Part 21.

"Kakak lihatin apa?"

"Aku mencari Angkasa di matamu."

***

Eh, aduh. Angkasa apa nih?!

-------

Taksi yang membawa Iqbal dari bandara berhenti tepat di depan rumahnya. Ia turun, setelah membayar dan mengucapkan terima kasih pada pak sopir.

Memasuki rumah, Iqbal tersenyum senang. Rumah bersih dan rapi, meski dua hari tak dihuni. Ia lega. Luli yang cuek, manja, dan ngambekan, ternyata bisa menempatkan diri dengan baik sebagai seorang istri dan pemilik rumah. Iqbal merasa makin sayang padanya.

Bukannya istirahat, ia justru berniat pergi ke kampus. Jam mengajarnya sudah lewat, meski masih ada dua puluh menit tersisa. Tapi memang bukan itu tujuannya ke kampus. Mengambil tugas dari para mahasiswa dijadikan alasan, padahal ia sudah tak tahan ingin bertemu mahasiswinya yang bernama Zulfa Nurulita.

Iqbal yang sudah mandi sejak dari hotel, tak memperbarui mandinya. Hanya membersihkan diri secukupnya dan mengganti kaus dengan kemeja warna biru tua. Setelahnya bergegas memacu mobil menuju gedung departemen teknik sipil.

[Neng, kangen nih. Kamu ke lab mektan ya. Pgn peluk]

[Kak jgn ngawur deh, ini kampus lho]

[Nggak pa-pa, sedetik aja deh. Aku nggak kuat, kangen banget!]

[Lebay!]

[Biarin!]

Kelas Iqbal kosong, tapi Luli dan banyak temannya tetap hadir usai mengikuti kelas Bu Rahma. Sebagian hanya mengumpulkan tugas, lainnya melanjutkan dengan berkegiatan di kelas.

Luli mengemasi barang-barangnya. Berpamitan secukupnya pada Nara, Yeni, dan beberapa lainnya. Disandangnya ransel dengan asal, lalu melangkah tergesa ke tempat yang disebutkan suaminya. Memang dasar dia sendiri juga kangen pada Kak Iiq-nya.

Pintu ruang kepala laboratorium terbuka sedikit. Suasana sekitar sepi, hanya satu dua mahasiswa terlihat di sekitar. Hati Luli mendadak berdesir tak keruan. Jantungnya berdegup meningkatkan kecepatan.

Luli mengetuk pintu dan mengucap salam. Mata Iqbal langsung berbinar begitu melihat siapa yang datang. Ia menuju ke pintu, menyambut istrinya dengan semangat menggebu. Dan begitu Luli masuk, Iqbal langsung menarik Luli ke pelukan, menciumnya dengan penuh kerinduan.

"Kak, emmh, jangan di sini." Luli mendorong Iqbal, tapi tak mempan.

"Sedikit aja, Sayang." Iqbal bergeming, malah mempererat pelukan.

Lupa. Pintu dibiarkan terbuka.

Tak sampai semenit kemudian, "Assalamualaikum, Pak Iq--- Astaghfirullah!"

"Astaghfirullah." Iqbal kaget. Buru-buru melepas Luli yang juga kaget. Luli menutup mulutnya melihat siapa yang ada di hadapan mereka sekarang.

Andro tak kalah kaget. Memang salahnya tak mengetuk pintu terlebih dahulu. Tapi ia pikir itu tak perlu dilakukan untuk pintu yang terbuka cukup lebar.

"M-maaf kalau mengganggu. Saya cuma mau mengumpulkan tugas dari teman-teman." Andro mencoba tetap tenang. Jakunnya berkali naik turun. Rahangnya mengeras. Menahan perasaan dengan susah payah.

"Baik, terima kasih. Tolong taruh di meja." Iqbal melakukan hal yang sama. Mencoba tetap tenang.

"Emm, duduk dulu, Angkasa. Kelihatannya kita perlu bicara," ucap Iqbal. Canggung menyelimuti ketiganya.

"Nggak ada yang perlu dibicarakan, Pak. Bapak tidak perlu khawatir, saya akan simpan ini untuk saya sendiri. Saya menghormati Bapak, sebagai dosen saya. Juga sebagai...." Andro menelan saliva untuk kesekian kali. Ditambah helaan napas yang cukup berat.

"Sebagai suami dari seseorang yang hampir dua tahun ini mengisi hati saya." Hening.

"Baik, Pak, saya pamit dulu. Nitip Zulfa. Tolong jangan sakiti dia."

Setelah mengatakan itu, Andro menatap Luli, lantas melangkah menuju pintu, dan pergi.

Iqbal memandang tidak suka. Hatinya tak terima dengan kalimat terakhir Andro. Ia merasa Andro terlalu mengajari dan mengecilkan rasa cinta yang ia miliki untuk Luli.

"Ndro, tunggu...." Luli hendak mengejar sang ketua angkatan, tapi Iqbal lebih dulu mencengkeram pergelangan tangannya.

"Nggak perlu dikejar, Zulfa! Ada hatiku yang lebih wajib untuk kamu jaga."

"T-tapi, s-saya. Emm. Hiks." Luli menangis. Iqbal diam saja.

"Maafkan aku. Kita pulang sekarang." Tegas Iqbal.

Dibereskannya tumpukan tugas dari kelas-kelas yang ia tinggalkan tiga hari ini.

"Lagi kaya gini masih sempat ngurusin kerjaan?! Kaya nggak ada waktu lain aja." Luli kesal. Ia pergi meninggalkan Iqbal.

Iqbal kembali ke mejanya. Mengambil ponsel dan kunci mobil, lalu bergegas mengejar Luli. Tumpukan tugas dari mahasiswa dia tinggalkan begitu saja.

Sampai di rumah tangis Luli pecah. Ia sedih karena merasa menyakiti Andro. Orang yang selama ini selalu baik dan perhatian padanya, dan ternyata menyimpan perasaan khusus untuknya.

"Gara-gara Kak Iiq sih! Harusnya nggak boleh kaya gitu di kampus. Kasian Andro, Kak. Ngerti saya nikah sama Kakak aja pasti sudah nyakitin dia. Lah ini? Kak Iiq tuh nggak ngerti tempat! Kak Iiq tuh jahat!"

Iqbal hanya diam menerima setiap kemarahan sang istri. Ya, dia memang salah. Entah kenapa setiap kali berhadapan dengan Luli, profesionalismenya seakan mati. Ia bahkan lupa caranya menahan diri.

Tapi melihat istrinya marah karena laki-laki lain, rasa cemburu tak urung menghinggapi. Iqbal mencoba untuk tetap sabar, menunggu hingga emosi Luli mereda.

"Sudah marahnya?" tanya Iqbal setelah Luli diam beberapa saat.

Mereka duduk di ruang tengah. Luli di atas sofa besar, Iqbal di karpet nan tebal, hanya berjarak beberapa centi dari sang istri.

"Hemm."

"Boleh aku minta dipeluk?"

"M-maksudnya, s-saya yang peluk Kak Iiq?" Iqbal mengangguk.

"K-Kak Iiq marah?"

"Nggak, Neng. Aku mana bisa marah sama kamu? Aku cuma pengen merasakan sayangmu ke aku."

Luli sadar ke mana arah pembicaraan suaminya. Ia menggeser duduknya tepat di belakang Iqbal, memeluk erat, dan menciumi kepalanya.

"Maafkan Luli ya, Kak. Luli sayang sama Kak Iiq. Maafkan Luli." Kali ini ia ganti merasa bersalah pada Iqbal. Dia tahu, Iqbal pasti merasa sangat cemburu.

"Nggak apa-apa, Neng. Kamu sayang aku, itu udah lebih dari cukup. Jangan bagi sayangmu sama yang lain ya, Neng. Cuma aku saja." Iqbal balas menggenggam jemari Luli. Ia mendongak menatap Luli, seakan mencari sesuatu di kedalaman mata sang istri.

"Kakak lihatin apa?"

"Aku mencari Angkasa di matamu."

"Kakak cemburu?"

"Sangat."

"Maafin Luli ya, Kak. Percayalah, nggak ada Andro atau yang lain. Cuma Iqbal Sya'bani." Satu ciuman Luli berikan, Iqbal membalasnya lebih dalam.

Luli menyusupkan jemarinya ke dalam kemeja sang suami. Tapi Iqbal menghentikan manuver Luli.

"Kakak marah?" Iqbal diam.

"Kak Iiq nggak mau 'itu'?" Iqbal masih diam.

Iqbal bahkan menolaknya. Ini membuat Luli makin merasa berdosa. Padahal ia berharap itu bisa meredakan kecemburuan suaminya dan memperbaiki kecanggungan diantara mereka.

Ting tong. Bel berbunyi. Luli hendak keluar untuk membukakan pintu, tapi Iqbal mencegahnya.

"Biar aku saja," kata Iqbal.

"Saya saja nggak apa-apa, Kak. Kak Iiq kan capek."

"Nggak apa-apa, biar aku saja."

"Kenapa, Kak?"

"Itu Fajar." Iqbal menyebut nama salah satu asisten praktikum Mekanika Tanah.

"Aku minta tolong padanya untuk mengantarkan tugas-tugas yang tadi. Biar bisa segera kukoreksi."

"Jadi tugas-tugas itu lebih penting daripada saya?"

"Untuk saat ini, iya. Tapi...."

"Tapi apa, Kak?"

"Tapi menjadi tidak setelah Fajar pulang nanti. Kamu siap-siap ya." Iqbal meraih Luli ke dekapannya dan mencium bibirnya, sekilas saja.

"Huh, dasar. Tetep nggak mau rugi ya." Luli merajuk, mencubit pinggang suaminya dengan manja.

Usai Fajar berpamitan, mereka menghabiskan waktu berdua. Menuntaskan setiap dahaga, yang telah dua hari tak bertemu penawarnya. Segala susah, sedih, cemburu, marah, seakan hilang begitu saja. Hanyut terbawa arus cinta.

Setelahnya, Iqbal kembali disibukkan dengan urusan pekerjaan. Sedangkan Luli berkutat dengan urusan sumur dan dapur. Kejadian di kampus siang tadi tak lagi dibahas oleh keduanya. Hanya saja Luli agak irit bicara. Ia masih merasa bersalah setiap kali mengingat mata Andro yang terlihat menyimpan luka.

"Kamu kenapa? Dari tadi kulihat berkali-kali geleng kepala." Iqbal menangkap sesuatu yang tak biasa pada Luli.

"Eh, ng-nggak. Nggak ada apa-apa."

"Oke. Kamu siap-siap. Nanti jam lima kita ke kafe ya."

"Eh, ada perlu apa, Kak?"

"Biar kamu nggak ingat-ingat Angkasa terus."

"Tapi saya---"

"Ssstt. Aku tau, sayangmu cuma buat aku. Yang kamu rasakan saat ini hanya rasa bersalah pada Angkasa. Tapi aku nggak mau membiarkan kamu berlarut-larut dalam keadaan begitu, Sayang. Bisa bahaya." Tak ada perdebatan lagi.

Jam lima sore, berdua membelah jalanan Semarang atas menuju ke kafe milik Iqbal. Seperti biasa, daerah Gombel selalu macet di waktu-waktu warga Semarang pulang kerja. Mereka mengisi kemacetan dengan obrolan ringan, cerita-cerita Luli saat ditinggal Iqbal pergi.

Sebuah Yaris merah menjejeri mobil Iqbal, pengendaranya membunyikan klakson seperti ditujukan pada mereka. Iqbal menoleh. Merasa mengenal siapa pemilik mobil itu, maka ia menurunkan kaca jendelanya.

"Gimana, Lif?" teriak Iqbal. Satu senyum diberikannya untuk gadis yang duduk di seat sebelah kiri pengemudi.

Ya. Yaris merah itu kepunyaan Alif.

"Sorry, Mas. Dia yang maksa," jawab Alif tak kalah berteriak. Dengan dagu ia menunjuk pada gadis di sebelah kirinya.

Alif memperlihatkan tampang tak enak hati. Di sebelahnya, Rere --sepupunya yang juga anak sipil satu angkatan dengan Luli--menyunggingkan senyum termanis untuk dosennya.

Senyum itu lantas menghilang, begitu tahu siapa yang duduk di samping sang dosen kesayangan.

"Zulfa?!" Rere mengerenyit, membuat nyali Luli menyempit.

"Re," balas Luli sambil menganggukkan kepala. Segaris senyum ia berikan. Kikuk.

Kemacetan di depan kembali terurai. Iqbal melambai kepada Alif dan Rere, lalu menutup kaca jendela, dan melajukan mobilnya. Dilihatnya wajah Luli yang menunjukkan kesedihan serta tak enak hati.

"Nggak apa-apa. Makin sering begini, makin cepat kamu siap. Maafkan aku ya, Sayang." Iqbal menggenggam tangan Luli erat. Ia hanya ingin belahan jiwanya merasa kuat.

"Maaf untuk apa?"

"Untuk meningkatkan level kecemasanmu setiap kali pergi berdua denganku."

"Nggak apa-apa, Kak. Risiko. Saya sendiri yang menerima Kak Iiq, jadi saya juga harus siap menerima segala konsekuensinya."

"Tapi kamu nggak menyesal kan, Neng, menikah denganku?"

"Nggak sama sekali. Mungkin saya lebih menyesal kalau nolak Kak Iiq."

Iqbal tergelak. Diraihnya Luli mendekat. Dan pada kening istrinya, satu kecupan mendarat.

Drrrtt. Gawai Luli bergetar. Satu pesan dari Nara mengundang untuk segera dibaca.

[Statusnya Rere kok gitu ya, Lul? Dia sdh tau kamu sm Pak Iqbal?]

Penasaran. Luli tak langsung membalas pesan Nara, melainkan scrolling status whatsapp di gawainya. Tak ditemukannya nama Rere di recent update-nya.

"Di-private dari aku," gumam Luli lirih.

"Kenapa, Neng?"

"Kata Nara, Rere nyetatus, tapi saya nggak bisa lihat. Di-private." Air muka Luli makin keruh.

[Iya nar. Barusan ketemu aku sm Kak Iiq]

[Coba ss-in statusnya ya Nar. Di aku gak ada. Diprivate]

[Sabar ya, Lul]

[*screenshoot status Rere*
"Sore ini aku baru paham arti quote air tenang menghanyutkan. Diam sih, tapiii......."]

[*screenshoot status Rere*
Foto sebagian mobilnya Iqbal dengan caption:
"Sebelah kiri depan sudah nggak kosong lagi!"]

Luli termangu.

"Kenapa lagi?" tanya Iqbal.

Tak menjawab. Luli hanya menyodorkan gawainya untuk dilihat oleh sang suami.

"Kamu yang sabar ya. Maafkan aku kalau pernikahan kita bikin hidupmu jadi malah terasa berat." Jemari Luli kembali ke genggaman Iqbal.

"Jangan ngomong gitu, Kak. Saya nggak ngerasa begitu kok."

"Tapi?"

"Nggak ada tapi. Saya bahagia jadi istri Kak Iiq. Kalaupun ada yang berat-berat, tapi bahagianya lebih banyak kok."

"Yakin?"

"Yakin. Cuma, emm, cuma hari ini memang agak sedih aja sih. Saya udah menyakiti hati dua teman saya dalam sehari." Luli tertawa getir.

"Nggak ada yang menyakiti dan disakiti, Sayang. Kalaupun ada yang merasa tersakiti, itu karena dia yang memilih sendiri. Udah ya. Berjanjilah, kita akan habiskan sisa hari ini dengan bahagia."

"I love you, Kak."

"Me too."

Suara Noe 'Letto' mengalun menemani sisa sepuluh menit perjalanan mereka menuju kafe. Lagu Memiliki Kehilangan dipilih Iqbal untuk Luli dengarkan.

"Mungkin mereka merasa kehilangan, karena pernah merasa memiliki. Setidaknya memiliki kesempatan, untuk bisa meraih hatiku. Juga hatimu," kata Iqbal. Masih sambil menggenggam jemari Luli.

Parkiran kafe menjelang maghrib sudah terlihat cukup ramai. Iqbal turun dari mobil, menunggu Luli yang membawa paperbag berisi sarung, baju koko, dan mukena untuk ditinggalkan di ruang kerjanya.

Mereka berjalan beriringan menuju bangunan kafe. Iqbal menggandeng Luli mesra, membuat siapapun yang melihat tahu kalau dia begitu mencintai perempuan di sampingnya.

"Pak Iqbal!" panggil seorang perempuan.

"Aduh, jangan mantan lagi deh!"

***

Udah yaaa. Sengaja digantung, soalnya nulisnya pas habis njemur baju. Sekalian ceritanya digantung di jemuran. Haha...

Tebak-tebakan yuk, kira-kira mereka ketemu mantan atau siapa nih? Eh, atau jangan-jangan, Iqbal pernah pacaran sama salah satu mahasiswinya? Aish...

Dih, Mbake. Udahlah digantung, malah diajak tebak-tebakan pula. Hihihi...

Mohon maaf lahir batin deh pokoknya.

Dan terima kasih untuk segala perhatian, dukungan, dan apresiasi dari teman-teman pembaca.

I love you all.

Sampai jumpa.
❤❤❤

Semarang, 15092020.

Sorry, aku tadi mau kasih multimedianya malah lupa.
Btw, ini salah satu lagu favoritku. Dari lagu ini aku belajar banyak tentang mengikhlaskan segala sesuatu. Hehe...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top