Part 21.2.
Kalau kamu nggak kuat punya anak lima belas nggak apa-apa, Neng, nanti kita cari satu atau dua lagi buat nemenin kamu. Insya Allah aku mampu.
---------
Notes:
- Ini Iqbal Sya'bani belum pernah dilempar bakiak deh kayanya.
- Part ini terlalu halu. Siapin plastik mana tau kalian pengen hueks
Roti bolu nyangkut di tebing.
Biar halu, tetap enjoy reading.
***
"Pak Iqbal," panggil seorang perempuan.
Iqbal menghentikan langkah, lalu berbalik ke arah sumber suara. Pun Luli, melakukan hal yang sama.
"Oh, jadi Zulfa ya?" ujar seorang gadis muda begitu Luli membalikkan badan dan terlihat wajahnya.
Namanya Okta. Salah satu mahasiswi senior yang menaruh hati dan harapan pada Iqbal. Ia berdiri di hadapan dosen dan adik tingkatnya. Kekecewaan tergambar jelas di wajahnya yang cantik.
"Kenapa harus dia, Pak? Mungkin akan lebih mudah buat saya kalau istri Bapak orang lain di luaran sana. Bukan adik tingkat yang tiap hari memungkinkan saya untuk melihatnya," katanya lirih. Terdengar perih.
"Maafkan saya, Okta. Emm, maksud saya, maafkan kami. Tentu saja tak ada sedikitpun maksud untuk mengecewakan kamu atau yang lain. Nyatanya kalau jodoh saya adalah Zulfa, kita semua bisa apa?
"Kamu selesaikan skripsimu dengan sebaik-baiknya ya. Sudah lewat waktunya lho. Saya tahu kamu punya cita-cita yang tinggi. Segera kejar selagi masih muda. Juga biar kamu nggak perlu berlama-lama melihat saya. Atau istri saya." Iqbal melempar senyum, mencoba memangkas ketegangan. Tetap saja ada yang terluka atas kenyataan yang harus dihadapi.
"M-maafkan s-saya, Mbak." Luli ikut bicara. Hatinya campur aduk menahan berbagai rasa.
"Oke. Selamat. Semoga bahagia. Mari," ucap Okta dingin, lebih kepada Luli. Dia melewati keduanya, masuk ke kafe dan terus menuju 'area sendiri'.
Iqbal menghela napas. Ia kembali menggandeng Luli yang matanya dipenuhi bulir bening siap membanjiri pipi.
"Ya Allah, Kak. Berat banget sih jadi istri Kak Iiq. Kalau nggak ketemu mantan, ketemunya penggemar. Dan semuanya pasti lebih baik dari saya. Semuanya kecewa karena istrinya Kak Iiq cuma modelan kaya saya. Huhuhu." Luli menumpahkan perasaannya begitu sampai di ruang kerja.
"Kakak pasti nyesel kan nikah sama saya? Kakak capek kan tiap ketemu orang pasti kecewa lihat Kak Iiq sama saya? Atau malah ngerasa salah pilih istri? Iya kan?"
"Ssstt, nangis dulu aja, nggak usah ngomong apa-apa. Aku temani. Habis itu kita sholat maghrib. Kalau kamu keberatan sholat di mushola, kamu bisa di sini saja."
"Kak Iiq?"
"Aku mau ambil adzan, sekalian jadi imam. Boleh kan?"
"Emm, tapi saya di sini aja. Saya nggak mau ketemu Kak Okta."
"Iya, nggak apa-apa." Iqbal menarik Luli, membiarkan sang istri kembali membasahi dadanya dengan air mata.
Selepas maghrib, live music mulai meramaikan kafe. Baru tiga lagu, saat seorang perempuan muda naik ke panggung dan meminta gitar. Ia berniat menyumbangkan suara.
Gadis itu, Okta, berbicara sambil memulai petikan gitarnya.
"Hampir empat tahun saya menunggu dan berharap, ternyata semua sia-sia. Inginnya mendoakan kebahagiaan, nyatanya bukan seperti itu yang saya rasakan. Sebuah kebetulan, ketika di sini, di tempat ini, saya menemukan jawaban."
Satu lagu mengalun. Mewakili suara hatinya, juga kedua adik tingkatnya.
Iqbal menghentikan sejenak aktivitasnya. Demikian pula Luli, yang meski tak melihat langsung, tapi ia mendengar dari perangkat audio yang terhubung ke ruang kerja suaminya. Ia tahu siapa yang bicara, juga pada siapa kalimat demi kalimat itu tertuju.
Luli tergugu. Menyambar kunci mobil dan beranjak meninggalkan semua hingar bingar. Yang ia inginkan hanya satu. Sendiri.
Iqbal menyusul tak lama sesudahnya. Terlebih dahulu mengetuk kaca jendela agar tak mengagetkan belahan jiwanya.
"Maafkan aku. Kita pulang."
Sama sekali tak ada pembicaraan, hingga gerbang The Madina Residence terlihat di depan mata.
Iqbal meraih tangan Luli. Hendak mengatakan sesuatu, tapi justru ia merasakan panas yang sedikit di atas normal.
"Neng, kamu sakit kah? Jangan terlalu dipikirkan semua kejadian tadi." Luli diam.
Mobil memasuki halaman, Iqbal turun dan membuka pintu rumah. Tak dibiarkannya Luli berjalan, ia menggendongnya sampai di kamar.
"Kak, tolong ambilkan baju ganti." Suara serak Luli terdengar dari kamar mandi. Cukup lama ia di dalam sana dan Iqbal sengaja membiarkannya.
Bergegas mengambil piyama dan menyerahkannya pada sang istri. Ia yang sudah siap tidur kemudian menunggu di atas kasur.
"Kenapa nggak dipake piyamanya, Neng? Nggak suka?" tanya Iqbal melihat Luli keluar mengenakan bathrobe. Kedua matanya terlihat sembap.
"Nggak apa-apa, kak. Kan kemarin Kakak janji mau peluk saya semalam suntuk. Dan Kakak minta saya pake baju rumah kaya kemarin itu." Luli mengaduk isi lemari.
"Kamu sakit, Sayang. Pakailah baju yang nyaman. Aku akan tetap memelukmu semalam suntuk."
"Tapi saya kan pengin ngasih yang terbaik buat Kak Iiq. Biar Kak Iiq nggak nyesel nikah sama saya."
"Thank you, Luli sayang. Tapi ketahuilah, aku menikahimu bukan sekadar untuk kesenangan dan kepuasan semata. Kamu istriku, belahan jiwaku, separuh nafasku. Sakitmu, sakitku juga. Sedihmu, sedihku juga. Aku mau menjaga kamu, Neng. Sekarang, dan sampai maut memisahkan.
"Pakai piyamamu ya," bujuk Iqbal.
Ia membantu Luli melepas bathrobe-nya, kemudian menggantinya dengan piyama. Luli pasrah saja, termasuk saat Iqbal membaringkannya di atas tempat tidur, dan memeluknya dari belakang.
"Kamu harus sehat, Neng. Kalau kamu sakit karena memikirkan hal-hal yang nggak seharusnya mengganggu pikiranmu, aku nggak rela."
"Kak Iiq pasti nyesel ya nikah sama saya?"
"Nggak sama sekali. Aku bahagia banget punya kamu. Kamu yang aku cari, yang aku tunggu, yang aku impikan selama ini."
"Tapi kan saya nggak se-perfect Kak Iiq. Saya jauh banget kl disandingkan sama Kak Iiq. Jomplang. Kaya kucing main jungkitan sama hamster."
"Mana bisa kucing main bareng hamster, udah dimakan duluan itu hamsternya, Neng." Iqbal mencoba bercanda, tapi Luli tak menanggapi.
"Kata siapa kamu sama aku jomplang, Neng?" Kembali serius.
"Kata mereka di luaran sana. Semua sepakat kalau Kakak itu terlalu baik dan ketinggian buat saya. Sebaliknya, saya terlalu rendah dan banyak kurangnya buat Kak Iiq."
"Apakah mereka yang menganggap begitu punya kuasa untuk mengatur jodoh, rezeki, dan umur kita?"
"Ya nggak sih. Itu kan hak Allah, bukan makhluk."
"Nah itu tahu. Begitu pula mereka, cuma punya hak untuk membuat penilaian tentang kita, itu juga berdasarkan yang mereka lihat saja kan. So, apa yang harus kamu risaukan, Neng? Apalagi sampai sakit begini.
"Mereka bukan siapa-siapa, yang keberadaannya harus mempengaruhi kehidupanmu. Ingat saja kebahagiaan bapak, ibu, Zulfikar, abah, umi, dan orang-orang yang menyayangi kita. Ingat kebahagiaan mereka saat kita menikah dulu. Cukup.
"Kalau ada yang nggak bahagia di luar sana, bukan kita yang menyebabkan semuanya. Sekali lagi, itu pilihan mereka. Kita nggak bisa menyenangkan semua orang. Tapi kita harus bisa membuat diri kita sendiri merasa senang, bahagia." Dibelainya rambut Luli yang selalu menguarkan bau strawberry.
"Kamu tahu kan, Neng, kalau pasangan adalah cerminan diri? Suami itu cerminan dari istrinya, begitu pula sebaliknya. Dan kamu, adalah cerminan dari aku."
"Hemm. Terus?"
"Ya begitulah. Kalau kita bercermin, apa sih yang ada di cermin itu?"
"Ya diri kita."
"Sama persis?"
"Iyalah, Kak."
"Nggak dong."
"Kok bisa?"
"Iya, yang ada di cermin itu diri kita, tapi berkebalikan dengan kita."
"Maksudnya?"
"Kamu kalau bercermin, sisi bayanganmu berkebalikan dari kamu kan? Kamu angkat tangan kanan, dia angkat tangan kiri kan? Kamu menoleh ke kiri, dia ke kanan kan?"
"Eh, iya juga ya. Sisi kanan kita jadi sisi kiri sosok kita yang di dalam cermin. Terus? Berarti?"
"Ya begitulah kita dan pasangan kita. Kita itu sama, tapi berbeda. Yang kita lihat sama, itulah tujuan, visi, juga cita-cita kita dalam berkeluarga. Jalan apa yang akan kita pilih untuk ditempuh pun sama, sesuatu yang sudah kita sepakati bersama.
"Tapi sisi diri kita berbeda. Berkebalikan. Itulah karakter kita dengan pasangan. Ada perbedaan, bahkan seringkali berkebalikan. Karena memang suami dan istri itu saling melengkapi. Apa yang jadi kekuranganku, ada di kelebihanmu. Apa yang jadi kelebihanku, menutupi kekuranganmu.
"Aku sabar, kamu ngambekan. Aku dewasa, kamu kekanakan. Aku mandiri, kamu manja. Aku pintar, kamu harus banyak belajar. Aku banyak fans, kamu---"
"Iyaaa, terus-terusin ajaaa. Pokoknya Kakak yang baik-baik, saya yang jelek-jelek. Bully teruuuss, sampai puas." Luli menyahut kesal. Memang itu tujuan Iqbal, ia tergelak senang.
"Kamu sehat ya, Neng. Biar ada yang kugodain tiap hari. Biar ada yang manja-manja ke aku tiap waktu. Aku tuh sayang kamu banget. Nggak ada menyesal, salah pilih, atau apapun itu. Kamu itu aku, aku itu kamu. Kalau aku menyesali keberadaanmu, berarti aku menyesali keberadaanku sendiri dong. Aku nggak begitu, Sayang.
"Sekarang kamu makan ya? Mau apa? Biar aku masakin."
"Saya nggak mau makan, Kak. Nggak napsu."
"Kalau yang lain-lain, napsu?"
"Hih, Kak Iiiiq!" Iqbal tertawa.
Pelukannya menguat. Sekuat rasa cintanya pada perempuan yang ada dalam pelukan.
Iqbal menciumi tengkuk Luli, yang spontan menyikut sebab geli. Mereka berdua tertawa, lalu Iqbal bangkit dan menuju ke dapur. Semangkuk sup krim ayam dan beberapa potong garlic bread memenuhi nampan. Susu coklat hangat dan air mineral terlihat pula diantaranya.
Dengan penuh perhatian ia menyuapi Luli. Bukannya senang, Luli malah menangis. Ia terharu.
"Kok malah nangis sih. Kenapa? Makannya nggak enak ya? Eneg? Mual? Eh, atau jangan-jangan kamu hamil, Neng?"
"Ya Allah, Kak. Nikah baru berapa hari gimana ceritanya udah hamil. Yang bener aja deh." Luli menepuk jidatnya keras. Keharuan yang tadi ada raib entah ke mana.
"Ya siapa tahu proses yang hari Minggu kemarin sekarang udah berhasil jadi."
"Kak, bahas apa sih ini? Ngeselin deh."
"Bahas Sya'bani junior yang ada di sini dong, Ibu Luli." Iqbal mengusap perut Luli.
"Kak Iiq udah pengen banget punya baby ya?"
"Iya, Neng. Biar nggak kejauhan jarak umurku sama anak-anak kita nanti. Sama kamu aja aku kadang suka ngerasa om-om banget. Tapi---"
"Kakak kan memang om-om." Satu cubitan untuk hidung Luli.
"Tapi aku kembalikan lagi ke kamu, Neng. Kalau kamu belum nyaman, ya besok-besok kita pakai pengaman."
"Nggak, Kak. Saya nyaman kok. Gimana nggak nyaman kalau bapaknya rajin kasih pelukan dan perhatian. Kita berdoa aja ya, Kak. Insya Allah saya udah siap jadi ibu."
"Beneran, Neng?" Luli mengangguk.
"Alhamdulillah. Terima kasih ya, Sayang. I love you." Iqbal menghujani Luli dengan ciuman bertubi-tubi.
"Emang Kak Iiq pengen punya anak berapa sih? Buru-buru amat."
"Lima belas." Iqbal meringis.
"LIMA BE---" Luli pingsan.
Ssstt, cuma pura-pura sih. Luli merasa kesal pada Iqbal karena menurutnya tak ada empati sama sekali. Saat istrinya sedang tak enak badan, ia malah membahas ingin punya anak lima belas. Membayangkannya saja sudah lemas, apalagi menjalaninya, bisa tiap hari sesak napas.
"Neng, bangun, Neng. Please. Aku tadi cuma becanda kok. Neng, ayolah. Kalau kamu nggak kuat punya anak lima belas nggak apa-apa, Neng, nanti kita cari satu atau dua lagi buat nemenin kamu. Insya Allah aku mampu."
Luli langsung bangun, matanya memelototi suaminya tanpa ampun. Iqbal terpingkal-pingkal. Ia tahu sang istri hanya berpura-pura pingsan.
"Antar saya pulang ke rumah bapak ibu. Sekarang!"
"Eh, ya nggak gitu juga kali, Neng. Aku kan cuma becanda, Neng. Pura-pura. Kamu juga pingsannya pura-pura kan?"
Tapi Luli tak main-main. Ia benar-benar marah. Disambarnya jilbab, memakainya asal saja. Ia mengambil kunci mobil Iqbal dan berlari keluar.
Tanpa pikir panjang, Iqbal meraih ponselnya, lalu mengejar Luli.
"Oke, oke, aku yang nyetir. Kita ke rumah bapak ibu." Iqbal pasrah.
Tak sampai lima menit, mereka sudah di depan pintu rumah bapak ibu. Luli masih bertahan, tak mau memandang Iqbal sama sekali.
Begitu ibu membuka pintu, Luli langsung menerobos masuk tanpa ba-bi-bu.
"Bu, Luli mau tidur sini lagi."
"Kenapa lagi, Nduk? Iqbal baru pulang kok malah tidur sini sih?" tanya ibu pada Luli.
"Tau tuh. Tanya aja sendiri sama mantunya ibu," teriak Luli.
"Ada apa sih ini?" Mendengar teriakan Luli, bapak ikut keluar dari kamar.
"Sekedap nggih, Pak, Bu (Sebentar ya, Pak, Bu), saya tak ke kamar dulu." Pamit Iqbal.
"Kamu boleh marah sama aku, tapi nggak begitu sama bapak atau ibu," tegurnya pada Luli.
Tak menjawab. Luli malah bergelung di tempat tidur dan menarik selimut hingga wajahnya tak lagi terlihat.
Iqbal kembali ke ruang keluarga. Bapak ibu menunggu di sana. Ia pun menjelaskan kronologi kejadian sehari itu, tanpa ada yang dikurangi atau ditambahkan. Kecuali kejadian dengan Andro tentu. Ia yakin, untuk hal yang satu itu bapak mertuanya bisa saja murka.
"Iqbal ki yo nekad. Perempuan itu nggak suka dengan candaan semacam itu. Apalagi ini istri, sensitivitasnya jadi naik sekian kali. Ditambah kondisi fisik dan hatinya sedang kurang baik. Memang kurang bijak guyonanmu itu, Iq."
"Nggih, Pak. Maaf," kata Iqbal.
"Kalau dia pura-pura pingsan, sebenarnya mungkin cuma ingin kamu menguatkan pelukan. Ingin disayang-sayang. Yaaa semacam itulah. Itu kalau Luli lho ya. Karena istrimu itu memang senang dengan sentuhan-sentuhan kasih sayang.
"Sudah, sekarang ditemani saja. Nggak usah ngomong apa-apa. Minta maaf dan peluk. Itu sudah cukup buat Luli. Dia kalau ngambek nggak pernah lama kok. Tapi...."
"Tapi apa, Pak?" sahut Iqbal tak sabar.
"Tapi yo embuh nek kasuse ngene iki (Tapi ya entah kalau kasusnya seperti ini). Kalau nggak berhasil, ya silakan dipikirkan sendiri, Iq. Pokoknya persediaan sabarmu yang banyak ngadepin Luli."
"Nggih, Pak. Siap. Insya Allah."
Iqbal mohon diri. Kembali ke kamar dan menemukan wajah istrinya yang masih terlihat gusar.
Tak bicara apapun, Iqbal merebahkan badan di sisi kanan Luli. Dipeluknya Luli dari belakang, hingga embusan napasnya menghangatkan tengkuk Luli. Pelukannya makin erat, membuat wangi strawberry berdesakan meramaikan indra penciuman.
"Luli sayang, maafkan aku ya."
Sudah. Hanya begitu saja. Lalu ia menanti sampai Luli selesai berdamai dengan hatinya.
Masih tak ada perbincangan. Hanya jemari Luli yang balas menggenggam tangan Iqbal. Membawa dan mendekap erat jari-jari kekar itu di dadanya.
"Terima kasih, Sayang. I love you." Iqbal bicara lagi.
"Hemm."
"Selamat tidur. Mimpiin aku ya."
"Hemm."
"Mau minum obat nggak?"
"Nggak. Dipeluk Kak Iiq aja, nanti hilang sendiri demamnya."
Iqbal mengeratkan pelukan. Menarik selimut hingga tubuh mereka berdua terbenam. Mereka lalu terlelap, saling memeluk semalam suntuk. Tak perlu menghitung domba, apalagi burung pelatuk.
***
Aish, kelar juga baca part paling maksa. Haha.
Aku paling ngakak waktu Iqbal godain Luli pas pura-pura pingsan. Lah, kadal kok mau dikadalin. Mikir-mikir lagi deh, Lul! Wkwk.
Btw, dimaafkan lah ya kalau part ini super duper ngawur dan hancur lebur. Harapannya tetap cuma satu yaitu teman-teman yang baca jadi terhibur.
Thank you so much.
Sampai jumpa.
❤❤❤
Semarang, 16092020.
Lagunya Okta. Mewakili Rere, juga Andro.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top