kamu nggak usah jadi seperti umi. Aku mencintai kamu apa adanya, Luli. Tetaplah jadi Luliku. Tetaplah seperti kamu yang kukenal sampai hari ini.
"Kamu sudah ideal menurutku, Sayang. Kamu bisa menempatkan diri. Kapan bisa manja, kapan boleh ngambek, tapi juga tahu kapan harus kuat untuk aku, kapan harus sabar menghadapiku. Itu sudah cukup buat aku, Sayang.
"I love you just the way you are."
Iqbal kembali merengkuh Luli, menenggelamkan dalam pelukan hangatnya. Ia menangkup pipi istrinya, dan mendekatkan wajah pada wajahnya. Mereka tak lagi berjarak. Luli yang dari awal hampir tak pernah malu-malu, lanjut menggoda sang suami. Ia pikir ini akan membuat Iqbal sedikit lupa pada segala jenis letih hati.
Pendingin ruangan mulai kehilangan kesejukan. Setidaknya bagi dua sejoli yang baru sepekan mengarungi biduk rumah tangga. Panas, hingga saling membiarkan semua terlepas. Luli mulai sesak napas, tapi tak ada yang berniat menghentikan aktivitas.
Tiba- tiba....
Tok tok tok. "Dek, tidur kah? Bangun, Dek, Neng. Ada Pak Rofiq sama ibu ke sini."
"Astaghfirullah hal adzim!" pekik Iqbal.
Didorongnya Luli begitu saja. Tak seperti biasanya, ia panik, bersegera masuk ke kamar mandi. Luli menyusul dengan keki.
"Kak Iiq kenapa sih?" Luli yang kesal.
"Maaf, Neng. Nanti dilanjut lagi deh. Nggak enak sama bapak ibu. Aku kan mantu, harus menjaga nama baik diri sendiri dong. Ga enak kalau ketahuan ginian mulu. Nggak di sana, nggak di sini, nggak di Madina. Di mana-mana. Malu." Luli tak jadi kesal, ia justru terpingkal-pingkal.
"Kak Iiq bisa konyol juga ya ternyata?"
"Udah, buruan mandi, Neng. Jangan biarkan bapak ibu kelamaan nunggu!"
Walaupun dadakan dan tanpa mengabari terlebih dahulu, abah dan umi merasa senang sekali mendapat kunjungan dari bapak dan ibu. Dua pasangan sesepuh tersebut ngobrol akrab di teras yang menghadap kolam renang.
"Gimana, Iq? Luli ngambek lagi nggak?" tanya bapak sambil tertawa.
"Nggak, Pak. Kelihatannya Luli ngambek itu kalau cuma berdua sama saya saja. Atau dengan bapak, ibu, Zulfikar, atau Asya. Di luar itu dia luar biasa."
"Tuh, ngeledek kan." Luli cemberut. Iqbal gemas dan menarik mulut istrinya. Yang lain tertawa melihat kemesraan kedua pengantin baru.
"Lagian sensi gini kan karena lagi ada Sya'bani junior di sini. Ya kan, Neng?" Untuk kesekian kali Iqbal mengusap perut Luli, yang segera ditepis oleh pemiliknya.
"Apa sih, Kak?! Malu tau."
"Iya nih, baru juga seminggu, masa udah hamil sih. Ngambekan karena PMS kali, Iq?" kata umi.
"Ya nanti tunggu minggu depan, Mi. Kata Luli dia haidnya nggak teratur. Sebenarnya bisa dihitung masa suburnya sih. Nanti kita catat tanggal haidnya kamu enam bulan terakhir ini ya, Neng, biar bisa kita hitung pastinya."
"Males ah. Harus bilang berapa kali lagi sih? Nanti kalau memang udah waktunya hamil ya hamil, Kak. Nggak usah ribet deh." Luli merasa begitu sebal pada sang suami. Apalagi mengingat cita-citanya untuk punya anak banyak. Duh.
Umi mengganti topik. Berenam kembali hanyut dalam obrolan yang penuh keakraban. Luli masih menyisakan rasa kesal dan sebal, tapi berkali pula menunjukkan kemesraan di depan para orang tua. Semua memaklumi, namanya juga pengantin baru.
Setelah melewati salat maghrib dan isya berjamaah, lalu makan malam bersama, dilanjutkan ngobrol lagi sampai hampir jam sembilan, akhirnya Pak dan Bu Rofiq berpamitan.
Luli menyalami bapak, lalu ibu. Diciumnya pipi ibu, lalu memeluk perempuan yang telah melahirkannya. Ia menangis dengan isakan kecil.
"Lho, kok nangis ini kenapa lagi to, Nduk?"
"Luli mau ikut ibu pulang. Hiks."
"Gimana to ini?"
Iqbal mendekat, mengelus punggung istrinya.
"Suka gitu deh. Dimaklumi nggih Pak, Bu, Bah, Mi. Dia memang gini. Kadang di Madina aja minta pulang. Apalagi kalau lagi ngambek atau bete atau mood-nya jatuh. Auto minta pulang." Iqbal memohon pemakluman untuk istrinya.
"Terus aku gimana dong, Neng, kalau kamu ikut ibu pulang?"
"Ya Kak Iiq juga harus ikut. Kalau Kakak nggak ikut nanti saya nggak bisa tidur, nggak ada yang meluk."
"Oalah, Nduk. Ojo ngisin-isini bapak ibu to. Udah jadi istri kok gitu. Ada mertua juga."
(Oalah, Nduk. Jangan malu-maluin bapak ibu, to.)
"Jangan-jangan Iiq bener ini, Bu Rofiq."
"Bener gimana, Bu Sudjana?"
"Mood-nya kelihatan agak ekstrim naik turunnya. Mungkin benar Neng Zulfa---"
"HAMIL?!" seru ibu, bapak, dan abah bersamaan.
Mendengar kata 'hamil' mood Luli makin nyungsep. Ia lari begitu saja meninggalkan para tetua beserta suaminya.
"Ya Rabb. Siap-siap pegel ini suruh meluk semalam suntuk," gumam Iqbal sambil menepuk jidatnya. Lalu buru-buru mengejar Luli tanpa sempat pamit pada orang-orang tua.
***
Luliii... Labil banget sih kamuuu!!
Ada ngambeknya, manjanya, sedihnya, tapi juga ada kuatnya, dewasanya, tau menempatkan dirinya...
Ah, pantes aja Iqbal menjelma menjadi bucin kalau udah di depanmu. Aish.
Jadi gini, aku tuh udah nyicil nulis berhari-hari buat part ini. Seleganya aja gitu, tiap lega dan gak ada anaj-anak, aku ngetik. Kl ada mereka pasti diprotes, "Mama main hape mulu!"
Selain seleganya, juga sengalirnya aja. Ternyata jadinya panjang bingit. Mana gaje pulak. Atuh lah. Akhirnya kubuang-buang yang sekiranya gak penting. Eh masih panjang aja. Kubuang lagi, masih panjang juga. Ah embuh wis, seadanya aja lah ya. Semoga kalian nggak bingung bacanya. Kalau bingung ya mohon maaf lahir batin saja. Hehe.
Baiklah. Terima kasih sudah membaca dan meramaikan lapaknya Luli Iqbal.
Ikan hiu ngegigit Iqbal
We love you all
Sampai jumpa
❤❤❤
Semarang, 27092020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top