Part 23.

Aku maunya meluk kamu. Aku maunya janji sama kamu untuk nggak menyakiti kamu sepanjang kebersamaan kita. Sampai salah satu dari kita lebih dulu meninggalkan dunia.

-------

Duh, aroma menyedihkan menguar tajam ini kayanya. Siapin tisu ya, mana tahu kalian bacanya sambil berlinangan air mata.
Atau siapin cemilan deh, biar nggak kerasa sedihnya karena sambil ngunyah. Haha...

Air mendidih dituang ke bak
Aku bacanya sedih sih, masak kamu kagak?!
*maksa :D

***

Sabtu pagi. Iqbal dan Luli baru usai mengupayakan kehadiran seorang bayi. Mood Nyonya Sya'bani sudah lebih baik dari hari sebelumnya. Begitu pula kondisi kesehatannya.

Sejak usai subuh sampai lewat jam delapan, mereka berdua masih betah di dalam kamar. Iqbal sebenarnya tak enak hati. Kalau saja mereka di Madina, tentu ia tak memikirkan apapun. Bahkan dengan senang hati jika harus berada di kamar sampai menjelang salat zuhur nanti. Tapi ini di rumah mertua, tentu saja ia punya kewajiban untuk menjaga nama.

Berbeda dengan Luli, yang sejak kemarin seolah putus urat malu di depan bapak ibu. Ia tak mau ditinggal suaminya barang semenit saja. Manjanya luar biasa.

"Neng, udah tiga jam lebih lho. Kita keluar kamar yuk. Nggak enak sama bapak ibu," ajak Iqbal.

"Ih, apa sih, Kak. Biasa aja kali. Kan kita pengantin baru. Bapak ibu juga pasti tahu. Lagian, bapak kan tenis."

"Terus siapa yang antar bapak, Neng?"

"Yaelah, Kak. Bapak kan bisa nyetir, bisa bawa motor, ada ibu juga."

"Ya tapi nggak gini juga lah, Neng. Kalau mau berdua-dua terus, kita pulang ke Madina aja." Luli cemberut.

"Ya udah, yuk, mandi dulu. Habis itu kita pulang."

"Nggak mau ah. Mandinya nanti sekalian kalau udah selesai semua."

"Eh, kamu masih mau lagi?" Iqbal geleng-geleng. Keberatan? Tentu saja tidak. Malah sebaliknya.

Dia hanya heran, sebenarnya ada apa dengan sang istri, kenapa dua hari ini sikapnya tak seperti biasa. Kalau cuma ngambekan, Iqbal sudah mulai terbiasa. Tapi kali ini mood swing Luli agak luar biasa.

"Kamu kapan haidnya, Neng?"

"Apa sih nanya-nanya haid segala?"

"Mood swing-mu dari kemarin agak luar biasa. Jujur, aku bingung ngadepinnya. Apa mungkin kamu sedang PMS?"

"Tau PMS segala. Dulu sering ngadepin mantan PMS ya?"

"Ya Allah, Neng, pikiranmu lho. Aku tuh nggak pernah ngurusin yang beginian. Baru sekali ini nanya tentang PMS, disemprot pula sama istri." Wajah Iqbal dalam mode serius.

"Nggak tau deh, Kak. Iya kali. Soalnya saya haidnya nggak teratur. Jadi nggak gitu paham dan merhatiin juga biasanya gimana kalau lagi PMS."

"Atau jangan-jangan ... kamu hamil?" seru Iqbal.

"Ya Rabb, itu lagi. Kita baru nikah seminggu lho, Kak. Kak Iiq udah pengen banget punya anak apa gimana sih?"

"Tunggu deh," kata Iqbal dengan semangat. Kemudian asyik dengan ponselnya.

"Apa lagi sih, Kak? Daripada main HP kan mending kita ke Madina sekarang."

"Ssstt, aku belajar dulu tentang ovulasi. Siapa tahu kamu hamil."

"Kak, Kakak itu insinyur, bukan dokter. Udahlah nggak usah pusing mikir begituan. Kalau nanti waktunya saya hamil ya hamil aja sih."

Luli kesal pada bahasan Iqbal yang tak beralih topik barang sejengkal.

"Nggak gitu, Neng. Aku harus memastikan kondisimu begini karena apa. Kalau hamil kan berarti aku harus memberi perlakuan lebih istimewa lagi ke kamu. Kalau PMS berarti aku yang siap-siap dari sekarang."

"Siap-siap apa?"

"Siap-siap puasa lah." Iqbal tertawa.

"Kak Iiq tuh memang nggak jelas! Udah ah, saya mau mandi aja, nggak jadi ke Madina."

Luli ngambek lagi. Duh, berat!

Iqbal ikut keluar kamar, mendapati ibu yang sedang membaca buku di teras belakang.

"Bapak masih tenis, Bu?" Iqbal basa-basi, duduk di bangku panjang bersama sang mertua.

"Iya. Luli gimana?"

"Nggak apa-apa, Bu. Alhamdulillah sudah baikan, cuma maunya tiduran terus. Sama ya itu, Bu, mood-nya masih naik turun. Apa biasa begitu kalau mendekati haid, Bu?"

"Setahu ibu sih nggak. Lagi aleman (manja) aja itu sih, namanya juga pengantin baru. Apalagi kamu manjain dia banget, makin makin deh kolokannya."

"Iya, nggak apa-apa, Bu. Saya senang kok."

"Tapi jangan keterusan juga, Iq. Dia kan nantinya juga akan jadi ibu, nggak selamanya berdua saja. Kalau gitu terus juga nanti lama-lama kamu capek. Malah nggak baik juga jadinya."

"Nggih, Bu. Insya Allah nanti kalau sudah tepat waktunya, pelan-pelan mulai Iqbal kasih tahu, Bu." Ibu mengangguk setuju.

"Emm, atau mungkin Luli hamil ya, Bu?" Ibu terbahak.

"Ya Allah, Iq. Kalian itu nikah baru seminggu lho."

"Ya siapa tahu yang pas hari Ahad atau Senin sekarang udah jadi, Bu." Tawa ibu makin keras.

"Lha emang bikin kerupuk, dua tiga hari jadi. Udah pengin punya anak banget to, Iq?" Ibu mencoba memastikan pada sang menantu.

"Itu salah satunya, Bu. Maksud saya sih kalau Luli hamil kan berarti saya sendiri harus mulai hati-hati dan lebih perhatian sama dia. Ya sikap, ya perlakuan, kesabaran, semua, Bu."

"Alhamdulillah. Kami terima kasih sekali ya, Iq, kamu begitu sayangnya sama Luli, padahal anaknya kayak begitu, bocah banget. Kami minta maaf kalau belum berhasil mendidik Luli jadi istri yang ideal."

"Nggak, Bu. Luli sudah paling ideal buat saya. Lagipula, ideal itu kan sebenarnya nggak ada, Bu. Karena yang namanya ideal pasti isinya yang baik-baik semua. Sedangkan manusia pasti ada kekurangannya.

"Saya yang maturnuwun. Bapak, ibu, dan Zulfikar sudah mencurahkan kasih sayang yang luar biasa untuk Luli sehingga Luli jadi anak yang juga penyayang. Saya bisa merasakan sayangnya Luli untuk saya, Bu. Tulus. Walaupun kadang manjanya, ngambekannya, mood-nya memang bikin ngelus dada. Tapi itu juga sekaligus hiburan buat saya.

"Kalau bukan Luli, mungkin saya sendiri ngadepinnya ya jengkel. Tapi entah kenapa kalau sama Luli yang ada malah gemes gitu. Pengin meluk, pengin manjain, pengin saya sayang-sayang terus, Bu."

Iqbal tertawa. Ibu juga. Haru dan bahagia tampak di wajah sang ibu mertua. Tak sadar, ada sepasang mata yang sudah gerimis mendengar percakapan orang-orang tercinta.

Luli menyeruak diantara ibu dan suaminya. Mengusap matanya sambil terisak-isak.

"Kamu kenapa lagi sih, Nduk? Jangan suka bikin suamimu bingung to."

"Enggak, Bu. Luli dengar semuanya. Luli sayang sama ibu. Luli sayang sama Kak Iiq. Luli minta maaf kalau suka bikin bingung. Huhuhu."

Iqbal merangkul Luli. Menaruh kepala sang istri ke dadanya.

"Ssstt, nggak nangis ah. Kami tahu kok kamu gimana. Bikin bingung ya nggak apa-apa, malah nggak usah main game segala, main sama mood kamu aja udah menantang." Goda Iqbal.

Luli cemberut. Menenggelamkan wajahnya lebih dalam pada dada suaminya. Satu tangannya menggenggam erat jemari ibu.

"Pengen jalan-jalan nggak, Neng?" Tawar Iqbal, mencoba menghentikan tangis Luli.

"Ke mana, Kak?"

"Ya terserah kamu. Pengin ke mana? Belanja mungkin? Jajan sepatu? Atau sandal, baju, tas, make up? Apa aja. Dari sejak nikah kan aku belum beliin kamu apapun."

"Udah to, Iq, nggak usah terlalu dimanja. Lagian si Luli tuh nggak hobi shopping. Dia paling jajannya buku. Selebihnya rebahan aja baca."

"Ibu tau aja deh ya." Luli merajuk.

"Kemarin udah dibeliin buku sama Kak Iiq, Bu. Dua puluh. Baru satu dua yang Luli baca. Lah tiap mau baca yang beliin gangguin terus."

"Halah, wong kamu digangguin juga seneng," balas ibu. Telak. Bertiga tertawa. Luli tersipu.

"Atau Ibu mungkin, pengin jalan-jalan atau pergi ke mana gitu, Bu? Nanti kami antar." Iqbal mengalihkan pembicaraan.

"Nggak, Iq. Ibu sama bapak nanti mau pergi kok. Ada teman lama bapak yang baru pulang ke Indonesia. Dulu tinggal lama di timur tengah sana. Udah pensiun terus maunya pulang. Padahal di sana kan udah enak ya."

"Di mana rumahnya, Bu?"

"Di Salatiga. Nanti mau sekalian mampir rumah besan."

"Ibu malah belum ke rumah besan yang dekat lho. Kapan mau main ke Bukit Sari, Bu?" Iqbal berharap.

"Iya. Maaf ya, Iq. Insya Allah segera diagendakan. Kadang suka begitu, yang dekat malah nggak sampai-sampai. Pikirnya dekat ini, bisa sewaktu-waktu. Eh, waktunya nggak datang-datang. Maaf ya, Iq." Ibu tampak tak enak hati. Iqbal jadi merasa bersalah.

"Nggak apa-apa, Bu. Pokoknya kapanpun bapak sama ibu mau main ke Bukit Sari, kami siap mengawal. Yang penting jangan mendadak, Bu, biar sempat gelarin karpet merah dulu." Mereka bertiga tertawa lagi. Lalu terdengar nada panggil dari ponsel Iqbal di kamar.

"Neng, tolong ambilin HP-ku ya," kata Iqbal sambil mengecup kepala istrinya.

Luli segera bangkit, sudah menjadi prinsipnya untuk tak menunda apapun permintaan sang suami. Kecuali saat mood-nya sedang tak bersahabat, bisa habis si Iqbal kena damprat. Dasar Luli!

"Umi, Kak." Luli menyodorkan ponsel Iqbal.

"Kenapa nggak kamu angkat?" Luli baru mau menjawab, tapi Iqbal sudah lebih dulu bicara dengan sang ibu, setelah mengaktifkan loud speaker agar Luli turut mendengarkan.

"Assalamualaikum, Umi sayang. Gimana, Mi?"

"Waalaikumussalam, kesayangan Umi."

Ibu menahan tawa mendengar panggilan umi kepada bungsunya.

"Dek, umi nanti sore ke Pemalang. Ada pengajian besar di pondok abah kakung. Sama Pak Yus dan Bu Yus. Abah nggak ikut, ada pekerjaan proyek di Kendal. Nanti malam kamu tidur di Bukit mau ya, Dek? Tapi bilang dulu sama Neng Zulfa lho, kalau dia nggak mau ya udah jangan dipaksa."

"Nggak, Mi. Dia pasti mau. Nanti malam Iiq tidur di Bukit. Umi tenang aja, abah nggak sendirian deh. Iiq janji."

"Alhamdulillah. Sampaikan maaf umi sama Neng Zulfa ya."

"Assalamualaikum, Umi. Ini Luli, Umi. Insya Allah nanti malam kami tidur di sana. Umi hati-hati ya."

"Waalaikumussalam. Masya Allah menantu kesayangan, Umi. Terima kasih ya, Neng. Kamu gimana? Udah sehat? Umi mau punya cucu kah?"

"Hehe, belum lah, Umi. Baru seminggu masa udah mau punya cucu. Doakan aja ya, Mi. Kak Iiq bilang udah pengin punya baby. Ibunya kurang gemes katanya, mau baby-nya aja." Di seberang sana umi terbahak.

"Fitnah banget sih!" Iqbal mendorong pelan kepala Luli dengan telunjuknya. Ibu tertawa melihat kedekatan anak dan mantunya.

Usai salat zuhur di masjid perumahan, Iqbal dan Luli berpamitan pulang ke Madina, bersamaan dengan bapak dan ibu yang hendak ke Salatiga.

"Neng."

"Hemm."

"Nggak apa-apa kan nanti malam tidur di rumah abah?"

"Nggak apa-apa banget. Asalkan sama Kak Iiq, tidur di mana aja juga hayuk."

"Hemm. Mulai pintar ngegombalin aku yaaa."

"Nggak gombal kok, memang begitu kenyataannya." Luli cemberut.

"Memangnya Kak Iiq, hobinya ngegombal, sampai mantan-mantannya pada nggak bisa move on. Huh."

"Ya Allah, Neng. Percaya deh, aku itu nggak pernah gombal sama mereka. Cuma sama kamu aja."

"Masaaa?"

"Aku nggak menuntut kamu untuk percaya kok. Kamu sayang aku, itu---"

"Udah lebih dari cukup. Bener kan?" Iqbal terbahak, mengusap gemas kepala istrinya.

Cuma lima menit perjalanan, mereka sudah sampai di Madina. Iqbal menyuruh Luli beristirahat. Dia yang akan menyiapkan makan siang untuk mereka berdua. Gurame asam pedas terhidang tak lama setelahnya. Luli tersenyum bahagia, masakan suaminya sungguh nikmat tak terkira.

"Nggak ada niat ngajarin saya masak nih, Kak?"

"Belum."

"Kenapa? Katanya kalau punya ilmu harus dibagi."

"Ya, tapi nggak sekarang-sekarang  ini deh, Sayang."

"Kenapa?"

"Soalnya kita masih pengantin baru. Kalau di dapur sama kamu bukannya pengen nyicipin masakannya malah pengennya nyicipin kamu. Lagi, lagi, dan lagi. Kamu tuh memang candu buat aku."

"Tuh, gombal lagi kan?" Iqbal lagi-lagi tertawa.

"Ya udah, kamu cuci piring ya, habis itu ke kamar. Aku tunggu."

"Mau ngapain emang?"

"Mau kuajarin masak ikan."

"Masak ikan? Ikan apa nih masaknya di kamar?" Luli curiga.

"Iii kan aku mau itu."

"Duh, genitnya om-om satu ini. Untung sayang."

"Dih, ge-er. Maksudku mau itu tuh mau nyelesaiin kerjaan."

Luli berlari menghampiri Iqbal. Menghujaninya dengan cubitan sampai suaminya berteriak-teriak minta ampun. Lalu --lagi-lagi-- ponsel Iqbal berbunyi.

Umi yang menelepon. Mengabarkan pada Iqbal akan berangkat ke Pemalang jam empat sore, mampir Kendal untuk dropping abah di proyek. Rencananya abah akan pulang bersama salah satu pegawainya. Iqbal menawarkan diri untuk menjemput abah. Memaksa abah lebih tepatnya. Ia ingin sekalian mengajak Luli agar tahu bagaimana pekerjaan orang teknik sipil di lapangan.

Deal. Dengan abah umi, juga dengan Luli. Maka sesaat setelah maghrib mereka berdua --Iqbal dan Luli-- telah siap meluncur ke Kendal.

Di sana, Iqbal yang memang jarang turun ke lapangan ikut mendampingi abah ke sana ke mari. Begitu juga dengan Luli, yang merasa bangga bisa turun langsung ke lapangan dengan helm proyek warna putih bertengger di kepalanya.

"Neng Zulfa sekarang fokus kuliah aja, biar cepet lulus. Nggak usah S2 lah, langsung masuk kantor aja, nanti abah ajarin. Iiq nggak mau nerusin abah. Kalau ada kamu kan abah ada harapan. Paling nggak kalau kamu yang bujukin Iiq mungkin dia lebih gampang nyerahnya."

"Haha, Abah bisa aja. Nanti lah, Bah, ada waktunya Iiq turun lagi ke proyek gini."

"Kamu kalau nggak lagi butuh duit mana mau pegang proyek, Dek." Abah menoyor kepala anak bungsunya.

"Ya kayak gitu itu suamimu, Neng. Cowok matre." Abah terkekeh. Luli tertawa renyah.

Abah bahagia, dari dulu memang menginginkan ada anaknya yang melanjutkan usahanya, menemaninya turun ke lapangan, dan sebagainya. Anak Meski Iqbal hanya satu dua kali, tetap saja abah senang dibuatnya.

Mereka meninggalkan site tepat pukul 20.30. Dari balik kemudi Iqbal ngobrol banyak tentang proyek-proyek yang sedang ditangani abahnya. Luli menyimak saja, belum terlalu paham pekerjaan di lapangan, hanya istilah-istilahnya saja yang cukup akrab di telinganya.

Abah menyuruh Iqbal mengambil jalur ke luar di gerbang tol Banyumanik, bukan Jatingaleh. Mengajak anak dan menantunya melipir sejenak untuk makan di satu restoran fastfood. Kesempatan, karena umi paling malas kalau diajak makan di tempat semacam itu. Nggak sehat menjadi alasan utama.

Obrolan tentang dunia sipil dan konstruksi masih berlanjut di meja makan. Luli tetap menjadi pendengar setia. Tak sadar sudah menghabiskan banyak makanan yang tadi dipesannya hanya berdasarkan keinginan semata. Entah, di benak Luli semua seakan lezat dan mengundang selera. Iqbal menuruti saja, ia masih berkeyakinan bahwa istrinya --mulai-- hamil. Terserah kamu saja, Iq!

Sesampainya di rumah mau tak mau mereka semua memperbarui mandinya. Berada di lapangan cukup lama tetap saja meninggalkan rasa tak nyaman di badan.

Hampir setengah sebelas ketika Iqbal sudah kembali segar dan siap beristirahat. Tidur? Tentu tidak. Mana mungkin ia melewatkan begitu saja malam panjang bersama istrinya.

Iqbal baru saja melancarkan rayuan dan godaan pada Luli. Gawainya berdering nyaring, satu panggilan dari abah.

"Iya, gimana, Bah?" Luli turut mendengarkan.

"Turun ya, Dek. Abah di studio. Nggak bisa tidur nih."

"Oh iya. Siap, Bah."

Panggilan diakhiri. Iqbal meminta maaf pada Luli. Ia mengenakan kembali kausnya dan membetulkan sarungnya, lantas bersiap turun ke tempat di mana abah sedang menunggunya.

"Kamu terserah mau apa, Sayang. Mau baca, mau tidur, mau rebahan, pokoknya senyaman kamu ya. Kalau kangen sama aku, kamu turun aja nyusul ke studio. Udah tahu tempatnya kan?"

Luli mengangguk. Mengikat rambut seadanya, kemudian beranjak menuju meja kerja suaminya. Ia memilih untuk membaca novel saja.

Baru lima belas menit, konsentrasi Luli sudah tak baik. Ia merasa harus menyusul Iqbal. Entah, ia sendiri tak tahu kenapa. Mungkin kangen. Atau kambuh manjanya. Sekali lagi entah, Luli tak mengerti. Ia hanya mengikuti irama kaki untuk mencari sang suami.

Memasuki studio, Iqbal menyambut Luli dengan gembira. Memeluk dan mencium seakan lama tak berjumpa. Abah sampai geleng kepala melihat dua anak muda yang sedang dilanda asmara.

Abah memecah suasana dengan suara denting dari tuts keyboard. Begitu mendengar intro lagu, wajah Iqbal berubah sendu.

She's always on my mind
From the time I wake up 'til I close my eyes
She's everywhere I go
She's all I know

And though she's so far away
It just keeps gettin' stronger, every day
And even now she's gone
I'm still holding on
So tell me where do I start
'Cause it's breakin' my heart
Don't want to let her go

Maybe my love will come back some day
Only heaven knows
And maybe our hearts will find a way
Only heaven knows
And all I can do is hope and pray
'Cause heaven knows
(Rick Price - Heaven Knows)

Mata Iqbal tak lepas memandang abahnya. Sedang Luli tak berhenti menatap suaminya yang tak seperti biasa. Lelakinya itu terlihat sedih. Merapatkan giginya dengan rahang mengeras. Garis wajahnya terlihat tegas. Begitu tampan, tapi seperti menyimpan luka. Luli diam saja, takut bersikap dan malah salah.

Suara abah yang tak kalah merdu dari anak bungsunya begitu menghayati bait demi bait lagu. Bagai sedang mencurahkan apa yang ada di hati. Luli tak begitu tahu, sebab ia merasa tak akrab dengan lagu itu.

Belum selesai abah konser, Iqbal bangkit dari duduknya, mengambil gitar dari stand-nya. Menunggu abah selesai dengan keasyikannya.

"Sudah, Bah?" tanya Iqbal.

"Kenapa, Dek? Kamu nggak suka?"

"Kalau sudah gantian Iiq yang mewakili abah. Ini satu lagu buat umi. Mungkin abah nggak pernah kepikiran untuk punya lagu buat umi, seperti abah selalu punya lagu buat ibu. Tapi Iiq punya, Bah. Lagu yang semestinya abah tujukan buat umi."

Petikan gitar mulai terdengar. Melodi yang mestinya syahdu terdengar menyayat. Suara yang keluar pun terdengar begitu berat. Mungkin sebab wajah si penyanyi yang menunjukkan luka teramat sarat.

Tubuh Luli menegang. Ia tak tega melihat wajah suaminya. Rasanya ingin memeluknya sekarang juga.

Dua per tiga lagu sudah terlewat. Iqbal bertahan, meski suaranya makin sumbang dan akhirnya menghilang. Luli memeluk suaminya. Abah termangu, tak menyangka telah menggores luka di hati anak kesayangannya.

"Maafkan abah, Nak. Abah nggak tahu kalau kamu terluka karena itu."

"Tujuh tahun, Bah. Cuma Iiq yang tahu gimana Abah sama Umi. Jodoh Abah dan ibu sudah berakhir, bahkan puluhan tahun sebelum ibu akhirnya pergi. Ini sudah lewat tujuh tahun, Bah, dan Iiq masih belum melihat niat Abah untuk melepaskan ibu.

"Iiq anak umi, Bah. Sehormat apapun pada ibu, yang melahirkan Iiq adalah umi. Iiq tahu umi kuat. Tapi nggak demikian dengan Iiq, Bah. Iiq capek.

"Abah tahu kan, Iiq di sini malam ini atas permintaan umi. Umi yang paling tahu Abah. Umi yang mengerti kalau Abah pasti ingat ibu saat sendiri, makanya umi minta Iqbal di sini. Biar Abah nggak kesepian, terus ingat sama ibu lagi.

"Harusnya Abah bersyukur ada umi, yang selalu ikhlas dan kuat di samping Abah. Bukan malah melanjutkan kenangan yang seharusnya sudah dikubur dalam-dalam.

"Iiq capek, Bah." Iqbal mengakhiri luapan perasaannya dengan lirih. Seakan menunjukkan bahwa ia telah benar-benar letih.

"Umi tahu kamu menyimpan semua ini?" tanya abah.

"Nggak. Karena Iiq tahu, umi nggak akan kuat kalau ngerti Iiq begini. Umi mungkin sanggup bertahan di samping Abah, tapi Iiq nggak yakin umi bisa bertahan, kalau tahu hati Iiq yang terluka."

Iqbal menyusut cairan di kedua sudut matanya. Luli masih setia menggenggam tangan kanan sang suami. Sekuat tenaga menahan bening yang telah menggenangi kedua netra. Ia tak mau memperlihatkan kesedihan atas luka lelakinya. Ia tahu, saat ini harus kuat untuk menopang lemah suaminya.

"Kakak-kakakmu tahu?"

"Nggak ada yang tahu. Cuma Luli." Digenggamnya jari istrinya erat. Makin erat.

"Terima kasih, Nak. Maafkan abah yang terlalu hanyut sebagai ahli sejarah." Mencoba mencairkan suasana, meski dengan nada yang tetap datar dan tegang seperti sebelumnya. Sayang, bungsunya diam saja.

"Menurutmu, apa yang harus Abah lakukan?"

"Maaf, Bah. Harusnya untuk hal seperti ini Abah nggak perlu bertanya. Iiq tahu, ini cuma basa basi saja. Tapi terserah Abah sih, itu hak Abah. Iiq nggak punya wewenang apapun untuk mencampurinya."

"Kamu punya, Nak. Kamu anak abah, punya kewajiban mengingatkan ketika abah memilih jalan yang salah."

"Iiq nggak punya keinginan apa-apa. Iiq cuma mau umi bahagia. Iiq cuma mau umi memiliki cinta Abah seutuhnya. Iiq cuma mau umi di sini tanpa bayang-bayang siapapun. Umi pantas mendapatkan itu semua.

"Iiq sekarang sudah punya istri, Bah. Sudah punya keluarga. Meskipun istri Iiq juga sayang dan menghormati umi, tapi ada waktunya kami nggak lagi menjadi bagian seutuhnya dari keluarga kami masing-masing.

"Kemarin, cuma Iiq yang masih ada sepenuhnya buat umi. Tapi sekarang mungkin nggak bisa lagi. Iiq nggak bisa sepenuhnya menyediakan diri untuk umi. Maka Iiq berharap, Abah yang mengambil alih kembali tugas itu untuk umi.

"Kalaupun bukan untuk umi, minimal Abah melakukannya untuk Iiq, Bah. Iiq mohon." Terdengar jelas getaran dalam suara Iqbal.

"Maafkan abah ya, Dek. Abah janji, mulai saat ini akan mengubur dalam-dalam semua yang berhubungan dengan ibu. Bukan cuma buat umi, atau buat kamu. Tapi buat semua anak-anak abah. Hasna, Ican, Ir, Acha, dan terutama kamu. Kalian semua, Dek.

"Terima kasih ya, Dek, sudah mengingatkan abah. Sudah menyadarkan abah." Abah memeluk anak kesayangannya. Air mata berlelehan di kedua pipi yang menua.

Iqbal menepuk hangat punggung abahnya. Sedang tangan yang satu masih tetap bertautan erat dengan tangan istrinya.

"Udah setengah dua belas, Bah. Istirahat ya. Besok kita ngobrol lagi. Abah pasti capek," kata Iqbal setelah saling melepas pelukan.

Ia lepaskan pula genggaman pada jemari Luli, lalu mematikan pendingin ruangan, juga lampu-lampu. Direngkuhnya kembali pinggang sang istri usai ia menutup pintu.

"Abah pengin minum panas-panas kah? Atau mau makan lagi?" tawar Iiq sebelum ia mohon diri.

"Nggak, Dek. Tidurlah. Udah malam, kasian Zulfa."

"Oke, Bah. Iiq ke kamar dulu ya, Bah."

Iqbal langsung naik ke tempat tidur. Merebahkan badan yang sejatinya tak lelah, hanya hatinya saja yang sedikit gundah.

"Kak Iiq mau melanjutkan yang tadi?"

"Melanjutkan apa, Neng?"

"Emm, melanjutkan 'itu' tadi?" Luli ingin menghibur suaminya, menjauhkan dari sedih yang pasti menusuknya begitu dalam.

"Nggak."

"Mau saya pijitin?"

"Nggak."

"Plus plus boleh deh." Iqbal terkekeh.

"Nggak." Tapi jawabannya masih sama.

"Mau saya peluk?"

"Nggak."

"Mau makan?"

"Nggak?" Jawaban Iqbal tetap sama.

"Makan saya?" goda Luli lagi.

"Aku Iqbal, Sayang. Bukan kanibal." Luli tergelak.

"Terus, Kakak maunya apa dong? Masa saya di sini nggak ada gunanya buat Kak Iiq?"

"Aku maunya meluk kamu. Aku maunya janji sama kamu untuk nggak menyakiti kamu sepanjang kebersamaan kita. Sampai salah satu dari kita lebih dulu meninggalkan dunia. Aku nggak mau menorehkan luka. Pada kamu, juga anak-anak kita."

"Ssstt." Luli memberi isyarat pada suaminya agar diam.

Ia turut merebahkan tubuhnya. Menaruh kepala di atas lengan Iqbal yang kekar. Dipeluknya lelaki tercinta hingga tak ada lagi jarak yang tersisa. Luli menyusupkan tangannya ke dalam kaus Iqbal, jarinya bergerak lembut menyusuri punggung suaminya. Tanpa malu-malu, ia menyesap bibir Iqbal hingga desah-desah kecil lolos dari sana.

"Mmmhh, kamu manis banget, Sayang?"

Seperti diesel, Iqbal mulai panas. Ia baru saja melempar kaus Luli sembarang, ketika terdengar ketukan di pintu kamarnya.

"Huff." Dibuangnya napas dengan kasar. Gusar.

Luli buru-buru mengenakan kimono tidurnya. Kaus yang barusan dibuang Iqbal ia selipkan dengan kakinya ke kolong tempat tidur.

"Ada apa, Bah?" sambut Iqbal menemukan abahnya di depan pintu.

"Maaf ngganggu, Dek. Abah mau minta tolong."

"Siap, Bah. Apapun itu."

"Tolong antar abah ke rumah abah kakung ya. Abah kangen sama umimu. Abah mau minta maaf sama umimu."

Abah memeluk anaknya lagi. Tangisnya pecah sudah. Kedua ayah beranak itu saling memeluk erat. Kali ini mereka bertukar peran. Sang anak menjadi sosok yang menguatkan bagi ayahnya.

Luli menyusut air yang menganak sungai di pipinya. Sebait doa terlantun, memohon balasan kebaikan atas setiap luka yang bertahun disimpan sendiri oleh lelakinya. Ia pula berjanji, akan selalu ada setiap kali Iqbal membutuhkannya.

Angka di kalender sebentar lagi berganti. Abah, Iqbal, dan Luli sudah bersiap meninggalkan rumah. Setelah membuka gerbang, Iqbal minta izin untuk masuk lagi.

"Ada yang ketinggalan, Neng?" tanya abah pada menantunya.

"Kurang tahu, Bah. Kelihatannya tadi sudah dibawa semua."

Tak sampai tiga menit Iqbal sudah kembali. Membuka pintu di deret tempat duduk Luli. Bantal, guling, dan selimut ia serahkan pada sang istri.

"Sya'bani junior harus nyaman tidurnya," kata Iqbal begitu mobil mulai berjalan.

"Berarti Kak Iiq nggak peduli sama kenyamanan saya dong? Cuma Sya'bani junior aja." Luli pura-pura kesal.

"Ibunya nggak butuh bantal, guling, dan selimut. Kan ada bapaknya yang udah meng-cover fungsi ketiganya."

"Maksudnya apa lagi nih?"

"Ya kan aku udah cukup sebagai bantal, guling, sekaligus selimut buat kamu, Sayang. Nanti ya di rumah abah kakung kita lanjutin acara yang tadi diganggu sama Abah."

Satu pukulan keras dari abah mendarat di bahunya. Iqbal meringis lalu tertawa lebar.

***

Alhamdulillah, selesai juga part ini. Bikin pusing nggak sih? Hehe. Apapun itu, semoga tetap bisa menghibur teman-teman semua ya.

Mohon maaf untuk setiap kesalahan dan kekurangan. Dan terima kasih untuk segala apresiasi dari kalian.

Oh ya, jangan lupa follow instagramku ya, namanya fitrieamaliya dan fitrie.amaliya. Aku suka bikin pertanyaan2 atau survey2 gitu di sana. InsyaAllah kalau Fikar-Nara sudah siap terbit juga infonya akan dishare di sana. So, tunggu apalagiii?! Hehe.

Oh iya (lagi), buat yang penasaran lagu yg dinyanyiin Iiq, yang kata dia "Semestinya Abah juga punya lagu untuk umi." Aku kasih multimedianya ya. But so sorry ada iklannya dikit, karena sengaja kucarikan yang ada terjemahannya, biar lebih menghayati. Halah.

Ini salah satu lagu kesukaanku, dari band kesukaan juga dari jaman aku SMP. Bon Jovi (sering keluar kan di Mendadak Mama. Haha). Kalau denger lagu ini, aku auto inget sama suami. Auto pengin say this five words juga.

Thank you for loving me.

Oke deh, begitu dulu ya.

Sampai jumpa.
❤❤❤

Semarang, 24092020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top